Aku Jual Diri karena Ibuku

Aku Jual Diri karena Ibuku

last updateLast Updated : 2023-11-25
By:  KutudollarOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
27Chapters
839views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Synopsis

Tentang seorang gadis miskin yang lugu. Menjalani hidup sengsara oleh perlakuan orang tuanya sendiri. Hingga membuatnya hancur dan berakhir pada dunia malam. Nyatanya dia justru tahu tentang segala hal tentang lingkaran dunia malam. Termasuk orang-orang sakti yang dia kenal.

View More

Chapter 1

Aku Penjual Nasi Uduk yang Tidak Pernah Makan Nasi Uduk

Bab 1 Aku Penjual Nasi Uduk yang Tidak Pernah Makan Nasi Uduk

Prang ..

"Kamu pikir aku senang kita hidup susah begini, hah? Setiap hari harus kerja pontang panting dan kamu cuma bisa minta duit!"

Aku memeluk erat tas sekolah lusuh di dada. Suara teriakkan yang sangat kukenal membuat langkahku terhenti di depan daun pintu yang sudah buruk dan berlubang. Entah apa lagi yang membuat Bapak marah kali ini.

"Kamu pikir aku juga senang, hah? Mengurus tiga anak seorang diri sedangkan kamu cuma di luar, pulang malam, dan mabuk. Itu yang kamu bilang kerja?"

Plak ....

Terdengar suara jeritan Ibu. Mungkin Bapak menamparnya lagi. Lalu suara barang-barang yang dilempar dan pecah terdengar bersahutan. Semua terdengar sangat genting dan menyayat hati. Belum lagi suara tangis Kaina dan Kinara. Ya, apa yang bisa dilakukan dua balita itu saat Bapak dan Ibu bertengkar selain menangis?

Perlahan aku mendorong daun pintu yang tidak dikunci. Aku terus menunduk, tidak berani menatap Bapak maupun Ibu yang sudah kupastikan tengah menatapku sekarang.

"Kamu lagi! Darimana jam segini baru pulang, hah?" teriak Bapak sembari menarik tas yang kupeluk erat. Benda yang sudah usang dan berusia sama dengan Kaina—tiga tahun—itu lantas robek dan membuat buku-bukuku berhamburan.

Tidak ada yang mampu kuucapkan selain menangis. Kupunguti satu persatu buku lusuh tanpa sampul itu dengan gemetar. Bukannya kasihan, Bapak malah menjambak rambutku dan mendorong tubuh kurusku hingga jatuh ke belakang. Aku menangis.

"Kamu ini yang ngabisin duit! Sekolah terus!"

Buku yang berhasil kukumpulkan dilempar ke wajahku. Aku terpejam.

"Besok nggak usah sekolah!"

Aku menggeleng pelan. Kulihat kaki Bapak yang perlahan menjauhiku. Dia keluar rumah dan menutupkan daun pintu dengan kasar. Tak peduli jika Ibu meriakinya agar tidak pergi. Tetap saja percuma karenabapak tidak menoleh sedikitpun. Apalagi kembali ke rumah. Aku hanya bisa menatap punggung bapak yang semakin menjauhi rumah.

"Cepat, Kaleena! Adikmu rewel ini!"

Aku tersentak dan segera mengumpulkan semua buku dan tas yang sudah robek. Lantas meletakkannya di meja dan bergegas melepas sepatu usangku yang sudah tidak layak pakai lagi.

"Cepat!" teriak ibu sembari menarik kuncir rambutku ke belakang. Aku nyaris jatuh andai tidak segera menuruti saja ke mana dia menarik rambutku.

"Cuci itu! Mau ibu pakai bikin nasi uduk lagi!"

Ibu menyentakkan tubuhku ke lantai dapur, di depan tumpukkan cucian piring dan perabot dapur lainnya.

"Aku ganti baju—"

"Cepat!"

