Share

Part 3

Mas Mirza?

Dari mana dia tahu aku ada di sini? Tak ada satu orang pun sebelumnya yang tahu tempat ini. bahkan Kiana pun baru pertama kali aku bawa ke sini.

“Qila, tunggu! Buka pintunya!”

Mas Mirza menahan pintu dengan tangannya agar tidak tertutup saat aku dorong paksa, dan ia berhasil membukanya.

“Pergi kamu, Mas! Aku nggak mau kamu di sini! Pengkhianat!” usirku dengan nada tinggi.

“Qila, tolong dengerin penjelasan aku dulu!”

“Apa?! Apa lagi yang mau kamu jelasin! Udah cukup jelas kejadian semalam buat aku!”

Aku mengoceh sembari masuk menghampiri Kiana.

Saat ini, hal yang paling aku takutkan adalah Kiana dibawa pergi oleh Mas Mirza. Putri semata wayangku itu bagai napas untukku. Tak akan pernah bisa aku jauh darinya.

“Aku sama Hana nggak ada apa-apa. Aku nggak pernah serius sama dia! Cuma kamu Qila yang aku cinta!” ungkapnya sembari menahan tanganku.

Genggamannya cukup kencang, sampai-sampai tenagaku tak mampu melepaskan tangan darinya. Pandai sekali ia membual, mungkin kata-kata seperti ini juga yang disampaikannya pada Hana.

“Ayah …!”

Kiana menoleh dan langsung menghampiri Mas Mirza.

Lelaki itu menyambut putri kecilnya, kemudian menggendong dan mengecup kening serta pipi tembamnya itu.

Aku tak mungkin meneruskan perdebatan dengan Mas Mirza di depan Kiana. Kesehatan mentalnya benar-benar aku jaga, apalagi hatinya.

Kebahagiaan Kiana adalah hal utama dalam hidup ini.

“Ayah, jam tangan yang Ayah kasih bagus banget, bisa nyala-nyala. Aku suka! Makasih ya, yah!” seru Kiana sambil memamerkan jam tangan barunya.

Terlalu sakitnya hati ini, aku tak sadar kalau Kiana pakai jam tangan dan tak kulepas dari semalam.

“Iya, Sayang. Kiana pakai terus ya jam tangannya di mana pun Kiana berada,” jawab Mas Mirza, sambil sesekali menoleh padaku.

Gelagatnya agak aneh. Tapi, apa yang harus aku curigai? Itu hanya obrolan antara ayah dan anak. Kemudian Mas Mirza mengajak bermain Kiana sebentar. Kulihat beberapa mainan digital ia ajarkan lewat handphonenya. Hingga gadis kecil kami asik dan hanyut dalam permainan itu.

Padahal aku sering mengingatkan agar jangan terlalu sering memberi mainan digital pada anak. Tapi, Mas Mirza melakukannya lagi sebagai jalan ninja agar Kiana tak rewel.

Meski begitu, tawa riang Kiana menentramkan hatiku yang begitu risau. Pemandangan kebahagiaan antara ayah dan anak itu membuat keputusanku goyah untuk berpisah dengannya.

Aku berjalan menuju dapur belakang, saat Mas Mirza menoleh lagi padaku yang sedang memperhatikannya dengan Kiana. Di sana ada teras kecil yang cukup tersembunyi. Tak lama dia menyusul dan berusaha duduk sedekat mungkin di sampingku.

“Maafkan aku,” ucapnya lembut.

Aku membuang muka dan diam seribu bahasa. Bayangan kejadian kemarin di hotel kembali terlintas. Rasa sakit pun terasa meremas hati lagi.

Indera bernama mata ini sangat perih, mungkin warnanya sudah memerah. Tapi, sebisa mungkin kutahan agar airnya tak tumpah di depan dia.

“Tolong, Sayang. Jangan seperti ini. Aku tahu, aku salah.

Tapi, kamu harus tahu juga, aku nggak pernah serius sama Hana. Cuma kamu dan Kiana duniaku, Qila.” Mas Mirza meraih tanganku untuk digenggam.

“Omong kosong dengan semua alasan kamu, Mas!”

Aku menghempas genggamannya seraya bangkit dari duduk.

“Aku tahu, selama ini kamu juga udah sering ketemu Hana. Kenapa? Kamu masih cinta sama dia?!” nadaku meninggi untuk mengeluarkan satu per satu keganjalan dalam hati agar perlahan uneg-uneg terkikis.

