POV MIRZA
“Apa-apaan kamu ini, Mirza! Gimana seandainya Qila memintamu bercerai?!” Ibuku murka setelah aku menanyakan keberadaan istri dan anakku, Kiana. Kemudian beliau mengambil handphone dan berusaha menghubungi istriku. Aku pun melakukan hal yang sama setelah itu. Namun, hasilnya nihil. Rupanya Qila mengalihkan dugaanku untuk bisa menemuinya. Dia pasti sangat marah dan kecewa dengan apa yang terjadi di hotel antara aku dan Hana. Begitu juga Ibu, seusai aku menceritakan yang sebenarnya, dia nampak khawatir pada menantu dan cucunya itu. Tapi, sampai detik ini sejujurnya aku masih mencintai Hana. Dia cinta pertamaku. Namun sayang, hatinya terbuka saat aku sudah mengikrarkan janji untuk hidup bersama dengan Qila, wanita yang mendiang ayah pilihkan untukku. Aku tak bisa begitu saja melepas Hana. Meski kini, dia adalah seorang istri dari sahabatku, Yasha. Namun, aku yakin seperti apa yang dikatakannya padaku, bahwa dia hanya mencintaiku, bukan Yasha. Dan Qila … Dia akan tetap menjadi istriku selamanya karena itu amanah dari mendiang ayah. Sebisanya aku akan pertahankan mereka berdua. “Aku nggak akan biarin itu terjadi, Bu! Aku tetap akan pertahankan Qila jadi istri sahku!” ucapku terpaksa dengan nada yang harus selalu sopan padanya. Meski sebenarnya, ingin sekali aku menjawab dengan jawaban yang berbeda, tapi mungkin saja bisa menyulut emosi orang tua itu. “Ya, kamu memang nggak boleh biarin itu terjadi, karena adanya Qila berpengaruh besar pada warisan yang diberikan mendiang ayahmu pada kamu dan juga Ibu!” tegas beliau menoleh ke arahku. Ah! Lagi-lagi warisan. Jika bukan karna hal itu, aku ingin sekali mengakhiri rumah tanggaku dengannya. Hati ini tak bisa berbohong, Hanalah yang menggenggam hatiku. Cinta dan sayang aku pada Qila hanyalah sebatas amanah dari ayah. "Sayang, aku benar-benar sudah ingin mempublikasikan hubungan kita pada semuanya. Aku pengen semua orang tahu bahwa yang aku cinta itu kamu, bukan Yasha. Ayolah! Coba kamu beranikan diri buat akuin semua ini, dengan begitu kita akan menjadi keluarga yang sempurna." Kata-kata Hana mendadak terngiang di telingaku. Saat itu juga, nyali dalam diri mulai membara. “Bu, bisakah kita melepas keinginan kita itu?” tanyaku dengan mata menerawang. Spontan Ibu menoleh. “Apa maksud kamu?” Aku terdiam beberapa detik, lalu menarik napas, mempersiapkan reaksi Ibu saat aku mengutarakan isi hati sebenarnya. “Sebenarnya aku ingin sudahi saja pernikahanku dengan Qila. Aku tidak mencintainya. Ibu 'kan tahu, pernikahanku dengan dia dimula dari sebuah perjodohan. Dia bukan pilihanku sesungguhnya.” Sesekali kulirik kearah beliau. Tiba-tiba mata Ibu membesar. Aura yang kurasa, seakan singa yang siap memakan mangsanya. “Apa kamu udah hilang akal, Mirza?! Kamu tahu kan, apa akibatnya kalau kamu menceraikan Qila? Bahkan Ibu pun pasti kena dampaknya!” Kobaran api terasa menyembur wajah. Belum sampai kujelaskan alasannya, Ibu sudah menolak mentah-mentah keinginanku. Qila benar-benar beruntung di posisi ini. Saat ayah masih hidup, dia sangat diratukan. Wajar, ayah tidak punya anak perempuan. Aku dan Adikku, Kenzi adalah dua putra laki-lakinya. Maka dari itu, saat aku setuju menikahi Qila, wanita pilihannya untukku. Beliau pun amat bahagia. Apalagi, saat Kiana lahir ke dunia ini, kebahagiaan ayah semakin menjadi. Saat itulah ia menyusun sebuah surat wasiat untuk kami. "Bilamana Saudara Mirza suatu saat bercerai dengan Saudari Syaqila, maka delapan puluh persen hak warisan yang akan jatuh pada tangan Saudara Mirza dan Ibu, Miranda, selaku istri dari Bapak Zainal, akan dialihkan kepada Saudari Qila dan Kiana." Teringat ucapan sang Notaris yang menangani seluruh aset ayah. Entah, mengapa