“Ih apa-apaan, aku makan sop, kok kamu makan nasi goreng aceh? Mana versi komplit lagi, baunya juga enak.” Protes menjadi hal pertama yang Chacha utarakan ketika bangkit dari tidur lelapnya. Bibir Chacha mengerucut, dia tergiur oleh sajian yang ada di depan Windy.
“Ini pedes, kamu nggak boleh nyicip,” ucap Windy yang sukses buat Chacha berdecak sebal. Keduanya lantas duduk di kursi makan dan mulai menikmati makan malam.
“Minggu ini kamu pulang ke rumah orang tua?” tanya Chacha di sela kunyahan.
“Nggak tahu deh, liat aja nanti,” jawab Windy.
Sejujurnya, beberapa hari terakhir, lelah sering menerpa diri Windy. Kegiatan kampus sedikit demi sedikit mulai padat, tugas yang diberikan oleh dosen hampir menjauhi kata manusiawi, belum lagi kelas pengganti yang kerap kali digelar ketika hari libur atau tidak ada jadwal. Sabtu yang biasanya libur ini tak lagi ada jam kosong.
“Kamu beli?” Windy mendongak, menangkap bola mata Chacha yang tertuju pada nasi goreng.
“Bukan, dikasih sama Brian.”
Kunyahan Chacha seketika terhenti, senyum jahil langsung terpampang di wajah imutnya.
“Ehem! Siapa tuh?” tanya Chacha dengan nada menggoda bersama kedua alis yang digerakkan naik turun.
“Tetangga sebelah.”
“Sebelah? Maksudnya pas di samping apartemen kamu?”
Windy mengangguk sebagai bentuk jawaban verbal.
“Kok aku nggak tahu sih? Cakep?”
“Cakep. Banget malah. Lagian kamu kan jarang di sini, wajar nggak tahu, bahkan ketemu.”
Chacha tidak lagi menyahut, fokus pada makan malam yang Windy siapkan untuknya. Kondisi perutnya kini membaik. Walaupun begitu, bukan berarti dia sudah bisa langsung makan pedas. Untuk sementara waktu dia harus menghindari cabai dan saus.
***
Hari demi hari bergulir, kesibukan Windy hampir tidak bisa ditolerir. Pulang malam mulai menjadi suatu kebiasaan yang tidak pernah terencana olehnya. Meskipun jarum pendek tidak menyentuh angka 8, tetap saja menjadi hal asing bagi Windy.
Apalagi ketika ia mengingat aturan sang ayah agar tidak pulang di atas jam 7. Bila ayahnya tahu, Windy yakin akan diceramahi habis-habisan. Tapi ya mau bagaimana lagi, Windy pulang telat bukan karena suatu hal yang bisa mencemarkan nama baik keluarga. Melainkan kelas pengganti serta tugas yang menahannya lebih lama di kampus.
Windy mengusap perut kala berbunyi, lapar melanda mengingat jam 1 siang tadi adalah kali terakhir ia mengisi perut. Windy memindai sekitar, melihat apakah ada warung atau warteg yang bisa ia singgahi demi mengatasi rasa lapar. Sampai sepasang netranya menangkap bangunan restoran kecil yang letaknya berseberangan dengan kedai mie pedas.
Tanpa mengulur waktu, Windy memutuskan untuk makan malam di sana.
Wangi aroma masakan menjadi sapaan ketika Windy masuk. Kedua bola mata Windy langsung meneliti setiap sudut restoran tersebut. Desain yang berbahan dasar kayu dan dihiasi beberapa pot tanaman hijau membuat suasana restoran ini layaknya rumah. Bahkan tempat duduk lesehan juga tersedia.
Namun, meja di sudut ruang yang berdampingan dengan sisi jendela menarik perhatian Windy. Ia pun segera menempati meja tersebut. Di tengah, sudah tersedia buku menu. Windy mulai memilih, pupilnya bergulir ke atas dan ke bawah, memindai setiap daftar makanan serta minuman.
