Mas Mirza masuk setelah disambut seorang wanita yang membuka pintu kamar hotel.Langit seakan runtuh. Organ dalam tubuh yang bernama hati ini seolah ditembak dengan timah panas. Aku berharap ini semua mimpi. Tapi, sayangnya bukan! Hal yang selama ini aku duga, ternyata benar! Pemandangan tadi begitu menyesakkan dadaku. Rasa bahagia dan sayang yang beberapa waktu lalu berbaur satu, kini berubah menjadi bola amarah yang siap kulemparkan pada mereka. “Buka! Cepat buka!” Aku memukul-mukul pintu dengan kencang. Mereka tak kunjung keluar. “Mas Mirza! Hana! Buka pintunya!” Beberapa penghuni hotel sekitarnya mendadak keluar. “Qi-la! Kamu ngapain di sini?” Tubuh Hana hanya berbalut selimut, ia tercengang saat membuka pintu. Ia mungkin tak menyangka aku yang datang. Kutatap tajam dengan mata membulat ”Mana suami, saya?!” Bola mata Hana berkeliaran. Mulutnya terbuka, tapi sulit mengeluarkan suara. ”AHHH!” Aku menerobos masuk kamar hotel. Entah setan apa yang merasuk tubuhku. “Mas M
Mas Mirza?Dari mana dia tahu aku ada di sini? Tak ada satu orang pun sebelumnya yang tahu tempat ini. bahkan Kiana pun baru pertama kali aku bawa ke sini.“Qila, tunggu! Buka pintunya!” Mas Mirza menahan pintu dengan tangannya agar tidak tertutup saat aku dorong paksa, dan ia berhasil membukanya.“Pergi kamu, Mas! Aku nggak mau kamu di sini! Pengkhianat!” usirku dengan nada tinggi.“Qila, tolong dengerin penjelasan aku dulu!”“Apa?! Apa lagi yang mau kamu jelasin! Udah cukup jelas kejadian semalam buat aku!” Aku mengoceh sembari masuk menghampiri Kiana. Saat ini, hal yang paling aku takutkan adalah Kiana dibawa pergi oleh Mas Mirza. Putri semata wayangku itu bagai napas untukku. Tak akan pernah bisa aku jauh darinya.“Aku sama Hana nggak ada apa-apa. Aku nggak pernah serius sama dia! Cuma kamu Qila yang aku cinta!” ungkapnya sembari menahan tanganku.Genggamannya cukup kencang, sampai-sampai tenagaku tak mampu melepaskan tangan darinya. Pandai sekali ia membual, mungkin kata-kata
POV MIRZA“Apa-apaan kamu ini, Mirza! Gimana seandainya Qila memintamu bercerai?!” Ibuku murka setelah aku menanyakan keberadaan istri dan anakku, Kiana. Kemudian beliau mengambil handphone dan berusaha menghubungi istriku. Aku pun melakukan hal yang sama setelah itu. Namun, hasilnya nihil.Rupanya Qila mengalihkan dugaanku untuk bisa menemuinya. Dia pasti sangat marah dan kecewa dengan apa yang terjadi di hotel antara aku dan Hana. Begitu juga Ibu, seusai aku menceritakan yang sebenarnya, dia nampak khawatir pada menantu dan cucunya itu.Tapi, sampai detik ini sejujurnya aku masih mencintai Hana. Dia cinta pertamaku. Namun sayang, hatinya terbuka saat aku sudah mengikrarkan janji untuk hidup bersama dengan Qila, wanita yang mendiang ayah pilihkan untukku. Aku tak bisa begitu saja melepas Hana. Meski kini, dia adalah seorang istri dari sahabatku, Yasha. Namun, aku yakin seperti apa yang dikatakannya padaku, bahwa dia hanya mencintaiku, bukan Yasha.Dan Qila …Dia akan tetap menjadi
“Jadi, kamu janjiin dia buat menceraikanku?!” tanya Qila dengan tatapan berapi melihatku, setelah ia melirik isi pesan yang terpampang di layar handphone. Kemudian ia membuang muka dan membisu seribu bahasa.“Emm—akan kuselesaikan urusanku dengan Hana!” gagapku menjadi salah tingkah. Gegas aku mengambil handpone di dekatnya, yang menjadi awal mula masalah baru.Duh, Hana! Kenapa ngirim pesan seperti itu. Qila kan, jadi marah lagi. Repot jadinya kalau udah begini!“Ya! Kamu memang harus selesaikan urusan kamu dengan perempuan itu, Mas! Kalau kamu tetap mau melihat kebahagiaan Kiana memiliki keluarga yang utuh!” ucapnya dengan dada yang naik turun, pertanda ia menahan emosinya yang hampir meledak lagi. “Iya, Sayang. Kamu nggak perlu khawatir. Aku janji akan segera selesaikan hubungan aku dengan dia,” jawabku sembari menggenggam tangannya. Meski, setelah itu dia hempaskan dan pergi ke kamar.Sorenya kami kembali pulang ke rumah. Suasana hubunganku dengan Qila masih terasa dingin. Dia
