“Bu—bukan siapa-siapa!” Mas Mirza masuk dan mendekatiku. Sinar cahaya lampu dari luar pintu yang terbuka lebar menyilaukan mata Kiana sehingga mengganggu tidurnya.“Ayah….!” Lirih Kiana dengan mata yang masih terpejam.Perhatian Mas teralihkan oleh panggilan Kiana, dan ia menghampiri putrinya. Sementara itu aku menghapus riwayat teleponku dan mematikannya. Aku tahu suamiku tidak akan lupa begitu saja dengan apa yang belum ia dapatkan jawabannya. “Ia sayang, maaf ya buat Kiana jadi bangun, tidur lagi ya, Nak!” Ayah biologis dari anakku itu membelai kepalanya dengan lembut. Tak lama Kiana pun tertidur pulas kemabali.“Tadi teleponan dengan siapa kamu malam-malam begini?” rupanya ia masih penasaran.“Nggak. Itu Sissy ,teman kuliahku dulu cuma mau ngabarin kalau besok dia mau jenguk aku sama teman-teman yang lain, begitu!” sahutku, mengarang alasan. Ia menyipitkan mata. “Bohong! Kamu pasti bohong, kan!” ia mendekatiku.“Nggak, aku nggak bohong!”“Aku nggak percaya! Berikan handphone k
“Dasar Pengkhianat mereka!” gumamku kesal.Pemandangan menyakitkan harus aku temui. Mas Mirza yang masih berstatus suamiku, mendadak datang menghampiri Hana yang dari tadi kebingungan mencari seseorang.Tak lama, suamiku mengecup pipi kanan dan kiri serta kening Hana. Lalu, menaburkan kemesraan dilayak umum. Mereka masuk ke sebuah pusat perbelanjaan tak jauh dari taman kota. Aku dan Yasha membuntutinya diam-diam.Mas Mirza merangkul Hana mesra. Perempuan yang memakai dress selutut itu bersandar manja sambil melingkarkan tangannya ke belakang pinggang suamiku. Mereka bak pasangan yang sedang kasmaran. Selama menjadi istrinya, aku saja tak pernah dirangkul sedekat itu. Hati Mas Mirza benar-benar sudah dibutakan oleh Hana.Beberapa kali Yasha memberi kode padaku agar tak perlu mengikuti mereka. Namun, aku menolak. Hatiku yang panas dan menggebu-gebu semakin penasaran apa yang akan mereka lakukan.Kemudian, Mas Mirza masuk pada sebuah toko perhiasan yang cukup ternama di kota ini.Produ
“Kabarnya, pempelai wanitanya istri kedua loh!” ujar seorang wanita muda di sampingku begibah dengan wanita muda lainnya. Sang pengantin wanita berdiri dari kejauhan, wajahnya masih ditutupi kain jaring, sehingga samar untuk di kenal. Sementara pengantin laki-laki, masih di dalam.“Oh, gitu, kok mau, ya?”“Ya, maulah, pengantin prianya itu kan tajir melintir banget, nggak abisa warisan tujuh turunan juga!”“Hahah. Ya nggak gitu juga kali…!”Telingaku menangkap obrolan mereka. Makin panas saja hati ini, mendengar semua itu.Nggak bisa! Kalau rumah tangga aku hancur, seenggaknya mereka pun harus gagal menikah! Aku akan rusak acara ini! Mereka gak boleh bahagia di atas penderitaanku. Sisi jahatku tiba-tiba muncul. Rasa sakit yang terlalu dalam sudah menutup mata batin ini. Dengan emosi yang membara, aku melepas masker di wajahku. begitu juga topiku. Lalu berjalan cepat menuju mempelai wanita tersebut. Ingin sekali aku merobek wajah Hana hingga hancur dan rusak seperti ia menghancurka
Jantungku dan Yasha hampir copot saat lelaki separo baya itu menempuk bahu kami.“Hem, ini kami tim Wedding lagi ngawasin acara dari luar. Kebetulan, kami lagi bagi-bagi tugas,” jawab Yasha mengelabui.“Oh, gitu. Maaf, maaf. Kalau begitu silahkan lanjutkan!” ujar pria segan. “Terima kasih, Pak. Ayo, kita cek lagi ke dalam!” ajak Yasha padaku. Aku paham dia hanya berpura-pura.Kemudian kami bersegera meninggalkan tempat itu. Setelah jauh dari pria tadi, aku dan Yasha belok keluar dari villa dan secepatnya menjauh dari daerah dimana suamiku dan Hana mengikrar janji.Melihatku menangis sepanjang jalan, Yasha tidak langsung mengantarku pulang. Dia membawaku ke suatu tempat dimana tempat itu tak pernah ada dalam fikiranku saat membendung kesedihan ini.“Kenapa kamu bawa aku ke sini?” tanyaku bingung.“Coba kamu menghadap ke sana!” ia membelokkan badanku ke kanan yang tadinya menghadap dirinya. Lalu aku masih menoleh sembari menautkan kening padanya karena masih tak mengerti maksud dia.
