Kasus pembunuhan kini kembali menjadi headline di berbagai media cetak dan media sosial. Menjadi topik pusat yang ramai diperbincangkan oleh seluruh masyarakat. Tenggat waktu yang berdekatan dengan kematian Jimmy, memunculkan berbagai teori konspirasi dari orang-orang.
Pelaku pembunuhan Jimmy dan Airin,
apakah mereka orang yang sama?
Pihak berwenang masih terus menggali dari berbagai sudut. Kali ini, level kesulitan bertambah. Kematian Jimmy tidak ada petunjuk sedikit pun, begitu pula dengan kematian Airin. Terlalu bersih hingga mereka tidak dapat mengendus jejak sang pelaku.
Aksi kriminal yang terorganisir buat kepolisian menarik kesimpulan bahwa orang ini bukanlah orang biasa. Dalam arti lain, dia sudah pernah membunuh. Dan itu, pasti bukan hanya sekali atau dua kali, tetapi lebih dari itu. Ia terlihat handal dalam mengurus tempat terjadinya pembunuhan agar tidak tercium oleh siapapun.
Sampai detik ini, berbagai teka-teki belum terjawab. Rentetan dugaan yang viral di media belum pantas mendapatkan validasi dari pihak yang berwajib.
“Saya dapat informasi bahwa siang tadi, kamu dan Airin sempat bertengkar.”
Windy menghela nafas kecil, tubuhnya bersandar relax pada punggung sofa. Dibalasnya tatapan Detektif Jun yang mana justru membuat ia merasa tersudut.
“Saya nggak bertengkar dengan Airin, Pak. Saya dilabrak, dia marah sama saya. Dia tuduh saya bahwa Jimmy meninggal karena saya. Airin bilang, andai saya tidak mengabaikan pesan dan telepon Jimmy malam itu, mungkin Jimmy masih hidup. Saya paham Airin marah karena dia suka sama Jimmy. Hubungan saya dan Airin tidak bisa dibilang dekat dan baik juga. Apalagi saat dia tahu kalau Jimmy punya perasaan lebih pada saya.”
Windy tahu, pasti Detektif Jun mulai merangkai asumsi-asumsi seputar orang terdekat yang biasanya sering berpotensi menjadi pelaku. Apalagi baru saja ia membongkar bahwa ia memiliki hubungan yang buruk dengan Airin. Meskipun begitu, Windy tidak takut. Dia tidak salah.
Dan dia juga memiliki alibi yang kuat. Toh, Windy yakin Detektif Jun tidak akan gegabah dalam mengambil keputusan serta tindakan. Semuanya pasti dipikirkan secara matang-matang.
Terutama berpacu pada bukti sebagai penguat.
***
Sabtu pukul 6 pagi, Windy terbangun. Kelopaknya mengerjap, mengusir efek buram di mata. Hari ini tidak ada jadwal maupun kegiatan kampus yang harus ia hadiri. Pun, akhir minggu ini Windy tidak berencana untuk pulang ke rumah orang tuanya.
Sebelum mengambil keputusan tersebut, Windy sudah lebih dulu memberi kabar melalui pesan teks bahwa ia tidak akan pulang ke rumah. Sibuk sebagai peran mahasiswa ia jadikan alasan. Jelas, Windy telah berbohong. Bila orang tuanya tahu, terutama sang ayah, pasti Windy akan kena marah habis-habisan.
Namun, Windy tidak peduli. Dia berbohong bukan demi sesuatu yang buruk. Masalah demi masalah yang datang menimpa, mendorong Windy untuk menyendiri. Healing dalam kesendirian.
Batin Windy menggeram kala melihat jam, dia marah karena tidak seharusnya ia bangun sepagi ini. Alhasil, ia memejamkan mata lagi, berusaha kembali tidur. Windy berharap, ia bangun lebih siang, mau itu jam 10, 11, atau bahkan jam 1 tidak masalah.
