Share

Part 4

POV MIRZA

“Apa-apaan kamu ini, Mirza! Gimana seandainya Qila memintamu bercerai?!” Ibuku murka setelah aku menanyakan keberadaan istri dan anakku, Kiana.

Kemudian beliau mengambil handphone dan berusaha menghubungi istriku. Aku pun melakukan hal yang sama setelah itu. Namun, hasilnya nihil.

Rupanya Qila mengalihkan dugaanku untuk bisa menemuinya. Dia pasti sangat marah dan kecewa dengan apa yang terjadi di hotel antara aku dan Hana. Begitu juga Ibu, seusai aku menceritakan yang sebenarnya, dia nampak khawatir pada menantu dan cucunya itu.

Tapi, sampai detik ini sejujurnya aku masih mencintai Hana. Dia cinta pertamaku. Namun sayang, hatinya terbuka saat aku sudah mengikrarkan janji untuk hidup bersama dengan Qila, wanita yang mendiang ayah pilihkan untukku.

Aku tak bisa begitu saja melepas Hana. Meski kini, dia adalah seorang istri dari sahabatku, Yasha. Namun, aku yakin seperti apa yang dikatakannya padaku, bahwa dia hanya mencintaiku, bukan Yasha.

Dan Qila …

Dia akan tetap menjadi istriku selamanya karena itu amanah dari mendiang ayah. Sebisanya aku akan pertahankan mereka berdua.

“Aku nggak akan biarin itu terjadi, Bu! Aku tetap akan pertahankan Qila jadi istri sahku!” ucapku terpaksa dengan nada yang harus selalu sopan padanya. Meski sebenarnya, ingin sekali aku menjawab dengan jawaban yang berbeda, tapi mungkin saja bisa menyulut emosi orang tua itu.

“Ya, kamu memang nggak boleh biarin itu terjadi, karena adanya Qila berpengaruh besar pada warisan yang diberikan mendiang ayahmu pada kamu dan juga Ibu!” tegas beliau menoleh ke arahku.

Ah! Lagi-lagi warisan. Jika bukan karna hal itu, aku ingin sekali mengakhiri rumah tanggaku dengannya. Hati ini tak bisa berbohong, Hanalah yang menggenggam hatiku. Cinta dan sayang aku pada Qila hanyalah sebatas amanah dari ayah.

"Sayang, aku benar-benar sudah ingin mempublikasikan hubungan kita pada semuanya. Aku pengen semua orang tahu bahwa yang aku cinta itu kamu, bukan Yasha. Ayolah! Coba kamu beranikan diri buat akuin semua ini, dengan begitu kita akan menjadi keluarga yang sempurna."

Kata-kata Hana mendadak terngiang di telingaku. Saat itu juga, nyali dalam diri mulai membara.

“Bu, bisakah kita melepas keinginan kita itu?” tanyaku dengan mata menerawang.

Spontan Ibu menoleh. “Apa maksud kamu?”

Aku terdiam beberapa detik, lalu menarik napas, mempersiapkan reaksi Ibu saat aku mengutarakan isi hati sebenarnya.

“Sebenarnya aku ingin sudahi saja pernikahanku dengan Qila. Aku tidak mencintainya. Ibu 'kan tahu, pernikahanku dengan dia dimula dari sebuah perjodohan. Dia bukan pilihanku sesungguhnya.”

Sesekali kulirik kearah beliau.

Tiba-tiba mata Ibu membesar. Aura yang kurasa, seakan singa yang siap memakan mangsanya.

“Apa kamu udah hilang akal, Mirza?! Kamu tahu kan, apa akibatnya kalau kamu menceraikan Qila? Bahkan Ibu pun pasti kena dampaknya!”

Kobaran api terasa menyembur wajah. Belum sampai kujelaskan alasannya, Ibu sudah menolak mentah-mentah keinginanku. Qila benar-benar beruntung di posisi ini. Saat ayah masih hidup, dia sangat diratukan.

Wajar, ayah tidak punya anak perempuan. Aku dan Adikku, Kenzi adalah dua putra laki-lakinya. Maka dari itu, saat aku setuju menikahi Qila, wanita pilihannya untukku. Beliau pun amat bahagia.

Apalagi, saat Kiana lahir ke dunia ini, kebahagiaan ayah semakin menjadi. Saat itulah ia menyusun sebuah surat wasiat untuk kami.