“Mbak! Saya mau pesen!” panggil Windy melempar lambaian tangan pada salah satu pelayan.
Di sisi lain, Aron baru keluar dari ruang ganti pakaian. Tubuh tinggi atletis yang tadi berbalut seragam hitam, kini telah berganti menjadi pakaian yang lebih kasual dan santai.
“Mau langsung pulang?” tanya Bella.
“Iya nih, takut kemaleman.”
Aron mengeluarkan jaket hitam andalan yang biasa ia pakai kemana pun ia pergi. Kemudian, dia meraih kunci motor lalu kembali mengaitkan ransel di bahu. Baru saja tungkainya hendak melangkah, netra legamnya menangkap sosok gadis yang ia lihat siang tadi.
Ya, gadis itu adalah Windy.
Gadis yang membuat diri Aron membeku kala menatapnya. Wajah jelitanya masih setia terngiang di benak Aron. Dan kini, ia dapat melihat sosok itu lagi. Untuk kali kedua, jantung Aron berdegup kencang. Langkah yang hampir membawanya pulang tadi, kini berbalik arah menempati salah satu meja kosong, selurus dan sebaris dengan meja Windy.
“Ini Mbak pesanannya.”
“Oh iya, makasih ya.”
Windy meneguk minuman lebih dulu guna menghilangkan rasa gersang di tenggorokkan. Suapan demi suapan mulai masuk ke dalam mulut. Sesekali ia tersenyum, merasa puas atas kelezatan yang memanjakan lidah. Mengundang tawa jenaka dari pria yang kian betah memperhatikannya.
“Ron? Kok masih di sini?” Itu Tommy, Dia juga baru selesai berganti pakaian dan ingin pulang. Namun, matanya keburu menangkap sosok Aron yang duduk di salah meja sambil tertawa seperti orang gila.
“Lihatin apaan sih?” Kala Tommy hampir mengikuti arah pandang Aron, Aron langsung bangun dan menyeret Tommy untuk keluar dari restoran.
“Nggak ada. Aku tadi lagi nungguin karyawan lain, siapa tahu ada yang bisa aku ajak pulang bareng. Eh ternyata kamu juga udah selesai. Yaudah ayok pulang,” seru Aron yang malah membuat Tommy bingung.
***
Chacha menggigit bibir bawahnya cemas saat melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Sesekali ujung kukunya mengetuk meja. Memecah kesunyian yang mendominasi. Chacha mengecek benda pipih yang ia taruh begitu saja di atas meja. Menunggu harap ada telepon atau pesan yang masuk dari Windy.
Tidak sebelum pintu utama berbunyi dan terbuka, menampilkan sosok yang telah Chacha tunggu sedari tadi.
“Ya ampun Windy! Kamu ke mana aja sih? Nggak biasanya kamu pulang jam segini. Nih ya, kalau orang tua kamu tahu, pasti mereka marah banget.”
“Mereka nggak bakal tahu kalau kamu nggak kasih tahu. Aku juga pulang jam segini karena musti kelarin tugas di perpustakaan. Tadi juga aku mampir dulu ke restoran kecil buat makan malam. Kamu udah makan malam?”
“Udah, tadi aku bikin mie goreng sama ceplok telor.”
Windy hanya ber-oh ria sambil menganggukkan kepala.
“Terus, kamu ngapain ke sini? Mau nginep lagi?” tanya Windy.
“Niat awalnya sih cuman mau main, tapi aku ubah setelah aku ngeliat kotak kecil ini di depan pintu apartemen kamu.” Chacha meraih kotak box putih di atas nakas dan memberikannya pada Windy.
“Apaan nih?” Windy melihat ke sekeliling kotak tersebut. Tidak ada cantuman nama si pengirim. Hanya tertulis ‘untuk Windy’ di bagian penutup kotak. Windy juga menggoncang kotak tersebut yang ternyata memiliki berat sangat ringan seperti angin. Seolah tidak ada apapun di dalam sana.