Windy lebih baik tidur dalam waktu yang lama daripada larut memikirkan beban yang masih setia bersandar di kedua bahunya. Sayang sekali, rasa kantuk telah sepenuhnya hilang. Windy masih bisa mendengar kicauan burung, suara detik jam, hingga langkah kaki tetangga yang tengah berjalan di lorong apartemen. Semuanya jelas terdengar di telinga Windy.
“Duh!”
Secepat kilat Windy bangkit. Turun dari kasur dan langsung membuka tirai jendela. Langit biru bukan menjadi pemandangan pertama yang Windy dapati. Melainkan awan-awan hitam yang berlomba menyelimuti atap biru bumi. Dugaan Windy benar, bulan sudah memasuki musim penghujan. Selain isi dunia yang akan dibuat basah, cuaca juga akan lebih dingin walau tak ada angin yang lewat.
“Undang Chacha main ke sini aja kali ya?” monolognya.
Namun, saat Windy mengirim ajakan tersebut, Chacha minta maaf karena hari ini ia memiliki jadwal kuliah pengganti Senin lalu.
“Yaudah lah, nonton drakor aja.”
***
Instrumen musik piano mengalun indah di salah satu Kafe. Bising tidak dapat terelakkan ketika pengunjung mulai bertambah dari menit ke menit. Sesekali teriakan barista menggema, memanggil nama yang tertulis pada cup sleeve.
Di salah satu meja, duduk manis 2 manusia yang saling berhadapan. Satunya pria, sibuk oleh goresan-goresan pensil yang ia gesekkan di permukaan kertas. Satunya lagi wanita, parasnya manis, saat ranumnya tersenyum, langsung muncul wujud lesung di kedua pipi.
“Kamu kenapa nggak masuk jurusan Seni Lukis aja? Gambar kamu bagus,” puji si wanita kala ia mengintip hasil gambaran dirinya. Pria di depannya masih setia menabur arsir, mengisi warna lebih gelap di area tertentu. Selang beberapa menit, gambar pun jadi. Di pojok kanan bawah ditulis sebuah nama.
Tania.
Nama wanita yang sedari tadi memperhatikan pria di depannya. Kedua ujung bibir tertarik membentuk kurva senyuman, puas akan hasil yang ditunjukkan.
“Seperti biasa. Selalu memuaskan.”
Tania merobek sisi lembar tersebut hingga terpisah dari kerumunan kertas lain. Dia lipat pelan kemudian memasukkannya ke dalam tas.
“Sebagai imbalannya, aku yang akan traktir semua ini,” ujar Tania sembari menunjukan deretan menu yang tersaji di hadapan mereka berdua. Lagi, pria itu tidak memberikan jawaban apapun. Hanya tersenyum tipis lalu meneguk sedikit segelas minuman dingin.
“Brian, akhir-akhir ini aku lihat kamu lagi bahagia banget.” Tani langsung menembak tanya. Dagu runcingnya berpangku manis pada telapak tangan, memandang penuh heran pada Brian.
“Ketemu.”
“Ya?”
Brian balas mata cantik Tania, kini ranumnya tersenyum lebih lebar hingga matanya membentuk bulan sabit. Senyum yang terukir tampah sumringah, namun Tania sadar ada sesuatu yang lain di sana.
“Orang yang aku cari selama 3 tahun ini, sudah ketemu.”
Senyum Tania memudar, tubuh yang tadi ia condongkan, langsung bersandar lemas pada punggung kursi. Wajah jelitanya kini datar tanpa ada ekspresi apapun. Kabar baik dari Brian adalah berita buruk baginya.
“Kamu tahu apa yang membuat aku tidak kalah senang? Ternyata kami tinggal gedung apartemen yang sama dan bersebelahan. Aku seperti mendapatkan jackpot saat pertama kali bertemu dengannya. Dia masih sama persis seperti 3 tahun yang lalu. Parasnya semakin cantik dan imut. Dan sekarang, secara perlahan, kami mulai dekat. Sudah saling bertukar nama serta tidak ada lagi kecanggungan di antara kami,” jelas Brian. Oh lihatlah wajah tampan itu, Tania tenggelam dan terlena. Namun, kenyataan pahit menampar dirinya.