Aku langsung berlari menuju kamar dan dengan cepat mengganti seragam SMP-ku dengan daster yang robek dan berlubang di beberapa bagian. Lantas kembali ke dapur dan melakukan perintah ibu. Sementara wanita kurus dan tinggi itu sibuk menyusui Kinara yang masih berusia empat bulan sembari menidurkan Kaina yang rewel.

"Abis nyuci, siapin api dan daun pisang!"

Aku hanya mengangguk. Tanpa menjawab pun ibu sudah tahu jika aku tidak akan berani membantahnya.

"Leena ...."

Aku menoleh. Suara serak dan samar-samar membuatku menoleh.

"Iya, Nek."

Wanita renta yang berbaring tak berdaya di sofa buruk itu melambaikan tangan berisi cangkir air minum ke arahku. Dengan cepat aku mengambilnya dan mengisinya dengan air minum lagi. Lantas kembali memberikannya. Wanita itu hanya tersenyum dan mengusap punggung tanganku pelan.

Dia adalah nenekku, ibu dari ibu. Usianya sudah tua, entah berapa. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain berbaring dan memanggil nama siapapun ketika membutuhkan bantuan. Butuh air minum, makan, atau bahkan butuh dibersihkan bekasnya buang air kecil atau air besar. Ya, nenekku lumpuh sejak aku berusia lima tahun. Hanya itu yang kuingat. Terkadang dia merangkak sendiri ketika bosan. Turun dari sofa perlahan lantas akan dimarahi ibu karena hanya akan menyusahkan untuk kembali diangkatke sofa.

Selesai mencuci petabotan dapur, aku segera ke dapur belakang rumah dan menghidupkan api. Kulihat ibu sudah keluar dan membawa beras untuk dicuci. Beras yang nanti akan diolah ibu menjadi nasi uduk. Penganan sederhana yang hanya diberi lauk tempe kecap, telur dadar, dan sambel teri. Membayangkannya saja air liurku sudah berhamburan. Apalagi ditambah dengan perutku yang sudah keroncongan sejak bangun tidur.

"Kenapa bengong? Cari daun!" teriak Ibu yang mengejutkanku. Dengan cepat kuraih pisau di dapur dan segera menuju halaman belakang.

Ada banyak daun pisang batu yang tumbuh liar di dekat pembuangan sampah. Aku biasa memungutnya untuk keperluan ibu. Beberapa helai daun kuambil lantas kujemur untuk membuatnya layu. Aku duduk di atas sebuah batu, di bawah rerimbunan pisang sembari menunggu daunku layu.

Tak jauh dari tempatku duduk, terlihat beberapa anak seusiaku yang tengah asyik mengobrol dan menghabiskan jajanan yang mereka beli di jalan ketika pulang. Mereka teman satu sekolahku, atau mungkin satu kelas denganku. Aku tidak pernah memperhatikan mereka, tepatnya tidak berani.

Aku menelan ludah saat salah satu dari mereka menyedot dengan nikmat minuman segar dari sebuah cangkir putih transparan. Entah kenikmatan yang bagaimana yang akan kurasakan ketika cairan putih kekuningan yang dingin itu melewatu tenggorokanku. Perutku lantas riuh menabuh gendang kelaparan ketika mereka dengan nikmat mengunyah bakso bakar atau entah apa.

"Kaleena! Malah ngelamun kau, ya!"

Aku tersentak lantas segera membawa daun-daun yang sudah layu. Rupanya menghayati kenikmatan orang lain membuatku lupa tugas sendiri.

Hingga menjelang sore aku membantu Ibu di dapur. Menyiapkan lauk, menyiapkan keranjang, hingga bolak-balik ke kamar karena Kaina sudah bangun dan terus merengek.

"Kau jual itu! Jangan pulang kalau belum laku!"

Aku mengangguk cepat dan dengan gesit menata sepuluh bungkus nasi uduk dengan lauk seadanya keliling kampung. Kuletakkan tampah berisi penganan itu di atas kepalaku, tanpa alas. Aku akan terus meletakkannya di sana hingga ada yang memanggilku dan membeli barang daganganku.

