Share

Part 2

Mas Mirza masuk setelah disambut seorang wanita yang membuka pintu kamar hotel.

Langit seakan runtuh. Organ dalam tubuh yang bernama hati ini seolah ditembak dengan timah panas. Aku berharap ini semua mimpi. Tapi, sayangnya bukan! Hal yang selama ini aku duga, ternyata benar!

Pemandangan tadi begitu menyesakkan dadaku. Rasa bahagia dan sayang yang beberapa waktu lalu berbaur satu, kini berubah menjadi bola amarah yang siap kulemparkan pada mereka.

“Buka! Cepat buka!”

Aku memukul-mukul pintu dengan kencang. Mereka tak kunjung keluar.

“Mas Mirza! Hana! Buka pintunya!”

Beberapa penghuni hotel sekitarnya mendadak keluar.

“Qi-la! Kamu ngapain di sini?”

Tubuh Hana hanya berbalut selimut, ia tercengang saat membuka pintu. Ia mungkin tak menyangka aku yang datang.

Kutatap tajam dengan mata membulat ”Mana suami, saya?!”

Bola mata Hana berkeliaran. Mulutnya terbuka, tapi sulit mengeluarkan suara.

”AHHH!” Aku menerobos masuk kamar hotel. Entah setan apa yang merasuk tubuhku.

“Mas Mirza!” Mataku membelalak.

“Jadi, ini yang kamu maksud ketemu teman-teman?!” tanyaku dengan suara bergetar.

Tenggorokan ini seakan tersekat. Mataku tiba-tiba panas hingga air di dalamnya tak terbendung ke luar.

Kepalan tangan rasanya ingin kulayangkan di pipi Mas Mirza dan Hana, saat mata kepalaku sendiri menyaksikan diri mereka yang setengah berbusana.

Entah apa yang akan mereka lakukan bila aku tak datang. Atau, sebelumnya mereka sering melakukannya? Kurang aj*r! ternyata mereka bermain api di belakangku.

Semua pikiran dan prasangka buruk menyerang hati. Tak ada celah untuk mendatangkan pikiran baik tentang mereka lagi. Aku sangat benci!

“Qi--Qila!” Mas Mirza terkejut melihatku dan ia langsung memungut pakaiannya yang berserakan di lantai.

“I--ini nggak kayak yang kamu pikir, kamu harus dengerin penjelasan aku!” sambungnya, seraya mengancingkan kemejanya, yang seharusnya dipakai saat makan malam bersamaku tadi.

Sulit di percaya! Aku mematung untuk beberapa detik. Jiwa ini perlu memastikan lagi apakah yang kulihat ini hanya mimpi ataukah kenyataan?

Suamiku, yang selama ini kubanggakan pada putriku, yang selalu kukatakan pada dia, bahwa ayahnya adalah pria terbaik di dunia? Nakhoda yang mahir membawa aku dan putrinya berlayar jauh.

Tapi malam ini aku mencabut semua ucapan-ucapanku. Dia lelaki brengs*k! B*jat! Dia tak pantas buat dibanggakan lagi!

Teganya dia melakukan ini padaku. Parahnya dengan wanita yang aku kenal! Air mata sudah tak bisa kutahan lagi, aku biarkan berderaian di pipi.

“Aarggghh!”

Praaang!

Aku menyapu barang-barang yang ada di meja dekatku. Tak peduli punya siapa dan apa pun itu.

Kemudian aku berbalik dan berlari ke arah pintu luar. Namun, langkahku berhenti saat melewati wanita yang masih berdiri mengenakan selimut hotel untuk menutupi bagian atas tubuhnya.

Sorot mataku beradu panas dengan mata perempuan yang sekarang telah mengibarkan bendera perang padaku.

'Akan kubalas kamu, Hana!' tekadku dalam hati.

Dia menatap sengit dengan menarik satu ujung bibirnya ke atas. Lalu, aku pergi meninggalkan mereka.

“Syaqila! Tunggu!” Mas Mirza memanggil terus-menerus dengan memanggil nama lengkapku.

Tapi, tetap kuabaikan. Aku berlari sambil menangis. Yang ada dalam pikiran saat ini hanyalah meninggalkannya. Membawa Kiana pergi jauh dari hidupnya. Aku dan Kiana nggak pantas mendapatkan ini.

Aku masuk ke dalam mobil, lalu tancap gas pulang. Aku berhasil pergi darinya. Kulihat dari kaca spion lelaki itu terengah-engah sambil memegang kepalanya.

