Setiap beberapa langkah, dalam jarak tertentu, seorang di tengah keramaian melirik dan bertemu pandang dengan dua pria yang melangkah di tengah-tengah mereka, seolah berbaur menjadi penduduk tempatan.Kawasan ramai itu berada di luar tembok Kotaraja, sisi barat dan selatan, berdekatan langsung dengan Sungai Batang Kuantan yang besar dan sangat sibuk dengan beragam aktifitas.Dua orang itu meneruskan langkah mereka. Seorang dengan memikul sebuah karung yang terlihat penuh padahal sangat ringan. Seorang lainnya pula terlihat menjinjing sebuah keranjang yang berisi sayuran.Di ujung keramaian kawasan tersebut ke arah barat, keduanya menyeberangi sungai dengan memanfaatkan sebuah jembatan lengkung yang terlihat sangat kokoh.Di kawasan yang lebih didominasi oleh hutan rimba, sisi selatan Batang Kuantan, keduanya tiba di depan sebuah penginapan usang yang cukup terlihat sunyi.Karung dan keranjang itu mereka buang begitu saja, dan seterusnya, memasuki bangunan penginapan tersebut.Penjaga
Saliah baru berhenti melangkah dan bergumam ketika dia menyadari bahwa ada dua prajurit yang melintangkan tombak mereka hingga membentuk angka X besar di hadapannya, dan dua prajurit lainnya berada di belakang masing-masing yang menghalanginya.“Maaf dunsanak,” ujar prajurit yang di kiri dengan mengernyit menatap pemuda di hadapannya. “Hari sudah rembang petang, ada keperluan apa engkau memasuki Kotaraja?”“Maaf,” kata prajurit yang di kanan pula. “Bukan kami hendak mencurigai engkau. Akan tetapi, kami tidak pernah melihat engkau di sini sebelumnya. Jadi, bisakah engkau sebutkan kepentinganmu, dunsanak?”Saliah mereguk ludah. Tatapannya beralih dari kedua prajurit yang menghalanginya pada gerbang besar di belakang para prajurit.“Ge-Gerbang Barat …”Prajurit di kiri tersenyum lebar. “Kau benar, dunsanak. Ini adalah Gerbang Barat. Maaf, jika engkau tiada kepentingan di sini sama sekali, lebih baik engkau memutar langkah!”Saliah mengangguk dengan gugup dan terus menunduk sehingga membu
Datuak Rajo Tuo mengunyah makanan di dalam mulutnya, menelan makanan itu, lalu meminum seteguk air.Dan barulah dia melirik putranya yang duduk di seberang meja.“Apakah engkau tidak berpikir bahwa negeri ini membutuhkanmu, Ananda?” tanyanya dengan pelan saja, tapi cukup mengena di hati sang anak. “Kerajaan ini? Atau ayahmu ini, hmm?”Sang Putra Mahkota menghela napas dalam-dalam. “Ayahanda …”“Takhta kerajaan memerlukan pewarisnya, Putraku.”Dangmudo Basa tersenyum.Alasan makan malam bersama kali ini sudah cukup bisa ia telaah sebagai sebuah upaya sang ayah untuk membuatnya tetap terikat dengan garis keturunannya sebagai penerus darah, raja berikutnya saat hari itu tiba, nanti.Dan dia sama sekali tidak membenci ataupun menentang hal ini.“Bagaimana bila kematian mendatangiku lebih cepat dari apa yang pernah engkau pikirkan?”“Ayahanda…” sang Putra Mahkota mengangkat sedikit wajahnya, menghadirkan senyuman pada sang ayah di depan. “Janganlah berkata hal yang tak elok.”“Itu bisa saj
“Aku menempatkan kalian berdua dalam satu kamar tahanan, kupikir itu akan lebih baik bagi kalian berdua sebab kalian suami-istri.”“Komandan,” ujar seorang prajurit. “Bagaimana dengan pedang mereka?”Sang Komandan menghela napas lebih dalam sebelum akhirnya kembali beralih pada Feng dan Huang.“Yaah,” lanjutnya. “Maaf, kami harus menyita pedang kalian.”“Kakak!”Feng mencoba menenangkan istrinya yang keberatan dengan para prajurit yang meminta pedang di tangannya.“Tidak mengapa,” bisiknya.“Jangan khawatir, Nona Huang,” kata sang Komandan. “Ini hanya untuk sementara,” lanjutnya dengan mengendikkan bahu. “Yaah, jika kalian berdua nanti terbukti tidak bersalah. Maka, pedang-pedang itu akan kami kembalikan pada kalian.”“Tidak apa-apa,” Feng mengangguk pada istrinya seraya meraih pedang di tangan sang istri. “Aku percaya padanya.”Feng menyerahkan pedang bersarung biru miliknya dan pedang bersarung merah milik istrinya pada sang Komandan.“Anda sangat baik, Komandan,” kata Feng. “Kami p
