“Aku yakin, mereka orang yang sama!” ujar Chacha lugas.
Suasana tegang. Kepala mereka dipenuhi oleh pertanyaan tentang siapa pengirim surat tersebut. Orang yang sama? Sebenarnya belum tentu, namun isi surat itu cukup terhubung dengan isi surat sebelumnya.
“Win, gimana kalau kita lapor ke Detektif yang kemarin aja? Kamu simpan kartu namanya kan?” usul Chacha. Namun, Windy langsung menggelengkan kepala. Tidak setuju atas ide Chacha barusan.
“Cha, berhubungan sama instansi kepolisian itu bukan hal yang gampang. Terus, seuntai kalimat kayak gini mana cukup buat mereka tindak lajuti? Yang ada mereka malah bilang kalau ini cuman ulah orang iseng. Lagian juga, surat-surat yang kemarin udah aku buang.”
Chacha bungkam. Membenarkan perkataan Windy barusan. Bagaimana jika ini memang ulah orang iseng? Bagaimana isi surat tersebut tidak sengaja berhubungan dengan surat-surat yang lalu? Bukannya dapat pembelaaan, mereka berdua pasti akan ditertawai.
Walaupun begitu, tidak menampik rasa penasaran yang terus mengganggu kepala Chacha dan Windy. Yah, meskipun surat tersebut ditujukan untuk Windy, Chacha—sebagai sahabat Windy—turun khawatir.
"Oke, kita anggap kiriman surat ini cuman orang iseng. Tapi kalau ini sampai keterusan, berarti memang udah nggak beres, Win."
Win beri anggukan pelan. Dia tidak mau terbebankan oleh lelucon semacam ini.
***
“Kayaknya aku minggu ini nggak pulang lagi ke rumah, Ma.”
Windy berjalan mengitari rak. Pupil matanya memindai satu per satu buku yang tertata rapi. Menimbang-nimbang novel fiksi apa yang harus ia beli.
“Aku akhir-akhir ini capek banget, Ma. Kuliah makin padat, aku juga sering pulang telat.”
Windy berhenti di tengah, netra kilaunya tertarik pada salah satu buku bersampul biru merah. Ia raih dan membaca judul yang tertera.
WAJAH KEDUA.
Dahi Windy mengkerut kala membaca judul buku tersebut. Kemudian ia balik, membaca untaian sinopsis singkat di belakangnya. Isinya jauh berbeda dengan dugaan. Windy pikir ini adalah cerita romansa yang dibubuhi perselingkuhan. Ternyata tidak sama sekali. Melainkan bercerita tentang topeng yang senantiasa disimpan oleh kebanyakan manusia sebagai cadangan.
Bukan, ini bukan tentang orang bermuka dua yang baik di depan dan busuk di belakang. Namun ini mengenai sisi diri yang lain. Topeng yang disembunyikan sebaik mungkin tanpa diketahui oleh siapapun.
“Yaudah, Ma. Aku tutup ya telponnya. Aku lagi di luar, nanti aku telpon lagi.”
Windy memasukkan benda pipih itu ke dalam tas. Usai melihat-lihat, ia memutuskan untuk membeli novel fiksi yang tengah ia genggam, lalu berjalan menuju bagian kasir. Sembari menunggu pembayaran, Windy melihat-lihat pernak-pernik dan cemilan coklat yang terpajang di rak bening samping kasir. Terkadang, tidak semua toko buku hanya menjual buku. Banyak dari mereka yang menyelipkan produk lain yang kemungkinan bisa memiliki potensi menarik pembeli.
Seperti deretan coklat ini. Coklat yang dikemas warna-warni dengan nama yang berbeda. Brand tetap tercantum namun lebih condong menunjukkan nama kedua dari coklat tersebut.
Coklat galau, coklat jatuh cinta, coklat nyantai, coklat kebahagiaan, dan lain sebagainya.