‘Ya Allah, kenapa ini terjadi padaku ...? Semua bisa kumaafkan kecuali penghianatan!’

Air jernih dari pelupuk mata semakin deras membanjiri pipi. Dadaku terasa menyempit. Bayangan suamiku sendiri yang berada di atas ranjang putih setengah busana menanti wanita lain naik dan tidur bersamanya masih terlintas di benak.

Sakit sekali!

Aku pinggirkan mobil. Masih ada kesadaran saat menyetir, bahwa keadaanku sangat membahayakan.

“Aaargh! Mas Mirza, Hana, kalian B*jingan!” kutempelkan keningku ke tangan yang masih di atas setir. Darah di tubuh ini serasa tak mengalir lagi.

Apa yang harus kulakukan?

Akhirnya aku kembali menyetir saat keadaanku membaik. Sesampai rumah, aku pun segera meminta Mbak Yanti mengemasi pakaian Kiana. Aku juga melakukan yang sama.

“Tolong, masukkan ke dalam bagasi mobil ya, Mbak!” titahku, sembari menggendong Kiana yang tertidur pulas.

Kuletakkan Kiana di kursi tengah yang sudah kusulap menjadi kasur empuk, tak lupa segala tentang keamanannya.

“I-iya, Bu!” jawab Mbak Yanti yang tampak bingung melihatku.

“Mbak, nanti kalau Bapak pulang, terus tanya saya kemana, bilang aja ke rumah mama, ya!” pesanku sebelum masuk ke mobil.

“Ba-Baik, Bu! Tapi maaf, Ibu sama Non Kiana yakin malam-malam begini mau berangkat? Apa, nggak nunggu pagi saja, Bu?” Wajah Mbak Yanti terlihat cemas.

“Nggak Mbak, saya harus pergi sekarang.”

“Baik, Bu. Kalau begitu hati-hati!”

Aku menganggukkan kepala. Lalu, masuk ke dalam mobil dan mulai melaju.

Mungkin setelah pulang, Mas Mirza akan menyusulku ke rumah mama. Padahal, aku sama sekali tidak akan ke sana, melainkan ke suatu tempat yang selama ini aku sembunyikan.

***

“Alhamdulillah akhirnya sampai. Di sini aku bisa menenangkan diri dan menghindar dari Mas Mirza," gumamku pada diri sendiri.

Waktu terus berjalan, dan sekarang sudah hampir pagi. Tapi mataku masih belum bisa juga terpejam.

Terbesit lagi kejadian di hotel tadi.

Ah, S*al! kenapa harus terbayang lagi. Semua ini benar-benar membuatku terpukul.

'Hana, aku akan buat kamu menyesal melakukan ini!' batinku.

****

Sinar matahari menyorot mata yang perlahan terbuka. Rupanya Kiana yang memainkan tirai jendela.

Setengah bangkit dari tidurku. Lalu, aku menggapai handphone yang ada di meja. 60 panggilan tak terjawab dan 25 pesan masuk. Itulah yang tertera di layar benda itu. Semua notifikasi itu dari Mas Mirza dan 5 pesan dari Ibu mertuaku.

[Syaqila. Maafkan aku, Sayang.]

[Tolong jangan begini, Qila! Kamu harus dengar dulu penjelasan aku!]

[Aku sekarang menyusul!]

Ibu mertua:

[Nak, kamu dan Kiana di mana? Mirza ke sini, katanya mau nyusul kamu. Tapi, kamu nggak kesini. Dimana kamu, Nak?]

Aku sengaja membuat Mas Mirza pergi ke rumah mamanya. Aku ingin mama tahu kelakuan anak kesayangannya itu. Sejujurnya, aku sudah lelah dengan pria itu. Ingin sekali menyudahi hubunganku. Namun, adanya Kiana selalu mengurungkan keinginan itu.

Tok tok tok!

Siapa, ya? Padahal tak ada yang tahu alamat rumah ini, termasuk Mas Mirza.

Rumah ini sebuah hadiah dari Almarhum kakek untukku. Rumah dengan bangunan dan model klasik, namun begitu tenang untuk ditempati saat keadaan aku yang seperti sekarang ini.

“Ya, Tunggu!” sahutku dari dalam kamar yang berjarak sangat dekat dengan ruang tamu.

Saat aku buka handle pintu, aku terkejut, ternyata yang datang .…

Barsambung…

Komen (1)
goodnovel comment avatar
BalqizAzzahra
selalu nyesek kalo baca cerita soal perselingkuhan, ikut baper saya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status