beliau membuat persyaratan seperti itu untuk kami sebelum wafat. Persyaratan yang membuat posisi hatiku sangat tidak nyaman. Aku hidup bersama Qila, tetapi hatiku untuk Hana. Setiap saat aku harus bersikap manis demi menjaga hati dan niatnya yang sewaktu-waktu ingin berpisah denganku. “Tapi, Bu, aku—!” “Sudahlah, Mirza. Kita tak ada pilihan. Mulai sekarang, berusahalah mencintai dia atau kamu akan kehilangan masa depan cerahmu. Lebih baik sekarang kamu cari dia dan Kiana, bujuk mereka untuk pulang, dan jangan berulah lagi!” Ibu berbalik badan, lalu pergi meninggalkanku. Ia sama sekali tak peduli dengan rencana dan perasaanku pada Hana. Aku melemparkan tubuh di sofa usang yang ada di ruang keluarga. Di sini terlalu banyak kenangan bersama ayah, termasuk saat ayah menginginkanku menikahi Qila. Tergambar jelas, betapa patuhnya aku sebagai anak sulung yang ingin menunjukan baktiku padanya. Namun, pikiran dan rindu di hati ini tiba-tiba memudar saat mengetahui satu persyaratan itu. Persyaratan yang sekarang ingin sekali aku tentang. “Aahh! Kenapa jadi begini!” gerutuku sembari mengacak-acak rambut yang memang sudah berantakan. “Harus aku cari ke mana mereka?” Apa yang dikatakan Ibu ada benarnya. Aku nggak boleh hancurin masa depanku, dan untuk saat ini akan kuselesaikan satu per satu masalah, agar keadaan kembali seperti semula. Jam tangan Kiana! Ya, aku memasang alat pelacak pada jam tangan yang kuberi untuk putriku. Dari situ aku bisa tahu di mana mereka. Semoga saja Kiana masih memakainya. Ku bergegas mengambil handphone. Menekan sebuah aplikasi pelacak yang ada di jam tangan Kiana. Sebenarnya tujuanku memberi jam tangan canggih pada putriku itu hanya untuk menjadi alat pendukung pengawasan keamanan untuk Kiana. “Bu, aku sudah tahu di mana mereka. Akan kubawa mereka pulang!” pamitku pada Ibu sembari mengecup punggung tangannya. Aku pun bersegera menuju lokasi, tak menyangka Qila bisa bawa Kiana sejauh ini, tempat yang sebelumnya belum pernah kukunjungi. Tok tok tok! “Ya, Tunggu!” Terdengar sahutan dari dalam sesudah beberapa kali aku mengetuk pintu. Qila pasti tak menyangka aku bisa tahu keberadaanya. Qila tercengang saat pintu hampir ia buka lebar. **** “Lebih baik kita akhiri saja pernikahan ini, Mas!” Kata-kata itu akhirnya kudengar juga. Semestinya aku senang, karena itu yang aku harap selama ini. Namun, kilasan persyaratan warisan menahan kerongkonganku untuk bisa berkata ‘Ya’. Tak akan membiarkan itu terjadi, dengan gigih aku berusaha menyakinkan Qila, bahwa hanya dia yang ada di hatiku. Meski, sebenarnya itu dusta. Akan kulakukan cara apa pun agar dia tetap menjadi istriku. “Qila, maafkan aku. Kamu mau, kan memulai semuanya dari awal?” Dia terdiam, untuk beberapa saat. Sesekali ia menatap putri kami. Lalu, aku menyaksikan tarikan napas yang berat dari dadanya. “Ya, Mas. Aku akan kasih kesempatan kamu lagi, demi Kiana.” “Makasih ya, Sayang,” jawabku lega. Selang beberapa detik, handphone-ku yang kebetulan ditaruh Kiana di dekatnya berbunyi nada notifikasi pesan WA, dan isi pesannya terpampang di layar. [MH: “Mas sayang, gimana? Apa kamu sudah menceraikan istrimu?] Bersambung….“Jadi, kamu janjiin dia buat menceraikanku?!” tanya Qila dengan tatapan berapi melihatku, setelah ia melirik isi pesan yang terpampang di layar handphone. Kemudian ia membuang muka dan membisu seribu bahasa.“Emm—akan kuselesaikan urusanku dengan Hana!” gagapku menjadi salah tingkah. Gegas aku mengambil handpone di dekatnya, yang menjadi awal mula masalah baru.Duh, Hana! Kenapa ngirim pesan seperti itu. Qila kan, jadi marah lagi. Repot jadinya kalau udah begini!“Ya! Kamu memang harus selesaikan urusan kamu dengan perempuan itu, Mas! Kalau kamu tetap mau melihat kebahagiaan Kiana memiliki keluarga yang utuh!” ucapnya dengan dada yang naik turun, pertanda ia menahan emosinya yang hampir meledak lagi. “Iya, Sayang. Kamu nggak perlu khawatir. Aku janji akan segera selesaikan hubungan aku dengan dia,” jawabku sembari menggenggam tangannya. Meski, setelah itu dia hempaskan dan pergi ke kamar.Sorenya kami kembali pulang ke rumah. Suasana hubunganku dengan Qila masih terasa dingin. Dia
