Hari mulai larut, malam kian pekat. Di dalam sebuah bangunan salah satu instansi negara, beberapa ruangan sudah tampak gelap pertanda tidak ada lagi aktifitas para pekerja. Orang yang melihat dari luar pasti akan berpikir seperti itu. Padahal, tidak sepenuhnya benar.
Seperti di ruang Divisi Kejahatan, 2 anak adam masih betah berkutit dengan file-file berisi 2 kasus yang akhir-akhir ini menjadi beban pundak sekaligus pikiran. Otak mereka terkuras habis karena lagi-lagi tidak ada bukti yang bisa menaikkan level kasus ini.
“Tempat kedua korban ditemukan jauh dan minim dari jangkauan cctv, tapi berada di tengah kota.” Detektif Glen mengetuk permukaan dagunya dengan telunjuk. Pandangan ke atas, menggali jawaban semu yang belum tentu didapat. Sedang Detektif Jun, dia terus memindai ulang satu persatu foto, kedua alis menyatu kala pandangannya
“Mumpung hari ini kita sama-sama pulang cepet, nonton bioskop yuk!” Chacha mencolek Windy yang tengah menikmati kentang goreng. Mereka berdua tengah mengganjal perut dengan beberapa menu makanan ringan di kantin.“Emang ada jadwal film apa aja hari ini?” tanya Windy.Chacha langsung membuka website resmi bioskop yang sering mereka kunjungi. Ada 5 film yang sedang tayang di bioskop namun memiliki batas jadwal yang berbeda.“Ada film romantis, komedi, sama horor. Mau yang mana?” Chacha menyodorkan ponselnya pada Windy, sehingga sohibnya itu bisa melihat serta memilih film yang ingin ia tonton. Chacha sih tidak masalah dengan apapun pilihan Windy, pada dasarnya dia penikmat film serta penyuka semua genre, jadi film manapun tidak membuat ia keberatan.
Malam ini Chacha tidak menginap sebab esok ia harus pulang ke kampung halaman. Barusan Chaha mendapat kabar bahwa kakeknya sedang sakit, jadi ia akan ambil izin dari kampus entah sampai kapan. Kakeknya di kampung hanya tinggal sendiri, sang nenek sudah pergi duluan menghadap Sang Pencipta. Di usianya yang kian senja, Chacha tak bosan menawari kakeknya untuk tinggal bersama dia, Ibu, dan Ayah.Namun kakeknya menolak. Jika ia pergi, siapa yang akan mengurus rumah? Jika ia pergi, siapa yang akan mengurus tanaman nenek? Kakek tidak bisa meninggalkan itu semua. Di setiap sudut area rumah sudah terjamah oleh kehadiran kekasih hati. Meski nenek sudah meninggal, kakek seolah masih bisa merasakan keberadaannya. Setiap hari kakek Chacha tidak mengenal lelah ‘tuk mengenang semua memori perjalanan kisah cintanya bersama sang istri.Melihat itu, Chacha jadi tidak tega
Pintu ruang interogasi terbuka cukup keras hingga daun pintu hampir mengenai dinding. Detektif Jun masuk, netra tajamnya langsung menangkap sosok pria muda yang duduk di kursi interogasi. Dia tampak tenang. Terlampau santai. Tak ada rasa takut ataupun panik yang tersirat.Detektif Jun pernah bertemu pembunuh jenis seperti ini. Semacam psikopat yang senang bermain-main dengan pihak kepolisian. Menantang bahkan memberi challenge berapa banyak dan dimana saja si pembunuh menaruh kumpulan mayat yang ia anggap sebagai karya seni.Sial.Detektif Jun sangat benci tipe pembunuh seperti ini.Dan mereka, pantas dihukum mati. Tidak pantas mendapatkan HAM karena bagi Detektif Jun orang seperti itu bukanlah manusia, melainkan monster. Banyak orang pasti juga setuju.