“Hai, sayang. Lihat aku datang dengan siapa?”“Hallo sayang, boleh mama bemalam di sini?” ucap wanita paro baya yang ada di belakang suamiku, setelah Mas Mirza meminggirkan badannya.Kenapa Mas Mirza bisa bersama mama? Padahal, jelas-jelas tadi dia bersama Hana sedang melangsungkan perikahan. Kenapa bisa begini, ada apa sebenarnya?“Ma—ma, iya, Mah, silahkan masuk!” gugupku sembari memiringkan badan. “Ayo, mah, aku antar ke kamar tamu!” sambungku sembari membawakan koper dan tas kecilnya.“Tunggu, tapi malam ini mama tidur sama Kiana boleh, kan? Mama kangen banget sama dia!” ucap mama.Jujur, dalam hati aku benar-benar khawatir Kiana bersama mama sekarang, walau rasanya tak mungkin seorang nenek mencelakai cucunya. Tapi, kemungkinan itu melebur saat tahu niat mama dan suamiku yang nekat demi warisan.“Hemm, tapi… tempat tidur Kiana cukup kecil. Jadi, kayaknya mama nggak muat tidur di sana!” Alibiku agar mama mengurungkan niatnya.“Oh, gitu ya. Tapi nggak apa-apa mama tetep mau temuin
POV YASHA“Hallo, Qil? Qila!” Telinga ini mengamati apa yang terjadi.“Aaww! Ampun, Mas!” Rintihan suara kesakitan Qila terdengar semakin samar. Setelah sebelumnya aku sempat dikejutkan dengan suara pecaahan beberapa benda, entah benda apa itu. Kemudian sambungan telepon terputus. Gelisah. Sesuatu terjadi. Ada yang tak beres dengan keadaan Qila di sana. “Dito!” panggilku pada bodyguard yang berdiri dekat pintu kerja. “Siapkan mobil sekarang juga!” perintahku “Baik, Pak!”Bergegas aku menuju rumah Qila. Khawatir sesuatu terjadi padanya. Namun, beberapa meter dari rumahnya, aku mendadak menyuruh supirku berhenti. Sebuah mobil yang kukenal keluar gerbang. Aku tahu itu mobil siapa.“Ikuti mobil itu, jangan sampai dia lolos!” tekanku pada supir yang mengendarai mobilku.“Baik, Pak!”Mobil Mirza memasuki sebuah rumah sakit. Apa yang terjadi? Apa firasatku benar? Dimana dan bagaimana keadaan Qila? Aku begitu mencemaskannya. Aku masih memantau dari kejauhan.“Dito, kamu keluar sekarang,
“Maya, masuk ke ruangan!” panggilku, melalui saluran interphone.Tak sampai lima menit sekretaris pribadi di perusahaanku itu langsung masuk dan menghampiriku.“Iya, Pak!” “Apa file ini milik perusahaan Mirza?” tanyaku sambil menyodorkan file terakhir yang belum aku tanda tangani.Maya mengambil dan membukanya, kemudian ia membaca ulang dengan seksama. “Iya, Pak. Betul, ini perusahaan milik Pak Mirza. Perusahaannya mengajukan kerja sama lanjutan yang selama ini berjalan dengan perusahaan kita,” jelasnya.“Putuskan kerja sama kita dengan perusahaannya mulai detik ini!” tegasku.“Ta—tapi, Pak!” Mata Maya membulat.“Nggak ada tapi- tapi, lakukan apa yang aku perintah!”“Baik, Pak!” “Hai sayang, kamu lagi apa?” tepukan Hana dari belakang mengagetkanku. Saking dongkolnya hati ini sampai tak sadar Hana datang.“Eh, kamu. Nggak, nggak lagi apa-apa, Cuma lagi mikirin proyek baru saja!” “Kamu kok ke sini, tumben?” tanyaku lagi. Ia melirikku sambil misem-misem. Aku paham, dari dulu Hana m
“Emm..”Duh, ngomong apa sih aku! Kenapa tiba-tiba mulut ini ngomong kayak gitu ya!Qila masih menunggu jawabanku, sementar tak ada alasan apa pun yang terlintas di pikiranku saat ini. Disaat yang bersamaan, handphoneku tiba-tiba berdering.“Maaf, Pak. Saya mau mengabarkan, Pak Mirza sedang menuju ke ruangan inap!” ucap Dito setelah nada sambung terhubung.Aku sengaja menugaskan Dito di lobby untuk siaga mengamati jikalau Mirza dan Ibunya datang.“Oke!” “Qila, sepertinya kita harus segera pergi. Mirza dan Bu Miranda menuju kemari!”“Baiklah.”“Mas,” Aku sempat terperanjat waktu suara Hana memanggilku. Tumben sekali dia sudah pulang. “Kamu sudah pulang,” ujaruku basa-basi.“Iya, sengaja. Aku pengen makan malam sama kamu, udah lama kita nggak makan malam berdua, kan?Boleh, kan?” Ajakan Hana sedikit memaksa. Sebenarnya aku sudah muak dengan sandiwara dia, tapi demi mendapatkan informasi tentang Mirza, terpaksa aku harus mengikuti kemauannya.“Boleh, kalau begitu aku mandi dulu, ya!”
