Windy menyeka bulir keringat pada dahi. Nafas berat keluar dari belah bibirnya. Satu per satu box coklat berbagai ukuran ia pindai sembari berhitung dalam hati.
Pas. Semuanya dalam jumlah yang sama persis sebelum ia berangkat 2 jam yang lalu. Windy bergerak mendekati pintu balkon, dia buka lalu ia hirup udara senja yang menyapa hangat paras jelitanya.
Windy terpaku manakala netra kilaunya melihat serat lembayung yang terbentang luas di langit biru. Menarik kedua ujung bibirnya hingga membentuk sebuah kurva senyuman.
Lembayung senja selalu menjadi hal yang paling ia sukai. Selain wujudnya yang elok, menyaksikan langit berselimut oranye keemasan terbilang cukup jarang terjadi bagi Windy. Maka dari itu, Windy rela berdiam diri di jendela maupun pintu balkon demi menatap sang cakrawala.
"Windy, mau sekalian aku bantu nyusun barang?" Chacha, gadis bertubuh mungil dengan poni samping yang menutupi setengah dahi. Gadis itu baru saja selesai berkeliling memandang tiap sudut ruangan.
"Boleh deh, tolong susun barang-barang buat bagian dapur ya Cha? Aku susun buat yang di kamar, sisanya biar besok aja," ujar Windy menerima bantuan Chacha.
***
Matahari telah sepenuhnya berpulang ke ufuk barat. Begitu pula dengan Windy dan Chacha yang baru saja selesai menata barang. Keduanya kini sedang menunggu makan malam yang mereka pesan melalui aplikasi.
"Tumben orang tua kamu kasih izin buat tinggal sendiri dan pisah jauh dari mereka."
Chacha meneguk sekaleng soda ketika serbuk bumbu pada keripik kentang mulai membuat tenggorokannya tidak nyaman. Sembari menunggu hidangan utama datang, keduanya mengganjal rasa lapar lebih dulu dengan kudapan yang sempat mereka beli saat perjalanan kemari.
"Itu pun nggak mudah, Cha. Terutama Papa, kamu tahu sendiri kan Papa gimana."
Chacha mengangguk pelan.
Papa Windy adalah salah satu orang yang cukup over protektif terhadap Windy. Selain karena ia anak tunggal, hidup sendiri dan jauh dari orang tua tidak selalu menjadi pilihan baik untuk perempuan.
Wajar. Sampai sekarang pun, masih banyak orang tua yang enggan melepas jauh putri mereka. Menurut sebagian besar orang tua, sangat beresiko bagi kaum hawa tinggal seorang diri di luar sana. Apalagi insiden kejahatan lebih rentan terjadi pada wanita.
Akan tetapi, separuh dari mereka jadi merasa sulit untuk bergerak, terutama dalam meraih mimpi atau cita-cita.
"Aku harus yakinin Papa setiap hari. Terutama membangun kepercayaan Papa sama aku. Mama juga bantu supaya hati Papa luluh. Dan ya, usaha tidak menghianati hasil. Papa setuju, dengan syarat setiap akhir pekan aku harus pulang ke rumah orang tua, juga lebih rajin kasih kabar.”
Sebenarnya, salah satu alasan kuat Windy diizinkan lepas karena kondisi kesehatannya. Perjalanan dari rumah ke kampus butuh menempuh waktu sekitar 1 jam lebih, bahkan bisa hampir 2 jam bila kondisi jalanan terlalu macet. Aktivitas kampus yang kian padat, ditambah lagi perjalanan pulang yang sangat menguras tenaga serta waktu, Windy akhirnya jatuh sakit dan dirawat.
Tidak ingin kondisi putrinya semakin memburuk, akhirnya orang tua Windy mengizinkan Windy tinggal di salah satu apartemen di tengah hiruk pikuk ibu kota.
"Eh, itu makanannya udah dateng."
Chacha sontak berdiri dan berjalan cepat menuju pintu utama. Diterimanya 1 kantong berukuran cukup besar yang berisi berbagai menu makanan yang mereka pesan.
"Terima kasih ya Pak," ucap Chacha.
Usai memberikan beberapa lembar uang, Chacha berbalik masuk, menaruh makanan di atas meja pantry lalu mengeluarkan semua kotak sekaligus membukanya.
Windy datang menghampiri dan duduk di salah satu kursi.
"Kamu besok ngampus Win?"
Windy menggeleng pelan seraya berujar, "aku nggak ada jadwal kuliah besok, jadi bisa fokus beresin sisa barang yang belum disusun," jelas Windy kemudian balik bertanya.