“Lebih cantik dari aku?” Pertanyaan konyol. Memancing tawa jenaka dari Brian.
“Tania, kamu itu cantik mempesona. Tapi bukan berarti semua orang mau dan tunduk sama kamu. Juga, jangan sering berpikir hanya karena kamu cantik, kamu bisa langsung memiliki seseorang yang kamu suka dengan mudah. Pada realitanya dari semua, cinta adalah salah satu yang sulit didapat.”
Untuk kesekian kali, Brian mendorongnya pada lubang kepedihan. Untuk kesekian kali, penolakan Brian kian membuat Tania sadar bahwa ia bukan lah apa-apa.
─── To Be Continue
Selang beberapa minggu setelah kematian Jimmy dan Airin, orang-orang mulai tampak biasa. Seakan itu menjadi angin lalu bagi mereka. Baru genap satu bulan, kasus ini sudah ditelan oleh masa. Sesekali ada yang kembali membicarakannya, namun itu tak luput dari kata kasihan dan berujung semoga pelaku cepat ditemukan, sisanya mereka balik menikmati kesibukan mereka.Kepolisian pun tidak ada perkembangan sama sekali. Tidak informasi terbaru, hanya terus meyakinkan masyarakat bahwa mereka akan terus berusaha semaksimal mungkin, yang kapan saja bisa ditutup oleh keterpaksaan. Banyak dari kita yang tidak mengetahui ada berapa puluh bahkan ratus kasus yang dimasukkan dalam kategori unsolved case atau kasus yang belum terpecah. Memang tampak tidak adil bagi keluar beserta korban itu sendiri.“Polisi masih nemuin kamu, Win?” tanya Chacha. Kini, ia d
“Ih apa-apaan, aku makan sop, kok kamu makan nasi goreng aceh? Mana versi komplit lagi, baunya juga enak.” Protes menjadi hal pertama yang Chacha utarakan ketika bangkit dari tidur lelapnya. Bibir Chacha mengerucut, dia tergiur oleh sajian yang ada di depan Windy.“Ini pedes, kamu nggak boleh nyicip,” ucap Windy yang sukses buat Chacha berdecak sebal. Keduanya lantas duduk di kursi makan dan mulai menikmati makan malam.“Minggu ini kamu pulang ke rumah orang tua?” tanya Chacha di sela kunyahan.“Nggak tahu deh, liat aja nanti,” jawab Windy.Sejujurnya, beberapa hari terakhir, lelah sering menerpa diri Windy. Kegiatan kampus sedikit demi sedikit mulai padat, tugas yang diberikan oleh dosen hampir menjauhi kata ma
“Aku yakin, mereka orang yang sama!” ujar Chacha lugas. Suasana tegang. Kepala mereka dipenuhi oleh pertanyaan tentang siapa pengirim surat tersebut. Orang yang sama? Sebenarnya belum tentu, namun isi surat itu cukup terhubung dengan isi surat sebelumnya. “Win, gimana kalau kita lapor ke Detektif yang kemarin aja? Kamu simpan kartu namanya kan?” usul Chacha. Namun, Windy langsung menggelengkan kepala. Tidak setuju atas ide Chacha barusan. “Cha, berhubungan sama instansi kepolisian itu bukan hal yang gampang. Terus, seuntai kalimat kayak gini mana cukup buat mereka tindak lajuti? Yang ada mereka malah bilang kalau ini cuman ulah orang iseng. Lagian juga, surat-surat yang kemarin udah aku buang.” Chacha bungkam. Membenarkan perkataan Windy barus
Hari mulai larut, malam kian pekat. Di dalam sebuah bangunan salah satu instansi negara, beberapa ruangan sudah tampak gelap pertanda tidak ada lagi aktifitas para pekerja. Orang yang melihat dari luar pasti akan berpikir seperti itu. Padahal, tidak sepenuhnya benar.Seperti di ruang Divisi Kejahatan, 2 anak adam masih betah berkutit dengan file-file berisi 2 kasus yang akhir-akhir ini menjadi beban pundak sekaligus pikiran. Otak mereka terkuras habis karena lagi-lagi tidak ada bukti yang bisa menaikkan level kasus ini.“Tempat kedua korban ditemukan jauh dan minim dari jangkauan cctv, tapi berada di tengah kota.” Detektif Glen mengetuk permukaan dagunya dengan telunjuk. Pandangan ke atas, menggali jawaban semu yang belum tentu didapat. Sedang Detektif Jun, dia terus memindai ulang satu persatu foto, kedua alis menyatu kala pandangannya