“Aku juga nggak tahu. Aku nunggu kamu aja buat buka,” ujar Chacha.
Karena rasa penasaran yang sudah di ujung tanduk, akhirnya Windy membuka kotak tersebut. Kening keduanya lantas mengkerut pertanda bingung kala hanya mendapati seuntai kalimat yang tertulis pada permukaan kotak.
‘Siapa selanjutnya?’
─── To Be Continue
“Aku yakin, mereka orang yang sama!” ujar Chacha lugas. Suasana tegang. Kepala mereka dipenuhi oleh pertanyaan tentang siapa pengirim surat tersebut. Orang yang sama? Sebenarnya belum tentu, namun isi surat itu cukup terhubung dengan isi surat sebelumnya. “Win, gimana kalau kita lapor ke Detektif yang kemarin aja? Kamu simpan kartu namanya kan?” usul Chacha. Namun, Windy langsung menggelengkan kepala. Tidak setuju atas ide Chacha barusan. “Cha, berhubungan sama instansi kepolisian itu bukan hal yang gampang. Terus, seuntai kalimat kayak gini mana cukup buat mereka tindak lajuti? Yang ada mereka malah bilang kalau ini cuman ulah orang iseng. Lagian juga, surat-surat yang kemarin udah aku buang.” Chacha bungkam. Membenarkan perkataan Windy barus
Hari mulai larut, malam kian pekat. Di dalam sebuah bangunan salah satu instansi negara, beberapa ruangan sudah tampak gelap pertanda tidak ada lagi aktifitas para pekerja. Orang yang melihat dari luar pasti akan berpikir seperti itu. Padahal, tidak sepenuhnya benar.Seperti di ruang Divisi Kejahatan, 2 anak adam masih betah berkutit dengan file-file berisi 2 kasus yang akhir-akhir ini menjadi beban pundak sekaligus pikiran. Otak mereka terkuras habis karena lagi-lagi tidak ada bukti yang bisa menaikkan level kasus ini.“Tempat kedua korban ditemukan jauh dan minim dari jangkauan cctv, tapi berada di tengah kota.” Detektif Glen mengetuk permukaan dagunya dengan telunjuk. Pandangan ke atas, menggali jawaban semu yang belum tentu didapat. Sedang Detektif Jun, dia terus memindai ulang satu persatu foto, kedua alis menyatu kala pandangannya
“Mumpung hari ini kita sama-sama pulang cepet, nonton bioskop yuk!” Chacha mencolek Windy yang tengah menikmati kentang goreng. Mereka berdua tengah mengganjal perut dengan beberapa menu makanan ringan di kantin.“Emang ada jadwal film apa aja hari ini?” tanya Windy.Chacha langsung membuka website resmi bioskop yang sering mereka kunjungi. Ada 5 film yang sedang tayang di bioskop namun memiliki batas jadwal yang berbeda.“Ada film romantis, komedi, sama horor. Mau yang mana?” Chacha menyodorkan ponselnya pada Windy, sehingga sohibnya itu bisa melihat serta memilih film yang ingin ia tonton. Chacha sih tidak masalah dengan apapun pilihan Windy, pada dasarnya dia penikmat film serta penyuka semua genre, jadi film manapun tidak membuat ia keberatan.