"Kamu sendiri gimana?"
"Aku ada kelas pagi besok. Cuman 4 sks sih. Dari jam 8 sampai jam 12 siang. Kalau kamu mau, besok pas pulang aku langsung ke sini buat bantu-bantu."
"Nggak usah Cha. Tinggal sedikit lagi. Tapi kalau kamu mau mampir buat main, aku welcome kok."
Ting!
Ting!
Ting!
Chacha dan Windy menoleh ke arah benda pipih yang tergeletak di sofa.
"Eh, siapa tuh? Papa kamu?"
Windy berjalan mendekat guna mengintip. Sebuah nama yang amat familiar terpampang di layar kunci. Nama yang akhir-akhir ini buat hari-hari Windy cukup terganggu.
"Siapa?" tanya Acha lagi.
"Bukan siapa-siapa," jawab Windy malas.
Baru saja mereka hendak menikmati makan malam, dering telepon Windy menjeda kegiatan mereka. Windy menghela nafas berat, dia kembali berjalan guna meraih gawainya. Ketika dilihat, lagi-lagi nama itu yang muncul.
Windy semakin gerah.
Dia langsung menekan tombol merah, kemudian mengaktifkan mode diam pada ponsel. "Siapa sih?" Chacha tetap melempar inti pertanyaan yang sama. Penasaran kian membuncah kala mendapati raut wajah Windy yang kurang bersahabat setelah ia mematikan telepon.
"Jimmy."
Windy duduk di salah satu kursi, meraih salah satu makanan dan menyantapnya. Chacha tidak berani untuk bersuara lebih, ia tahu bahwa Jimmy meninggalkan kesan kurang baik bagi Windy. Dan Windy memiliki alasan kuat atas itu.
Karena suasana mendadak suram, akhirnya mereka memutuskan menikmati makan malam dalam diam. Lagipula tampaknya kondisi hati Windy tidak secerah tadi.
***
Windy merasa tergelitik kala sinar mentari pagi menyapa hangat paras jelitanya. Cuitan para burung menarik kedua kelopak mata gadis muda itu terbuka secara perlahan. Windy menengok ke arah jam yang berada di atas nakas. Waktu baru menunjukkan pukul 8 pagi lebih 10.
Windy bangkit merubah posisinya menjadi duduk. Merenggangkan otot-otot tubuh, kemudian bersandar pada kepala ranjang. Diraihnya ponsel saat notifikasi pesan masuk dari sang ayah muncul.
'Windy, kamu udah bangun?'
'Udah sarapan?'
'Gimana lingkungannya di sana? Tetangganya pada baik, kan?'
'Ingat, kamu tuh perempuan. Apalagi jauh dari orang tua. Jangan suka keluyuran malam-malam, kalau urusan kampus sudah selesai, langsung cepat pulang. Perempuan rawan jadi incaran.'
Windy tersenyum membaca isi pesan dari ayahnya. Walau ayahnya cukup protektif, Windy tidak merasa risih ataupun jengkel. Dia malah merasa nyaman dan senang dengan bentuk perhatian sang ayah yang seperti ini.
Di umurnya yang sudah menginjak 21 tahun, Windy masih senantiasa menerima perhatian serta tuntunan dari orang tua. Berbeda dari teman-temannya yang dilepas sepenuhnya oleh orang tua mereka.
Windy bangkit dari tempat tidur. Perut rampingnya sudah bersuara untuk minta asupan makan. Karena kemarin dia tidak sempat membeli beberapa bahan, Windy putuskan untuk turun ke bawah. Kebetulan di lantai 1 apartemen ada mini market. Siapa tahu ada makanan siap saji.
Ketika Windy hendak menutup pintu lift, tiba-tiba sebuah suara menghentikan aksinya.
"Tunggu!"
Seorang pria dengan tinggi 185 senti, berkulit putih, rambut hitam legam, mata bulat serta tajam, melangkah masuk ke dalam lift.
"Terima kasih," ujarnya.
Sejenak Windy terkesiap. Terpesona akan paras menawan sang pria. Ditambah aroma musk dari tubuhnya perlahan mulai mendominasi ruangan 1,2 x 1 meter tersebut.
"Emm, ya, sama-sama." Windy buru-buru menutup pintu lift tatkala perutnya kembali menyerukan protes bersama sedikit rasa nyeri.
"Oh kebetulan, saya juga mau ke lantai 1." Pria berkata sembari tersenyum saat melihat tombol angka 1 menyala. Tubuhnya bersandar pada dinding lift, melihat panah merah yang bergerak turun pada layar display.
