Share

BAB 5 : Getaran Hati

Selang beberapa minggu setelah kematian Jimmy dan Airin, orang-orang mulai tampak biasa. Seakan itu menjadi angin lalu bagi mereka. Baru genap satu bulan, kasus ini sudah ditelan oleh masa. Sesekali ada yang kembali membicarakannya, namun itu tak luput dari kata kasihan dan berujung semoga pelaku cepat ditemukan, sisanya mereka balik menikmati kesibukan mereka. 

Kepolisian pun tidak ada perkembangan sama sekali. Tidak informasi terbaru, hanya terus meyakinkan masyarakat bahwa mereka akan terus berusaha semaksimal mungkin, yang kapan saja bisa ditutup oleh keterpaksaan. Banyak dari kita yang tidak mengetahui ada berapa puluh bahkan ratus kasus yang dimasukkan dalam kategori unsolved case atau kasus yang belum terpecah. Memang tampak tidak adil bagi keluar beserta korban itu sendiri. 

“Polisi masih nemuin kamu, Win?” tanya Chacha. Kini, ia dan Windy sedang duduk menikmati minuman segar dan kentang goreng sebagai cemilan. Hari ini keduanya cukup penat karena menghadapi pelajaran jurnalistik selama 8 jam. Tampilan presentasi yang hanya dipenuhi oleh puluhan baris kalimat, ditambah gaya pengajar yang malah menuntun mahasiswa pada rasa kantuk. 

“Udah nggak kok, aku juga malas berurusan sama mereka. Aku tuh tahu mereka sempat taruh curiga ke aku karena aku ada di daftar orang yang terakhir kali ketemu atau komunikasi sama Jimmy dan Airin.” 

Windy tahu, istilah bahwa ‘pelaku bisa berasal dari orang terdekat’ kerap kali mereka pakai. Walau alibi dan bukti tidak menunjukkan Windy bersalah, siapa yang tidak dituduh secara implisit seperti itu? 

“Semoga pembunuhnya cepat ketemu deh. Kita nggak tahu motif dari si pembunuh itu apa. Sekarang orang-orang udah pada mulai cuek, kalau mereka atau kita jadi target dia gimana?”

Benar juga. Karakter si pelaku sendiri tidak ada yang tahu. Bila dia adalah seorang predator yang haus akan darah, maka nyawa masyarakat tengah dalam bahaya besar. Ini tidak bisa diremehkan, namun dari pihak petinggi tidak ada pula yang membesar-besarkan. Bisa jadi, mereka sudah membuat hipotesis sendiri dan memilih untuk menyimpan rapat-rapat dari masyarakat agar mereka tidak takut.

Walaupun begitu, bukankah memberi tahu lebih baik? Jadi orang-orang bisa lebih waspada di mana pun dan kapan pun. 

“Eh, katanya ada kedai mie yang baru buka di sekitar kampus lho. Mau coba? Ada menu mie pedes gitu terus bisa pilih level juga,” ajak Chacha. 

“Perasaan tadi pagi kamu ngeluh lagi nggak enak perut deh. Gapapa?”

“Sekarang udah gapapa. Aku tadi pagi terlalu banyak makan, jadinya perut kembung dan nggak enak. Yuk ke sana, nanti keburu habis.” 

Chacha berdiri dan langsung menarik Windy pergi dari kantin. 

***

“Ron! Aron!” Aron tersentak tatkala bahunya ditepuk kelas oleh Tommy. Kelopak matanya berkedip, memandang heran seolah bertanya ‘ada apa’ pada Tommy. 

“Seharusnya aku yang tanya, kamu kenapa? Dari tadi bengong mulu. Lihat apaan sih?” Tommy duduk di samping Aron, lalu mengikuti arah pandang Aron ke luar. Di seberang sana, tampak 2 sosok gadis tengah menikmati semangkuk mie pedas. 

Tak jarang tangan mereka mengibas-ngibas ke udara karena rasa pedas yang menggigit lidah. Belum lagi hampir di setiap suapan, mereka selalu mengambil beberapa teguk minuman. Ugh, sepertinya perut mereka akan meledak karena kembung?

“Lucu ya? Kayaknya mereka nggak terlalu kuat pedes, tapi maksain buat makan,” ejek Tommy sembari terkekeh pelan. Aron juga turut tertawa kecil, namun apa yang dimaksud oleh Tommy, berbeda dengan apa yang di pikiran Aron.