Malam ini Chacha tidak menginap sebab esok ia harus pulang ke kampung halaman. Barusan Chaha mendapat kabar bahwa kakeknya sedang sakit, jadi ia akan ambil izin dari kampus entah sampai kapan. Kakeknya di kampung hanya tinggal sendiri, sang nenek sudah pergi duluan menghadap Sang Pencipta. Di usianya yang kian senja, Chacha tak bosan menawari kakeknya untuk tinggal bersama dia, Ibu, dan Ayah.Namun kakeknya menolak. Jika ia pergi, siapa yang akan mengurus rumah? Jika ia pergi, siapa yang akan mengurus tanaman nenek? Kakek tidak bisa meninggalkan itu semua. Di setiap sudut area rumah sudah terjamah oleh kehadiran kekasih hati. Meski nenek sudah meninggal, kakek seolah masih bisa merasakan keberadaannya. Setiap hari kakek Chacha tidak mengenal lelah ‘tuk mengenang semua memori perjalanan kisah cintanya bersama sang istri.Melihat itu, Chacha jadi tidak tega
Pintu ruang interogasi terbuka cukup keras hingga daun pintu hampir mengenai dinding. Detektif Jun masuk, netra tajamnya langsung menangkap sosok pria muda yang duduk di kursi interogasi. Dia tampak tenang. Terlampau santai. Tak ada rasa takut ataupun panik yang tersirat.Detektif Jun pernah bertemu pembunuh jenis seperti ini. Semacam psikopat yang senang bermain-main dengan pihak kepolisian. Menantang bahkan memberi challenge berapa banyak dan dimana saja si pembunuh menaruh kumpulan mayat yang ia anggap sebagai karya seni.Sial.Detektif Jun sangat benci tipe pembunuh seperti ini.Dan mereka, pantas dihukum mati. Tidak pantas mendapatkan HAM karena bagi Detektif Jun orang seperti itu bukanlah manusia, melainkan monster. Banyak orang pasti juga setuju.
Asap putih berhembus dari belah ranum Detektif Jun. Ia bersandar pada dinding, memandang atap langit yang tampak lengang tak berawan. Bayang hitam sedikit jelas menghias bagian matanya akibat kurang tidur selama beberapa minggu terakhir. Tak jarang ia sering merasa pening karena tidak teratur makan. Satu kasus benar-benar buat ia kewalahan bukan main. Belum lagi banyak deretan kasus yang antri untuk ditangani. Otomatis sebisa mungkin ia dan rekannya harus multitasking.“Detektif Jun!”Dari ujung sana, Detektif Glen datang menghampiri.“Aku cari kemana-mana ternyata di sini.”Detektif Jun membuang putung rokoknya ke tanah, lalu menginjaknya kuat hingga padam.“Gimana?” tany
Meskipun banyak mata pria melirik dan bersedia melabuhkan cintanya pada Windy, bukan berarti perempuan berdarah sunda itu memiliki pengalaman dalam percintaan.Selama 21 tahun ia berpijak dan bernafas, Windy belum pernah sekalipun merangkai kisah cinta. Malas dan belum ada niat menemukan tambatan hati adalah alasan utama.Bahkan pertanyaan konyol ini sering terlintas di benak Windy saat teman-temannya meledek hanya karena dia belum pernah berpacaran.Enaknya pacaran apa sih?Untungnya pacaran tuh apa?Mereka bilang kelebihan punya pacar itu karena ada seseorang yang sayang dan perhatian dengan kita. Kalau itu jawaban validnya, maka bagi Windy mencari sosok perhatian dan penuh kasih sayang tidak harus dari pacar.Chacha dan orang tuanya sudah sangat cukup memberinya kasih sayang serta perhatian. Punya pacar tidak menjamin ba
Pindah apartemen atau menghindar sebisa mungkin? Itulah yang menjadi beban pilihan Windy saat ini. Berlebihan memang, mengingat pilihan tersebut muncul karena kejadian pagi tadi.Sesal dan malu sangat menggerogoti diri. Bahkan jika Windy mengingat kembali, dia sampai geli sendiri. Tetapi, Windy tidak sepenuhnya salah.Kalian lihat sendiri kan bahwa Brian yang memulai semuanya duluan?Menarik tubuh Windy lalu mengenalkan dirinya sebagai pacar Brian. Namun, Windy juga tidak bisa menipis rasa bersalah karena ia mengiyakan permainan Brian.Ta-tapi itu semua pasti ada alasannya.Mungkin Brian merasa risih? Maka dari itu ia menarik Windy agar wanita bernama Gina itu segera pergi."Ini dia pesanan kita!"Brian menaruh nampan, mengoper satu per satu menu ke atas meja makan. Kemudian menaruh tampan tersebut di t