Alih-alih menjawab, Brian malah duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur membelai pipi Windy. Mengelusnya lembut penuh sayang. Kalimat penuh kebohongan siap untuk ia luncurkan.
"Tadi, sepulang dari kampus, aku mampir ke salah satu supermarket dekat perempatan lampu merah. Aku lihat di jalanan banyak kepingan kaca dan mobil taksi yang diderek. Aku juga lihat beberapa bercak darah di jalan. Dari yang aku dengar dari obrolan orang-orang, katanya ada kecelakaan. Aku nggak berpikir bahwa orang itu kamu. Sampai akhirnya kamu nelpon aku, pikiranku langsung melayang ke perempatan tadi. Dan ya, aku tahu kamu di sini karena ini adalah Rumah Sakit paling dekat sama tempat kecelakaan kamu barusan. Untuk kamar, kan aku bisa nanya sama bagian resepsionis."
Brian tersenyum simpul, beberapa helai anak rambut Windy ia selipkan di balik te
Windy menyeka bulir keringat pada dahi. Nafas berat keluar dari belah bibirnya. Satu per satu box coklat berbagai ukuran ia pindai sembari berhitung dalam hati.Pas. Semuanya dalam jumlah yang sama persis sebelum ia berangkat 2 jam yang lalu. Windy bergerak mendekati pintu balkon, dia buka lalu ia hirup udara senja yang menyapa hangat paras jelitanya.Windy terpaku manakala netra kilaunya melihat serat lembayung yang terbentang luas di langit biru. Menarik kedua ujung bibirnya hingga membentuk sebuah kurva senyuman.Lembayung senja selalu menjadi hal yang paling ia sukai. Selain wujudnya yang elok, menyaksikan langit berselimut oranye keemasan terbilang cukup jarang terjadi bagi Windy. Maka dari itu, Windy rela berdiam diri di jendela maupun pintu balkon demi menatap sang cakrawala."Windy, mau sekalian aku bantu nyusun barang?" Chacha, gadis bertubuh mungil dengan poni samping yang menutupi setengah dahi. Gadis itu baru saja seles
Jimmy Putra Aksara. Orang-orang memanggilnya Jimmy. Lelaki yang kerap kali menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa, juga dosen. Paras menawan berhiaskan lesung pipi menambah kadar manis ketika ranum tebalnya tertarik membentuk senyuman. Selain karena tampangnya, Jimmy sering jadi pembicaraan karena tekadnya dalam mengejar sang pujaan hati. Bila dugaan kalian adalah Windy, jawabannya tepat. Jimmy sudah menyukai Windy sejak mereka menduduki bangku SMA. Berbagai usaha untuk mendekati agar segera resmi berstatus sebagai sepasang kekasih tidak diindahkan oleh Windy. Bahkan Windy beberapa kali telah menolak secara halus. Memberi pengertian semaksimal mungkin agar Jimmy berhenti mengejarnya. Akan tetapi, Jimmy malah tak acuh. Dia selalu berpikir bahwa ini hanya perkara waktu. Jimmy terima jika Windy memang belum menumbuhkan rasa secuil pun untuk dirinya. Maka dari itu, ia akan terus berjuang yang justru membuat Windy risih dan merasa
"Kamu nggak sempet lihat wajah pengirimnya?" Chacha melempar tanya sambil membaca kutipan kalimat di kertas yang ia pegang. Rasa penasaran dan merinding turut melingkupi Chacha, lantaran arti dari kalimat tersebut membuat dirinya ikut merinding. "Waktu aku intip dari lubang pintu, nggak ada siapa-siapa Cha," jelas Windy. "Win, apa jangan-jangan, pengirimnya itu orang yang udah ngebunuh Jimmy?" Windy tidak menepis dugaan Chacha, karena Windy pun berpikir demikian. Makna yang keduanya tangkap pun sama. Seolah-olah pengirim berkata, 'Aku tuh udah nyingkirin Jimmy. Seharusnya kamu senang dia mati.'