Asap putih berhembus dari belah ranum Detektif Jun. Ia bersandar pada dinding, memandang atap langit yang tampak lengang tak berawan. Bayang hitam sedikit jelas menghias bagian matanya akibat kurang tidur selama beberapa minggu terakhir. Tak jarang ia sering merasa pening karena tidak teratur makan. Satu kasus benar-benar buat ia kewalahan bukan main. Belum lagi banyak deretan kasus yang antri untuk ditangani. Otomatis sebisa mungkin ia dan rekannya harus multitasking.“Detektif Jun!”Dari ujung sana, Detektif Glen datang menghampiri.“Aku cari kemana-mana ternyata di sini.”Detektif Jun membuang putung rokoknya ke tanah, lalu menginjaknya kuat hingga padam.“Gimana?” tany
Meskipun banyak mata pria melirik dan bersedia melabuhkan cintanya pada Windy, bukan berarti perempuan berdarah sunda itu memiliki pengalaman dalam percintaan.Selama 21 tahun ia berpijak dan bernafas, Windy belum pernah sekalipun merangkai kisah cinta. Malas dan belum ada niat menemukan tambatan hati adalah alasan utama.Bahkan pertanyaan konyol ini sering terlintas di benak Windy saat teman-temannya meledek hanya karena dia belum pernah berpacaran.Enaknya pacaran apa sih?Untungnya pacaran tuh apa?Mereka bilang kelebihan punya pacar itu karena ada seseorang yang sayang dan perhatian dengan kita. Kalau itu jawaban validnya, maka bagi Windy mencari sosok perhatian dan penuh kasih sayang tidak harus dari pacar.Chacha dan orang tuanya sudah sangat cukup memberinya kasih sayang serta perhatian. Punya pacar tidak menjamin ba
Pindah apartemen atau menghindar sebisa mungkin? Itulah yang menjadi beban pilihan Windy saat ini. Berlebihan memang, mengingat pilihan tersebut muncul karena kejadian pagi tadi.Sesal dan malu sangat menggerogoti diri. Bahkan jika Windy mengingat kembali, dia sampai geli sendiri. Tetapi, Windy tidak sepenuhnya salah.Kalian lihat sendiri kan bahwa Brian yang memulai semuanya duluan?Menarik tubuh Windy lalu mengenalkan dirinya sebagai pacar Brian. Namun, Windy juga tidak bisa menipis rasa bersalah karena ia mengiyakan permainan Brian.Ta-tapi itu semua pasti ada alasannya.Mungkin Brian merasa risih? Maka dari itu ia menarik Windy agar wanita bernama Gina itu segera pergi."Ini dia pesanan kita!"Brian menaruh nampan, mengoper satu per satu menu ke atas meja makan. Kemudian menaruh tampan tersebut di t
Windy duduk di depan cermin rias. Sibuk mengubah tampilan rambutnya menjadi bentuk gelombang dengan alat catok. Sesekali Windy sisir menggunakan jemari agar tampak lebih natural.Usai mencatok rambut, Windy mulai merias wajah. Mengoles sunscreen, pelembab, dan cushion. Kedua alis tebalnya ia sisir rapi dan mengisinya sedikit dengan pensil alis berwarna coklat tua.Ia bubuhkan sedikit blush on ke bagian dalam pipi hingga menyentuh sedikit area pelipis. Kemudian, Windy raih liptint warna merah cherry, mengolesnya ke bagian dalam bibir, lalu sisanya ia tepuk ke tepi bibir sampai menyerupai warna gradasi.Selesai!Windy tersenyum manis melihat pantulan dirinya di cermin. Dia tidak pernah da
Pukul 9 malam, Brian mengantar Windy pulang. Sebelum keduanya berpisah, ucapan selamat malam dan mimpi indah menjadi penutup istimewa. Windy menutup pintu lalu bersandar. Kejadian di dalam bioskop tak kunjung enyah dari pandangan.“Kamu nggak perlu jawab sekarang kok. Kamu bisa jawab kapanpun kamu siap.”Itu adalah kalimat yang Brian sisipkan di telinga Windy, sebelum mengecup samar permukaan pipi Windy. Demi Tuhan, selama kencan tadi Windy benar-benar mati kutu akibat perlakuan Brian yang terlampau manis. Padahal sebelumnya banyak pria yang juga bersikap manis pada Windy, namun entah kenapa gadis cantik ini merasa ada yang berbeda dari Brian.Karena tampan? Sepertinya tidak.Melainkan