“Mumpung hari ini kita sama-sama pulang cepet, nonton bioskop yuk!” Chacha mencolek Windy yang tengah menikmati kentang goreng. Mereka berdua tengah mengganjal perut dengan beberapa menu makanan ringan di kantin.“Emang ada jadwal film apa aja hari ini?” tanya Windy.Chacha langsung membuka website resmi bioskop yang sering mereka kunjungi. Ada 5 film yang sedang tayang di bioskop namun memiliki batas jadwal yang berbeda.“Ada film romantis, komedi, sama horor. Mau yang mana?” Chacha menyodorkan ponselnya pada Windy, sehingga sohibnya itu bisa melihat serta memilih film yang ingin ia tonton. Chacha sih tidak masalah dengan apapun pilihan Windy, pada dasarnya dia penikmat film serta penyuka semua genre, jadi film manapun tidak membuat ia keberatan.
Malam ini Chacha tidak menginap sebab esok ia harus pulang ke kampung halaman. Barusan Chaha mendapat kabar bahwa kakeknya sedang sakit, jadi ia akan ambil izin dari kampus entah sampai kapan. Kakeknya di kampung hanya tinggal sendiri, sang nenek sudah pergi duluan menghadap Sang Pencipta. Di usianya yang kian senja, Chacha tak bosan menawari kakeknya untuk tinggal bersama dia, Ibu, dan Ayah.Namun kakeknya menolak. Jika ia pergi, siapa yang akan mengurus rumah? Jika ia pergi, siapa yang akan mengurus tanaman nenek? Kakek tidak bisa meninggalkan itu semua. Di setiap sudut area rumah sudah terjamah oleh kehadiran kekasih hati. Meski nenek sudah meninggal, kakek seolah masih bisa merasakan keberadaannya. Setiap hari kakek Chacha tidak mengenal lelah ‘tuk mengenang semua memori perjalanan kisah cintanya bersama sang istri.Melihat itu, Chacha jadi tidak tega
Pintu ruang interogasi terbuka cukup keras hingga daun pintu hampir mengenai dinding. Detektif Jun masuk, netra tajamnya langsung menangkap sosok pria muda yang duduk di kursi interogasi. Dia tampak tenang. Terlampau santai. Tak ada rasa takut ataupun panik yang tersirat.Detektif Jun pernah bertemu pembunuh jenis seperti ini. Semacam psikopat yang senang bermain-main dengan pihak kepolisian. Menantang bahkan memberi challenge berapa banyak dan dimana saja si pembunuh menaruh kumpulan mayat yang ia anggap sebagai karya seni.Sial.Detektif Jun sangat benci tipe pembunuh seperti ini.Dan mereka, pantas dihukum mati. Tidak pantas mendapatkan HAM karena bagi Detektif Jun orang seperti itu bukanlah manusia, melainkan monster. Banyak orang pasti juga setuju.
Asap putih berhembus dari belah ranum Detektif Jun. Ia bersandar pada dinding, memandang atap langit yang tampak lengang tak berawan. Bayang hitam sedikit jelas menghias bagian matanya akibat kurang tidur selama beberapa minggu terakhir. Tak jarang ia sering merasa pening karena tidak teratur makan. Satu kasus benar-benar buat ia kewalahan bukan main. Belum lagi banyak deretan kasus yang antri untuk ditangani. Otomatis sebisa mungkin ia dan rekannya harus multitasking.“Detektif Jun!”Dari ujung sana, Detektif Glen datang menghampiri.“Aku cari kemana-mana ternyata di sini.”Detektif Jun membuang putung rokoknya ke tanah, lalu menginjaknya kuat hingga padam.“Gimana?” tany