“Kamu yakin Qila nggak tahu kita di sini, Mas?” Hana bersicepat menarik selimut tebal untuk menutupi tubuhnya. Jantungku dan dia mungkin berdegup kencang secara bersamaan setelah mendengar ketukan pintu yang mendadak berbunyi tersebut. Aku dan Hana saling menatap panik. Sesaat aku berfikir, kejadian kemarin jangan sampai keulang lagi, sekalipun itu Qila, dia nggak boleh tahu Hana di sini.Kemudian, aku meraih baju dan celanaku yang berserakan di lantai dalam satu ayunan tangan.“Biar aku yang buka pintu! Sayang, cepat kamu sembunyi di kamar mandi!” “I—iya, Mas!” Hana berdiri lalu ke ruangan berair itu dengan tergesa-gesa. Aku menganggukan kepalaku.“Ya, tunggu sebentar!” Suara ketukan itu berhenti seusai aku menyahutnya. Perlahan kubuka handle pintu, dan ternyata…“Maaf, Pak. Apa ini milik Bapak? Tadi tertinggal di lobbi bawah,” ujar seorang waiter sambil memperlihatkan sebuah kunci mobil di tangannya.Aku melepas helaan napas yang tertahan. Dada ini serasa meluas lagi setelah h
Pria di depanku itu menatap lekat, membuat aku sedikit gugup dan kikuk. “Kenapa, lo? Kayak liat hantu.” Baru saja kulepas napas yang tertahan. Aku kira dia akan menghajar atau menghabisiku setelah apa yang baru saja aku lakukan pada istrinya. Tapi, dari ekspresinya dia terlihat biasa saja. Tak ada curiga atau apa pun. Itu artinya dia tak mengetahui apa-apa. “Emm, nggak! Kok, lo ada di sini?” tanyaku keceplosan. Terkesan konyol, padahal dari dulu juga tahu Yasha tinggal gak jauh dari daerah ini. “Maksudnya?” ia menatap bingung. “Mak—maksud gue, sore-sore gini lo mau ngapain di sini?” Menutupi gugupku, dengan merubah pertanyaan. “Ohh, ini gue ada pertemuan dengan klien di gedung sebelah,” jawabnya, sembari menoleh pada gedung sebelah hotel dimana aku dan Hana tadi bercinta. Aku menganggukan kepala. “O, ya, mumpung ketemu sekalian gue mau ngundang lo sama Qila ke acara anniversary gue dengan Hana, akhir pekan nanti. Ya, suprize kecil-kecilan aja, sih,” sambungnya. Ann
POV QILA (SYAQILA)“Tidur ya, sayang. Mimpi indah!” Kukecup kening Kiana yang sudah tertidur pulas setelah aku mendongengan sebuah cerita kesukaannya.Lalu, kulanjutkan untuk meyiapkan pakaian Mas Mirza sebelum tidur, kebetulan koper baju belum kubongkar. Koper itu masih ada di dekat pintu utama, dan aku harus mengambilnya.Namun, sebuah percakapan membuat langkahku berhenti.“Bu, ada yang mau Mirza bicarakan.”Suara itu sangat akrab di telingaku, membuat penasaran. Menaruh posisi di belakang tembok, aku memasang telingaku lebih dekat.“Aku ingin menceraikan Qila, Bu!” Serasa darah dalam tubuh ini berhenti dan membeku, apa yang baru saja kudengar dari Mas Mirza? Dia mau bercerai denganku? Dadaku seakan ditimpa benda berat, sakit dan sesak. Kenapa dia meminta maaf kemarin, jika sekarang dia justru ingin meminta ijin bercerai denganku. Apa maafku tak berarti untuknya? Apa dia melakukan ini hanya untuk Hana? Tega sekali.“Apa?! Mirza, apa Ibu nggak salah dengar?” tanya Ibu dengan nada
