“Hai, sayang. Lihat aku datang dengan siapa?”“Hallo sayang, boleh mama bemalam di sini?” ucap wanita paro baya yang ada di belakang suamiku, setelah Mas Mirza meminggirkan badannya.Kenapa Mas Mirza bisa bersama mama? Padahal, jelas-jelas tadi dia bersama Hana sedang melangsungkan perikahan. Kenapa bisa begini, ada apa sebenarnya?“Ma—ma, iya, Mah, silahkan masuk!” gugupku sembari memiringkan badan. “Ayo, mah, aku antar ke kamar tamu!” sambungku sembari membawakan koper dan tas kecilnya.“Tunggu, tapi malam ini mama tidur sama Kiana boleh, kan? Mama kangen banget sama dia!” ucap mama.Jujur, dalam hati aku benar-benar khawatir Kiana bersama mama sekarang, walau rasanya tak mungkin seorang nenek mencelakai cucunya. Tapi, kemungkinan itu melebur saat tahu niat mama dan suamiku yang nekat demi warisan.“Hemm, tapi… tempat tidur Kiana cukup kecil. Jadi, kayaknya mama nggak muat tidur di sana!” Alibiku agar mama mengurungkan niatnya.“Oh, gitu ya. Tapi nggak apa-apa mama tetep mau temuin
POV YASHA“Hallo, Qil? Qila!” Telinga ini mengamati apa yang terjadi.“Aaww! Ampun, Mas!” Rintihan suara kesakitan Qila terdengar semakin samar. Setelah sebelumnya aku sempat dikejutkan dengan suara pecaahan beberapa benda, entah benda apa itu. Kemudian sambungan telepon terputus. Gelisah. Sesuatu terjadi. Ada yang tak beres dengan keadaan Qila di sana. “Dito!” panggilku pada bodyguard yang berdiri dekat pintu kerja. “Siapkan mobil sekarang juga!” perintahku “Baik, Pak!”Bergegas aku menuju rumah Qila. Khawatir sesuatu terjadi padanya. Namun, beberapa meter dari rumahnya, aku mendadak menyuruh supirku berhenti. Sebuah mobil yang kukenal keluar gerbang. Aku tahu itu mobil siapa.“Ikuti mobil itu, jangan sampai dia lolos!” tekanku pada supir yang mengendarai mobilku.“Baik, Pak!”Mobil Mirza memasuki sebuah rumah sakit. Apa yang terjadi? Apa firasatku benar? Dimana dan bagaimana keadaan Qila? Aku begitu mencemaskannya. Aku masih memantau dari kejauhan.“Dito, kamu keluar sekarang,
“Maya, masuk ke ruangan!” panggilku, melalui saluran interphone.Tak sampai lima menit sekretaris pribadi di perusahaanku itu langsung masuk dan menghampiriku.“Iya, Pak!” “Apa file ini milik perusahaan Mirza?” tanyaku sambil menyodorkan file terakhir yang belum aku tanda tangani.Maya mengambil dan membukanya, kemudian ia membaca ulang dengan seksama. “Iya, Pak. Betul, ini perusahaan milik Pak Mirza. Perusahaannya mengajukan kerja sama lanjutan yang selama ini berjalan dengan perusahaan kita,” jelasnya.“Putuskan kerja sama kita dengan perusahaannya mulai detik ini!” tegasku.“Ta—tapi, Pak!” Mata Maya membulat.“Nggak ada tapi- tapi, lakukan apa yang aku perintah!”“Baik, Pak!” “Hai sayang, kamu lagi apa?” tepukan Hana dari belakang mengagetkanku. Saking dongkolnya hati ini sampai tak sadar Hana datang.“Eh, kamu. Nggak, nggak lagi apa-apa, Cuma lagi mikirin proyek baru saja!” “Kamu kok ke sini, tumben?” tanyaku lagi. Ia melirikku sambil misem-misem. Aku paham, dari dulu Hana m
“Emm..”Duh, ngomong apa sih aku! Kenapa tiba-tiba mulut ini ngomong kayak gitu ya!Qila masih menunggu jawabanku, sementar tak ada alasan apa pun yang terlintas di pikiranku saat ini. Disaat yang bersamaan, handphoneku tiba-tiba berdering.“Maaf, Pak. Saya mau mengabarkan, Pak Mirza sedang menuju ke ruangan inap!” ucap Dito setelah nada sambung terhubung.Aku sengaja menugaskan Dito di lobby untuk siaga mengamati jikalau Mirza dan Ibunya datang.“Oke!” “Qila, sepertinya kita harus segera pergi. Mirza dan Bu Miranda menuju kemari!”“Baiklah.”“Mas,” Aku sempat terperanjat waktu suara Hana memanggilku. Tumben sekali dia sudah pulang. “Kamu sudah pulang,” ujaruku basa-basi.“Iya, sengaja. Aku pengen makan malam sama kamu, udah lama kita nggak makan malam berdua, kan?Boleh, kan?” Ajakan Hana sedikit memaksa. Sebenarnya aku sudah muak dengan sandiwara dia, tapi demi mendapatkan informasi tentang Mirza, terpaksa aku harus mengikuti kemauannya.“Boleh, kalau begitu aku mandi dulu, ya!”
