Pintu ruang interogasi terbuka cukup keras hingga daun pintu hampir mengenai dinding. Detektif Jun masuk, netra tajamnya langsung menangkap sosok pria muda yang duduk di kursi interogasi. Dia tampak tenang. Terlampau santai. Tak ada rasa takut ataupun panik yang tersirat.
Detektif Jun pernah bertemu pembunuh jenis seperti ini. Semacam psikopat yang senang bermain-main dengan pihak kepolisian. Menantang bahkan memberi challenge berapa banyak dan dimana saja si pembunuh menaruh kumpulan mayat yang ia anggap sebagai karya seni.
Sial.
Detektif Jun sangat benci tipe pembunuh seperti ini.
Dan mereka, pantas dihukum mati. Tidak pantas mendapatkan HAM karena bagi Detektif Jun orang seperti itu bukanlah manusia, melainkan monster. Banyak orang pasti juga setuju.
Asap putih berhembus dari belah ranum Detektif Jun. Ia bersandar pada dinding, memandang atap langit yang tampak lengang tak berawan. Bayang hitam sedikit jelas menghias bagian matanya akibat kurang tidur selama beberapa minggu terakhir. Tak jarang ia sering merasa pening karena tidak teratur makan. Satu kasus benar-benar buat ia kewalahan bukan main. Belum lagi banyak deretan kasus yang antri untuk ditangani. Otomatis sebisa mungkin ia dan rekannya harus multitasking.“Detektif Jun!”Dari ujung sana, Detektif Glen datang menghampiri.“Aku cari kemana-mana ternyata di sini.”Detektif Jun membuang putung rokoknya ke tanah, lalu menginjaknya kuat hingga padam.“Gimana?” tany
Meskipun banyak mata pria melirik dan bersedia melabuhkan cintanya pada Windy, bukan berarti perempuan berdarah sunda itu memiliki pengalaman dalam percintaan.Selama 21 tahun ia berpijak dan bernafas, Windy belum pernah sekalipun merangkai kisah cinta. Malas dan belum ada niat menemukan tambatan hati adalah alasan utama.Bahkan pertanyaan konyol ini sering terlintas di benak Windy saat teman-temannya meledek hanya karena dia belum pernah berpacaran.Enaknya pacaran apa sih?Untungnya pacaran tuh apa?Mereka bilang kelebihan punya pacar itu karena ada seseorang yang sayang dan perhatian dengan kita. Kalau itu jawaban validnya, maka bagi Windy mencari sosok perhatian dan penuh kasih sayang tidak harus dari pacar.Chacha dan orang tuanya sudah sangat cukup memberinya kasih sayang serta perhatian. Punya pacar tidak menjamin ba
Pindah apartemen atau menghindar sebisa mungkin? Itulah yang menjadi beban pilihan Windy saat ini. Berlebihan memang, mengingat pilihan tersebut muncul karena kejadian pagi tadi.Sesal dan malu sangat menggerogoti diri. Bahkan jika Windy mengingat kembali, dia sampai geli sendiri. Tetapi, Windy tidak sepenuhnya salah.Kalian lihat sendiri kan bahwa Brian yang memulai semuanya duluan?Menarik tubuh Windy lalu mengenalkan dirinya sebagai pacar Brian. Namun, Windy juga tidak bisa menipis rasa bersalah karena ia mengiyakan permainan Brian.Ta-tapi itu semua pasti ada alasannya.Mungkin Brian merasa risih? Maka dari itu ia menarik Windy agar wanita bernama Gina itu segera pergi."Ini dia pesanan kita!"Brian menaruh nampan, mengoper satu per satu menu ke atas meja makan. Kemudian menaruh tampan tersebut di t
Windy duduk di depan cermin rias. Sibuk mengubah tampilan rambutnya menjadi bentuk gelombang dengan alat catok. Sesekali Windy sisir menggunakan jemari agar tampak lebih natural.Usai mencatok rambut, Windy mulai merias wajah. Mengoles sunscreen, pelembab, dan cushion. Kedua alis tebalnya ia sisir rapi dan mengisinya sedikit dengan pensil alis berwarna coklat tua.Ia bubuhkan sedikit blush on ke bagian dalam pipi hingga menyentuh sedikit area pelipis. Kemudian, Windy raih liptint warna merah cherry, mengolesnya ke bagian dalam bibir, lalu sisanya ia tepuk ke tepi bibir sampai menyerupai warna gradasi.Selesai!Windy tersenyum manis melihat pantulan dirinya di cermin. Dia tidak pernah da
