“Ka-- kamu Yasha. Maaf, aku fikir…!”Aku gugup, saat membuka pintu ternyata Yashalah yang mengetuknya. Emosiku terjun seratus delapan puluh derajat. Tak ingin terlihat kacau di depannya. Biar bagaiman pun, dia tak bersalah dalam urusan istrinya yang berselingkuh dengan suamiku.“Mirza? Dia sudah berangkat beberapa menit yang lalu,” ujarnya.“O iya, lantas, kamu mau cari siapa lagi?” tanyaku canggung.Setelah menikah, aku jarang sekali bicara dengan pria, sekali pun soal pekerjaan. Itu kulakukan demi menjaga martabat aku sebagai istri Mas Mirza. Namun, tak disangka suamiku sendiri yang merusaknya.Kedatangan Yasha membuatku bingung apa yang harus aku lakukan.“Tadinya aku mau berbincang sebentar dengannya sambil menjengukmu. Tapi, berhubung dia sangat terburu-buru, jadi dia hanya mengijinkanku menjengukmu saja. Bagaimana keadaanmu?”Mas Mirza mengijinkan Yasha menjenguku tanpa adanya dia di sini? Keterlaluan! Segitu tak berharganya aku, hingga pria lain pun dia ijinkan menemuiku.“Ini,
“Bu, ayah lama banget pulangnya!” Kiana mengeluh setelah menunggu Mas Mirza tiga jam lamanya. Pasca sembuh dari sakitnya, dia begitu manja dan sering menanyakan ayahnya. “Iya, sayang sebentar lagi ayah sampai kok, sabar ya…!” ujarku menenangkannya sembari mengelus lembut rambut Kiana.Sekali lagi aku melihat jam ditanganku. Waktu memang tak bisa dihentikan, semakin lama malam semakin larut. Kasihan sekali Kiana, menunggu ayahnya sedari tadi hanya untuk sebuah belaian kasih sayang figure seorang ayah. Kemana suamiku itu? setelah perdebatan kemarin, ia lantas mengulur waktu seperti ini. Apa hanya karena enggan bertemu dan berdebat denganku lagi?[Mas, dimana?]Akhirnya aku mengirimkan pesan padahal, enggan sekali kulakukan. Tapi, demi Kiana, apapun akan kulakukan.[ Aku masih di kantor pekerjaan cukup banyak, kemungkinan malam ini aku bermalam di rumah mama karena pasti selesainya sampai malam dan lebih dekat dari sini. Sampaikan sayangku untuk Kiana.]Menghela kasar. Tak percaya. Ak
“Apa….!” Lirihku. Bulir-bulir air keluar dari dalam mata.Kata-kata Mama yang baru saja kudengar, bak petir di siang bolong. Ibu mertuaku yang kuanggap selayaknya Ibu kandungku sendiri dengan enteng berbicara seperti itu. Sesak dan sakit sekali rasanya saat telinga ini menerima perkataan dari mertuaku itu. Selama ini dengan tulus aku menyayangi dan menghormati keberadaannya sebagai Ibu dari orang yang aku cintai. Tapi ternyata dia tak setulus aku padanya. Suamiku dan Ibunya rupanya menyimpan rahasia besar dariku. Hanya karena warisan mereka mempertahankanku jadi bagian dari keluarga ini.“Qila sudah mencium hubunganku dengan Hana, Mah! Bahkan kemarin dia minta bercerai denganku. Seharusnya itu kesempatan dan kabar bahagia buatku, tapi lagi-lagi mulutku tertahan oleh warisan untuk berkata ‘Ya’!” Mas Mirza mendengus kasar.“Mau bagaimana lagi Mirza? Kita tidak punya pilihan! Kecuali melenyapkan dia dari muka bumi ini!” sahut Mama dengan penuh emosi.Spontan nafasku tertarik dan terta
“Ya, tadi aku dari rumah Mama sebentar. Aku rasa ingin pulang saja, lagi kangen sama Kiana,” jawabnya.Rindu Kiana? Mulai detik ini tak semudah itu aku percaya sama dia. Bahkan setiap geraknya pun aku akan curigai. Mas Mirza suami yang dulu aku percaya untuk melindungiku dan Kiana. Sekarang, dia adalah monster yang siap memakan mangsanya kapan pun kesempatan itu datang. Tak menutup kemungkinan dia akan menyakiti Kiana. Cintanya pada Hana benar-benar membutakan matanya.Kepercayaanku pada Mas Mirza dan Ibu mertuaku sudah tak ada sedikit pun. Aku akan membentengi diri demi melindungi Kiana. “Oh, begitu. Ya, sudah, aku ke kamar duluan ya.” Tanpa menunggu jawaban, aku berjalan cepat menuju kamar. Itu salah satu upaya aku menghindari segala macam pertanyaan dari dia. Tak lama ia menghampiriku. Setelah apa yang aku dengar, entah mengapa aku serasa melihat orang asing pada suamiku sendiri. Dia mendekatiku dari belakang, kutahu dari rasa hangat yang tiba-tiba menyerang punggungku. Perlah