Kasus pembunuhan kini kembali menjadi headline di berbagai media cetak dan media sosial. Menjadi topik pusat yang ramai diperbincangkan oleh seluruh masyarakat. Tenggat waktu yang berdekatan dengan kematian Jimmy, memunculkan berbagai teori konspirasi dari orang-orang. Pelaku pembunuhan Jimmy dan Airin, apakah mereka orang yang sama? Pihak berwenang masih terus menggali dari berbagai sudut. Kali ini, level kesulitan bertambah. Kematian Jimmy tidak ada petunjuk sedikit pun, begitu pula dengan kematian Airin. Terlalu bersih hingga mereka tidak dapat mengendus jejak sang pelaku. Aksi kriminal yang terorganisir buat kepolisian menarik kesimpulan bahwa orang ini bukanlah orang biasa. Dalam arti lain, dia sudah pernah membunuh. Dan itu, pasti bukan hanya sekali atau
Selang beberapa minggu setelah kematian Jimmy dan Airin, orang-orang mulai tampak biasa. Seakan itu menjadi angin lalu bagi mereka. Baru genap satu bulan, kasus ini sudah ditelan oleh masa. Sesekali ada yang kembali membicarakannya, namun itu tak luput dari kata kasihan dan berujung semoga pelaku cepat ditemukan, sisanya mereka balik menikmati kesibukan mereka.Kepolisian pun tidak ada perkembangan sama sekali. Tidak informasi terbaru, hanya terus meyakinkan masyarakat bahwa mereka akan terus berusaha semaksimal mungkin, yang kapan saja bisa ditutup oleh keterpaksaan. Banyak dari kita yang tidak mengetahui ada berapa puluh bahkan ratus kasus yang dimasukkan dalam kategori unsolved case atau kasus yang belum terpecah. Memang tampak tidak adil bagi keluar beserta korban itu sendiri.“Polisi masih nemuin kamu, Win?” tanya Chacha. Kini, ia d
“Ih apa-apaan, aku makan sop, kok kamu makan nasi goreng aceh? Mana versi komplit lagi, baunya juga enak.” Protes menjadi hal pertama yang Chacha utarakan ketika bangkit dari tidur lelapnya. Bibir Chacha mengerucut, dia tergiur oleh sajian yang ada di depan Windy.“Ini pedes, kamu nggak boleh nyicip,” ucap Windy yang sukses buat Chacha berdecak sebal. Keduanya lantas duduk di kursi makan dan mulai menikmati makan malam.“Minggu ini kamu pulang ke rumah orang tua?” tanya Chacha di sela kunyahan.“Nggak tahu deh, liat aja nanti,” jawab Windy.Sejujurnya, beberapa hari terakhir, lelah sering menerpa diri Windy. Kegiatan kampus sedikit demi sedikit mulai padat, tugas yang diberikan oleh dosen hampir menjauhi kata ma
“Aku yakin, mereka orang yang sama!” ujar Chacha lugas. Suasana tegang. Kepala mereka dipenuhi oleh pertanyaan tentang siapa pengirim surat tersebut. Orang yang sama? Sebenarnya belum tentu, namun isi surat itu cukup terhubung dengan isi surat sebelumnya. “Win, gimana kalau kita lapor ke Detektif yang kemarin aja? Kamu simpan kartu namanya kan?” usul Chacha. Namun, Windy langsung menggelengkan kepala. Tidak setuju atas ide Chacha barusan. “Cha, berhubungan sama instansi kepolisian itu bukan hal yang gampang. Terus, seuntai kalimat kayak gini mana cukup buat mereka tindak lajuti? Yang ada mereka malah bilang kalau ini cuman ulah orang iseng. Lagian juga, surat-surat yang kemarin udah aku buang.” Chacha bungkam. Membenarkan perkataan Windy barus
Hari mulai larut, malam kian pekat. Di dalam sebuah bangunan salah satu instansi negara, beberapa ruangan sudah tampak gelap pertanda tidak ada lagi aktifitas para pekerja. Orang yang melihat dari luar pasti akan berpikir seperti itu. Padahal, tidak sepenuhnya benar.Seperti di ruang Divisi Kejahatan, 2 anak adam masih betah berkutit dengan file-file berisi 2 kasus yang akhir-akhir ini menjadi beban pundak sekaligus pikiran. Otak mereka terkuras habis karena lagi-lagi tidak ada bukti yang bisa menaikkan level kasus ini.“Tempat kedua korban ditemukan jauh dan minim dari jangkauan cctv, tapi berada di tengah kota.” Detektif Glen mengetuk permukaan dagunya dengan telunjuk. Pandangan ke atas, menggali jawaban semu yang belum tentu didapat. Sedang Detektif Jun, dia terus memindai ulang satu persatu foto, kedua alis menyatu kala pandangannya