Pukul 9 malam, Brian mengantar Windy pulang. Sebelum keduanya berpisah, ucapan selamat malam dan mimpi indah menjadi penutup istimewa. Windy menutup pintu lalu bersandar. Kejadian di dalam bioskop tak kunjung enyah dari pandangan.“Kamu nggak perlu jawab sekarang kok. Kamu bisa jawab kapanpun kamu siap.”Itu adalah kalimat yang Brian sisipkan di telinga Windy, sebelum mengecup samar permukaan pipi Windy. Demi Tuhan, selama kencan tadi Windy benar-benar mati kutu akibat perlakuan Brian yang terlampau manis. Padahal sebelumnya banyak pria yang juga bersikap manis pada Windy, namun entah kenapa gadis cantik ini merasa ada yang berbeda dari Brian.Karena tampan? Sepertinya tidak.Melainkan
Brian menutup pintu apartemen. Berjalan memasuki area dapur lalu meletakkan beberapa kantong belanja di atas meja pantry. Satu per satu keperluan dapur ia keluarkan dan langsung ia susun ke sejumlah tempat yang telah Brian tetapkan. Sembari menyusun, ranumnya bersiul. Mengalunkan irama ciptaan sendiri sebagai teman pemecah sepi.“Habis belanja mingguan?”Suara lembut mendayu sukses buat Brian terlonjak dari tempatnya berdiri. Dari seberang meja pantry, tampak sosok Tani tengah bersandar asyik pada punggung sofa sembari memainkan segelas anggur merah di tangan. Ranum tipisnya tersenyum lebar pada Brian.Bukan hal baru Tania sering berkunjung dan bisa masuk di kediaman Brian. Toh, dia tahu password apartemen Brian. Sang empunya sendiri jua yang memberi
Alih-alih menjawab, Brian malah duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur membelai pipi Windy. Mengelusnya lembut penuh sayang. Kalimat penuh kebohongan siap untuk ia luncurkan."Tadi, sepulang dari kampus, aku mampir ke salah satu supermarket dekat perempatan lampu merah. Aku lihat di jalanan banyak kepingan kaca dan mobil taksi yang diderek. Aku juga lihat beberapa bercak darah di jalan. Dari yang aku dengar dari obrolan orang-orang, katanya ada kecelakaan. Aku nggak berpikir bahwa orang itu kamu. Sampai akhirnya kamu nelpon aku, pikiranku langsung melayang ke perempatan tadi. Dan ya, aku tahu kamu di sini karena ini adalah Rumah Sakit paling dekat sama tempat kecelakaan kamu barusan. Untuk kamar, kan aku bisa nanya sama bagian resepsionis."Brian tersenyum simpul, beberapa helai anak rambut Windy ia selipkan di balik te
Windy menyeka bulir keringat pada dahi. Nafas berat keluar dari belah bibirnya. Satu per satu box coklat berbagai ukuran ia pindai sembari berhitung dalam hati.Pas. Semuanya dalam jumlah yang sama persis sebelum ia berangkat 2 jam yang lalu. Windy bergerak mendekati pintu balkon, dia buka lalu ia hirup udara senja yang menyapa hangat paras jelitanya.Windy terpaku manakala netra kilaunya melihat serat lembayung yang terbentang luas di langit biru. Menarik kedua ujung bibirnya hingga membentuk sebuah kurva senyuman.Lembayung senja selalu menjadi hal yang paling ia sukai. Selain wujudnya yang elok, menyaksikan langit berselimut oranye keemasan terbilang cukup jarang terjadi bagi Windy. Maka dari itu, Windy rela berdiam diri di jendela maupun pintu balkon demi menatap sang cakrawala."Windy, mau sekalian aku bantu nyusun barang?" Chacha, gadis bertubuh mungil dengan poni samping yang menutupi setengah dahi. Gadis itu baru saja seles