“Sebenarnya apa?” tanya Mirza penasaran.“Sebenarnya Mas Yasha tidak sakit, dia normal dan baik-baik saja. Selama ini akulah yang mengelabuinya. Aku yang menukar hasil pemeriksaan dirinya dengan hasil yang palsu,” terang Hana tanpa rasa bersalah.Mirza terkejut, tak percaya dengan apa yang dilakukan istri sirinya itu.“Nggak mungkin! Kamu pasti bohong. Sudahlah Hana, aku nggak akan bisa kamu kelabui seperti Yasha!” Sangkal Mirza menatap tajam.“Aku berkata benar, kamu nggak ada hak atas anak ini, Mas. Lagi pula, aku hanya ingin anakku hidup bahagia dan mewarisi harta ayahnya, Yasha. Jadi, mulai sekarang, kita coba lupakan saja hubungan kita,” tegas Hana.Mirza mengatur nafasnya yang serasa sesak tiba-tiba. Gumpalan darah berkumpul diwajahnya, seolah gambaran amarah yang tertahan. Sesekali ia menelan ludah, seakan menelan kepahitan yang baru saja di dengarnya, dan Hana bisa melihat itu.Ia paham apa yang dimaksud istri sirinya itu, Hana hanya ketakutan, dia dan calon bayi mereka akan h
“Siapkan mobil, kita akan ke rumah sakit!”Perintah Yasha pada Dito sesampai di rumah. Setelah assisten rumah mengabarkan yang terjadi pada Hana tadi, Yasha bergegas pulang.“Hana, Hana. Bagunlah!”Yasha menepuk-nepuk pipi Hana. Kemudian menempelkan dua jarinya di sekitar leher, alhasil dugaannya dia masih bernyawa. Namun, hanya saja wanita yang baru saja ditalaknya itu tak kunjung sadar.“Apa yang sebelumnya terjadi?”“E—Ibu tadi mendadak mual dan mengeluh sakit kepala, Pak! Terus nggak lama dia pingsan, itu saja yang saya tahu!” jawab Bi Harti, Assissten Rumah tangga Yasha. Tidak banyak berfikir lagi, Yasha langsung membawa Hana ke dalam mobil yang sudah Dito siapkan untuk meluncur ke rumah sakit.Pasca pulang makan malam, Yasha dan Hana bertengkar hebat. Hana bersikeras tak ingin berpisah dari Yasha, sementara suaminya itu sudah menjatuhkan talak beberapa kali.Hana yang kecewa, mengurung diri dalam kamar. Tak mau makan, minum, bahkan mungkin ia tak membersihkan diri setelah dari
“Hentikan pembicaraan kalian!” Bentak Mirza pada Qila dan Yasha.“Kenapa, ada masalah dengan pembicaraan kita?” tanya Yasha tegas.“Gue muak dengan kemunafikan lo,Yash!”“Gue munafik?” Tertawa tajam, “Apa lo nggak pernah ngaca, siapa yang lebih munafik antara gue sama lo!” sambung Yasha.Suasana memanas, sepertinya Yasha mulai tersulut emosi. Entah apa yang membuat Mirza meradang amarah tiba-tiba.“Kurang aj*r!”Mirza keluar dari bangku dan berusaha menyerang Yasha, tapi itu tak berhasil lantaran spontan ditahan oleh Hana.Istri rivalnya itu justru yang mengendalikan emosinya.“Sabar, tolong kamu jangan seperti ini!” Hana menarik tangan Mirza mundur ke belakang. Sementara Qila masih dalam posisinya.“Apa-apaan kamu, Mas! Kenapa kamu bersikap memalukan seperti ini pada tamu kita!” Qila berusaha menenangkan.“Mulai sekarang dia bukan tamuku, apalagi sahabatku!Mulai detik ini juga dia adalah rivalku!” hardiknya sambil menunjuk muka Yasha dengan telunjuknya.Mereka saling menatap tajam.
