Pindah apartemen atau menghindar sebisa mungkin? Itulah yang menjadi beban pilihan Windy saat ini. Berlebihan memang, mengingat pilihan tersebut muncul karena kejadian pagi tadi.
Sesal dan malu sangat menggerogoti diri. Bahkan jika Windy mengingat kembali, dia sampai geli sendiri. Tetapi, Windy tidak sepenuhnya salah.
Kalian lihat sendiri kan bahwa Brian yang memulai semuanya duluan?
Menarik tubuh Windy lalu mengenalkan dirinya sebagai pacar Brian. Namun, Windy juga tidak bisa menipis rasa bersalah karena ia mengiyakan permainan Brian.
Ta-tapi itu semua pasti ada alasannya.
Mungkin Brian merasa risih? Maka dari itu ia menarik Windy agar wanita bernama Gina itu segera pergi.
"Ini dia pesanan kita!"
Brian menaruh nampan, mengoper satu per satu menu ke atas meja makan. Kemudian menaruh tampan tersebut di t
Windy duduk di depan cermin rias. Sibuk mengubah tampilan rambutnya menjadi bentuk gelombang dengan alat catok. Sesekali Windy sisir menggunakan jemari agar tampak lebih natural.Usai mencatok rambut, Windy mulai merias wajah. Mengoles sunscreen, pelembab, dan cushion. Kedua alis tebalnya ia sisir rapi dan mengisinya sedikit dengan pensil alis berwarna coklat tua.Ia bubuhkan sedikit blush on ke bagian dalam pipi hingga menyentuh sedikit area pelipis. Kemudian, Windy raih liptint warna merah cherry, mengolesnya ke bagian dalam bibir, lalu sisanya ia tepuk ke tepi bibir sampai menyerupai warna gradasi.Selesai!Windy tersenyum manis melihat pantulan dirinya di cermin. Dia tidak pernah da
Pukul 9 malam, Brian mengantar Windy pulang. Sebelum keduanya berpisah, ucapan selamat malam dan mimpi indah menjadi penutup istimewa. Windy menutup pintu lalu bersandar. Kejadian di dalam bioskop tak kunjung enyah dari pandangan.“Kamu nggak perlu jawab sekarang kok. Kamu bisa jawab kapanpun kamu siap.”Itu adalah kalimat yang Brian sisipkan di telinga Windy, sebelum mengecup samar permukaan pipi Windy. Demi Tuhan, selama kencan tadi Windy benar-benar mati kutu akibat perlakuan Brian yang terlampau manis. Padahal sebelumnya banyak pria yang juga bersikap manis pada Windy, namun entah kenapa gadis cantik ini merasa ada yang berbeda dari Brian.Karena tampan? Sepertinya tidak.Melainkan
Brian menutup pintu apartemen. Berjalan memasuki area dapur lalu meletakkan beberapa kantong belanja di atas meja pantry. Satu per satu keperluan dapur ia keluarkan dan langsung ia susun ke sejumlah tempat yang telah Brian tetapkan. Sembari menyusun, ranumnya bersiul. Mengalunkan irama ciptaan sendiri sebagai teman pemecah sepi.“Habis belanja mingguan?”Suara lembut mendayu sukses buat Brian terlonjak dari tempatnya berdiri. Dari seberang meja pantry, tampak sosok Tani tengah bersandar asyik pada punggung sofa sembari memainkan segelas anggur merah di tangan. Ranum tipisnya tersenyum lebar pada Brian.Bukan hal baru Tania sering berkunjung dan bisa masuk di kediaman Brian. Toh, dia tahu password apartemen Brian. Sang empunya sendiri jua yang memberi
Alih-alih menjawab, Brian malah duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur membelai pipi Windy. Mengelusnya lembut penuh sayang. Kalimat penuh kebohongan siap untuk ia luncurkan."Tadi, sepulang dari kampus, aku mampir ke salah satu supermarket dekat perempatan lampu merah. Aku lihat di jalanan banyak kepingan kaca dan mobil taksi yang diderek. Aku juga lihat beberapa bercak darah di jalan. Dari yang aku dengar dari obrolan orang-orang, katanya ada kecelakaan. Aku nggak berpikir bahwa orang itu kamu. Sampai akhirnya kamu nelpon aku, pikiranku langsung melayang ke perempatan tadi. Dan ya, aku tahu kamu di sini karena ini adalah Rumah Sakit paling dekat sama tempat kecelakaan kamu barusan. Untuk kamar, kan aku bisa nanya sama bagian resepsionis."Brian tersenyum simpul, beberapa helai anak rambut Windy ia selipkan di balik te