“Bu—bukan siapa-siapa!” Mas Mirza masuk dan mendekatiku. Sinar cahaya lampu dari luar pintu yang terbuka lebar menyilaukan mata Kiana sehingga mengganggu tidurnya.“Ayah….!” Lirih Kiana dengan mata yang masih terpejam.Perhatian Mas teralihkan oleh panggilan Kiana, dan ia menghampiri putrinya. Sementara itu aku menghapus riwayat teleponku dan mematikannya. Aku tahu suamiku tidak akan lupa begitu saja dengan apa yang belum ia dapatkan jawabannya. “Ia sayang, maaf ya buat Kiana jadi bangun, tidur lagi ya, Nak!” Ayah biologis dari anakku itu membelai kepalanya dengan lembut. Tak lama Kiana pun tertidur pulas kemabali.“Tadi teleponan dengan siapa kamu malam-malam begini?” rupanya ia masih penasaran.“Nggak. Itu Sissy ,teman kuliahku dulu cuma mau ngabarin kalau besok dia mau jenguk aku sama teman-teman yang lain, begitu!” sahutku, mengarang alasan. Ia menyipitkan mata. “Bohong! Kamu pasti bohong, kan!” ia mendekatiku.“Nggak, aku nggak bohong!”“Aku nggak percaya! Berikan handphone k
“Dasar Pengkhianat mereka!” gumamku kesal.Pemandangan menyakitkan harus aku temui. Mas Mirza yang masih berstatus suamiku, mendadak datang menghampiri Hana yang dari tadi kebingungan mencari seseorang.Tak lama, suamiku mengecup pipi kanan dan kiri serta kening Hana. Lalu, menaburkan kemesraan dilayak umum. Mereka masuk ke sebuah pusat perbelanjaan tak jauh dari taman kota. Aku dan Yasha membuntutinya diam-diam.Mas Mirza merangkul Hana mesra. Perempuan yang memakai dress selutut itu bersandar manja sambil melingkarkan tangannya ke belakang pinggang suamiku. Mereka bak pasangan yang sedang kasmaran. Selama menjadi istrinya, aku saja tak pernah dirangkul sedekat itu. Hati Mas Mirza benar-benar sudah dibutakan oleh Hana.Beberapa kali Yasha memberi kode padaku agar tak perlu mengikuti mereka. Namun, aku menolak. Hatiku yang panas dan menggebu-gebu semakin penasaran apa yang akan mereka lakukan.Kemudian, Mas Mirza masuk pada sebuah toko perhiasan yang cukup ternama di kota ini.Produ
“Kabarnya, pempelai wanitanya istri kedua loh!” ujar seorang wanita muda di sampingku begibah dengan wanita muda lainnya. Sang pengantin wanita berdiri dari kejauhan, wajahnya masih ditutupi kain jaring, sehingga samar untuk di kenal. Sementara pengantin laki-laki, masih di dalam.“Oh, gitu, kok mau, ya?”“Ya, maulah, pengantin prianya itu kan tajir melintir banget, nggak abisa warisan tujuh turunan juga!”“Hahah. Ya nggak gitu juga kali…!”Telingaku menangkap obrolan mereka. Makin panas saja hati ini, mendengar semua itu.Nggak bisa! Kalau rumah tangga aku hancur, seenggaknya mereka pun harus gagal menikah! Aku akan rusak acara ini! Mereka gak boleh bahagia di atas penderitaanku. Sisi jahatku tiba-tiba muncul. Rasa sakit yang terlalu dalam sudah menutup mata batin ini. Dengan emosi yang membara, aku melepas masker di wajahku. begitu juga topiku. Lalu berjalan cepat menuju mempelai wanita tersebut. Ingin sekali aku merobek wajah Hana hingga hancur dan rusak seperti ia menghancurka
Jantungku dan Yasha hampir copot saat lelaki separo baya itu menempuk bahu kami.“Hem, ini kami tim Wedding lagi ngawasin acara dari luar. Kebetulan, kami lagi bagi-bagi tugas,” jawab Yasha mengelabui.“Oh, gitu. Maaf, maaf. Kalau begitu silahkan lanjutkan!” ujar pria segan. “Terima kasih, Pak. Ayo, kita cek lagi ke dalam!” ajak Yasha padaku. Aku paham dia hanya berpura-pura.Kemudian kami bersegera meninggalkan tempat itu. Setelah jauh dari pria tadi, aku dan Yasha belok keluar dari villa dan secepatnya menjauh dari daerah dimana suamiku dan Hana mengikrar janji.Melihatku menangis sepanjang jalan, Yasha tidak langsung mengantarku pulang. Dia membawaku ke suatu tempat dimana tempat itu tak pernah ada dalam fikiranku saat membendung kesedihan ini.“Kenapa kamu bawa aku ke sini?” tanyaku bingung.“Coba kamu menghadap ke sana!” ia membelokkan badanku ke kanan yang tadinya menghadap dirinya. Lalu aku masih menoleh sembari menautkan kening padanya karena masih tak mengerti maksud dia.