"Bilamana Saudara Mirza suatu saat bercerai dengan Saudari Syaqila, maka delapan puluh persen hak warisan yang akan jatuh pada tangan Saudara Mirza dan Ibu, Miranda, selaku istri dari Bapak Zainal, akan dialihkan kepada Saudari Qila dan Kiana."

Teringat ucapan sang Notaris yang menangani seluruh aset ayah. Entah, mengapa beliau membuat persyaratan seperti itu untuk kami sebelum wafat. Persyaratan yang membuat posisi hatiku sangat tidak nyaman.

Aku hidup bersama Qila, tetapi hatiku untuk Hana. Setiap saat aku harus bersikap manis demi menjaga hati dan niatnya yang sewaktu-waktu ingin berpisah denganku.

“Tapi, Bu, aku—!”

“Sudahlah, Mirza. Kita tak ada pilihan. Mulai sekarang, berusahalah mencintai dia atau kamu akan kehilangan masa depan cerahmu. Lebih baik sekarang kamu cari dia dan Kiana, bujuk mereka untuk pulang, dan jangan berulah lagi!”

Ibu berbalik badan, lalu pergi meninggalkanku. Ia sama sekali tak peduli dengan rencana dan perasaanku pada Hana.

Aku melemparkan tubuh di sofa usang yang ada di ruang keluarga. Di sini terlalu banyak kenangan bersama ayah, termasuk saat ayah menginginkanku menikahi Qila.

Tergambar jelas, betapa patuhnya aku sebagai anak sulung yang ingin menunjukan baktiku padanya. Namun, pikiran dan rindu di hati ini tiba-tiba memudar saat mengetahui satu persyaratan itu. Persyaratan yang sekarang ingin sekali aku tentang.

“Aahh! Kenapa jadi begini!” gerutuku sembari mengacak-acak rambut yang memang sudah berantakan.

“Harus aku cari ke mana mereka?”

Apa yang dikatakan Ibu ada benarnya. Aku nggak boleh hancurin masa depanku, dan untuk saat ini akan kuselesaikan satu per satu masalah, agar keadaan kembali seperti semula.

Jam tangan Kiana! Ya, aku memasang alat pelacak pada jam tangan yang kuberi untuk putriku. Dari situ aku bisa tahu di mana mereka. Semoga saja Kiana masih memakainya.

Ku bergegas mengambil handphone. Menekan sebuah aplikasi pelacak yang ada di jam tangan Kiana. Sebenarnya tujuanku memberi jam tangan canggih pada putriku itu hanya untuk menjadi alat pendukung pengawasan keamanan untuk Kiana.

“Bu, aku sudah tahu di mana mereka. Akan kubawa mereka pulang!” pamitku pada Ibu sembari mengecup punggung tangannya.

Aku pun bersegera menuju lokasi, tak menyangka Qila bisa bawa Kiana sejauh ini, tempat yang sebelumnya belum pernah kukunjungi.

Tok tok tok!

“Ya, Tunggu!”

Terdengar sahutan dari dalam sesudah beberapa kali aku mengetuk pintu. Qila pasti tak menyangka aku bisa tahu keberadaanya.

Qila tercengang saat pintu hampir ia buka lebar.

****

“Lebih baik kita akhiri saja pernikahan ini, Mas!”

Kata-kata itu akhirnya kudengar juga. Semestinya aku senang, karena itu yang aku harap selama ini. Namun, kilasan persyaratan warisan menahan kerongkonganku untuk bisa berkata ‘Ya’.

Tak akan membiarkan itu terjadi, dengan gigih aku berusaha menyakinkan Qila, bahwa hanya dia yang ada di hatiku. Meski, sebenarnya itu dusta. Akan kulakukan cara apa pun agar dia tetap menjadi istriku.

“Qila, maafkan aku. Kamu mau, kan memulai semuanya dari awal?”

Dia terdiam, untuk beberapa saat. Sesekali ia menatap putri kami. Lalu, aku menyaksikan tarikan napas yang berat dari dadanya.

“Ya, Mas. Aku akan kasih kesempatan kamu lagi, demi Kiana.”

“Makasih ya, Sayang,” jawabku lega.

Selang beberapa detik, handphone-ku yang kebetulan ditaruh Kiana di dekatnya berbunyi nada notifikasi pesan WA, dan isi pesannya terpampang di layar.

[MH: “Mas sayang, gimana? Apa kamu sudah menceraikan istrimu?]

Bersambung….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status