Selang beberapa minggu setelah kematian Jimmy dan Airin, orang-orang mulai tampak biasa. Seakan itu menjadi angin lalu bagi mereka. Baru genap satu bulan, kasus ini sudah ditelan oleh masa. Sesekali ada yang kembali membicarakannya, namun itu tak luput dari kata kasihan dan berujung semoga pelaku cepat ditemukan, sisanya mereka balik menikmati kesibukan mereka.
Kepolisian pun tidak ada perkembangan sama sekali. Tidak informasi terbaru, hanya terus meyakinkan masyarakat bahwa mereka akan terus berusaha semaksimal mungkin, yang kapan saja bisa ditutup oleh keterpaksaan. Banyak dari kita yang tidak mengetahui ada berapa puluh bahkan ratus kasus yang dimasukkan dalam kategori unsolved case atau kasus yang belum terpecah. Memang tampak tidak adil bagi keluar beserta korban itu sendiri.
“Polisi masih nemuin kamu, Win?” tanya Chacha. Kini, ia dan Windy sedang duduk menikmati minuman segar dan kentang goreng sebagai cemilan. Hari ini keduanya cukup penat karena menghadapi pelajaran jurnalistik selama 8 jam. Tampilan presentasi yang hanya dipenuhi oleh puluhan baris kalimat, ditambah gaya pengajar yang malah menuntun mahasiswa pada rasa kantuk.
“Udah nggak kok, aku juga malas berurusan sama mereka. Aku tuh tahu mereka sempat taruh curiga ke aku karena aku ada di daftar orang yang terakhir kali ketemu atau komunikasi sama Jimmy dan Airin.”
Windy tahu, istilah bahwa ‘pelaku bisa berasal dari orang terdekat’ kerap kali mereka pakai. Walau alibi dan bukti tidak menunjukkan Windy bersalah, siapa yang tidak dituduh secara implisit seperti itu?
“Semoga pembunuhnya cepat ketemu deh. Kita nggak tahu motif dari si pembunuh itu apa. Sekarang orang-orang udah pada mulai cuek, kalau mereka atau kita jadi target dia gimana?”
Benar juga. Karakter si pelaku sendiri tidak ada yang tahu. Bila dia adalah seorang predator yang haus akan darah, maka nyawa masyarakat tengah dalam bahaya besar. Ini tidak bisa diremehkan, namun dari pihak petinggi tidak ada pula yang membesar-besarkan. Bisa jadi, mereka sudah membuat hipotesis sendiri dan memilih untuk menyimpan rapat-rapat dari masyarakat agar mereka tidak takut.
Walaupun begitu, bukankah memberi tahu lebih baik? Jadi orang-orang bisa lebih waspada di mana pun dan kapan pun.
“Eh, katanya ada kedai mie yang baru buka di sekitar kampus lho. Mau coba? Ada menu mie pedes gitu terus bisa pilih level juga,” ajak Chacha.
“Perasaan tadi pagi kamu ngeluh lagi nggak enak perut deh. Gapapa?”
“Sekarang udah gapapa. Aku tadi pagi terlalu banyak makan, jadinya perut kembung dan nggak enak. Yuk ke sana, nanti keburu habis.”
Chacha berdiri dan langsung menarik Windy pergi dari kantin.
***
“Ron! Aron!” Aron tersentak tatkala bahunya ditepuk kelas oleh Tommy. Kelopak matanya berkedip, memandang heran seolah bertanya ‘ada apa’ pada Tommy.
“Seharusnya aku yang tanya, kamu kenapa? Dari tadi bengong mulu. Lihat apaan sih?” Tommy duduk di samping Aron, lalu mengikuti arah pandang Aron ke luar. Di seberang sana, tampak 2 sosok gadis tengah menikmati semangkuk mie pedas.
Tak jarang tangan mereka mengibas-ngibas ke udara karena rasa pedas yang menggigit lidah. Belum lagi hampir di setiap suapan, mereka selalu mengambil beberapa teguk minuman. Ugh, sepertinya perut mereka akan meledak karena kembung?