Well, mungkin kalian pernah menemui coklat semacam ini. Ambil sesuai dengan apa yang kalian rasakan saat itu. Jika kalian sedang bahagia, maka ambillah coklat kebahagiaan, jika kalian sedang sedih, maka ambillah coklat kesedihan―bila kalian berpikir itu akan menambah kadar kesedihan, mungkin sebenarnya tidak. Kata orang, coklat bisa menjadi sumber kebahagiaan, maka itu bisa menjadi alat pengikis kesedihan.
“Totalnya 69.700.”
Windy mengeluarkan uang 100 ribu.
“Makasih banyak ya,” ujar Windy sambil menerima uang kembali. Baru saja ia berbalik―berjalan menuju pintu keluar―suara familiar menyapanya.
“Kamu ternyata suka baca buku juga ya.”
“Eh, Brian.” Keduanya sontak saling melempar senyum. “Kamu mau beli buku juga?”
“Nggak, aku mau sayuran. Ya iyalah beli buku, kan ini toko buku,” canda Brian.
“Kamu beli buku apa?” Brian melirik ke arah tas belanja kecil yang ditenteng oleh Windy. “Oh, ini cuman novel fiksi doang. Buat temen nyantai aja sih” Brian mengangguk pelan.
“Kalau gitu aku duluan ya, masih ada urusan.”
Windy berjalan melewati Brian, dimana pria itu masih senantiasa melihatnya hingga sepenuhnya hilang dari pandangan.
***
“Udah sampai mana tahap hubungan kamu sama Brian?”
Tania mendengus mendengar pertanyaan dari Ella―teman dekatnya sedari SMA. Tania menaruh cangkir teh di permukaan meja, bersandar pada punggung kursi, lalu bersedekap dada. Paras jelitanya mencetak mimik angkuh nan tajam―yang langsung dapat Ella pahami bahwa semua tidak sesuai yang Tania impikan. Jika sudah begini, Tania dengan suka rela bergerak melampaui batas.
“Aku yang sudah menemani Brian selama bertahun-tahun, namun yang berhasil mencuri hatinya adalah perempuan yang tidak sampai semenit ia temui. Tidak adil,” geram Tania halus.
Mari berkenalan secara singkat tentang Tania.
Tania Asmita. Kerap dipanggil Tania, putri tunggal salah satu pasangan pengusaha cukup ternama dan berpengaruh di Indonesia. Memiliki gaya hidup hedonis, sahabat karib Brian sedari taman kanak-kanak. Fisiknya senantiasa dipuji sempurna dari berbagai kalangan. Pahatan yang sempurna bagi kebanyakan orang-orang―walau tidak semua.
Di awal, pasti kalian sudah tahu bahwa Tania memendam rasa lebih dari sekedar sahabat terhadap Brian. Ia juga secara terang-terangan menunjukkan sikap tertarik pada pria yang beberapa bulan lebih tua darinya. Bahkan bukan sekali dua kali kata menyukai terlontar di hadapan Brian.
Tania berusaha membuktikan cintanya, seakan ia rela melakukan apapun agar Brian mau menaruh hati untuknya. Di sinilah poin terburuknya, Tania selalu mendapatkan apa yang ia mau. Merelakan salah satu fase yang tidak ingin Tania rasakan dan pelajari.
Keyakinan yang diselimuti oleh kekuasaan, buat Tania bersugesti bahwa cepat atau lambat, pada akhirnya yang ia inginkan akan tetap menjadi miliknya. Ini hanya soal waktu―menurut Tania. Dia cuman perlu bersabar sedikit, dan bila ada hama yang menghalangi, kalian pasti bisa langsung menebak bukan?
Intinya, Tania itu licik dan kotor.
“Kamu emangnya udah tahu sosok yang berhasil dapatin hati Brian?”
Ella menelan satu tegukan kopi susu yang mulai mendingin. Perempuan itu lebih banyak bungkam daripada berkomentar banyak. Bila harus membuka suara, kata-kata yang keluar wajib membela apa yang Tania lakukan. Meski itu jauh dari kata manusiawi.
“Belum, Brian bilang dia masih di tahap awal. Dia juga belum mau berbagi nama si perempuan. Brian cuman bilang bahwa mereka tinggal di gedung apartemen yang sama.”