“Kamu yakin Qila nggak tahu kita di sini, Mas?” Hana bersicepat menarik selimut tebal untuk menutupi tubuhnya. Jantungku dan dia mungkin berdegup kencang secara bersamaan setelah mendengar ketukan pintu yang mendadak berbunyi tersebut. Aku dan Hana saling menatap panik. Sesaat aku berfikir, kejadian kemarin jangan sampai keulang lagi, sekalipun itu Qila, dia nggak boleh tahu Hana di sini.Kemudian, aku meraih baju dan celanaku yang berserakan di lantai dalam satu ayunan tangan.“Biar aku yang buka pintu! Sayang, cepat kamu sembunyi di kamar mandi!” “I—iya, Mas!” Hana berdiri lalu ke ruangan berair itu dengan tergesa-gesa. Aku menganggukan kepalaku.“Ya, tunggu sebentar!” Suara ketukan itu berhenti seusai aku menyahutnya. Perlahan kubuka handle pintu, dan ternyata…“Maaf, Pak. Apa ini milik Bapak? Tadi tertinggal di lobbi bawah,” ujar seorang waiter sambil memperlihatkan sebuah kunci mobil di tangannya.Aku melepas helaan napas yang tertahan. Dada ini serasa meluas lagi setelah h
Pria di depanku itu menatap lekat, membuat aku sedikit gugup dan kikuk. “Kenapa, lo? Kayak liat hantu.” Baru saja kulepas napas yang tertahan. Aku kira dia akan menghajar atau menghabisiku setelah apa yang baru saja aku lakukan pada istrinya. Tapi, dari ekspresinya dia terlihat biasa saja. Tak ada curiga atau apa pun. Itu artinya dia tak mengetahui apa-apa. “Emm, nggak! Kok, lo ada di sini?” tanyaku keceplosan. Terkesan konyol, padahal dari dulu juga tahu Yasha tinggal gak jauh dari daerah ini. “Maksudnya?” ia menatap bingung. “Mak—maksud gue, sore-sore gini lo mau ngapain di sini?” Menutupi gugupku, dengan merubah pertanyaan. “Ohh, ini gue ada pertemuan dengan klien di gedung sebelah,” jawabnya, sembari menoleh pada gedung sebelah hotel dimana aku dan Hana tadi bercinta. Aku menganggukan kepala. “O, ya, mumpung ketemu sekalian gue mau ngundang lo sama Qila ke acara anniversary gue dengan Hana, akhir pekan nanti. Ya, suprize kecil-kecilan aja, sih,” sambungnya. Ann
POV QILA (SYAQILA)“Tidur ya, sayang. Mimpi indah!” Kukecup kening Kiana yang sudah tertidur pulas setelah aku mendongengan sebuah cerita kesukaannya.Lalu, kulanjutkan untuk meyiapkan pakaian Mas Mirza sebelum tidur, kebetulan koper baju belum kubongkar. Koper itu masih ada di dekat pintu utama, dan aku harus mengambilnya.Namun, sebuah percakapan membuat langkahku berhenti.“Bu, ada yang mau Mirza bicarakan.”Suara itu sangat akrab di telingaku, membuat penasaran. Menaruh posisi di belakang tembok, aku memasang telingaku lebih dekat.“Aku ingin menceraikan Qila, Bu!” Serasa darah dalam tubuh ini berhenti dan membeku, apa yang baru saja kudengar dari Mas Mirza? Dia mau bercerai denganku? Dadaku seakan ditimpa benda berat, sakit dan sesak. Kenapa dia meminta maaf kemarin, jika sekarang dia justru ingin meminta ijin bercerai denganku. Apa maafku tak berarti untuknya? Apa dia melakukan ini hanya untuk Hana? Tega sekali.“Apa?! Mirza, apa Ibu nggak salah dengar?” tanya Ibu dengan nada
