POV QILA (SYAQILA)“Tidur ya, sayang. Mimpi indah!” Kukecup kening Kiana yang sudah tertidur pulas setelah aku mendongengan sebuah cerita kesukaannya.Lalu, kulanjutkan untuk meyiapkan pakaian Mas Mirza sebelum tidur, kebetulan koper baju belum kubongkar. Koper itu masih ada di dekat pintu utama, dan aku harus mengambilnya.Namun, sebuah percakapan membuat langkahku berhenti.“Bu, ada yang mau Mirza bicarakan.”Suara itu sangat akrab di telingaku, membuat penasaran. Menaruh posisi di belakang tembok, aku memasang telingaku lebih dekat.“Aku ingin menceraikan Qila, Bu!” Serasa darah dalam tubuh ini berhenti dan membeku, apa yang baru saja kudengar dari Mas Mirza? Dia mau bercerai denganku? Dadaku seakan ditimpa benda berat, sakit dan sesak. Kenapa dia meminta maaf kemarin, jika sekarang dia justru ingin meminta ijin bercerai denganku. Apa maafku tak berarti untuknya? Apa dia melakukan ini hanya untuk Hana? Tega sekali.“Apa?! Mirza, apa Ibu nggak salah dengar?” tanya Ibu dengan nada
Menyapu pandanganku ke seluruh sudut ruangan di dalam, saat acara berlangsung. Tadinya aku hanya mengira kalau suamiku pergi sebentar ke toilet. Tapi, hampir dua jam aku tunggu dan dia tak kembali. Khawatir terjadi sesuatu dengannya, aku merogoh handphone di dalam tas kecilku, dengan lincah jari-jari ini mencari nama bertuliskan ‘Suamiku’ dan menekan tanda sambungan telepon ke pria yang tadi memintaku untuk bersikap ramah pada rivalku sendiri. Tak ada jawaban. Tak mungkin dia hanya ke toilet berjam-jam. Aku memutuskan untuk mempercepat jalanku, meninggalkan hall. Lalu, berjalan lagi menelusuri sekeliling gedung, kemana suamiku sebenarnya? Apa dia pulang duluan? Tak terasa pejalananku sampai di sebuah parkiran mobil. Di ujung sana masih terlihat mobil suamiku. Menghela nafas, dugaanku salah. Suamiku masih di sini. Mencoba menghampiri karna penasaran, apa mungkin dia ada di mobil? Sebelum sampai, aku melewati beberapa mobil, dan fokusku terampas sebuah mobil hitam yang cukup
“Mas, kamu rupanya!”Mendadak darahku naik, emosi di dada ini bergejolak. Selain Hana, tangaku yang masih gemetar ini ingin sekali menampar dan memukul pria yang masih menjadi suamiku itu. Tapi, keadaan dan situasi memaksa aku menahannya. “Dari mana?” tanyaku berlagak tak tahu apa-apa.“Aku dari toilet, mules banget. Lama, ya? Maaf ya, sayang!” jawabnya sambil menggenggam tanganku. Bersegera kulepas. Entah kenapa aku jadi merasa jijik padanya. Mas Mirza sama sekali tak merasa aku mengetahui sesuatu.“Bisakah kita pulang sekarang?” tanyaku sedikit memaksa.“Loh, kenapa?” tanya Mas Mirza balik.Ingin sekali mulutku menjawab bahwa aku ingin pulang karena muak melihat dia ‘bermain panas’ dengan Hana di mobil tadi. Tapi, itu tak kulakukan. Aku masih memandang acara kebahagiaan ini milik Yasha.“Aku sakit!” jawabku singkat.Ya, sakit hati tepatnya. Kupalingkan pandangan, tak ingin menatap suamiku sendiri. Aku masih menjaga hatiku agar tidak terlihat hancur di depannya. Terlebih di depan
“Hana! Itu kan alasan kamu nggak pernah bisa mencintaiku selama ini, Mas!Selama ini aku fikir kamu memang tulus menikah denganku, menyayangi aku dan Kiana, putri kita. Tapi, inilah kenyataannya kamu nggak pernah bisa melepas Hana! Apa kamu sadar dia siapa, Hah!Hana itu istri Yasha, sahabat kamu yang sudah hampir seperti saudara kamu sendiri. Bahkan mungkin dia menganggap kamu lebih dari itu. Tapi, kamu justru tega menghancurkan bahtera pernikahan mereka dengan merusak istrinya!”Aku meluapkan emosi yang terpendam selama ini. Beban hati yang sedari lama menyesakkan dadaku akhirnya lepas juga. Tak ada alasan lagi buat mempertahankan rumah tangga ini. Meski berat dan sakit, aku harus belajar merelakan suamiku yang ternyata tak pernah tulus cinta padaku.“Omong kosong apa ini, Qila? ” Mas Mirza membalikkan badan. Ia seakan menepis kenyataan yang baru saja aku lontarkan.“Ini bukan omong kosong. Ini adalah kenyataannya kan, Mas! Kamu masih berhubungan dengan Hana, bahkan sampai detik
