“Kamu yakin Qila nggak tahu kita di sini, Mas?”
Hana bersicepat menarik selimut tebal untuk menutupi tubuhnya. Jantungku dan dia mungkin berdegup kencang secara bersamaan setelah mendengar ketukan pintu yang mendadak berbunyi tersebut. Aku dan Hana saling menatap panik. Sesaat aku berfikir, kejadian kemarin jangan sampai keulang lagi, sekalipun itu Qila, dia nggak boleh tahu Hana di sini. Kemudian, aku meraih baju dan celanaku yang berserakan di lantai dalam satu ayunan tangan. “Biar aku yang buka pintu! Sayang, cepat kamu sembunyi di kamar mandi!” “I—iya, Mas!” Hana berdiri lalu ke ruangan berair itu dengan tergesa-gesa. Aku menganggukan kepalaku. “Ya, tunggu sebentar!” Suara ketukan itu berhenti seusai aku menyahutnya. Perlahan kubuka handle pintu, dan ternyata… “Maaf, Pak. Apa ini milik Bapak? Tadi tertinggal di lobbi bawah,” ujar seorang waiter sambil memperlihatkan sebuah kunci mobil di tangannya. Aku melepas helaan napas yang tertahan. Dada ini serasa meluas lagi setelah hampir rapat karena terhimpit dugaan-dugaan yang menakutkan tentang Qila. “Oh, iya betul, ini milik saya. Terima kasih!” jawabku sembari menerima kunci mobil dari tangannya. “Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya permisi!” Waiter itu pun lalu pergi dari hadapanku. Aku kembali masuk dan memastikan pintu terkunci dengan benar. “Sayang…?” panggilku sembari mengetuk kecil pintu kamar mandi. Perlahan pintunya terbuka sedikit, separuh wajah Hana yang tegang nampak terlihat. “Aman,” kataku memberi kode padanya. “Serius?” tanyanya masih ragu. Aku menganggukan kepala. Pintu kamar mandi mulai terbuka lebar. Hana melangkah keluar, namun selimut yang dipakainya tersangkut handle pintu hingga jatuh dan membuat tubuhnya tak terbalut apapun. Seketika hasrat itu datang lagi. “Ih… kamu…!” pekiknya manja saat aku justru merangkul balik ke dalam kamar mandi, ia paham apa yang akan aku lakukan padanya, dan kami menikmatinya di tempat itu. “I love you,” bisikku di telinga Hana sambil melingkarkan tanganku di pinggang kecilnya. Sisir yang digenggam untuk merapihkan rambutnya terhenti, kepalanya ditolehkan kepadaku hingga kedua bibir kami hanya berjarak beberapa centi dan menghias senyum manis. “I love you too,” jawabnya, kemudian Indera pengecap aku dan dia disatukan membentuk ungkapan cinta secara visual. Cinta pertamaku itu seharusnya yang menjadi istriku. Jika itu terjadi, betapa beruntungnya aku. Selain mencintaiku, dia juga benar-benar pandai memuaskanku secara kebutuhan batin. Aku semakin ingin memilikinya secara resmi untuk mengikat dia selamanya. Bayangan hidup bahagia dengannya sudah sering terlintas di pelupuk mata. Sayangnya, semua itu harapan semu. Banyak hal yang aku harus lewati demi cintaku pada Hana. Istriku Qila, Ibu, belum lagi Yasha, apa jadinya nasib persahabatanku jika ia tahu bahwa selama ini istrinya sering bermain r*njang denganku dan juga Hana lebih mencintaiku dari pada dia. “Mas?” tanya Hana pelan, sisir yang sempat berhenti mengurai rapi rambutnya ia gerakan lagi. “Hemm!” “Kapan janji kamu buat ceraikan Qila kamu tepatin? Kamu nggak lupa kan sayang, sama janji kamu?” Hana mulai mempertanyakannya kepastian lagi. Sepertinya keinginan menikah dan hidup bersama lebih antusias dia dari pada aku. Menegakkan kepalaku dan melepaskan pelukanku dari belakang kepadanya. Sebenarnya aku juga masih bingung harus jawab apa. Belum