Hening.
Keduanya sama-sama terdiam. Hingga lift akhirnya sampai di lantai yang dituju, mereka keluar. Sebelum Windy melangkah lebih jauh, pria tadi kembali bersuara.
"Kamu orang baru ya di sini?"
Windy lantas berbalik, menatap balas netra pria yang memandangnya penuh keingintahuan. "Iya, saya orang baru," jawab Windy sekenanya. "Oh gitu, tinggal di apartemen nomor berapa?" Pria itu kembali melempar tanya.
"26."
"Wah, ternyata kita tetangga. Saya tinggal di apartemen nomor 27. Semisal butuh bantuan atau apapun, bisa ketuk pintu apartemen saya."
"Iya Mas, makasih. "
"Kalau begitu saya duluan."
Pria itu beranjak pergi keluar gedung. Meninggalkan kesan ramah dan supel bagi Windy. Justru Windy merasa senang karena memiliki tetangga seperti pria tadi. Sayangnya, mereka lupa untuk saling bertukar nama.
Drrt! Drrt!
Ponsel Windy bergetar. Ada panggilan masuk dari Chacha. Langsung saja ia menekan tombol ikon berwarna hijau. Di seberang sana, Chacha memanggil nama Windy dengan nada gelisah dan gemetar. Kemudian, Chacha melontarkan sebuah untaian kalimat yang sukses buat Windy membeku di tempat.
'Jimmy meninggal, Win.'
─── To Be Continue
Jimmy Putra Aksara. Orang-orang memanggilnya Jimmy. Lelaki yang kerap kali menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa, juga dosen. Paras menawan berhiaskan lesung pipi menambah kadar manis ketika ranum tebalnya tertarik membentuk senyuman. Selain karena tampangnya, Jimmy sering jadi pembicaraan karena tekadnya dalam mengejar sang pujaan hati. Bila dugaan kalian adalah Windy, jawabannya tepat. Jimmy sudah menyukai Windy sejak mereka menduduki bangku SMA. Berbagai usaha untuk mendekati agar segera resmi berstatus sebagai sepasang kekasih tidak diindahkan oleh Windy. Bahkan Windy beberapa kali telah menolak secara halus. Memberi pengertian semaksimal mungkin agar Jimmy berhenti mengejarnya. Akan tetapi, Jimmy malah tak acuh. Dia selalu berpikir bahwa ini hanya perkara waktu. Jimmy terima jika Windy memang belum menumbuhkan rasa secuil pun untuk dirinya. Maka dari itu, ia akan terus berjuang yang justru membuat Windy risih dan merasa
"Kamu nggak sempet lihat wajah pengirimnya?" Chacha melempar tanya sambil membaca kutipan kalimat di kertas yang ia pegang. Rasa penasaran dan merinding turut melingkupi Chacha, lantaran arti dari kalimat tersebut membuat dirinya ikut merinding. "Waktu aku intip dari lubang pintu, nggak ada siapa-siapa Cha," jelas Windy. "Win, apa jangan-jangan, pengirimnya itu orang yang udah ngebunuh Jimmy?" Windy tidak menepis dugaan Chacha, karena Windy pun berpikir demikian. Makna yang keduanya tangkap pun sama. Seolah-olah pengirim berkata, 'Aku tuh udah nyingkirin Jimmy. Seharusnya kamu senang dia mati.'