Akhir pekan,“ Tumben masak banyak, biasanya istri pemalas kayak kamu cuma bisanya nyuruh-nyuruh si Yanti buat bikin makanan!” Celetuk Mirza sambil pandangannya berkeliaran di atas meja makan.Sajian makanan yang terpanjang lumayan banyak dan menggiurkan selera makan.Sikap Mirza makin lama makin susah ditebak, apalagi semenjak dia tahu Yasha mengalihkan kerjasama perusahaannya dengan perusahaan Qila, walau itu hanya tipuan belaka.“Iya dong, Mas, kan malam ini kita akan kedatangan tamu istimewa,” jawab Qila masih menyabarinya.“Tamu istimewa? siapa? “ tanya Mirza heran.“Nanti juga kamu tahu, lebih baik kamu bersiap-siap saja, karena sebentar lagi mereka akan datang! ” jawab Qila.Beberapa detik kemudian, bel pintu berbunyi. Qila beranjak meninggalkan Mirza yang masih berdiri di hadapannyahadapannya untuk membuka pintu. Sementara Mirza yang masih dengan penasarannya mengintip dibalik tembok.“Jadi tamu itu.. Ah! Sial! Mereka nggak boleh lihat aku seperti ini! Aku harus berpenampi
“Maaf, Pak! Tolong jangan begini!” Dito menahan bahu Mirza hingga membuat jasnya berantakan dengan tangannya. Namun, ia berhasil masuk sampai di depan meja kerja Yasha.“Minggir!” kesal Mirza membentak pegawai pribadi Yasha itu.“Maaf Pak Yasha, orang ini memaksa masuk. Saya sudah mencegahnya tapi--!”“Biarkan dia!” ucap santai Yasha sembari memberi kode agar Dito keluar ruangan saja.Mirza merapihkan jasnya dengan kasar setelah lelaki bertubuh gempal itu keluar ruangan.“Yasha! Apa maksud lo membatalkan kerja sama perusahaan gue secara sepihak!” tanya lantang Mirza.Yasha berdiri sembari menghela nafas pendek. Kedatangan Mirza sudah diduganya sebelum memutuskan kerja sama sepihak itu.“Kenapa, ada masalah dengan keputusan gue? Perusahaan ini milik gue, ya terserah gue dong mau bagaimana!” jawabnya dengana tatapan tajam.“Tapi lo nggak bisa seenaknya gitu dong! Gue udah abis-abisan keluarin modal, buat tender yang udah lo setujuin dari awal ini!” Mirza meradang.“Gue bakal balikin mod
Sesampai di rumah.“Qil! Qila!” teriakan Mas Mirza dari luar pintu rumah serentak dengan gedoran keras pada pintu.“Ya, sabar!” sahutku.Ingin sekali aku mengacuhkannya jika sikapnya tidak mengganggu Kiana tidur.“Lama banget sih buka pintunya!” hentaknya sembari melangkah masuk.Semenjak aku mengetahui pernikahan sirinya dengan Hana, saat itu pula aku mengetahui kalau suamiku telah berubah seratus delapan puluh derajat. Pria yang selama ini aku kenal penyayang, lembut, sekarang tak kulihat setitik pun sifat itu darinya.Mas Mirza yang sekarang sangat kasar, kejam, bahkan ia tak ragu untuk membuatku terluka, dan yang aku takutkan sewaktu-waktu adalah keselamatan Kiana. Putri kecilku yang tak berdosa tak tahu jika nahkoda kebanggaanya itu telah berubah menjadi seorang perompak.Kemudian ia langsung nyelonong ke kamar. Dulu, setelah capek pulang kerja sekali pun, ia pasti sempatkan menengok Kiana di kamarnya, namun kali ini tidak. Bahkan, koper besarnya itu ditinggal begitu saja, tanpa