“Guru,” Daiyun beringsut semakin mendekati Guru Ma. “Murid hanya mengatakan apa yang murid dengar di pasar tadi, bukan satu perkara yang dibuat-buat!”Guru Ma tersenyum tipis menanggapi si Biksu Muda yang terkesan berapi-api.“Orang-orang berbicara tentang muda-mudi dari Tiongkok yang ditangkap oleh Prajurit Sriwijaya.”“Amitabha …” Guru Ma menghela napas dalam-dalam. “Daiyun,” ucapnya penuh kelembutan.“Guru?”“Apakah menurutmu hanya engkau dan aku saja yang berasal dari Tiongkok dan datang ke negeri ini?” tanya Guru Ma. “Hanya Tuan Muda Feng dan Nona Huang saja?”“Bagaimana dengan pedang bersarung merah dan biru?” susul Daiyun sebab dia sangat yakin bahwa hal ini memang mengenai pasangan muda tersohor itu.Cahaya di bola mata Guru Ma sedikit berubah.“Guru,” kata Daiyun, lagi. “Murid ragu jika ada dua orang yang juga datang dari Tiongkok dengan masing-masing membawa pedang yang ciri-cirinya sama persis dengan pedang milik Tuan Muda Feng dan Nona Huang. Ini pasti bukan sebuah kebetul
“Betul, Yang Mulia,” Datu Panglima menundukkan lagi kepalanya.Dapunta Hyang tersenyum seakan tahu dengan baik ke mana arah ucapan sang Panglima Besar yang telah mengabdi kepadanya semenjak mereka meninggalkan Tanah Minangatamvan.“Oh, Agung Sarta …” sang raja menggeleng-geleng kecil.“Yang Mulia?”“Jangan katakan padaku bahwa kau berpikir keduanya berkaitan dengan dua Biksu Budha itu!”Datu Panglima yang bernama asli Agung Sarta menghela napas lebih dalam.“Hamba tidak akan menyembunyikan apa pun dari mata Anda, Yang Mulia,” ujarnya. “Tapi benar, itulah yang hamba khawatirkan.”“Baiklah …” sang raja mengangguk kecil.Bagaimanapun, ada alasan khusus mengapa Daputa Hyang memahami kekhawatiran sang Datu Panglima.Dia meyakini insting panglimanya.Lagi pula, selama ini, semenjak Kerajaan Sriwijaya berdiri, Agung Sarta selalu dapat mengantisipasi berbagai hal yang menjurus pada keselamatan kerajaan hingga ke rakyat mereka.Itulah sebabnya dia mampu dan diangkat oleh Dapunta Hyang sebagai
“Ada ribuan pulau kecil di Laut Timur,” ucap Arrumanda pada istri dan anak-anaknya saat mereka bersantap di malam itu. “Dan setiap pulau punya kehidupan dan kebudayaan yang berbeda-beda.”“Pasti sangat menyenangkan jika aku bisa ikut,” ucap si anak sulung yang adalah laki-laki. “Melihat banyak pulau, bertemu banyak orang pasti sangat menyenangkan.”Sang ibu tersenyum dan mengusap kepalanya.“Kau masih dua belas tahun, Sayang,” ujarnya. “Tunggu saat engkau dewasa nanti, lalu mengikuti jejak ayahmu, dan kau akan mendapatkan apa yang engkau inginkan.”Arrumanda terkekeh pelan. “Ibumu benar. Kau masih terlalu kecil untuk mengarungi lautan, Nak.”“Bagaimana denganku, Ayah?” tanya si kecil pula, gadis delapan tahun.Sang ayah tersenyum dan mengangguk.“Sama,” ucapnya. “Kamu juga bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan setelah dewasa nanti.”“Ayo!” pinta sang ibu. “Cepat habiskan makanan kalian, setelah itu, pergilah istirahat, tidur!”Malam semakin beranjak naik dan sang rembulan semakin me
Si sulung muntah-muntah di atas dermaga dengan tubuh bayah kuyup.“Kau baik-baik saja, Nak?”Dia mengangguk sembari menatap sang ayah. “I-Ikannya,” ucapnya dengan napas terengah-engah. “A-Aku melepaskan ikannya, Ayah!”“Tidak apa-apa,” Arrumanda memeluk putranya dengan erat. “Tidak apa-apa. Kau jauh lebih berharga daripada seekor ikan, Sayang.”Si kecil datang dan mereka saling berpelukan.Arrumanda menatap pria asing yang barusan telah menyelamatkan putranya.“Terima kasih.”“Tidak, jangan dipikirkan,” jawab Hoaren dengan senyuman dan tubuh yang juga basah kuyup. “Aku harap putramu tidak akan trauma.”“Siapa namamu?”“Hmm, aku A Niu. Aku baru beberapa hari saja berada di negeri ini.”“Kau datang dari Tanah Tiongkok?”“Ya, begitulah. Orang bilang negeri di Laut Melayu sangat indah. Itu sebabnya aku datang untuk berpelesir.”“Ahh, begitu rupanya.”Untuk membalas kebaikan orang, Arrumanda membawa Hoaren yang menyamar sebagai A Niu ke rumahnya.Tentu saja, kehadiran Hoaren disambut baik