Menyapu pandanganku ke seluruh sudut ruangan di dalam, saat acara berlangsung. Tadinya aku hanya mengira kalau suamiku pergi sebentar ke toilet. Tapi, hampir dua jam aku tunggu dan dia tak kembali. Khawatir terjadi sesuatu dengannya, aku merogoh handphone di dalam tas kecilku, dengan lincah jari-jari ini mencari nama bertuliskan ‘Suamiku’ dan menekan tanda sambungan telepon ke pria yang tadi memintaku untuk bersikap ramah pada rivalku sendiri. Tak ada jawaban. Tak mungkin dia hanya ke toilet berjam-jam. Aku memutuskan untuk mempercepat jalanku, meninggalkan hall. Lalu, berjalan lagi menelusuri sekeliling gedung, kemana suamiku sebenarnya? Apa dia pulang duluan? Tak terasa pejalananku sampai di sebuah parkiran mobil. Di ujung sana masih terlihat mobil suamiku. Menghela nafas, dugaanku salah. Suamiku masih di sini. Mencoba menghampiri karna penasaran, apa mungkin dia ada di mobil? Sebelum sampai, aku melewati beberapa mobil, dan fokusku terampas sebuah mobil hitam yang cukup
“Sebenarnya apa?” tanya Mirza penasaran.“Sebenarnya Mas Yasha tidak sakit, dia normal dan baik-baik saja. Selama ini akulah yang mengelabuinya. Aku yang menukar hasil pemeriksaan dirinya dengan hasil yang palsu,” terang Hana tanpa rasa bersalah.Mirza terkejut, tak percaya dengan apa yang dilakukan istri sirinya itu.“Nggak mungkin! Kamu pasti bohong. Sudahlah Hana, aku nggak akan bisa kamu kelabui seperti Yasha!” Sangkal Mirza menatap tajam.“Aku berkata benar, kamu nggak ada hak atas anak ini, Mas. Lagi pula, aku hanya ingin anakku hidup bahagia dan mewarisi harta ayahnya, Yasha. Jadi, mulai sekarang, kita coba lupakan saja hubungan kita,” tegas Hana.Mirza mengatur nafasnya yang serasa sesak tiba-tiba. Gumpalan darah berkumpul diwajahnya, seolah gambaran amarah yang tertahan. Sesekali ia menelan ludah, seakan menelan kepahitan yang baru saja di dengarnya, dan Hana bisa melihat itu.Ia paham apa yang dimaksud istri sirinya itu, Hana hanya ketakutan, dia dan calon bayi mereka akan h
“Siapkan mobil, kita akan ke rumah sakit!”Perintah Yasha pada Dito sesampai di rumah. Setelah assisten rumah mengabarkan yang terjadi pada Hana tadi, Yasha bergegas pulang.“Hana, Hana. Bagunlah!”Yasha menepuk-nepuk pipi Hana. Kemudian menempelkan dua jarinya di sekitar leher, alhasil dugaannya dia masih bernyawa. Namun, hanya saja wanita yang baru saja ditalaknya itu tak kunjung sadar.“Apa yang sebelumnya terjadi?”“E—Ibu tadi mendadak mual dan mengeluh sakit kepala, Pak! Terus nggak lama dia pingsan, itu saja yang saya tahu!” jawab Bi Harti, Assissten Rumah tangga Yasha. Tidak banyak berfikir lagi, Yasha langsung membawa Hana ke dalam mobil yang sudah Dito siapkan untuk meluncur ke rumah sakit.Pasca pulang makan malam, Yasha dan Hana bertengkar hebat. Hana bersikeras tak ingin berpisah dari Yasha, sementara suaminya itu sudah menjatuhkan talak beberapa kali.Hana yang kecewa, mengurung diri dalam kamar. Tak mau makan, minum, bahkan mungkin ia tak membersihkan diri setelah dari
“Hentikan pembicaraan kalian!” Bentak Mirza pada Qila dan Yasha.“Kenapa, ada masalah dengan pembicaraan kita?” tanya Yasha tegas.“Gue muak dengan kemunafikan lo,Yash!”“Gue munafik?” Tertawa tajam, “Apa lo nggak pernah ngaca, siapa yang lebih munafik antara gue sama lo!” sambung Yasha.Suasana memanas, sepertinya Yasha mulai tersulut emosi. Entah apa yang membuat Mirza meradang amarah tiba-tiba.“Kurang aj*r!”Mirza keluar dari bangku dan berusaha menyerang Yasha, tapi itu tak berhasil lantaran spontan ditahan oleh Hana.Istri rivalnya itu justru yang mengendalikan emosinya.“Sabar, tolong kamu jangan seperti ini!” Hana menarik tangan Mirza mundur ke belakang. Sementara Qila masih dalam posisinya.“Apa-apaan kamu, Mas! Kenapa kamu bersikap memalukan seperti ini pada tamu kita!” Qila berusaha menenangkan.“Mulai sekarang dia bukan tamuku, apalagi sahabatku!Mulai detik ini juga dia adalah rivalku!” hardiknya sambil menunjuk muka Yasha dengan telunjuknya.Mereka saling menatap tajam.
