Share

Part 6

“Kamu yakin Qila nggak tahu kita di sini, Mas?”

Hana bersicepat menarik selimut tebal untuk menutupi tubuhnya.

Jantungku dan dia mungkin berdegup kencang secara bersamaan setelah mendengar ketukan pintu yang mendadak berbunyi tersebut.

Aku dan Hana saling menatap panik. Sesaat aku berfikir, kejadian kemarin jangan sampai keulang lagi, sekalipun itu Qila, dia nggak boleh tahu Hana di sini.

Kemudian, aku meraih baju dan celanaku yang berserakan di lantai dalam satu ayunan tangan.

“Biar aku yang buka pintu! Sayang, cepat kamu sembunyi di kamar mandi!”

“I—iya, Mas!”

Hana berdiri lalu ke ruangan berair itu dengan tergesa-gesa. Aku menganggukan kepalaku.

“Ya, tunggu sebentar!”

Suara ketukan itu berhenti seusai aku menyahutnya. Perlahan kubuka handle pintu, dan ternyata…

“Maaf, Pak. Apa ini milik Bapak? Tadi tertinggal di lobbi bawah,” ujar seorang waiter sambil memperlihatkan sebuah kunci mobil di tangannya.

Aku melepas helaan napas yang tertahan. Dada ini serasa meluas lagi setelah hampir rapat karena terhimpit dugaan-dugaan yang menakutkan tentang Qila.

“Oh, iya betul, ini milik saya. Terima kasih!” jawabku sembari menerima kunci mobil dari tangannya.

“Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya permisi!”

Waiter itu pun lalu pergi dari hadapanku. Aku kembali masuk dan memastikan pintu terkunci dengan benar.

“Sayang…?” panggilku sembari mengetuk kecil pintu kamar mandi.

Perlahan pintunya terbuka sedikit, separuh wajah Hana yang tegang nampak terlihat.

“Aman,” kataku memberi kode padanya.

“Serius?” tanyanya masih ragu.

Aku menganggukan kepala. Pintu kamar mandi mulai terbuka lebar. Hana melangkah keluar, namun selimut yang dipakainya tersangkut handle pintu hingga jatuh dan membuat tubuhnya tak terbalut apapun. Seketika hasrat itu datang lagi.

“Ih… kamu…!” pekiknya manja saat aku justru merangkul balik ke dalam kamar mandi, ia paham apa yang akan aku lakukan padanya, dan kami menikmatinya di tempat itu.

“I love you,” bisikku di telinga Hana sambil melingkarkan tanganku di pinggang kecilnya.

Sisir yang digenggam untuk merapihkan rambutnya terhenti, kepalanya ditolehkan kepadaku hingga kedua bibir kami hanya berjarak beberapa centi dan menghias senyum manis.

“I love you too,” jawabnya, kemudian Indera pengecap aku dan dia disatukan membentuk ungkapan cinta secara visual.

Cinta pertamaku itu seharusnya yang menjadi istriku. Jika itu terjadi, betapa beruntungnya aku. Selain mencintaiku, dia juga benar-benar pandai memuaskanku secara kebutuhan batin. Aku semakin ingin memilikinya secara resmi untuk mengikat dia selamanya. Bayangan hidup bahagia dengannya sudah sering terlintas di pelupuk mata.

Sayangnya, semua itu harapan semu. Banyak hal yang aku harus lewati demi cintaku pada Hana. Istriku Qila, Ibu, belum lagi Yasha, apa jadinya nasib persahabatanku jika ia tahu bahwa selama ini istrinya sering bermain r*njang denganku dan juga Hana lebih mencintaiku dari pada dia.

“Mas?” tanya Hana pelan, sisir yang sempat berhenti mengurai rapi rambutnya ia gerakan lagi.

“Hemm!”

“Kapan janji kamu buat ceraikan Qila kamu tepatin? Kamu nggak lupa kan sayang, sama janji kamu?”

Hana mulai mempertanyakannya kepastian lagi.

Sepertinya keinginan menikah dan hidup bersama lebih antusias dia dari pada aku.

Menegakkan kepalaku dan melepaskan pelukanku dari belakang kepadanya. Sebenarnya aku juga masih bingung harus jawab apa. Belum ada satu alasan apa pun yang terlintas di kepala.

“Aku ingat kok, sayang. Tapi--!”

“Tapi apa Mas?”

Kali ini Hana benar-benar memaksa sisirnya berhenti merapihkan rambutnya yang masih basah. Ia berdiri dari duduknya dan berpindah di sampingku yang duduk di pinggiran ranjang.

Raut wajahnya berubah, terpasang ekspresi yang lebih serius dengan tautan alis di keningnya.

“Jangan bilang sama aku kalau kamu nggak jadi ceraikan Qila?” dugaan Hana memperhatikanku yang tadi tak melanjutkan bicara.

Kepanikan kecil tiba-tiba menyerangku tapi sebuah pertanyaan yang terlintas di kepala bisa mengalihkan pembahasan yang sangat memojokan posisiku.

“Bu—bukan sayang, maksud aku, tapi gimana dengan Yasha? Bukankah kamu pun belum bercerai dari dia jadi, kita nggak perlu terburu-buru juga!” alibiku mengulur masalah.

“Mas Yasha lagi? Kamu nggak perlu khawatir dengan dia, Mas. Aku juga secepatnya bakal menggugat cerai dia biar kita bisa nikah secara resmi!”

Ternyata Hana sudah sejauh itu memikirkan hubungan terlarang ini. Dia yang semakin serius dan berjuang demi menikah denganku, sementara aku yang justru memperbaiki hubungaku dengan Qila demi warisan dan masa depanku.

“Makasih ya, sayang. Aku nggak nyangka kalau kamu akhirnya bakal memilih aku buat jadi teman hidup kamu.”

“Ya, Mas. Seandainya dulu, aku nggak salah memilih, mungkin aku sekarang nggak menyesali keadaan kita sekarang,” ujarnya, meletakan kepala di atas bahuku.

Perasaan Hana ternyata sejalan dengan perasaanku, aku semakin yakin untuk mempertahankan dia apa pun keadaannya, meski harus kehilangan Qila, dan menghancurkan persahabatanku. Hana adalah prioritas dihati aku.

“Kamu sabar ya, aku pasti akan perjuangin kamu!” Aku mengelus kepala Hana.

***

“Hati-hati ya, sayang!”

Aku mengecup kedua pipi dan kening Hana sebelum ia masuk ke dalam taksi online yang aku pesankan.

Setelah itu, aku bergegas pulang sebelum malam tiba karena, sebisa mungkin aku harus menyembunyikan pertemuanku dengan Hana ini.

Kunci otomatis mobilku kutekan, siap masuk dan meluncur pulang. Tapi, aku terkesiap saat seseorang menepuk pundaku dari belakang.

“Hei!”

“E-elu?”

Jantungku rasanya mau copot, mengetahui ternyata yang datang adalah..

Bersambung…..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status