“Kabarnya, pempelai wanitanya istri kedua loh!” ujar seorang wanita muda di sampingku begibah dengan wanita muda lainnya. Sang pengantin wanita berdiri dari kejauhan, wajahnya masih ditutupi kain jaring, sehingga samar untuk di kenal. Sementara pengantin laki-laki, masih di dalam.“Oh, gitu, kok mau, ya?”“Ya, maulah, pengantin prianya itu kan tajir melintir banget, nggak abisa warisan tujuh turunan juga!”“Hahah. Ya nggak gitu juga kali…!”Telingaku menangkap obrolan mereka. Makin panas saja hati ini, mendengar semua itu.Nggak bisa! Kalau rumah tangga aku hancur, seenggaknya mereka pun harus gagal menikah! Aku akan rusak acara ini! Mereka gak boleh bahagia di atas penderitaanku. Sisi jahatku tiba-tiba muncul. Rasa sakit yang terlalu dalam sudah menutup mata batin ini. Dengan emosi yang membara, aku melepas masker di wajahku. begitu juga topiku. Lalu berjalan cepat menuju mempelai wanita tersebut. Ingin sekali aku merobek wajah Hana hingga hancur dan rusak seperti ia menghancurka
Jantungku dan Yasha hampir copot saat lelaki separo baya itu menempuk bahu kami.“Hem, ini kami tim Wedding lagi ngawasin acara dari luar. Kebetulan, kami lagi bagi-bagi tugas,” jawab Yasha mengelabui.“Oh, gitu. Maaf, maaf. Kalau begitu silahkan lanjutkan!” ujar pria segan. “Terima kasih, Pak. Ayo, kita cek lagi ke dalam!” ajak Yasha padaku. Aku paham dia hanya berpura-pura.Kemudian kami bersegera meninggalkan tempat itu. Setelah jauh dari pria tadi, aku dan Yasha belok keluar dari villa dan secepatnya menjauh dari daerah dimana suamiku dan Hana mengikrar janji.Melihatku menangis sepanjang jalan, Yasha tidak langsung mengantarku pulang. Dia membawaku ke suatu tempat dimana tempat itu tak pernah ada dalam fikiranku saat membendung kesedihan ini.“Kenapa kamu bawa aku ke sini?” tanyaku bingung.“Coba kamu menghadap ke sana!” ia membelokkan badanku ke kanan yang tadinya menghadap dirinya. Lalu aku masih menoleh sembari menautkan kening padanya karena masih tak mengerti maksud dia.
“Hai, sayang. Lihat aku datang dengan siapa?”“Hallo sayang, boleh mama bemalam di sini?” ucap wanita paro baya yang ada di belakang suamiku, setelah Mas Mirza meminggirkan badannya.Kenapa Mas Mirza bisa bersama mama? Padahal, jelas-jelas tadi dia bersama Hana sedang melangsungkan perikahan. Kenapa bisa begini, ada apa sebenarnya?“Ma—ma, iya, Mah, silahkan masuk!” gugupku sembari memiringkan badan. “Ayo, mah, aku antar ke kamar tamu!” sambungku sembari membawakan koper dan tas kecilnya.“Tunggu, tapi malam ini mama tidur sama Kiana boleh, kan? Mama kangen banget sama dia!” ucap mama.Jujur, dalam hati aku benar-benar khawatir Kiana bersama mama sekarang, walau rasanya tak mungkin seorang nenek mencelakai cucunya. Tapi, kemungkinan itu melebur saat tahu niat mama dan suamiku yang nekat demi warisan.“Hemm, tapi… tempat tidur Kiana cukup kecil. Jadi, kayaknya mama nggak muat tidur di sana!” Alibiku agar mama mengurungkan niatnya.“Oh, gitu ya. Tapi nggak apa-apa mama tetep mau temuin
POV YASHA“Hallo, Qil? Qila!” Telinga ini mengamati apa yang terjadi.“Aaww! Ampun, Mas!” Rintihan suara kesakitan Qila terdengar semakin samar. Setelah sebelumnya aku sempat dikejutkan dengan suara pecaahan beberapa benda, entah benda apa itu. Kemudian sambungan telepon terputus. Gelisah. Sesuatu terjadi. Ada yang tak beres dengan keadaan Qila di sana. “Dito!” panggilku pada bodyguard yang berdiri dekat pintu kerja. “Siapkan mobil sekarang juga!” perintahku “Baik, Pak!”Bergegas aku menuju rumah Qila. Khawatir sesuatu terjadi padanya. Namun, beberapa meter dari rumahnya, aku mendadak menyuruh supirku berhenti. Sebuah mobil yang kukenal keluar gerbang. Aku tahu itu mobil siapa.“Ikuti mobil itu, jangan sampai dia lolos!” tekanku pada supir yang mengendarai mobilku.“Baik, Pak!”Mobil Mirza memasuki sebuah rumah sakit. Apa yang terjadi? Apa firasatku benar? Dimana dan bagaimana keadaan Qila? Aku begitu mencemaskannya. Aku masih memantau dari kejauhan.“Dito, kamu keluar sekarang,
