Share

Dinikahi karena Warisan, Berujung dapat Suami Baru yang Sultan
Dinikahi karena Warisan, Berujung dapat Suami Baru yang Sultan
Penulis: Yuni Fediani

Part 1

“Nggak usah bohong lagi, Mas! Aku tahu selama ini kamu bukan cuma ketemu teman-teman kamu sampai pulang larut begini. Tapi ada wanita yang kamu temuin, kan?!” Aku meradang, saat Mas Mirza baru pulang dipukul satu pagi.

Beberapa minggu terakhir ini ia sering sekali keluyuran, dengan alasan bertemu teman-teman lamanya. Awalnya aku percaya, dan membiarkan saja. Tapi ternyata, dugaanku itu salah.

Aku mendengar kabar, kalau dia bukan bertemu dengan teman-temannya, melainkan seorang wanita, yaitu Hana, istri dari sahabatnya sendiri.

“Apa maksud kamu? Aku nggak bohong, kok!” sangkal Mas Mirza sambil melonggarkan kemejanya.

Tuduhanku seakan menyesakkan dada dia. Lalu, Mas Mirza bangkit dari duduk dan aku mengikutinya.

“Kamu ketemu sama Hana, kan?!” tanyaku dengan suara bergetar dan sorot mata tajam.

Akhirnya nama yang awalnya aku sembunyikan keluar juga dari mulut.

Ia melirik. “Memang kenapa kalau aku ketemu sama dia? Dia kan, istrinya Yasha, sahabatku.

Kami juga berteman, kan? Ada yang salah?!” sahutnya sambil melangkah pergi ke kamar mandi.

“Tapi, dia kan--! Mas! Mas! Aku belum selesai ngomong!” Belum tuntas aku bicara, ia masuk dan membanting pintu kamar mandi.

“Ibu …,” lirih Kiana, putri semata wayang kami.

Mungkin perdebatanku mengusik tidurnya. Aku menyudahi saja pembahasan yang menggeramkan jiwa ini. Kuelus kembali kepala Kiana hingga tertidur pulas lagi.

Dengan menatap wajah malaikat kecilku yang sedang tertidur, benar-benar menenangkan. Meredam emosi dan air mata yang hampir tumpah karna kesakitan yang selama ini kupendam.

Selain karena amanat mendiang papa mertua, Kiana adalah salah satu alasan kenapa aku bisa bertahan dengan rumah tangga ini.

Sebelum tiada, papa mertua berpesan pada kami agar selalu menjaga bahtera rumah tangga. Sebab beliaulah yang memilih aku untuk Mas Mirza. Ya, dengan kata lain pernikahan kami memang adalah sebuah perjodohan.

Bukan atas dasar cinta kami menikah. Namun, benih-benih itu bersemayam dan berkembang seiring berjalannya waktu. Kami pun akhirnya saling mengenal satu sama lain, hingga menghasilkan buah cinta kami yaitu, Kiana.

****

“Pagi, sayang.”

Mas Mirza ingin meraih tanganku saat aku menaruh roti untuk sarapan di piringnya, tapi aku tepiskan. Diam seribu Bahasa, itulah aksiku. Rasa kesal dari perdebatan semalam masih bersisa.

Senyap beberapa menit, hanya lirikan-lirikan kecil Mas Mirza yang tertangkap oleh ekor mataku.

“Hemm, kamu pulang jam berapa, Qila? Nanti aku jemput,ya?”

Tiba-tiba pertanyaan indah yang nggak biasa kudengar selama beberapa waktu belakangan ini sampai juga di telinga. Sepertinya dia tahu, aku sedang merajuk padanya, setelah aksi diam seribu bahasa tadi.

“Nggak usah, aku bisa pulang sendiri!” jawabku singkat.

Mas Mirza mengangkat gelas dan meminum airnya. Aku merasa dia berusaha mengambil hatiku lagi.

“Jangan gitu dong, sayang. Kebetulan hari ini aku juga pulang sore, pokoknya nanti aku jemput, ya!” ujarnya sedikit memaksa.

Aku menghela napas panjang. Itulah jawabanku.

“Kiana sayang, Ibu berangkat duluan, ya!”

Kiana mengecup punggung tanganku. Setelah itu aku bergegas ke kantor.

***

“Kalau menurut gue sih, lo juga nggak bisa nuduh dia gitu aja, Qil. Bukti yang lo punya belum begitu kuat!“ tanggap Sissy, sahabat sekaligus teman sekantorku setelah aku menceritakan kecurigaan pada Mas Mirza.