Akhir pekan,“ Tumben masak banyak, biasanya istri pemalas kayak kamu cuma bisanya nyuruh-nyuruh si Yanti buat bikin makanan!” Celetuk Mirza sambil pandangannya berkeliaran di atas meja makan.Sajian makanan yang terpanjang lumayan banyak dan menggiurkan selera makan.Sikap Mirza makin lama makin susah ditebak, apalagi semenjak dia tahu Yasha mengalihkan kerjasama perusahaannya dengan perusahaan Qila, walau itu hanya tipuan belaka.“Iya dong, Mas, kan malam ini kita akan kedatangan tamu istimewa,” jawab Qila masih menyabarinya.“Tamu istimewa? siapa? “ tanya Mirza heran.“Nanti juga kamu tahu, lebih baik kamu bersiap-siap saja, karena sebentar lagi mereka akan datang! ” jawab Qila.Beberapa detik kemudian, bel pintu berbunyi. Qila beranjak meninggalkan Mirza yang masih berdiri di hadapannyahadapannya untuk membuka pintu. Sementara Mirza yang masih dengan penasarannya mengintip dibalik tembok.“Jadi tamu itu.. Ah! Sial! Mereka nggak boleh lihat aku seperti ini! Aku harus berpenampi
“Maaf, Pak! Tolong jangan begini!” Dito menahan bahu Mirza hingga membuat jasnya berantakan dengan tangannya. Namun, ia berhasil masuk sampai di depan meja kerja Yasha.“Minggir!” kesal Mirza membentak pegawai pribadi Yasha itu.“Maaf Pak Yasha, orang ini memaksa masuk. Saya sudah mencegahnya tapi--!”“Biarkan dia!” ucap santai Yasha sembari memberi kode agar Dito keluar ruangan saja.Mirza merapihkan jasnya dengan kasar setelah lelaki bertubuh gempal itu keluar ruangan.“Yasha! Apa maksud lo membatalkan kerja sama perusahaan gue secara sepihak!” tanya lantang Mirza.Yasha berdiri sembari menghela nafas pendek. Kedatangan Mirza sudah diduganya sebelum memutuskan kerja sama sepihak itu.“Kenapa, ada masalah dengan keputusan gue? Perusahaan ini milik gue, ya terserah gue dong mau bagaimana!” jawabnya dengana tatapan tajam.“Tapi lo nggak bisa seenaknya gitu dong! Gue udah abis-abisan keluarin modal, buat tender yang udah lo setujuin dari awal ini!” Mirza meradang.“Gue bakal balikin mod
Sesampai di rumah.“Qil! Qila!” teriakan Mas Mirza dari luar pintu rumah serentak dengan gedoran keras pada pintu.“Ya, sabar!” sahutku.Ingin sekali aku mengacuhkannya jika sikapnya tidak mengganggu Kiana tidur.“Lama banget sih buka pintunya!” hentaknya sembari melangkah masuk.Semenjak aku mengetahui pernikahan sirinya dengan Hana, saat itu pula aku mengetahui kalau suamiku telah berubah seratus delapan puluh derajat. Pria yang selama ini aku kenal penyayang, lembut, sekarang tak kulihat setitik pun sifat itu darinya.Mas Mirza yang sekarang sangat kasar, kejam, bahkan ia tak ragu untuk membuatku terluka, dan yang aku takutkan sewaktu-waktu adalah keselamatan Kiana. Putri kecilku yang tak berdosa tak tahu jika nahkoda kebanggaanya itu telah berubah menjadi seorang perompak.Kemudian ia langsung nyelonong ke kamar. Dulu, setelah capek pulang kerja sekali pun, ia pasti sempatkan menengok Kiana di kamarnya, namun kali ini tidak. Bahkan, koper besarnya itu ditinggal begitu saja, tanpa
