Jimmy Putra Aksara.
Orang-orang memanggilnya Jimmy. Lelaki yang kerap kali menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa, juga dosen. Paras menawan berhiaskan lesung pipi menambah kadar manis ketika ranum tebalnya tertarik membentuk senyuman. Selain karena tampangnya, Jimmy sering jadi pembicaraan karena tekadnya dalam mengejar sang pujaan hati.
Bila dugaan kalian adalah Windy, jawabannya tepat. Jimmy sudah menyukai Windy sejak mereka menduduki bangku SMA.
Berbagai usaha untuk mendekati agar segera resmi berstatus sebagai sepasang kekasih tidak diindahkan oleh Windy. Bahkan Windy beberapa kali telah menolak secara halus. Memberi pengertian semaksimal mungkin agar Jimmy berhenti mengejarnya.
Akan tetapi, Jimmy malah tak acuh. Dia selalu berpikir bahwa ini hanya perkara waktu. Jimmy terima jika Windy memang belum menumbuhkan rasa secuil pun untuk dirinya. Maka dari itu, ia akan terus berjuang yang justru membuat Windy risih dan merasa terganggu. Sikap Jimmy semakin lama semakin mengusik kehidupan Windy.
Tidak. Windy tidak membencinya. Tidak ada salahnya bila seseorang mencintai insan lain. Namun, apa yang dilakukan Jimmy sudah salah karena Windy merasa tidak nyaman.
Bayangkan, tanpa sepengetahuan Windy, ternyata Jimmy diam-diam sering mengambil foto dirinya. Lalu saat pulang, Jimmy pernah beberapa kali tertangkap mengikuti Windy sampai ke rumah.
Alasan ingin memastikan Windy sampai dengan selamat tidak bisa Windy terima. Memangnya perilaku Jimmy yang seperti itu bisa dibilang baik dan etis? Itulah kenapa Windy malas berurusan dengan hal yang menyangkut Jimmy.
Termasuk pesan masuk serta telepon dari Jimmy semalam. Dan hari ini, Windy dirundung penyesalan. Sebab, ia terkejut atas isi pesan tersebut.
'winnn, tkglng'
'toklng'
'tolng ajuht'
'winbnn'
Huruf acak yang langsung Windy mengerti bahwa Jimmy butuh pertolongan. Dia minta bantuan yang justru malah Windy abaikan dan menghantarkan Windy pada rasa bersalah.
"Seandainya aku buka pesan dari Jimmy, apa kejadiannya bakal berbeda? Seandainya aku angkat telepon dari Jimmy, pasti sekarang dia masih ada di sini kan?"
Sekesal apapun Windy pada Jimmy, seharusnya ia tetap bersikap baik padanya.
***
"Hatinya tidak ada."
Detektif Jun melongo mendengar penuturan dari Kevin, dokter ahli forensik. "Hatinya seperti ditarik paksa, bukan dipotong atau diputus dengan benda tajam. Beberapa bagian tubuh organ rusak karena terhunus pisau berkali-kali. Menurutku ini kasus pembunuhan yang keji. Si pelaku menghabisi nyawa korban dengan sangat brutal," jelas Kevin.
"Sudah menghubungi keluarga korban?"
Detektif Jun anggukan kepala.
"Mereka sedang perjalanan kemari. Kalau begitu aku pergi, terima kasih."
Detektif Jun meraih ponsel dan membuka pesan dari rekan kerjanya. Di situ tertulis daftar orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan Jimmy untuk mereka datangi guna menggali informasi.
Rekan kerja Detektif Jun juga melaporkan hasil bahwa tidak ada satupun petunjuk dari warga yang tinggal di sekitar tempat kejadian perkara. Dari mereka pula tidak ada yang memakai kamera pengintai. Otomatis, perburuan kali ini akan lebih sulit dan memakan waktu.
Detektif Jun membuka kontak dan menekan salah satu nama untuk ia hubungi.
"Halo Detektif Glen, besok kamu mulai gali informasi dari pihak keluarga. Biar aku yang gali informasi dari teman-temannya," titah Detektif Jun yang langsung disetujui oleh rekan kerjanya tersebut.