“Lucu ya? Kayaknya mereka nggak terlalu kuat pedes, tapi maksain buat makan,” ejek Tommy sembari terkekeh pelan. Aron juga turut tertawa kecil, namun apa yang dimaksud oleh Tommy, berbeda dengan apa yang di pikiran Aron.
Sedari tadi ia menaruh fokus pada satu perempuan. Surai hitam terurai dan senyum manis ketika bibir delima itu tersenyum lebar saat melihat temannya merintih karena pedas. Dia juga merasa demikian, walau berurai air mata serta keringat, ia masih terlihat cukup baik dalam mengontrol rasa tersebut.
“Yuk, balik kerja. Giliran Randy sama Bella makan siang.”
Aron meraih apron miliknya yang tergeletak di atas meja. Sebelum ia benar-benar pergi, dia lirik sekali lagi sosok perempuan tersebut. Dan ketika sosok itu tertawa lebar, dirinya ikut tersenyum.
***
Windy membawa segelas air hangat dan buah melon yang sudah ia potong dadu. Di kamar, Chacha tengah meringkuk, menyentuh permukaan perut yang terasa nyeri seperti ditusuk jarum.
“Kan, aku bilang juga apa, levelnya jangan tinggi-tinggi. Aku tuh tahu batas kuat kamu makan pedes kayak gimana. Ini malah nantangin,” omel Windy sambil menuntun untuk duduk dan bersandar di kepala ranjang.
“Nih, minum dulu air anget.”
Chacha menerima air hangat dari Windy dan langsung minum beberapa teguk.
“Gue juga potongin buah melon nih.”
“Taruh di meja ada Win, aku mau tidur aja deh. Siapa tahu mendingan.”
Windy pun menyetujui permintaan Chacha. Pelan-pelan, Windy bantu membaringkan tubuh Chacha kemudian menutupinya dengan selimut. Usai itu, Windy keluar kamar dan memilih untuk memasak. Melihat kondisi Chacha yang sakit dan lemah, Windy putuskan membuat menu sop sebagai makan malam.
Baru saja ia hendak memotong daun bawang, tiba-tiba pintu apartemennya berbunyi.
Cklek!
“Hai, Windy!”
Ternyata Brian, tetangganya yang tinggal tepat di sebelah apartemennya. Dia langsung tersenyum dan memberi sapaan ramah kala Windy membuka pintu.
“Hai Brian, ada apa ya?” tanya Windy tak kalah ramah. Wajahnya turut sumringah melihat paras Brian. “Aku mau kasih makanan. Tadi aku pesan makanan online, eh dikasih bonus karena ada promo di restorannya. Karena aku tinggal sendiri dan pasti nggak habis, jadi buat kamu aja,” jelas Brian. Windy menerima bingkisan plastik putih itu, saat dia intip, ada satu kotak nasi goreng aceh komplit dengan potongan daging, udang, juga telur dadar. Tidak lupa kerupuk emping dan acar bawang.
“Wah, makasih banyak ya. Kamu mau mampir dulu mungkin?” tawar Windy.
“Eh, nggak usah, aku langsung balik karena mau makan juga. Habis itu keluar karena ada urusan, lain kali aja.” Windy hanya memberi anggukan kecil setelah mendengar jawaban Brian.
“Oh iya Win, polisi masih suka datang ke sini?”
“Udah nggak kok, kenapa? Kamu pasti mikir yang aneh-aneh ya soal aku?”
“Bukan gitu, waktu kamu didatangi 2 kali, orang-orang di sini mulai bergosip yang nggak bagus soal kamu. Mereka tuh sebenernya penasaran, tapi ujungnya malah bikin dugaan nggak berdasar.”
“Oh gitu, makasih ya. Aku juga sebenarnya risih, mereka kayak taruh curiga ke aku. Wajar sih mereka merasa awas terhadap orang-orang yang jadi daftar interogasi mereka. Dan sepertinya aku nggak perlu panik karena aku memang nggak salah apa-apa.”
