Share

Part 5

“Jadi, kamu janjiin dia buat menceraikanku?!” tanya Qila dengan tatapan berapi melihatku, setelah ia melirik isi pesan yang terpampang di layar handphone.

Kemudian ia membuang muka dan membisu seribu bahasa.

“Emm—akan kuselesaikan urusanku dengan Hana!” gagapku menjadi salah tingkah.

Gegas aku mengambil handpone di dekatnya, yang menjadi awal mula masalah baru.

Duh, Hana! Kenapa ngirim pesan seperti itu. Qila kan, jadi marah lagi. Repot jadinya kalau udah begini!

“Ya! Kamu memang harus selesaikan urusan kamu dengan perempuan itu, Mas! Kalau kamu tetap mau melihat kebahagiaan Kiana memiliki keluarga yang utuh!” ucapnya dengan dada yang naik turun, pertanda ia menahan emosinya yang hampir meledak lagi.

“Iya, Sayang. Kamu nggak perlu khawatir. Aku janji akan segera selesaikan hubungan aku dengan dia,” jawabku sembari menggenggam tangannya.

Meski, setelah itu dia hempaskan dan pergi ke kamar.

Sorenya kami kembali pulang ke rumah. Suasana hubunganku dengan Qila masih terasa dingin. Dia memaafkanku tapi, mungkin hatinya belum menerima.

“Malam ini aku mau tidur sama Kiana,” ujarnya berhenti di depanku beberapa detik, lalu kembali melangkah sambil menarik koper berisi baju yang separuhnya belum dipakai, karena mungkin sebelumnya ia pikir akan lama jauh dariku.

“Ya,” jawabku singkat, kemudian terpaksa menarik kedua ujung bibirku ke atas.

Aku memaklumi jika ia masih ingin berjarak denganku. Yang terpenting saat ini ia tak meminta cerai lagi.

“Huufft! Sampai kapan Qila begini?" gumamku sembari merebahkan diri di atas ranjang.

Nada dering panggilan di handphone-ku berbunyi lagi. Tertera nomor kontak berinisial MH di sana. Aku berlari kecil ke arah pintu dan mengeluarkan kepalaku, menoleh ke kanan dan ke kiri. Memastikan tak ada siapa-siapa di sekitar kamar, terutama Qila. Lalu jariku menyentuh layar benda pipih tersebut agar panggilan tersebut bisa terhubung dengan Hana.

“Hallo?” sapaku sambil menutup mulut dan handphone-ku dengan tangan.

“Hallo, Mas. Ketemu yuk! Aku kangen sama kamu,” suaranya sangat khas didengar.

Hana, wanita ini selalu bisa membuatku tersenyum dengan ucapan dan tingkahnya yang kadang manja. Buatku tak sadar bibir ini misem-misem sendiri.

“Kemarin kan udah ketemu, masa udah kangen lagi aja ...!”

“Iya, dong! ‘Pertempuran’ kita di hotel kemarin juga kan gagal, gara-gara istrimu datang. Lagian, memang kenapa, nggak boleh aku kangen sama calon suami aku sendiri?” Nada bicaranya semakin manja, dan membuat diri ini jadi bergairah.

Berbeda dengan Qila. Selepas pulang kerja, ia selalu sibuk mengurus Kiana. Kadang ia tertidur pulas karena kelelahan. Rutinitas kami yang berbeda waktu, kadang membuat kebersaman dengannya merenggang.

“Hehehe, kamu tuh, ya…! Aku masih suami orang, loh! Dan Yasha masih suami sah kamu.”

“Sebentar lagi juga aku akan gugat cerai dia, terus nikah sama kamu. Kamu, juga janji loh Mas, mau ceraikan istrimu buat aku!”

“Hemm … gimana, ya?”

“Ih Mas, kok gitu jawabnya? Pokoknya aku pengen ketemu sekarang juga!”

Sebenarnya aku tak ingin buat Hana kecewa jika dia tahu keputusanku gagal bercerai dengan Qila. Tapi, apa dia mau hidup denganku seandainya aku tak memiliki harta dan masa depan secerah sekarang bersama istriku?

“Hallo, Mas? Ya udah, aku nekat mau ke rumah kamu sekarang!” ancamnya setelah aku berhenti sejenak berbicara.

Duh! Bahaya juga kalau Hana ke sini.

“Oke! Besok kita ketemu. Nanti aku share lokasinya.”