ada satu alasan apa pun yang terlintas di kepala. “Aku ingat kok, sayang. Tapi--!” “Tapi apa Mas?” Kali ini Hana benar-benar memaksa sisirnya berhenti merapihkan rambutnya yang masih basah. Ia berdiri dari duduknya dan berpindah di sampingku yang duduk di pinggiran ranjang. Raut wajahnya berubah, terpasang ekspresi yang lebih serius dengan tautan alis di keningnya. “Jangan bilang sama aku kalau kamu nggak jadi ceraikan Qila?” dugaan Hana memperhatikanku yang tadi tak melanjutkan bicara. Kepanikan kecil tiba-tiba menyerangku tapi sebuah pertanyaan yang terlintas di kepala bisa mengalihkan pembahasan yang sangat memojokan posisiku. “Bu—bukan sayang, maksud aku, tapi gimana dengan Yasha? Bukankah kamu pun belum bercerai dari dia jadi, kita nggak perlu terburu-buru juga!” alibiku mengulur masalah. “Mas Yasha lagi? Kamu nggak perlu khawatir dengan dia, Mas. Aku juga secepatnya bakal menggugat cerai dia biar kita bisa nikah secara resmi!” Ternyata Hana sudah sejauh itu memikirkan hubungan terlarang ini. Dia yang semakin serius dan berjuang demi menikah denganku, sementara aku yang justru memperbaiki hubungaku dengan Qila demi warisan dan masa depanku. “Makasih ya, sayang. Aku nggak nyangka kalau kamu akhirnya bakal memilih aku buat jadi teman hidup kamu.” “Ya, Mas. Seandainya dulu, aku nggak salah memilih, mungkin aku sekarang nggak menyesali keadaan kita sekarang,” ujarnya, meletakan kepala di atas bahuku. Perasaan Hana ternyata sejalan dengan perasaanku, aku semakin yakin untuk mempertahankan dia apa pun keadaannya, meski harus kehilangan Qila, dan menghancurkan persahabatanku. Hana adalah prioritas dihati aku. “Kamu sabar ya, aku pasti akan perjuangin kamu!” Aku mengelus kepala Hana. *** “Hati-hati ya, sayang!” Aku mengecup kedua pipi dan kening Hana sebelum ia masuk ke dalam taksi online yang aku pesankan. Setelah itu, aku bergegas pulang sebelum malam tiba karena, sebisa mungkin aku harus menyembunyikan pertemuanku dengan Hana ini. Kunci otomatis mobilku kutekan, siap masuk dan meluncur pulang. Tapi, aku terkesiap saat seseorang menepuk pundaku dari belakang. “Hei!” “E-elu?” Jantungku rasanya mau copot, mengetahui ternyata yang datang adalah.. Bersambung…..Pria di depanku itu menatap lekat, membuat aku sedikit gugup dan kikuk. “Kenapa, lo? Kayak liat hantu.” Baru saja kulepas napas yang tertahan. Aku kira dia akan menghajar atau menghabisiku setelah apa yang baru saja aku lakukan pada istrinya. Tapi, dari ekspresinya dia terlihat biasa saja. Tak ada curiga atau apa pun. Itu artinya dia tak mengetahui apa-apa. “Emm, nggak! Kok, lo ada di sini?” tanyaku keceplosan. Terkesan konyol, padahal dari dulu juga tahu Yasha tinggal gak jauh dari daerah ini. “Maksudnya?” ia menatap bingung. “Mak—maksud gue, sore-sore gini lo mau ngapain di sini?” Menutupi gugupku, dengan merubah pertanyaan. “Ohh, ini gue ada pertemuan dengan klien di gedung sebelah,” jawabnya, sembari menoleh pada gedung sebelah hotel dimana aku dan Hana tadi bercinta. Aku menganggukan kepala. “O, ya, mumpung ketemu sekalian gue mau ngundang lo sama Qila ke acara anniversary gue dengan Hana, akhir pekan nanti. Ya, suprize kecil-kecilan aja, sih,” sambungnya. Ann