***
"Windy, udah dong, jangan terus-terusan merasa bersalah. Yang namanya petaka, kita nggak ada yang tahu. Walaupun kamu terima cintanya Jimmy, jika dalam skenario Tuhan jalannya dia memang harus seperti itu, mau bagaimana lagi?"
Perihal kejadian Windy yang mengabaikan semua pesan beserta panggilan Jimmy, membuat gadis jelita itu dirundung rasa bersalah. Andaikan, andaikan, andaikan, dan andaikan. Windy selalu berandai jika saja ia mau peduli dengan Jimmy malam itu, mungkin garis yang sudah dibuat oleh Sang Pencipta bisa berubah?
Namun apa yang dikatakan oleh Chacha juga benar. Nasib seseorang tidak ada yang tahu.
Ding! Dong!
Bunyi bel menarik atensi Chacha. Gadis mungil itu menatap sejenak ke arah Windy yang masih diam berbaring telungkup di atas ranjang, tanpa ada respon gerak setelah mendengar bunyi bel barusan.
Lantas, Chacha berdiri dan menghampiri pintu utama. Ketika dibuka, muncul sosok pria tinggi dengan pakaian serba hitam. Wajah tegas, rahang tajam, hidung mancung dan kulit sawo matang. Tampak seram namun tampan secara bersamaan.
"Saya Detektif Jun, bisa bertemu dengan seseorang yang bernama Windy?" Detektif Jun mengangkat lencana miliknya sembari memperkenalkan diri.
"Ada keperluan apa ya Pak?"
"Saya hanya ingin melempar beberapa pertanyaan mengenai Jimmy."
Chacha diam. Bingung harus mengambil keputusan apa. Jadi, sebelum dia mempersilahkan Detektif tersebut masuk, Chacha kembali ke kamar guna memberitahu tamu beserta tujuannya datang kemari.
Windy setuju dan segera keluar dari kamar. Chacha mengajak Detektif Jun masuk lalu memintanya untuk duduk di sofa. Sedangkan Windy, ia mengisi sofa yang berhadapan dengan Detektif Jun.
"Bapak mau minum apa?"
"Air putih saja."
Chacha langsung pergi ke dapur setelah mendapat jawaban dari Jun. Kini, hanya mereka berdua di sana.
Detektif Jun mengeluarkan note kecil dan bolpoin dari kantung bagian dalam jaketnya.
Interogasi pun, dimulai.
"Saudari Windy, anda kenal dengan pria bernama Jimmy?"
"Iya Pak, saya kenal."
"Bisa jelaskan hubungan anda dengan korban?"
Windy menghela nafas berat sebelum ia mengurai panjang jawaban yang akan dia beri. Selama bercerita, Detektif Jun tak lepas mencatat poin-poin yang menurutnya penting.
Di sela perbincangan, Chacha kembali, menaruh segelas air putih di meja kemudian duduk di sebelah Windy. Mendengar penuturan sang sahabat hingga usai.
"Kalau saja… Kalau saja saya tidak mengabaikan pesan dan telepon Jimmy hari itu, mungkin dia masih ada di sini."
Chacha sigap memeluk dan mengusap punggung Windy ketika tangis gadis itu pecah. Jika kalian bertanya mengapa Windy sampai merasa seperti ini?
Padahal Jimmy sering kali membuat dirinya tidak nyaman. Jawabannya adalah, karena Jimmy orang baik.
Terlepas dari perilaku Jimmy yang membuat Windy tidak nyaman, dia sebenarnya adalah pria yang baik. Peduli, rendah hati, tidak pandang teman, bahkan dia selalu memberi untuk mereka yang dilanda kesusahan.
Windy tidak membenci Jimmy, dia hanya terlalu jengah dengan sikap Jimmy yang selalu saja datang mengganggu dengan embel-embel bentuk perjuangan cinta.
Satu jam berlalu, Detektif Jun menyudahi sesi interogasi pada Windy. Dia kemudian berterima kasih, lalu pamit pergi dari sana.
"Windy, aku keluar dulu ya. Mau beli makan malam di Mas nasgor depan. Kamu mau nasi goreng atau kwetiau?" tanya Chacha.
"Apa aja deh, Cha," jawab Windy sekenanya.