“Nah, gitu dong, Sayang! See you ... muuachh!”

Percakapan kami berakhir, sampai detik ini pun aku belum bisa mengucap kata pisah pada Hana.

***

“Ibu berangkat duluan ya, Sayang!” Qila mengecup kening Kiana. Kemudian, punggung tanganku. Semarah apa pun dia, tetap selalu menjaga hormatnya padaku. Itulah, salah satu kelebihannya.

“Sayang, pulangnya mau aku jemput?” tanyaku sebelum ia menancapkan gas mobilnya.

“Nggak usah, Mas. Kayaknya aku pulang malam, ada meeting dengan klien dulu.”

“Ohh, ya udah. Hati-hati, Sayang!”

Aku membiarkan istriku pergi terlebih dahulu. Kemudian, aku siap mengantar Kiana ke sekolah, karena kebetulan jalan arah sekolahnya searah dengan kantorku.

“Ayo, sayang kita berangkat!”

Dengan girang Kiana naik dan duduk manis. Putriku itu persis seperti aku waktu kecil, energic, dan selalu ingin tahu. Sepanjang perjalanan pun ia bernyanyi dengan riang. Sejenak berpikir, aku tak bisa banyangkan jika hatinya hancur karena perpisahan kedua orang tuanya.

“Nah, udah sampai!” Aku turun dari mobil dan mengantar Kiana sampai depan pagar sekolah. Di sana beberapa guru sudah menyambutnya.

“Dadah, Ayah! Aku sayang ayah!” teriak putri kecilku seraya melambaikan tangan dengan wajah semringah. Aku pun membalas lambaian tangannya.

Sesampai di dalam mobil, lantas aku tak langsung melanjutkan perjalanan. Kurogoh handphone yang ada di dalam saku celana dan mengirim lokasi di mana aku bisa bertemu dengan Hana. Hotel biasa tempat aku bertemu, itu bukan jadi tempat favorit aku dan Hana lagi, karena kejadian waktu itu.

Qila pasti bisa tahu seandainya dia mencari lagi aku dengan Hana. Maka, kuputuskan ke tempat yang berbeda.

Kemudian kulanjutkan perjalanan.

Sampailah pada suatu hotel bernuansa alam yang estetik. Udara di sini pun lebih dingin, karena sudah masuk dataran tinggi. Tapi ternyata, Hana belum sampai. Lalu, aku menunggunya di lobby hotel karena aku ingin dia yang memilih kamarnya.

“Coba tebak siapa?” Seseorang menutup mataku dari belakang. Tanpa dijawab pun aku sudah yakin kalau itu Hana.

“Hahaha. Pake tebak-tebakkan! Siapa lagi yang aku tunggu kalau bukan kamu, Sayang!” aku mencubit ujung hidungnya saat Hana melepaskan tangan yang menutup mataku.

“Bisa aja, kamu!”

“Yuk kita booking, kamu mau kamar yang mana. Pilih aja!” Aku bangkit dari duduk, lalu merangkulnya menuju meja reseptionis.

Hana memilih kamar VVIP yang memiliki view keindahan luar biasa dan sangat exotic. Letaknya berada hampir di lantai paling atas. Tak masalah untukku, asal bersamanya dan buat dia bahagia.

“Ya ampun, di sini indah banget pemandangannya. Udaranya juga seger!” Hana mendekat ke jendela setelah masuk kamar.

“Pilihan siapa dulu …!” Aku melingkarkan tangan di pinggang kecilnya dari belakang.

“Bentar, Mas! Kamu liat itu, deh! Itu kayak mobil istri kamu.” Hana menunjuk ke bawah.

Sorot mataku mengikuti jarinya. Dugaan Hana sangat tipis, Qila tak mungkin tahu aku di sini.

“Yang punya mobil seperti Qila kan banyak. Udahlah, nggak mungkin dia ke sini!” kataku sembari menggendongnya ke ranjang.

“Aaa! Hahah!” Pekik Hana sambil berguling di tempat tidur.

“Kamu mau kan lanjutin ‘pertempuran’ kita yang tertunda kemarin, Mas?” Jari-jari lentiknya dimainkan di dadaku, merambat membuka kancing paling atas kemeja yang aku kenakan. Posisi dia sudah di atas tubuhku.

Sedang asik-asiknya, bel berbunyi. Seketika kami terkejut.

Siapa yang datang? Apakah itu Qila lagi?

Bersambung…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status