POV QILA (SYAQILA)“Tidur ya, sayang. Mimpi indah!” Kukecup kening Kiana yang sudah tertidur pulas setelah aku mendongengan sebuah cerita kesukaannya.Lalu, kulanjutkan untuk meyiapkan pakaian Mas Mirza sebelum tidur, kebetulan koper baju belum kubongkar. Koper itu masih ada di dekat pintu utama, dan aku harus mengambilnya.Namun, sebuah percakapan membuat langkahku berhenti.“Bu, ada yang mau Mirza bicarakan.”Suara itu sangat akrab di telingaku, membuat penasaran. Menaruh posisi di belakang tembok, aku memasang telingaku lebih dekat.“Aku ingin menceraikan Qila, Bu!” Serasa darah dalam tubuh ini berhenti dan membeku, apa yang baru saja kudengar dari Mas Mirza? Dia mau bercerai denganku? Dadaku seakan ditimpa benda berat, sakit dan sesak. Kenapa dia meminta maaf kemarin, jika sekarang dia justru ingin meminta ijin bercerai denganku. Apa maafku tak berarti untuknya? Apa dia melakukan ini hanya untuk Hana? Tega sekali.“Apa?! Mirza, apa Ibu nggak salah dengar?” tanya Ibu dengan nada
Menyapu pandanganku ke seluruh sudut ruangan di dalam, saat acara berlangsung. Tadinya aku hanya mengira kalau suamiku pergi sebentar ke toilet. Tapi, hampir dua jam aku tunggu dan dia tak kembali. Khawatir terjadi sesuatu dengannya, aku merogoh handphone di dalam tas kecilku, dengan lincah jari-jari ini mencari nama bertuliskan ‘Suamiku’ dan menekan tanda sambungan telepon ke pria yang tadi memintaku untuk bersikap ramah pada rivalku sendiri. Tak ada jawaban. Tak mungkin dia hanya ke toilet berjam-jam. Aku memutuskan untuk mempercepat jalanku, meninggalkan hall. Lalu, berjalan lagi menelusuri sekeliling gedung, kemana suamiku sebenarnya? Apa dia pulang duluan? Tak terasa pejalananku sampai di sebuah parkiran mobil. Di ujung sana masih terlihat mobil suamiku. Menghela nafas, dugaanku salah. Suamiku masih di sini. Mencoba menghampiri karna penasaran, apa mungkin dia ada di mobil? Sebelum sampai, aku melewati beberapa mobil, dan fokusku terampas sebuah mobil hitam yang cukup
“Mas, kamu rupanya!”Mendadak darahku naik, emosi di dada ini bergejolak. Selain Hana, tangaku yang masih gemetar ini ingin sekali menampar dan memukul pria yang masih menjadi suamiku itu. Tapi, keadaan dan situasi memaksa aku menahannya. “Dari mana?” tanyaku berlagak tak tahu apa-apa.“Aku dari toilet, mules banget. Lama, ya? Maaf ya, sayang!” jawabnya sambil menggenggam tanganku. Bersegera kulepas. Entah kenapa aku jadi merasa jijik padanya. Mas Mirza sama sekali tak merasa aku mengetahui sesuatu.“Bisakah kita pulang sekarang?” tanyaku sedikit memaksa.“Loh, kenapa?” tanya Mas Mirza balik.Ingin sekali mulutku menjawab bahwa aku ingin pulang karena muak melihat dia ‘bermain panas’ dengan Hana di mobil tadi. Tapi, itu tak kulakukan. Aku masih memandang acara kebahagiaan ini milik Yasha.“Aku sakit!” jawabku singkat.Ya, sakit hati tepatnya. Kupalingkan pandangan, tak ingin menatap suamiku sendiri. Aku masih menjaga hatiku agar tidak terlihat hancur di depannya. Terlebih di depan
“Hana! Itu kan alasan kamu nggak pernah bisa mencintaiku selama ini, Mas!Selama ini aku fikir kamu memang tulus menikah denganku, menyayangi aku dan Kiana, putri kita. Tapi, inilah kenyataannya kamu nggak pernah bisa melepas Hana! Apa kamu sadar dia siapa, Hah!Hana itu istri Yasha, sahabat kamu yang sudah hampir seperti saudara kamu sendiri. Bahkan mungkin dia menganggap kamu lebih dari itu. Tapi, kamu justru tega menghancurkan bahtera pernikahan mereka dengan merusak istrinya!”Aku meluapkan emosi yang terpendam selama ini. Beban hati yang sedari lama menyesakkan dadaku akhirnya lepas juga. Tak ada alasan lagi buat mempertahankan rumah tangga ini. Meski berat dan sakit, aku harus belajar merelakan suamiku yang ternyata tak pernah tulus cinta padaku.“Omong kosong apa ini, Qila? ” Mas Mirza membalikkan badan. Ia seakan menepis kenyataan yang baru saja aku lontarkan.“Ini bukan omong kosong. Ini adalah kenyataannya kan, Mas! Kamu masih berhubungan dengan Hana, bahkan sampai detik