Sepersekian detik, Chacha pergi dari apartemen Windy untuk membeli makanan. Khusus hari ini, Chacha berinisiatif menginap dan menemani Windy.
Baru saja Windy ingin masuk ke kamar, tiba-tiba suara bel kembali bergema. Itu pasti bukan Chacha, karena Chacha tahu kata sandi apartemen Windy. Apa mungkin Detektif Jun datang lagi?
Windy mengintip pada lubang pintu dan tidak mendapati siapapun.
"Masa sih orang iseng?" monolognya.
Karena penasaran, Windy membuka pintu. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Melihat lorong yang sepi nan kosong. Dan saat netra bulatnya jatuh pada permukaan lantai, di sana Windy mendapati secarik kertas putih yang dilipat dua.
Ia raih, lalu ia buka perlahan. Detik selanjutnya, kalimat yang tertulis di permukaan kertas buat Windy terpaku.
'Seharusnya kamu bahagia Jimmy mati.'
─── To Be Continue
"Kamu nggak sempet lihat wajah pengirimnya?" Chacha melempar tanya sambil membaca kutipan kalimat di kertas yang ia pegang. Rasa penasaran dan merinding turut melingkupi Chacha, lantaran arti dari kalimat tersebut membuat dirinya ikut merinding. "Waktu aku intip dari lubang pintu, nggak ada siapa-siapa Cha," jelas Windy. "Win, apa jangan-jangan, pengirimnya itu orang yang udah ngebunuh Jimmy?" Windy tidak menepis dugaan Chacha, karena Windy pun berpikir demikian. Makna yang keduanya tangkap pun sama. Seolah-olah pengirim berkata, 'Aku tuh udah nyingkirin Jimmy. Seharusnya kamu senang dia mati.'
Kasus pembunuhan kini kembali menjadi headline di berbagai media cetak dan media sosial. Menjadi topik pusat yang ramai diperbincangkan oleh seluruh masyarakat. Tenggat waktu yang berdekatan dengan kematian Jimmy, memunculkan berbagai teori konspirasi dari orang-orang. Pelaku pembunuhan Jimmy dan Airin, apakah mereka orang yang sama? Pihak berwenang masih terus menggali dari berbagai sudut. Kali ini, level kesulitan bertambah. Kematian Jimmy tidak ada petunjuk sedikit pun, begitu pula dengan kematian Airin. Terlalu bersih hingga mereka tidak dapat mengendus jejak sang pelaku. Aksi kriminal yang terorganisir buat kepolisian menarik kesimpulan bahwa orang ini bukanlah orang biasa. Dalam arti lain, dia sudah pernah membunuh. Dan itu, pasti bukan hanya sekali atau
Selang beberapa minggu setelah kematian Jimmy dan Airin, orang-orang mulai tampak biasa. Seakan itu menjadi angin lalu bagi mereka. Baru genap satu bulan, kasus ini sudah ditelan oleh masa. Sesekali ada yang kembali membicarakannya, namun itu tak luput dari kata kasihan dan berujung semoga pelaku cepat ditemukan, sisanya mereka balik menikmati kesibukan mereka.Kepolisian pun tidak ada perkembangan sama sekali. Tidak informasi terbaru, hanya terus meyakinkan masyarakat bahwa mereka akan terus berusaha semaksimal mungkin, yang kapan saja bisa ditutup oleh keterpaksaan. Banyak dari kita yang tidak mengetahui ada berapa puluh bahkan ratus kasus yang dimasukkan dalam kategori unsolved case atau kasus yang belum terpecah. Memang tampak tidak adil bagi keluar beserta korban itu sendiri.“Polisi masih nemuin kamu, Win?” tanya Chacha. Kini, ia d
“Ih apa-apaan, aku makan sop, kok kamu makan nasi goreng aceh? Mana versi komplit lagi, baunya juga enak.” Protes menjadi hal pertama yang Chacha utarakan ketika bangkit dari tidur lelapnya. Bibir Chacha mengerucut, dia tergiur oleh sajian yang ada di depan Windy.“Ini pedes, kamu nggak boleh nyicip,” ucap Windy yang sukses buat Chacha berdecak sebal. Keduanya lantas duduk di kursi makan dan mulai menikmati makan malam.“Minggu ini kamu pulang ke rumah orang tua?” tanya Chacha di sela kunyahan.“Nggak tahu deh, liat aja nanti,” jawab Windy.Sejujurnya, beberapa hari terakhir, lelah sering menerpa diri Windy. Kegiatan kampus sedikit demi sedikit mulai padat, tugas yang diberikan oleh dosen hampir menjauhi kata ma