“Iya sih, entah kenapa gue selalu berfirasat nggak enak kalau denger si Hana ikut suaminya ketemu suami gue.“

“Ya, wajar aja, dia kan mantan pacar suami lo. Semua istri juga bakal begitu, kok. Tapi, dari pada bikin nyesek sendiri, mending lo hilangin deh yang bikin penyakit hati itu."

Saran Sissy membuatku berpikir. Ada benarnya juga kata dia. Selain bikin penyakit hati, pikiran-pikiran buruk di kepala bisa jadi perdebatan aku sama Mas Mirza terus. Nggak ada salahnya aku coba berbaikan sama dia.

***

Langit mendung sore itu, tapi tidak semendung hati ini. Ucapan Sissy membuatku sedikit lega dan berpikir bahwa tak perlu menuduh jika tak ada bukti yang kuat, karena hanya akan menjadi prahara rumah tangga saja.

Aku pun mulai mencoba selalu berpikir positif tentangnya, biar bagaimana dia adalah ayah dari putri kecilku.

***

“Mas, habis ini aku mau masak ayam rica-rica kesukaan kamu. Kita makan malam bareng, ya!” ajakku bermaksud memperbaiki keadaan hubungan ini agar lebih baik dari kemarin.

Sembari membuka seat belt ia tersenyum, ”Wah, boleh! Udah kangen aku sama masakan kamu.”

Mas Mirza pandai sekali membuat hatiku meleleh dan aku senang apalagi ditambah rautnya yang begitu antusias terhadap masakanku.

Dengan semangat aku langsung ke dapur. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Kesempatan untuk membuat suamiku betah di rumah dan selalu mencintaiku.

“Hemm … aromanya harum, pasti enak banget masakan istriku!” Mas Mirza datang, sesudah membersihkan diri dan memuji masakanku.

“Pasti dong, Mas. Kan, buatnya pake cinta,” balasku sedikit menggombal.

“Hahah! Bisa aja.” Ia mencubit ujung hidungku, ”Kiana, mana?”tanyanya sembari menyapu pandangan.

“Masih di kamar.”

“Oke, kalau gitu, biar aku yang samperin.” Mas Mirza langsung melangkah ke kamar Kiana lantas menaruh handphone-nya di meja.

Drrtttt!

Tiba-tiba handphone miliknya bergetar.

“MH? Siapa, ya?” Aku menatap huruf yang tertera di layar benda itu.

Apa aku jawab aja, ya? Hatiku ragu. Aku tak ingin Mas Mirza menilaiku bersikap lancang. Tapi, aku sangat penasaran dan takutnya sangat penting. Aku akan jawab saja! Belum sampai kutekan tombol answer, pemiliknya datang.

“Kamu, ngapain?”

“A--aku … ini loh, Mas. Tadi ada yang hubungi kamu. Takutnya penting, jadi aku jawab. Eh, keburu mati,” jelasku sedikit gugup.

Mas Mirza merebut benda itu dan langsung menaruh di saku celana seusai melihat siapa yang menghubungi.

“Yuk kita makan!” ajakku penuh semangat. Tapi, lagi-lagi handpnone-nya berdering.

“Hallo?” Mas Mirza menjawab sambil menjauh dariku dan Kiana. Tak lama, dia kembali lagi.

“Qila, maafin ya, kayaknya aku nggak bisa ikut makan malam bareng. Teman-teman aku udah pada nunggu. Maafin ya, sayang!”

“Tapi, Mas--!”

Mas Mirza mengecup keningku dan bergegas pergi, tanpa memberi kesempatanku untuk bicara.

Kesekian kalinya aku di perlakukan tak dihargai seperti ini. Sesak! Sakit sekali! Aku merasa direndahkan. Lalu apa artinya aku buat dia? sampai kapan seperti ini? Tak terasa pipiku sudah basah oleh air mata.

MH? Terbayang di pelupuk mata. Siapa dia? Aku harus menyelidikinya. Dengan tergesa, aku mengalihkan Kiana pada Mbak Yanti, ART-ku.

Bergegas tancap gas, mengejar mobil Mas Mirza. Beruntung tak kehilangan jejak. Dia berhenti di sebuah hotel.

Aku terus membuntutinya, hingga di depan sebuah pintu kamar, aku tercengang saat seseorang membuka pintu.

Astagfirullah! Jadi….

Bersambung…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status