“Maya, masuk ke ruangan!” panggilku, melalui saluran interphone.Tak sampai lima menit sekretaris pribadi di perusahaanku itu langsung masuk dan menghampiriku.“Iya, Pak!” “Apa file ini milik perusahaan Mirza?” tanyaku sambil menyodorkan file terakhir yang belum aku tanda tangani.Maya mengambil dan membukanya, kemudian ia membaca ulang dengan seksama. “Iya, Pak. Betul, ini perusahaan milik Pak Mirza. Perusahaannya mengajukan kerja sama lanjutan yang selama ini berjalan dengan perusahaan kita,” jelasnya.“Putuskan kerja sama kita dengan perusahaannya mulai detik ini!” tegasku.“Ta—tapi, Pak!” Mata Maya membulat.“Nggak ada tapi- tapi, lakukan apa yang aku perintah!”“Baik, Pak!” “Hai sayang, kamu lagi apa?” tepukan Hana dari belakang mengagetkanku. Saking dongkolnya hati ini sampai tak sadar Hana datang.“Eh, kamu. Nggak, nggak lagi apa-apa, Cuma lagi mikirin proyek baru saja!” “Kamu kok ke sini, tumben?” tanyaku lagi. Ia melirikku sambil misem-misem. Aku paham, dari dulu Hana m
“Emm..”Duh, ngomong apa sih aku! Kenapa tiba-tiba mulut ini ngomong kayak gitu ya!Qila masih menunggu jawabanku, sementar tak ada alasan apa pun yang terlintas di pikiranku saat ini. Disaat yang bersamaan, handphoneku tiba-tiba berdering.“Maaf, Pak. Saya mau mengabarkan, Pak Mirza sedang menuju ke ruangan inap!” ucap Dito setelah nada sambung terhubung.Aku sengaja menugaskan Dito di lobby untuk siaga mengamati jikalau Mirza dan Ibunya datang.“Oke!” “Qila, sepertinya kita harus segera pergi. Mirza dan Bu Miranda menuju kemari!”“Baiklah.”“Mas,” Aku sempat terperanjat waktu suara Hana memanggilku. Tumben sekali dia sudah pulang. “Kamu sudah pulang,” ujaruku basa-basi.“Iya, sengaja. Aku pengen makan malam sama kamu, udah lama kita nggak makan malam berdua, kan?Boleh, kan?” Ajakan Hana sedikit memaksa. Sebenarnya aku sudah muak dengan sandiwara dia, tapi demi mendapatkan informasi tentang Mirza, terpaksa aku harus mengikuti kemauannya.“Boleh, kalau begitu aku mandi dulu, ya!”
POV QILA “Aku akan pergi ke luar pulau sepekan ini, nanti mama akan menjemput kamu pulang, atau pulang saja sendiri pakai taksi online. Bisa, kan?” Nada bicara Mas Mirza seakan mengolok-olokku. “Tega sekali kamu, Mas! Kenapa kamu bawa aku ke sini kalau kamu tidak peduli lagi denganku!” hardikku, emosiku memuncak. Mas Mirza mendekat, menyentuh pipiku lembut dengan tatapan tajam. “Aku membawamu ke sini karena kamu masih sangat berharga, Qila. Sangat berharga!” Bisiknya dekat sekali hingga wajah kami hanya berjarak beberapa sentimeter. Lalu dia berbalik dan pergi meninggalkanku begitu saja, saat aku masih terpasang beberapa alat medis. Aku tahu arti kata-katanya. Dia membutuhkanku bukan karena cinta, tapi karena warisan yang masih di bawah tanganku. Ini tidak bisa dibiarkan. “Bajingan! Setelah kamu membuatku sakit seperti ini, kamu tinggalkan aku begitu saja, Mas! Tunggu, Mas! Kembali kamu!” Teriakku, membuncah. Tapi Mas Mirza benar-benar pergi. Dengan nekad, kulepaskan alat-
“Nggak usah bohong lagi, Mas! Aku tahu selama ini kamu bukan cuma ketemu teman-teman kamu sampai pulang larut begini. Tapi ada wanita yang kamu temuin, kan?!” Aku meradang, saat Mas Mirza baru pulang dipukul 01.00 pagi. Beberapa minggu terakhir ini ia sering sekali keluyuran, dengan alasan bertemu teman-teman lamanya. Awalnya aku percaya, dan membiarkan saja. Tapi ternyata, dugaanku itu salah. Mendengar kabar, bahwa dia bukan bertemu dengan teman-temannya, melainkan seorang wanita, yaitu Hana, istri dari sahabatnya sendiri. “Apa maksud kamu? Aku nggak bohong, kok!” sangkal Mas Mirza sambil melonggarkan kemejanya. Tuduhanku seakan menyesakkan dada dia. Lalu, Mas Mirza bangkit dari duduk dan aku menirunya. “Kamu ketemu sama Hana, kan?!” tanyaku bergetar dengan sorot mata tajam. Akhirnya nama yang awalnya aku sembunyikan keluar juga dari mulut. Ia setengah menoleh. “Memang kenapa kalau aku ketemu sama dia? Dia kan istrinya Yasha, sahabatku. Kami juga berteman, kan? Ada yang salah?