“Terus, rencana kamu?” Ella tegang. Walau ranum merah Tania belum berucap, Ella sudah tahu bahwa apapun yang keluar dari bibirnya jauh dari kata buruk.
“Sebelum tumbuh lebih besar, lebih baik akarnya dihancurkan dari sekarang bukan?”
Tania kembali meraih cangkir teh, menyeruput pelan sembari memandangi jalanan aspal yang ramai oleh lautan manusia serta kendaraan.
Dia mulai masuk ke babak baru kehidupan.
─── To Be Continue
Hari mulai larut, malam kian pekat. Di dalam sebuah bangunan salah satu instansi negara, beberapa ruangan sudah tampak gelap pertanda tidak ada lagi aktifitas para pekerja. Orang yang melihat dari luar pasti akan berpikir seperti itu. Padahal, tidak sepenuhnya benar.Seperti di ruang Divisi Kejahatan, 2 anak adam masih betah berkutit dengan file-file berisi 2 kasus yang akhir-akhir ini menjadi beban pundak sekaligus pikiran. Otak mereka terkuras habis karena lagi-lagi tidak ada bukti yang bisa menaikkan level kasus ini.“Tempat kedua korban ditemukan jauh dan minim dari jangkauan cctv, tapi berada di tengah kota.” Detektif Glen mengetuk permukaan dagunya dengan telunjuk. Pandangan ke atas, menggali jawaban semu yang belum tentu didapat. Sedang Detektif Jun, dia terus memindai ulang satu persatu foto, kedua alis menyatu kala pandangannya
“Mumpung hari ini kita sama-sama pulang cepet, nonton bioskop yuk!” Chacha mencolek Windy yang tengah menikmati kentang goreng. Mereka berdua tengah mengganjal perut dengan beberapa menu makanan ringan di kantin.“Emang ada jadwal film apa aja hari ini?” tanya Windy.Chacha langsung membuka website resmi bioskop yang sering mereka kunjungi. Ada 5 film yang sedang tayang di bioskop namun memiliki batas jadwal yang berbeda.“Ada film romantis, komedi, sama horor. Mau yang mana?” Chacha menyodorkan ponselnya pada Windy, sehingga sohibnya itu bisa melihat serta memilih film yang ingin ia tonton. Chacha sih tidak masalah dengan apapun pilihan Windy, pada dasarnya dia penikmat film serta penyuka semua genre, jadi film manapun tidak membuat ia keberatan.
Malam ini Chacha tidak menginap sebab esok ia harus pulang ke kampung halaman. Barusan Chaha mendapat kabar bahwa kakeknya sedang sakit, jadi ia akan ambil izin dari kampus entah sampai kapan. Kakeknya di kampung hanya tinggal sendiri, sang nenek sudah pergi duluan menghadap Sang Pencipta. Di usianya yang kian senja, Chacha tak bosan menawari kakeknya untuk tinggal bersama dia, Ibu, dan Ayah.Namun kakeknya menolak. Jika ia pergi, siapa yang akan mengurus rumah? Jika ia pergi, siapa yang akan mengurus tanaman nenek? Kakek tidak bisa meninggalkan itu semua. Di setiap sudut area rumah sudah terjamah oleh kehadiran kekasih hati. Meski nenek sudah meninggal, kakek seolah masih bisa merasakan keberadaannya. Setiap hari kakek Chacha tidak mengenal lelah ‘tuk mengenang semua memori perjalanan kisah cintanya bersama sang istri.Melihat itu, Chacha jadi tidak tega
Pintu ruang interogasi terbuka cukup keras hingga daun pintu hampir mengenai dinding. Detektif Jun masuk, netra tajamnya langsung menangkap sosok pria muda yang duduk di kursi interogasi. Dia tampak tenang. Terlampau santai. Tak ada rasa takut ataupun panik yang tersirat.Detektif Jun pernah bertemu pembunuh jenis seperti ini. Semacam psikopat yang senang bermain-main dengan pihak kepolisian. Menantang bahkan memberi challenge berapa banyak dan dimana saja si pembunuh menaruh kumpulan mayat yang ia anggap sebagai karya seni.Sial.Detektif Jun sangat benci tipe pembunuh seperti ini.Dan mereka, pantas dihukum mati. Tidak pantas mendapatkan HAM karena bagi Detektif Jun orang seperti itu bukanlah manusia, melainkan monster. Banyak orang pasti juga setuju.