Brian tersenyum, tangannya terulur mengusap puncak kepala Windy yang sontak membuat si empunya kaget bukan main. Mereka memang sudah lumayan dekat, tapi tak pernah terbesit di pikiran Windy bahwa Brian akan melakukan sentuhan seperti ini. Windy jadi salah tingkah.
“Ka-kalau gitu aku masuk ya. Sekali lagi makasih.”
Tanpa menunggu balasan dari Brian, Windy langsung secepat mungkin menutup pintu. Nafas tersengal dan jantung berdegup kencang. Aneh. Kenapa dia bisa seperti ini?
Setelah sekian lama, getaran hati yang dulu pernah datang, kini kembali singgah.
─── To Be Continue“Ih apa-apaan, aku makan sop, kok kamu makan nasi goreng aceh? Mana versi komplit lagi, baunya juga enak.” Protes menjadi hal pertama yang Chacha utarakan ketika bangkit dari tidur lelapnya. Bibir Chacha mengerucut, dia tergiur oleh sajian yang ada di depan Windy.“Ini pedes, kamu nggak boleh nyicip,” ucap Windy yang sukses buat Chacha berdecak sebal. Keduanya lantas duduk di kursi makan dan mulai menikmati makan malam.“Minggu ini kamu pulang ke rumah orang tua?” tanya Chacha di sela kunyahan.“Nggak tahu deh, liat aja nanti,” jawab Windy.Sejujurnya, beberapa hari terakhir, lelah sering menerpa diri Windy. Kegiatan kampus sedikit demi sedikit mulai padat, tugas yang diberikan oleh dosen hampir menjauhi kata ma
“Aku yakin, mereka orang yang sama!” ujar Chacha lugas. Suasana tegang. Kepala mereka dipenuhi oleh pertanyaan tentang siapa pengirim surat tersebut. Orang yang sama? Sebenarnya belum tentu, namun isi surat itu cukup terhubung dengan isi surat sebelumnya. “Win, gimana kalau kita lapor ke Detektif yang kemarin aja? Kamu simpan kartu namanya kan?” usul Chacha. Namun, Windy langsung menggelengkan kepala. Tidak setuju atas ide Chacha barusan. “Cha, berhubungan sama instansi kepolisian itu bukan hal yang gampang. Terus, seuntai kalimat kayak gini mana cukup buat mereka tindak lajuti? Yang ada mereka malah bilang kalau ini cuman ulah orang iseng. Lagian juga, surat-surat yang kemarin udah aku buang.” Chacha bungkam. Membenarkan perkataan Windy barus
Hari mulai larut, malam kian pekat. Di dalam sebuah bangunan salah satu instansi negara, beberapa ruangan sudah tampak gelap pertanda tidak ada lagi aktifitas para pekerja. Orang yang melihat dari luar pasti akan berpikir seperti itu. Padahal, tidak sepenuhnya benar.Seperti di ruang Divisi Kejahatan, 2 anak adam masih betah berkutit dengan file-file berisi 2 kasus yang akhir-akhir ini menjadi beban pundak sekaligus pikiran. Otak mereka terkuras habis karena lagi-lagi tidak ada bukti yang bisa menaikkan level kasus ini.“Tempat kedua korban ditemukan jauh dan minim dari jangkauan cctv, tapi berada di tengah kota.” Detektif Glen mengetuk permukaan dagunya dengan telunjuk. Pandangan ke atas, menggali jawaban semu yang belum tentu didapat. Sedang Detektif Jun, dia terus memindai ulang satu persatu foto, kedua alis menyatu kala pandangannya
“Mumpung hari ini kita sama-sama pulang cepet, nonton bioskop yuk!” Chacha mencolek Windy yang tengah menikmati kentang goreng. Mereka berdua tengah mengganjal perut dengan beberapa menu makanan ringan di kantin.“Emang ada jadwal film apa aja hari ini?” tanya Windy.Chacha langsung membuka website resmi bioskop yang sering mereka kunjungi. Ada 5 film yang sedang tayang di bioskop namun memiliki batas jadwal yang berbeda.“Ada film romantis, komedi, sama horor. Mau yang mana?” Chacha menyodorkan ponselnya pada Windy, sehingga sohibnya itu bisa melihat serta memilih film yang ingin ia tonton. Chacha sih tidak masalah dengan apapun pilihan Windy, pada dasarnya dia penikmat film serta penyuka semua genre, jadi film manapun tidak membuat ia keberatan.