“Aku yakin, mereka orang yang sama!” ujar Chacha lugas. Suasana tegang. Kepala mereka dipenuhi oleh pertanyaan tentang siapa pengirim surat tersebut. Orang yang sama? Sebenarnya belum tentu, namun isi surat itu cukup terhubung dengan isi surat sebelumnya. “Win, gimana kalau kita lapor ke Detektif yang kemarin aja? Kamu simpan kartu namanya kan?” usul Chacha. Namun, Windy langsung menggelengkan kepala. Tidak setuju atas ide Chacha barusan. “Cha, berhubungan sama instansi kepolisian itu bukan hal yang gampang. Terus, seuntai kalimat kayak gini mana cukup buat mereka tindak lajuti? Yang ada mereka malah bilang kalau ini cuman ulah orang iseng. Lagian juga, surat-surat yang kemarin udah aku buang.” Chacha bungkam. Membenarkan perkataan Windy barus
Hari mulai larut, malam kian pekat. Di dalam sebuah bangunan salah satu instansi negara, beberapa ruangan sudah tampak gelap pertanda tidak ada lagi aktifitas para pekerja. Orang yang melihat dari luar pasti akan berpikir seperti itu. Padahal, tidak sepenuhnya benar.Seperti di ruang Divisi Kejahatan, 2 anak adam masih betah berkutit dengan file-file berisi 2 kasus yang akhir-akhir ini menjadi beban pundak sekaligus pikiran. Otak mereka terkuras habis karena lagi-lagi tidak ada bukti yang bisa menaikkan level kasus ini.“Tempat kedua korban ditemukan jauh dan minim dari jangkauan cctv, tapi berada di tengah kota.” Detektif Glen mengetuk permukaan dagunya dengan telunjuk. Pandangan ke atas, menggali jawaban semu yang belum tentu didapat. Sedang Detektif Jun, dia terus memindai ulang satu persatu foto, kedua alis menyatu kala pandangannya
“Mumpung hari ini kita sama-sama pulang cepet, nonton bioskop yuk!” Chacha mencolek Windy yang tengah menikmati kentang goreng. Mereka berdua tengah mengganjal perut dengan beberapa menu makanan ringan di kantin.“Emang ada jadwal film apa aja hari ini?” tanya Windy.Chacha langsung membuka website resmi bioskop yang sering mereka kunjungi. Ada 5 film yang sedang tayang di bioskop namun memiliki batas jadwal yang berbeda.“Ada film romantis, komedi, sama horor. Mau yang mana?” Chacha menyodorkan ponselnya pada Windy, sehingga sohibnya itu bisa melihat serta memilih film yang ingin ia tonton. Chacha sih tidak masalah dengan apapun pilihan Windy, pada dasarnya dia penikmat film serta penyuka semua genre, jadi film manapun tidak membuat ia keberatan.
Malam ini Chacha tidak menginap sebab esok ia harus pulang ke kampung halaman. Barusan Chaha mendapat kabar bahwa kakeknya sedang sakit, jadi ia akan ambil izin dari kampus entah sampai kapan. Kakeknya di kampung hanya tinggal sendiri, sang nenek sudah pergi duluan menghadap Sang Pencipta. Di usianya yang kian senja, Chacha tak bosan menawari kakeknya untuk tinggal bersama dia, Ibu, dan Ayah.Namun kakeknya menolak. Jika ia pergi, siapa yang akan mengurus rumah? Jika ia pergi, siapa yang akan mengurus tanaman nenek? Kakek tidak bisa meninggalkan itu semua. Di setiap sudut area rumah sudah terjamah oleh kehadiran kekasih hati. Meski nenek sudah meninggal, kakek seolah masih bisa merasakan keberadaannya. Setiap hari kakek Chacha tidak mengenal lelah ‘tuk mengenang semua memori perjalanan kisah cintanya bersama sang istri.Melihat itu, Chacha jadi tidak tega