Sedari tadi ia menaruh fokus pada satu perempuan. Surai hitam terurai dan senyum manis ketika bibir delima itu tersenyum lebar saat melihat temannya merintih karena pedas. Dia juga merasa demikian, walau berurai air mata serta keringat, ia masih terlihat cukup baik dalam mengontrol rasa tersebut. 

“Yuk, balik kerja. Giliran Randy sama Bella makan siang.” 

Aron meraih apron miliknya yang tergeletak di atas meja. Sebelum ia benar-benar pergi, dia lirik sekali lagi sosok perempuan tersebut. Dan ketika sosok itu tertawa lebar, dirinya ikut tersenyum.

***

Windy membawa segelas air hangat dan buah melon yang sudah ia potong dadu. Di kamar, Chacha tengah meringkuk, menyentuh permukaan perut yang terasa nyeri seperti ditusuk jarum. 

“Kan, aku bilang juga apa, levelnya jangan tinggi-tinggi. Aku tuh tahu batas kuat kamu makan pedes kayak gimana. Ini malah nantangin,” omel Windy sambil menuntun untuk duduk dan bersandar di kepala ranjang. 

“Nih, minum dulu air anget.”

Chacha menerima air hangat dari Windy dan langsung minum beberapa teguk. 

“Gue juga potongin buah melon nih.” 

“Taruh di meja ada Win, aku mau tidur aja deh. Siapa tahu mendingan.”

Windy pun menyetujui permintaan Chacha. Pelan-pelan, Windy bantu membaringkan tubuh Chacha kemudian menutupinya dengan selimut. Usai itu, Windy keluar kamar dan memilih untuk memasak. Melihat kondisi Chacha yang sakit dan lemah, Windy putuskan membuat menu sop sebagai makan malam. 

Baru saja ia hendak memotong daun bawang, tiba-tiba pintu apartemennya berbunyi. 

Cklek!

“Hai, Windy!” 

Ternyata Brian, tetangganya yang tinggal tepat di sebelah apartemennya. Dia langsung tersenyum dan memberi sapaan ramah kala Windy membuka pintu.

“Hai Brian, ada apa ya?” tanya Windy tak kalah ramah. Wajahnya turut sumringah melihat paras Brian. “Aku mau kasih makanan. Tadi aku pesan makanan online, eh dikasih bonus karena ada promo di restorannya. Karena aku tinggal sendiri dan pasti nggak habis, jadi buat kamu aja,” jelas Brian. Windy menerima bingkisan plastik putih itu, saat dia intip, ada satu kotak nasi goreng aceh komplit dengan potongan daging, udang, juga telur dadar. Tidak lupa kerupuk emping dan acar bawang.

“Wah, makasih banyak ya. Kamu mau mampir dulu mungkin?” tawar Windy.

“Eh, nggak usah, aku langsung balik karena mau makan juga. Habis itu keluar karena ada urusan, lain kali aja.” Windy hanya memberi anggukan kecil setelah mendengar jawaban Brian. 

“Oh iya Win, polisi masih suka datang ke sini?”

“Udah nggak kok, kenapa? Kamu pasti mikir yang aneh-aneh ya soal aku?”

“Bukan gitu, waktu kamu didatangi 2 kali, orang-orang di sini mulai bergosip yang nggak bagus soal kamu. Mereka tuh sebenernya penasaran, tapi ujungnya malah bikin dugaan nggak berdasar.”

“Oh gitu, makasih ya. Aku juga sebenarnya risih, mereka kayak taruh curiga ke aku. Wajar sih mereka merasa awas terhadap orang-orang yang jadi daftar interogasi mereka. Dan sepertinya aku nggak perlu panik karena aku memang nggak salah apa-apa.” 

Brian tersenyum, tangannya terulur mengusap puncak kepala Windy yang sontak membuat si empunya kaget bukan main. Mereka memang sudah lumayan dekat, tapi tak pernah terbesit di pikiran Windy bahwa Brian akan melakukan sentuhan seperti ini. Windy jadi salah tingkah.

“Ka-kalau gitu aku masuk ya. Sekali lagi makasih.” 

Tanpa menunggu balasan dari Brian, Windy langsung secepat mungkin menutup pintu. Nafas tersengal dan jantung berdegup kencang. Aneh. Kenapa dia bisa seperti ini?

Setelah sekian lama, getaran hati yang dulu pernah datang, kini kembali singgah.

─── To Be Continue

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status