Malam ini Chacha tidak menginap sebab esok ia harus pulang ke kampung halaman. Barusan Chaha mendapat kabar bahwa kakeknya sedang sakit, jadi ia akan ambil izin dari kampus entah sampai kapan. Kakeknya di kampung hanya tinggal sendiri, sang nenek sudah pergi duluan menghadap Sang Pencipta. Di usianya yang kian senja, Chacha tak bosan menawari kakeknya untuk tinggal bersama dia, Ibu, dan Ayah.Namun kakeknya menolak. Jika ia pergi, siapa yang akan mengurus rumah? Jika ia pergi, siapa yang akan mengurus tanaman nenek? Kakek tidak bisa meninggalkan itu semua. Di setiap sudut area rumah sudah terjamah oleh kehadiran kekasih hati. Meski nenek sudah meninggal, kakek seolah masih bisa merasakan keberadaannya. Setiap hari kakek Chacha tidak mengenal lelah ‘tuk mengenang semua memori perjalanan kisah cintanya bersama sang istri.Melihat itu, Chacha jadi tidak tega
Pintu ruang interogasi terbuka cukup keras hingga daun pintu hampir mengenai dinding. Detektif Jun masuk, netra tajamnya langsung menangkap sosok pria muda yang duduk di kursi interogasi. Dia tampak tenang. Terlampau santai. Tak ada rasa takut ataupun panik yang tersirat.Detektif Jun pernah bertemu pembunuh jenis seperti ini. Semacam psikopat yang senang bermain-main dengan pihak kepolisian. Menantang bahkan memberi challenge berapa banyak dan dimana saja si pembunuh menaruh kumpulan mayat yang ia anggap sebagai karya seni.Sial.Detektif Jun sangat benci tipe pembunuh seperti ini.Dan mereka, pantas dihukum mati. Tidak pantas mendapatkan HAM karena bagi Detektif Jun orang seperti itu bukanlah manusia, melainkan monster. Banyak orang pasti juga setuju.
Asap putih berhembus dari belah ranum Detektif Jun. Ia bersandar pada dinding, memandang atap langit yang tampak lengang tak berawan. Bayang hitam sedikit jelas menghias bagian matanya akibat kurang tidur selama beberapa minggu terakhir. Tak jarang ia sering merasa pening karena tidak teratur makan. Satu kasus benar-benar buat ia kewalahan bukan main. Belum lagi banyak deretan kasus yang antri untuk ditangani. Otomatis sebisa mungkin ia dan rekannya harus multitasking.“Detektif Jun!”Dari ujung sana, Detektif Glen datang menghampiri.“Aku cari kemana-mana ternyata di sini.”Detektif Jun membuang putung rokoknya ke tanah, lalu menginjaknya kuat hingga padam.“Gimana?” tany
Meskipun banyak mata pria melirik dan bersedia melabuhkan cintanya pada Windy, bukan berarti perempuan berdarah sunda itu memiliki pengalaman dalam percintaan.Selama 21 tahun ia berpijak dan bernafas, Windy belum pernah sekalipun merangkai kisah cinta. Malas dan belum ada niat menemukan tambatan hati adalah alasan utama.Bahkan pertanyaan konyol ini sering terlintas di benak Windy saat teman-temannya meledek hanya karena dia belum pernah berpacaran.Enaknya pacaran apa sih?Untungnya pacaran tuh apa?Mereka bilang kelebihan punya pacar itu karena ada seseorang yang sayang dan perhatian dengan kita. Kalau itu jawaban validnya, maka bagi Windy mencari sosok perhatian dan penuh kasih sayang tidak harus dari pacar.Chacha dan orang tuanya sudah sangat cukup memberinya kasih sayang serta perhatian. Punya pacar tidak menjamin ba