“Ka-- kamu Yasha. Maaf, aku fikir…!”Aku gugup, saat membuka pintu ternyata Yashalah yang mengetuknya. Emosiku terjun seratus delapan puluh derajat. Tak ingin terlihat kacau di depannya. Biar bagaiman pun, dia tak bersalah dalam urusan istrinya yang berselingkuh dengan suamiku.“Mirza? Dia sudah berangkat beberapa menit yang lalu,” ujarnya.“O iya, lantas, kamu mau cari siapa lagi?” tanyaku canggung.Setelah menikah, aku jarang sekali bicara dengan pria, sekali pun soal pekerjaan. Itu kulakukan demi menjaga martabat aku sebagai istri Mas Mirza. Namun, tak disangka suamiku sendiri yang merusaknya.Kedatangan Yasha membuatku bingung apa yang harus aku lakukan.“Tadinya aku mau berbincang sebentar dengannya sambil menjengukmu. Tapi, berhubung dia sangat terburu-buru, jadi dia hanya mengijinkanku menjengukmu saja. Bagaimana keadaanmu?”Mas Mirza mengijinkan Yasha menjenguku tanpa adanya dia di sini? Keterlaluan! Segitu tak berharganya aku, hingga pria lain pun dia ijinkan menemuiku.“Ini,
“Bu, ayah lama banget pulangnya!” Kiana mengeluh setelah menunggu Mas Mirza tiga jam lamanya. Pasca sembuh dari sakitnya, dia begitu manja dan sering menanyakan ayahnya. “Iya, sayang sebentar lagi ayah sampai kok, sabar ya…!” ujarku menenangkannya sembari mengelus lembut rambut Kiana.Sekali lagi aku melihat jam ditanganku. Waktu memang tak bisa dihentikan, semakin lama malam semakin larut. Kasihan sekali Kiana, menunggu ayahnya sedari tadi hanya untuk sebuah belaian kasih sayang figure seorang ayah. Kemana suamiku itu? setelah perdebatan kemarin, ia lantas mengulur waktu seperti ini. Apa hanya karena enggan bertemu dan berdebat denganku lagi?[Mas, dimana?]Akhirnya aku mengirimkan pesan padahal, enggan sekali kulakukan. Tapi, demi Kiana, apapun akan kulakukan.[ Aku masih di kantor pekerjaan cukup banyak, kemungkinan malam ini aku bermalam di rumah mama karena pasti selesainya sampai malam dan lebih dekat dari sini. Sampaikan sayangku untuk Kiana.]Menghela kasar. Tak percaya. Ak
“Apa….!” Lirihku. Bulir-bulir air keluar dari dalam mata.Kata-kata Mama yang baru saja kudengar, bak petir di siang bolong. Ibu mertuaku yang kuanggap selayaknya Ibu kandungku sendiri dengan enteng berbicara seperti itu. Sesak dan sakit sekali rasanya saat telinga ini menerima perkataan dari mertuaku itu. Selama ini dengan tulus aku menyayangi dan menghormati keberadaannya sebagai Ibu dari orang yang aku cintai. Tapi ternyata dia tak setulus aku padanya. Suamiku dan Ibunya rupanya menyimpan rahasia besar dariku. Hanya karena warisan mereka mempertahankanku jadi bagian dari keluarga ini.“Qila sudah mencium hubunganku dengan Hana, Mah! Bahkan kemarin dia minta bercerai denganku. Seharusnya itu kesempatan dan kabar bahagia buatku, tapi lagi-lagi mulutku tertahan oleh warisan untuk berkata ‘Ya’!” Mas Mirza mendengus kasar.“Mau bagaimana lagi Mirza? Kita tidak punya pilihan! Kecuali melenyapkan dia dari muka bumi ini!” sahut Mama dengan penuh emosi.Spontan nafasku tertarik dan terta
“Ya, tadi aku dari rumah Mama sebentar. Aku rasa ingin pulang saja, lagi kangen sama Kiana,” jawabnya.Rindu Kiana? Mulai detik ini tak semudah itu aku percaya sama dia. Bahkan setiap geraknya pun aku akan curigai. Mas Mirza suami yang dulu aku percaya untuk melindungiku dan Kiana. Sekarang, dia adalah monster yang siap memakan mangsanya kapan pun kesempatan itu datang. Tak menutup kemungkinan dia akan menyakiti Kiana. Cintanya pada Hana benar-benar membutakan matanya.Kepercayaanku pada Mas Mirza dan Ibu mertuaku sudah tak ada sedikit pun. Aku akan membentengi diri demi melindungi Kiana. “Oh, begitu. Ya, sudah, aku ke kamar duluan ya.” Tanpa menunggu jawaban, aku berjalan cepat menuju kamar. Itu salah satu upaya aku menghindari segala macam pertanyaan dari dia. Tak lama ia menghampiriku. Setelah apa yang aku dengar, entah mengapa aku serasa melihat orang asing pada suamiku sendiri. Dia mendekatiku dari belakang, kutahu dari rasa hangat yang tiba-tiba menyerang punggungku. Perlah