Kasus pembunuhan kini kembali menjadi headline di berbagai media cetak dan media sosial. Menjadi topik pusat yang ramai diperbincangkan oleh seluruh masyarakat. Tenggat waktu yang berdekatan dengan kematian Jimmy, memunculkan berbagai teori konspirasi dari orang-orang. Pelaku pembunuhan Jimmy dan Airin, apakah mereka orang yang sama? Pihak berwenang masih terus menggali dari berbagai sudut. Kali ini, level kesulitan bertambah. Kematian Jimmy tidak ada petunjuk sedikit pun, begitu pula dengan kematian Airin. Terlalu bersih hingga mereka tidak dapat mengendus jejak sang pelaku. Aksi kriminal yang terorganisir buat kepolisian menarik kesimpulan bahwa orang ini bukanlah orang biasa. Dalam arti lain, dia sudah pernah membunuh. Dan itu, pasti bukan hanya sekali atau
Selang beberapa minggu setelah kematian Jimmy dan Airin, orang-orang mulai tampak biasa. Seakan itu menjadi angin lalu bagi mereka. Baru genap satu bulan, kasus ini sudah ditelan oleh masa. Sesekali ada yang kembali membicarakannya, namun itu tak luput dari kata kasihan dan berujung semoga pelaku cepat ditemukan, sisanya mereka balik menikmati kesibukan mereka.Kepolisian pun tidak ada perkembangan sama sekali. Tidak informasi terbaru, hanya terus meyakinkan masyarakat bahwa mereka akan terus berusaha semaksimal mungkin, yang kapan saja bisa ditutup oleh keterpaksaan. Banyak dari kita yang tidak mengetahui ada berapa puluh bahkan ratus kasus yang dimasukkan dalam kategori unsolved case atau kasus yang belum terpecah. Memang tampak tidak adil bagi keluar beserta korban itu sendiri.“Polisi masih nemuin kamu, Win?” tanya Chacha. Kini, ia d
“Ih apa-apaan, aku makan sop, kok kamu makan nasi goreng aceh? Mana versi komplit lagi, baunya juga enak.” Protes menjadi hal pertama yang Chacha utarakan ketika bangkit dari tidur lelapnya. Bibir Chacha mengerucut, dia tergiur oleh sajian yang ada di depan Windy.“Ini pedes, kamu nggak boleh nyicip,” ucap Windy yang sukses buat Chacha berdecak sebal. Keduanya lantas duduk di kursi makan dan mulai menikmati makan malam.“Minggu ini kamu pulang ke rumah orang tua?” tanya Chacha di sela kunyahan.“Nggak tahu deh, liat aja nanti,” jawab Windy.Sejujurnya, beberapa hari terakhir, lelah sering menerpa diri Windy. Kegiatan kampus sedikit demi sedikit mulai padat, tugas yang diberikan oleh dosen hampir menjauhi kata ma
“Aku yakin, mereka orang yang sama!” ujar Chacha lugas. Suasana tegang. Kepala mereka dipenuhi oleh pertanyaan tentang siapa pengirim surat tersebut. Orang yang sama? Sebenarnya belum tentu, namun isi surat itu cukup terhubung dengan isi surat sebelumnya. “Win, gimana kalau kita lapor ke Detektif yang kemarin aja? Kamu simpan kartu namanya kan?” usul Chacha. Namun, Windy langsung menggelengkan kepala. Tidak setuju atas ide Chacha barusan. “Cha, berhubungan sama instansi kepolisian itu bukan hal yang gampang. Terus, seuntai kalimat kayak gini mana cukup buat mereka tindak lajuti? Yang ada mereka malah bilang kalau ini cuman ulah orang iseng. Lagian juga, surat-surat yang kemarin udah aku buang.” Chacha bungkam. Membenarkan perkataan Windy barus
Hari mulai larut, malam kian pekat. Di dalam sebuah bangunan salah satu instansi negara, beberapa ruangan sudah tampak gelap pertanda tidak ada lagi aktifitas para pekerja. Orang yang melihat dari luar pasti akan berpikir seperti itu. Padahal, tidak sepenuhnya benar.Seperti di ruang Divisi Kejahatan, 2 anak adam masih betah berkutit dengan file-file berisi 2 kasus yang akhir-akhir ini menjadi beban pundak sekaligus pikiran. Otak mereka terkuras habis karena lagi-lagi tidak ada bukti yang bisa menaikkan level kasus ini.“Tempat kedua korban ditemukan jauh dan minim dari jangkauan cctv, tapi berada di tengah kota.” Detektif Glen mengetuk permukaan dagunya dengan telunjuk. Pandangan ke atas, menggali jawaban semu yang belum tentu didapat. Sedang Detektif Jun, dia terus memindai ulang satu persatu foto, kedua alis menyatu kala pandangannya
“Mumpung hari ini kita sama-sama pulang cepet, nonton bioskop yuk!” Chacha mencolek Windy yang tengah menikmati kentang goreng. Mereka berdua tengah mengganjal perut dengan beberapa menu makanan ringan di kantin.“Emang ada jadwal film apa aja hari ini?” tanya Windy.Chacha langsung membuka website resmi bioskop yang sering mereka kunjungi. Ada 5 film yang sedang tayang di bioskop namun memiliki batas jadwal yang berbeda.“Ada film romantis, komedi, sama horor. Mau yang mana?” Chacha menyodorkan ponselnya pada Windy, sehingga sohibnya itu bisa melihat serta memilih film yang ingin ia tonton. Chacha sih tidak masalah dengan apapun pilihan Windy, pada dasarnya dia penikmat film serta penyuka semua genre, jadi film manapun tidak membuat ia keberatan.