POV QILA “Aku akan pergi ke luar pulau sepekan ini, nanti mama akan menjemput kamu pulang, atau pulang saja sendiri pakai taksi online. Bisa, kan?” Nada bicara Mas Mirza seakan mengolok-olokku. “Tega sekali kamu, Mas! Kenapa kamu bawa aku ke sini kalau kamu tidak peduli lagi denganku!” hardikku, emosiku memuncak. Mas Mirza mendekat, menyentuh pipiku lembut dengan tatapan tajam. “Aku membawamu ke sini karena kamu masih sangat berharga, Qila. Sangat berharga!” Bisiknya dekat sekali hingga wajah kami hanya berjarak beberapa sentimeter. Lalu dia berbalik dan pergi meninggalkanku begitu saja, saat aku masih terpasang beberapa alat medis. Aku tahu arti kata-katanya. Dia membutuhkanku bukan karena cinta, tapi karena warisan yang masih di bawah tanganku. Ini tidak bisa dibiarkan. “Bajingan! Setelah kamu membuatku sakit seperti ini, kamu tinggalkan aku begitu saja, Mas! Tunggu, Mas! Kembali kamu!” Teriakku, membuncah. Tapi Mas Mirza benar-benar pergi. Dengan nekad, kulepaskan alat-
“Nggak usah bohong lagi, Mas! Aku tahu selama ini kamu bukan cuma ketemu teman-teman kamu sampai pulang larut begini. Tapi ada wanita yang kamu temuin, kan?!” Aku meradang, saat Mas Mirza baru pulang dipukul 01.00 pagi. Beberapa minggu terakhir ini ia sering sekali keluyuran, dengan alasan bertemu teman-teman lamanya. Awalnya aku percaya, dan membiarkan saja. Tapi ternyata, dugaanku itu salah. Mendengar kabar, bahwa dia bukan bertemu dengan teman-temannya, melainkan seorang wanita, yaitu Hana, istri dari sahabatnya sendiri. “Apa maksud kamu? Aku nggak bohong, kok!” sangkal Mas Mirza sambil melonggarkan kemejanya. Tuduhanku seakan menyesakkan dada dia. Lalu, Mas Mirza bangkit dari duduk dan aku menirunya. “Kamu ketemu sama Hana, kan?!” tanyaku bergetar dengan sorot mata tajam. Akhirnya nama yang awalnya aku sembunyikan keluar juga dari mulut. Ia setengah menoleh. “Memang kenapa kalau aku ketemu sama dia? Dia kan istrinya Yasha, sahabatku. Kami juga berteman, kan? Ada yang salah?
Mas Mirza masuk setelah disambut seorang wanita yang membuka pintu kamar hotel.Langit seakan runtuh. Organ dalam tubuh yang bernama hati ini seolah ditembak dengan timah panas. Aku berharap ini semua mimpi. Tapi, sayangnya bukan! Hal yang selama ini aku duga, ternyata benar! Pemandangan tadi begitu menyesakkan dadaku. Rasa bahagia dan sayang yang beberapa waktu lalu berbaur satu, kini berubah menjadi bola amarah yang siap kulemparkan pada mereka. “Buka! Cepat buka!” Aku memukul-mukul pintu dengan kencang. Mereka tak kunjung keluar. “Mas Mirza! Hana! Buka pintunya!” Beberapa penghuni hotel sekitarnya mendadak keluar. “Qi-la! Kamu ngapain di sini?” Tubuh Hana hanya berbalut selimut, ia tercengang saat membuka pintu. Ia mungkin tak menyangka aku yang datang. Kutatap tajam dengan mata membulat ”Mana suami, saya?!” Bola mata Hana berkeliaran. Mulutnya terbuka, tapi sulit mengeluarkan suara. ”AHHH!” Aku menerobos masuk kamar hotel. Entah setan apa yang merasuk tubuhku. “Mas M
Mas Mirza?Dari mana dia tahu aku ada di sini? Tak ada satu orang pun sebelumnya yang tahu tempat ini. bahkan Kiana pun baru pertama kali aku bawa ke sini.“Qila, tunggu! Buka pintunya!” Mas Mirza menahan pintu dengan tangannya agar tidak tertutup saat aku dorong paksa, dan ia berhasil membukanya.“Pergi kamu, Mas! Aku nggak mau kamu di sini! Pengkhianat!” usirku dengan nada tinggi.“Qila, tolong dengerin penjelasan aku dulu!”“Apa?! Apa lagi yang mau kamu jelasin! Udah cukup jelas kejadian semalam buat aku!” Aku mengoceh sembari masuk menghampiri Kiana. Saat ini, hal yang paling aku takutkan adalah Kiana dibawa pergi oleh Mas Mirza. Putri semata wayangku itu bagai napas untukku. Tak akan pernah bisa aku jauh darinya.“Aku sama Hana nggak ada apa-apa. Aku nggak pernah serius sama dia! Cuma kamu Qila yang aku cinta!” ungkapnya sembari menahan tanganku.Genggamannya cukup kencang, sampai-sampai tenagaku tak mampu melepaskan tangan darinya. Pandai sekali ia membual, mungkin kata-kata