Menyapu pandanganku ke seluruh sudut ruangan di dalam, saat acara berlangsung. Tadinya aku hanya mengira kalau suamiku pergi sebentar ke toilet. Tapi, hampir dua jam aku tunggu dan dia tak kembali. Khawatir terjadi sesuatu dengannya, aku merogoh handphone di dalam tas kecilku, dengan lincah jari-jari ini mencari nama bertuliskan ‘Suamiku’ dan menekan tanda sambungan telepon ke pria yang tadi memintaku untuk bersikap ramah pada rivalku sendiri. Tak ada jawaban. Tak mungkin dia hanya ke toilet berjam-jam. Aku memutuskan untuk mempercepat jalanku, meninggalkan hall. Lalu, berjalan lagi menelusuri sekeliling gedung, kemana suamiku sebenarnya? Apa dia pulang duluan? Tak terasa pejalananku sampai di sebuah parkiran mobil. Di ujung sana masih terlihat mobil suamiku. Menghela nafas, dugaanku salah. Suamiku masih di sini. Mencoba menghampiri karna penasaran, apa mungkin dia ada di mobil? Sebelum sampai, aku melewati beberapa mobil, dan fokusku terampas sebuah mobil hitam yang cukup
“Mas, kamu rupanya!”Mendadak darahku naik, emosi di dada ini bergejolak. Selain Hana, tangaku yang masih gemetar ini ingin sekali menampar dan memukul pria yang masih menjadi suamiku itu. Tapi, keadaan dan situasi memaksa aku menahannya. “Dari mana?” tanyaku berlagak tak tahu apa-apa.“Aku dari toilet, mules banget. Lama, ya? Maaf ya, sayang!” jawabnya sambil menggenggam tanganku. Bersegera kulepas. Entah kenapa aku jadi merasa jijik padanya. Mas Mirza sama sekali tak merasa aku mengetahui sesuatu.“Bisakah kita pulang sekarang?” tanyaku sedikit memaksa.“Loh, kenapa?” tanya Mas Mirza balik.Ingin sekali mulutku menjawab bahwa aku ingin pulang karena muak melihat dia ‘bermain panas’ dengan Hana di mobil tadi. Tapi, itu tak kulakukan. Aku masih memandang acara kebahagiaan ini milik Yasha.“Aku sakit!” jawabku singkat.Ya, sakit hati tepatnya. Kupalingkan pandangan, tak ingin menatap suamiku sendiri. Aku masih menjaga hatiku agar tidak terlihat hancur di depannya. Terlebih di depan
“Hana! Itu kan alasan kamu nggak pernah bisa mencintaiku selama ini, Mas!Selama ini aku fikir kamu memang tulus menikah denganku, menyayangi aku dan Kiana, putri kita. Tapi, inilah kenyataannya kamu nggak pernah bisa melepas Hana! Apa kamu sadar dia siapa, Hah!Hana itu istri Yasha, sahabat kamu yang sudah hampir seperti saudara kamu sendiri. Bahkan mungkin dia menganggap kamu lebih dari itu. Tapi, kamu justru tega menghancurkan bahtera pernikahan mereka dengan merusak istrinya!”Aku meluapkan emosi yang terpendam selama ini. Beban hati yang sedari lama menyesakkan dadaku akhirnya lepas juga. Tak ada alasan lagi buat mempertahankan rumah tangga ini. Meski berat dan sakit, aku harus belajar merelakan suamiku yang ternyata tak pernah tulus cinta padaku.“Omong kosong apa ini, Qila? ” Mas Mirza membalikkan badan. Ia seakan menepis kenyataan yang baru saja aku lontarkan.“Ini bukan omong kosong. Ini adalah kenyataannya kan, Mas! Kamu masih berhubungan dengan Hana, bahkan sampai detik
“Ka-- kamu Yasha. Maaf, aku fikir…!”Aku gugup, saat membuka pintu ternyata Yashalah yang mengetuknya. Emosiku terjun seratus delapan puluh derajat. Tak ingin terlihat kacau di depannya. Biar bagaiman pun, dia tak bersalah dalam urusan istrinya yang berselingkuh dengan suamiku.“Mirza? Dia sudah berangkat beberapa menit yang lalu,” ujarnya.“O iya, lantas, kamu mau cari siapa lagi?” tanyaku canggung.Setelah menikah, aku jarang sekali bicara dengan pria, sekali pun soal pekerjaan. Itu kulakukan demi menjaga martabat aku sebagai istri Mas Mirza. Namun, tak disangka suamiku sendiri yang merusaknya.Kedatangan Yasha membuatku bingung apa yang harus aku lakukan.“Tadinya aku mau berbincang sebentar dengannya sambil menjengukmu. Tapi, berhubung dia sangat terburu-buru, jadi dia hanya mengijinkanku menjengukmu saja. Bagaimana keadaanmu?”Mas Mirza mengijinkan Yasha menjenguku tanpa adanya dia di sini? Keterlaluan! Segitu tak berharganya aku, hingga pria lain pun dia ijinkan menemuiku.“Ini,