Dia tak menjawab. Entah karena tak ingin memperpanjang masalah atau ia membenarkan pernyataan yang aku tanyakan? Yang jelas, sikapnya menambah hancur hati ini.

Hening sesaat. Mungkin ini saatnya aku sampaikan keinginanku sebenarnya. Aku pun menghela napas dalam. Kupaksakan bibir yang bergetar ini untuk bergerak.

“Lebih baik kita akhiri saja pernikahan ini, Mas!”

Air bening di mata yang tadi terbendung sudah tak tertahan lagi, akhirnya keluar bersamaan dengan kata-kata yang tadinya tertahan di tenggorokan.

“Apa?! Maksud kamu bercerai?!” Spontan dia berdiri dan berada di belakangku.

Aku diam.

“Nggak, Qila! Aku nggak akan biarin itu terjadi!” sambungnya.

“Haha! Kenapa? Apa kamu takut kehilangan semua warisanmu, Mas? Sudahlah. Cukup! Kita hentikan ini! Dengan begitu, kamu nggak perlu bohongin perasaan kamu sendiri dan kamu bisa temuin Hana sesuka hati kamu. Pernikahan kita ini hanya perjodohan!”

Aku menyadarkannya pada sebuah kenyataan yang terjadi bahwa inilah hasil dari sebuah perjodohan. Menyatunya dua insan yang sebelumnya tak ada rasa sedikit pun, dan mungkin menolak dalam hati.

Namun, sejujurnya untukku, Kiana dan Mas Mirza adalah anugerah yang seharusnya aku jaga dan dipertahankan keberadaan mereka. Tak pernah aku merasa terpaksa dari awal pun, untuk membangun bahtera rumah tangga dengannya.

Laki-laki berkulit putih itu adalah pilihan terbaik mendiang ayahku yang mulanya aku anggap sebagai imam dan panutan kebaikan dalam hidup.

Akan tetapi, bila ingat kenyataan kejadian kemarin, maka cukuplah aku tahu bahwa dia tak pernah ada rasa cinta untukku.

Mas Mirza membeku menatapku. Mungkin ia tak pernah menyangka aku akan mengucapkan kata-kata yang tidak boleh diucapkan antara suami dan istri dalam rumah tangga.

“Berhenti, Qila. Apa sadar apa yang kamu ucapkan? Bagaimana dengan Kiana? Apa kamu tega menjauhkan aku dari dia?”

Pria yang masih berstatus suamiku itu seakan mengeluarkan senjata yang bisa menjinakkan hatiku lagi.

Dia menyebut nama putri kami. Sosok yang bisa melebur kegundahan di hati. Kini amarah dan mengalah bertarung dalam jiwa. Apakah aku harus meneruskan keinginanku untuk bercerai ataukah mengalah untuk kebahagiaan Kiana?

“Lalu, apa kamu juga sadar dengan apa yang kamu perbuat, Mas? Hah!” hardikku tepat di depan wajahnya.

Aku tersulut emosi lagi, saat mengingat dia bersama Hana.

“Apa kamu peduli dengan perasaan aku dan Kiana? Dengan rumah tangga kita?! Apa kurangnya aku sama kamu, Mas!” lanjutku.

“Kamu nggak pernah kurang apa pun, Qila. Aku yang salah. Maafkan aku, Sayang. Aku khilaf …!” jawabnya penuh penyesalan.

Kata maaf yang terlontar tak semudah itu meluluhkan hatiku lagi. Beberapa kali sebelumnya mungkin aku bisa memaafkan, karena belum ada bukti yang kuat atas tuduhanku. Tapi sekarang, mata kepalaku sendirilah yang menjadi saksi kebusukan mereka.

“Ayah, Ibu. Aku lapar…!” Kiana tiba-tiba muncul memegang perutnya.

Bergegas aku hapus sisa air mata yang ada di pipi. Bibir kami memberi senyum manis untuknya, meski kenyataan begitu pahit.

“Oh, kamu lapar ya, Sayang. Ayo, Ibu buatkan makanan!” sahutku sambil menggandeng Kiana berbalik arah.

Sebenarnya ini adalah kesempatanku menghindari Mas Mirza. Lalu, kubuatkan makanan untuk Kiana.

Saat ingin kusuapi, bocah cantik itu sedang asik bermain dengan ayahnya.

Kami pun menemani Kiana pagi itu, selayaknya keluarga bahagia. Hingga pada suapan terakhir di depan Kiana Mas Mirza berkata,

“Qila, maafkan aku. Kamu mau, kan memulai semuanya dari awal?”

Bersambung….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status