“Iya,” jawabku dengan hanya melirik lalu mengalihkan pandanganku lagi.Ia mendekat, tertangkap bayangan dirinya oleh ekor mataku. Menarik nafas, tapi kenapa tiba-tiba udara nafas ini sulit dikeluarkan lagi. Dadaku berdebar kencang. Jari-jari ini tak sadar memainkan selimut di atas kasur dengan cubitan-cubitan kecil. Biar pun ini hanya sebuah pernikahan siri dan terkontrak, jika sedang berduan begini jadi serasa canggung.“Kamu nggak ganti baju?” tanyanya santaiSpontan mataku langsung menyorot wajahnya dengan mulut sedikit menganga.“Ya, maksud aku siapa tahu kamu gerah dengan baju pengantin kayak gitu,” sambungnya meralat maksud ekspresi wajahku.“Eng—enggak, a—aku memang suka pakai baju pengantin,” jawabku gugup diakhiri dengan cengiran garing dari deretan gigi putihku.Rasa kikuk yang lebih condong takut dijamah olehnya sedang menguasai hatiku dan pikiranku.“Sekali pun mau tidur?” tanyanya heran.“I—iya,” Sebenarnya aku asal jawab saja hanya untuk menutupi kegelisahanku.“Ohh, git
POV QILA “Aku akan pergi ke luar pulau sepekan ini, nanti mama akan menjemput kamu pulang, atau pulang saja sendiri pakai taksi online. Bisa, kan?” Nada bicara Mas Mirza seakan mengolok-olokku. “Tega sekali kamu, Mas! Kenapa kamu bawa aku ke sini kalau kamu tidak peduli lagi denganku!” hardikku, emosiku memuncak. Mas Mirza mendekat, menyentuh pipiku lembut dengan tatapan tajam. “Aku membawamu ke sini karena kamu masih sangat berharga, Qila. Sangat berharga!” Bisiknya dekat sekali hingga wajah kami hanya berjarak beberapa sentimeter. Lalu dia berbalik dan pergi meninggalkanku begitu saja, saat aku masih terpasang beberapa alat medis. Aku tahu arti kata-katanya. Dia membutuhkanku bukan karena cinta, tapi karena warisan yang masih di bawah tanganku. Ini tidak bisa dibiarkan. “Bajingan! Setelah kamu membuatku sakit seperti ini, kamu tinggalkan aku begitu saja, Mas! Tunggu, Mas! Kembali kamu!” Teriakku, membuncah. Tapi Mas Mirza benar-benar pergi. Dengan nekad, kulepaskan alat-
“Emm..”Duh, ngomong apa sih aku! Kenapa tiba-tiba mulut ini ngomong kayak gitu ya!Qila masih menunggu jawabanku, sementar tak ada alasan apa pun yang terlintas di pikiranku saat ini. Disaat yang bersamaan, handphoneku tiba-tiba berdering.“Maaf, Pak. Saya mau mengabarkan, Pak Mirza sedang menuju ke ruangan inap!” ucap Dito setelah nada sambung terhubung.Aku sengaja menugaskan Dito di lobby untuk siaga mengamati jikalau Mirza dan Ibunya datang.“Oke!” “Qila, sepertinya kita harus segera pergi. Mirza dan Bu Miranda menuju kemari!”“Baiklah.”“Mas,” Aku sempat terperanjat waktu suara Hana memanggilku. Tumben sekali dia sudah pulang. “Kamu sudah pulang,” ujaruku basa-basi.“Iya, sengaja. Aku pengen makan malam sama kamu, udah lama kita nggak makan malam berdua, kan?Boleh, kan?” Ajakan Hana sedikit memaksa. Sebenarnya aku sudah muak dengan sandiwara dia, tapi demi mendapatkan informasi tentang Mirza, terpaksa aku harus mengikuti kemauannya.“Boleh, kalau begitu aku mandi dulu, ya!”