“Iya,” jawabku dengan hanya melirik lalu mengalihkan pandanganku lagi.Ia mendekat, tertangkap bayangan dirinya oleh ekor mataku. Menarik nafas, tapi kenapa tiba-tiba udara nafas ini sulit dikeluarkan lagi. Dadaku berdebar kencang. Jari-jari ini tak sadar memainkan selimut di atas kasur dengan cubitan-cubitan kecil. Biar pun ini hanya sebuah pernikahan siri dan terkontrak, jika sedang berduan begini jadi serasa canggung.“Kamu nggak ganti baju?” tanyanya santaiSpontan mataku langsung menyorot wajahnya dengan mulut sedikit menganga.“Ya, maksud aku siapa tahu kamu gerah dengan baju pengantin kayak gitu,” sambungnya meralat maksud ekspresi wajahku.“Eng—enggak, a—aku memang suka pakai baju pengantin,” jawabku gugup diakhiri dengan cengiran garing dari deretan gigi putihku.Rasa kikuk yang lebih condong takut dijamah olehnya sedang menguasai hatiku dan pikiranku.“Sekali pun mau tidur?” tanyanya heran.“I—iya,” Sebenarnya aku asal jawab saja hanya untuk menutupi kegelisahanku.“Ohh, git
POV QILA “Aku akan pergi ke luar pulau sepekan ini, nanti mama akan menjemput kamu pulang, atau pulang saja sendiri pakai taksi online. Bisa, kan?” Nada bicara Mas Mirza seakan mengolok-olokku. “Tega sekali kamu, Mas! Kenapa kamu bawa aku ke sini kalau kamu tidak peduli lagi denganku!” hardikku, emosiku memuncak. Mas Mirza mendekat, menyentuh pipiku lembut dengan tatapan tajam. “Aku membawamu ke sini karena kamu masih sangat berharga, Qila. Sangat berharga!” Bisiknya dekat sekali hingga wajah kami hanya berjarak beberapa sentimeter. Lalu dia berbalik dan pergi meninggalkanku begitu saja, saat aku masih terpasang beberapa alat medis. Aku tahu arti kata-katanya. Dia membutuhkanku bukan karena cinta, tapi karena warisan yang masih di bawah tanganku. Ini tidak bisa dibiarkan. “Bajingan! Setelah kamu membuatku sakit seperti ini, kamu tinggalkan aku begitu saja, Mas! Tunggu, Mas! Kembali kamu!” Teriakku, membuncah. Tapi Mas Mirza benar-benar pergi. Dengan nekad, kulepaskan alat-
“Emm..”Duh, ngomong apa sih aku! Kenapa tiba-tiba mulut ini ngomong kayak gitu ya!Qila masih menunggu jawabanku, sementar tak ada alasan apa pun yang terlintas di pikiranku saat ini. Disaat yang bersamaan, handphoneku tiba-tiba berdering.“Maaf, Pak. Saya mau mengabarkan, Pak Mirza sedang menuju ke ruangan inap!” ucap Dito setelah nada sambung terhubung.Aku sengaja menugaskan Dito di lobby untuk siaga mengamati jikalau Mirza dan Ibunya datang.“Oke!” “Qila, sepertinya kita harus segera pergi. Mirza dan Bu Miranda menuju kemari!”“Baiklah.”“Mas,” Aku sempat terperanjat waktu suara Hana memanggilku. Tumben sekali dia sudah pulang. “Kamu sudah pulang,” ujaruku basa-basi.“Iya, sengaja. Aku pengen makan malam sama kamu, udah lama kita nggak makan malam berdua, kan?Boleh, kan?” Ajakan Hana sedikit memaksa. Sebenarnya aku sudah muak dengan sandiwara dia, tapi demi mendapatkan informasi tentang Mirza, terpaksa aku harus mengikuti kemauannya.“Boleh, kalau begitu aku mandi dulu, ya!”