Asap putih berhembus dari belah ranum Detektif Jun. Ia bersandar pada dinding, memandang atap langit yang tampak lengang tak berawan. Bayang hitam sedikit jelas menghias bagian matanya akibat kurang tidur selama beberapa minggu terakhir. Tak jarang ia sering merasa pening karena tidak teratur makan. Satu kasus benar-benar buat ia kewalahan bukan main. Belum lagi banyak deretan kasus yang antri untuk ditangani. Otomatis sebisa mungkin ia dan rekannya harus multitasking.“Detektif Jun!”Dari ujung sana, Detektif Glen datang menghampiri.“Aku cari kemana-mana ternyata di sini.”Detektif Jun membuang putung rokoknya ke tanah, lalu menginjaknya kuat hingga padam.“Gimana?” tany
Meskipun banyak mata pria melirik dan bersedia melabuhkan cintanya pada Windy, bukan berarti perempuan berdarah sunda itu memiliki pengalaman dalam percintaan.Selama 21 tahun ia berpijak dan bernafas, Windy belum pernah sekalipun merangkai kisah cinta. Malas dan belum ada niat menemukan tambatan hati adalah alasan utama.Bahkan pertanyaan konyol ini sering terlintas di benak Windy saat teman-temannya meledek hanya karena dia belum pernah berpacaran.Enaknya pacaran apa sih?Untungnya pacaran tuh apa?Mereka bilang kelebihan punya pacar itu karena ada seseorang yang sayang dan perhatian dengan kita. Kalau itu jawaban validnya, maka bagi Windy mencari sosok perhatian dan penuh kasih sayang tidak harus dari pacar.Chacha dan orang tuanya sudah sangat cukup memberinya kasih sayang serta perhatian. Punya pacar tidak menjamin ba
Pindah apartemen atau menghindar sebisa mungkin? Itulah yang menjadi beban pilihan Windy saat ini. Berlebihan memang, mengingat pilihan tersebut muncul karena kejadian pagi tadi.Sesal dan malu sangat menggerogoti diri. Bahkan jika Windy mengingat kembali, dia sampai geli sendiri. Tetapi, Windy tidak sepenuhnya salah.Kalian lihat sendiri kan bahwa Brian yang memulai semuanya duluan?Menarik tubuh Windy lalu mengenalkan dirinya sebagai pacar Brian. Namun, Windy juga tidak bisa menipis rasa bersalah karena ia mengiyakan permainan Brian.Ta-tapi itu semua pasti ada alasannya.Mungkin Brian merasa risih? Maka dari itu ia menarik Windy agar wanita bernama Gina itu segera pergi."Ini dia pesanan kita!"Brian menaruh nampan, mengoper satu per satu menu ke atas meja makan. Kemudian menaruh tampan tersebut di t
Windy duduk di depan cermin rias. Sibuk mengubah tampilan rambutnya menjadi bentuk gelombang dengan alat catok. Sesekali Windy sisir menggunakan jemari agar tampak lebih natural.Usai mencatok rambut, Windy mulai merias wajah. Mengoles sunscreen, pelembab, dan cushion. Kedua alis tebalnya ia sisir rapi dan mengisinya sedikit dengan pensil alis berwarna coklat tua.Ia bubuhkan sedikit blush on ke bagian dalam pipi hingga menyentuh sedikit area pelipis. Kemudian, Windy raih liptint warna merah cherry, mengolesnya ke bagian dalam bibir, lalu sisanya ia tepuk ke tepi bibir sampai menyerupai warna gradasi.Selesai!Windy tersenyum manis melihat pantulan dirinya di cermin. Dia tidak pernah da