Windy menyeka bulir keringat pada dahi. Nafas berat keluar dari belah bibirnya. Satu per satu box coklat berbagai ukuran ia pindai sembari berhitung dalam hati.Pas. Semuanya dalam jumlah yang sama persis sebelum ia berangkat 2 jam yang lalu. Windy bergerak mendekati pintu balkon, dia buka lalu ia hirup udara senja yang menyapa hangat paras jelitanya.Windy terpaku manakala netra kilaunya melihat serat lembayung yang terbentang luas di langit biru. Menarik kedua ujung bibirnya hingga membentuk sebuah kurva senyuman.Lembayung senja selalu menjadi hal yang paling ia sukai. Selain wujudnya yang elok, menyaksikan langit berselimut oranye keemasan terbilang cukup jarang terjadi bagi Windy. Maka dari itu, Windy rela berdiam diri di jendela maupun pintu balkon demi menatap sang cakrawala."Windy, mau sekalian aku bantu nyusun barang?" Chacha, gadis bertubuh mungil dengan poni samping yang menutupi setengah dahi. Gadis itu baru saja seles
Jimmy Putra Aksara. Orang-orang memanggilnya Jimmy. Lelaki yang kerap kali menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa, juga dosen. Paras menawan berhiaskan lesung pipi menambah kadar manis ketika ranum tebalnya tertarik membentuk senyuman. Selain karena tampangnya, Jimmy sering jadi pembicaraan karena tekadnya dalam mengejar sang pujaan hati. Bila dugaan kalian adalah Windy, jawabannya tepat. Jimmy sudah menyukai Windy sejak mereka menduduki bangku SMA. Berbagai usaha untuk mendekati agar segera resmi berstatus sebagai sepasang kekasih tidak diindahkan oleh Windy. Bahkan Windy beberapa kali telah menolak secara halus. Memberi pengertian semaksimal mungkin agar Jimmy berhenti mengejarnya. Akan tetapi, Jimmy malah tak acuh. Dia selalu berpikir bahwa ini hanya perkara waktu. Jimmy terima jika Windy memang belum menumbuhkan rasa secuil pun untuk dirinya. Maka dari itu, ia akan terus berjuang yang justru membuat Windy risih dan merasa
"Kamu nggak sempet lihat wajah pengirimnya?" Chacha melempar tanya sambil membaca kutipan kalimat di kertas yang ia pegang. Rasa penasaran dan merinding turut melingkupi Chacha, lantaran arti dari kalimat tersebut membuat dirinya ikut merinding. "Waktu aku intip dari lubang pintu, nggak ada siapa-siapa Cha," jelas Windy. "Win, apa jangan-jangan, pengirimnya itu orang yang udah ngebunuh Jimmy?" Windy tidak menepis dugaan Chacha, karena Windy pun berpikir demikian. Makna yang keduanya tangkap pun sama. Seolah-olah pengirim berkata, 'Aku tuh udah nyingkirin Jimmy. Seharusnya kamu senang dia mati.'
Kasus pembunuhan kini kembali menjadi headline di berbagai media cetak dan media sosial. Menjadi topik pusat yang ramai diperbincangkan oleh seluruh masyarakat. Tenggat waktu yang berdekatan dengan kematian Jimmy, memunculkan berbagai teori konspirasi dari orang-orang. Pelaku pembunuhan Jimmy dan Airin, apakah mereka orang yang sama? Pihak berwenang masih terus menggali dari berbagai sudut. Kali ini, level kesulitan bertambah. Kematian Jimmy tidak ada petunjuk sedikit pun, begitu pula dengan kematian Airin. Terlalu bersih hingga mereka tidak dapat mengendus jejak sang pelaku. Aksi kriminal yang terorganisir buat kepolisian menarik kesimpulan bahwa orang ini bukanlah orang biasa. Dalam arti lain, dia sudah pernah membunuh. Dan itu, pasti bukan hanya sekali atau