“Ka-- kamu Yasha. Maaf, aku fikir…!”Aku gugup, saat membuka pintu ternyata Yashalah yang mengetuknya. Emosiku terjun seratus delapan puluh derajat. Tak ingin terlihat kacau di depannya. Biar bagaiman pun, dia tak bersalah dalam urusan istrinya yang berselingkuh dengan suamiku.“Mirza? Dia sudah berangkat beberapa menit yang lalu,” ujarnya.“O iya, lantas, kamu mau cari siapa lagi?” tanyaku canggung.Setelah menikah, aku jarang sekali bicara dengan pria, sekali pun soal pekerjaan. Itu kulakukan demi menjaga martabat aku sebagai istri Mas Mirza. Namun, tak disangka suamiku sendiri yang merusaknya.Kedatangan Yasha membuatku bingung apa yang harus aku lakukan.“Tadinya aku mau berbincang sebentar dengannya sambil menjengukmu. Tapi, berhubung dia sangat terburu-buru, jadi dia hanya mengijinkanku menjengukmu saja. Bagaimana keadaanmu?”Mas Mirza mengijinkan Yasha menjenguku tanpa adanya dia di sini? Keterlaluan! Segitu tak berharganya aku, hingga pria lain pun dia ijinkan menemuiku.“Ini,
“Bu, ayah lama banget pulangnya!” Kiana mengeluh setelah menunggu Mas Mirza tiga jam lamanya. Pasca sembuh dari sakitnya, dia begitu manja dan sering menanyakan ayahnya. “Iya, sayang sebentar lagi ayah sampai kok, sabar ya…!” ujarku menenangkannya sembari mengelus lembut rambut Kiana.Sekali lagi aku melihat jam ditanganku. Waktu memang tak bisa dihentikan, semakin lama malam semakin larut. Kasihan sekali Kiana, menunggu ayahnya sedari tadi hanya untuk sebuah belaian kasih sayang figure seorang ayah. Kemana suamiku itu? setelah perdebatan kemarin, ia lantas mengulur waktu seperti ini. Apa hanya karena enggan bertemu dan berdebat denganku lagi?[Mas, dimana?]Akhirnya aku mengirimkan pesan padahal, enggan sekali kulakukan. Tapi, demi Kiana, apapun akan kulakukan.[ Aku masih di kantor pekerjaan cukup banyak, kemungkinan malam ini aku bermalam di rumah mama karena pasti selesainya sampai malam dan lebih dekat dari sini. Sampaikan sayangku untuk Kiana.]Menghela kasar. Tak percaya. Ak
“Apa….!” Lirihku. Bulir-bulir air keluar dari dalam mata.Kata-kata Mama yang baru saja kudengar, bak petir di siang bolong. Ibu mertuaku yang kuanggap selayaknya Ibu kandungku sendiri dengan enteng berbicara seperti itu. Sesak dan sakit sekali rasanya saat telinga ini menerima perkataan dari mertuaku itu. Selama ini dengan tulus aku menyayangi dan menghormati keberadaannya sebagai Ibu dari orang yang aku cintai. Tapi ternyata dia tak setulus aku padanya. Suamiku dan Ibunya rupanya menyimpan rahasia besar dariku. Hanya karena warisan mereka mempertahankanku jadi bagian dari keluarga ini.“Qila sudah mencium hubunganku dengan Hana, Mah! Bahkan kemarin dia minta bercerai denganku. Seharusnya itu kesempatan dan kabar bahagia buatku, tapi lagi-lagi mulutku tertahan oleh warisan untuk berkata ‘Ya’!” Mas Mirza mendengus kasar.“Mau bagaimana lagi Mirza? Kita tidak punya pilihan! Kecuali melenyapkan dia dari muka bumi ini!” sahut Mama dengan penuh emosi.Spontan nafasku tertarik dan terta