Tidak ada kendaraan yang membantuku menjajakan dagangan. Hanya kaki dengan sendal jepit butut yang menemani.

"Nasi uduk!" teriakku lantang di jalanan, di depan rumah yang sebagian tertutup rapat. Ya, siapa juga yang mau ada di luar rumah di tengah cuaca yang amat sangat panas ini.

Satu persatu rumah kulalui. Hasilnya nihil. Masih tetap sepuluh bungkus. Tubuhku sudah lelah luar biasa. Perut yang terus keroncongan juga mulai menimbulkam efek yang lain. Perut yang terakhir kuisi kemarin sore, itu pun hanya sisa nasi dingin yang sedikit mengering, semakin melilit. Sepertinya efek kelaparan sudah menjalar ke kepalaku yang mulai pening hebat.

Aku memutuskan berhenti di tepi jalan, di bawah pohon mangga kecil. Kuletakkan barang daganganku di pangkuan sementara aku menyelonjorkan kaki, istirahat. Kutatap jalanan cor semen yang seakan menguap karena panas. Tidak ada satu orang pun yang lewat, kecuali aku.

Aku meringis menaha perut yang semakin melilit. Perihnya sudah tidak tertahankan lagi. Kutatap bungkusan nasi uduk dengan air liur yang melimpah ruah. Aku menelan ludah.

Haruskah?

Setelah berpikir lama, akhirnya godaan perut yang lapar tak bisa kutahan lagi. Kuambil satu bungkus nasi dan kubuka dengan tangan gemetar.

Bagaimana kalau nanti Ibu tanya?

Ah, tapi aku sangat lapar! Bagaimana aku bisa terus berjualan kalau perutku lapar?

Tapi ... Ibu pasti marah besar nanti!

Ah, biarlah kupikir nanti!

Dengan lahap dan tanpa memperhatikan sekitar, kulahap habis nasi uduk dengan lauk seadanya itu. Sedikit sulit menelan karena tidak ada minum. Namun tak apa, yang penting kini aku kenyang. Nasi uduk itu terasa sangat nikmat. Kenikmatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Ya, meski hampir setiap hari aku menjajakan nasi uduk, nyatanya aku tidak pernah merasakannya sekalipun.

"Ini untuk dijual, bukan dimakan kamu!"

Begitu kata Ibu setiap kali aku menatap penuh nikmat pada nasi uduk yang dibungkus ibu.

Air mataku menetes ketika menatap bekas bungkus nasi uduk yang teronggok begitu saja. Rasa sesal mendadak menghampiri dan kini rasa takut juga menyerang. Bayangan kemarahan Ibu, pukulan, cubitan, cacian, bahkan mungkin aku tidak akan mendapat jatah makan malam.

"Aku cuma lapar, ya, Tuhan ...."

Kurengkuh tampah dengan erat seolah takut kehilangan rejeki lagi karena khilafku. Meski kini aku sudah kenyang, nyatanya ketakutan yang lain justru menghantui.

....

Bersambung

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
27 Chapters
Aku Penjual Nasi Uduk yang Tidak Pernah Makan Nasi Uduk
Bab 1 Aku Penjual Nasi Uduk yang Tidak Pernah Makan Nasi UdukPrang .."Kamu pikir aku senang kita hidup susah begini, hah? Setiap hari harus kerja pontang panting dan kamu cuma bisa minta duit!"Aku memeluk erat tas sekolah lusuh di dada. Suara teriakkan yang sangat kukenal membuat langkahku terhenti di depan daun pintu yang sudah buruk dan berlubang. Entah apa lagi yang membuat Bapak marah kali ini. "Kamu pikir aku juga senang, hah? Mengurus tiga anak seorang diri sedangkan kamu cuma di luar, pulang malam, dan mabuk. Itu yang kamu bilang kerja?"Plak ....Terdengar suara jeritan Ibu. Mungkin Bapak menamparnya lagi. Lalu suara barang-barang yang dilempar dan pecah terdengar bersahutan. Semua terdengar sangat genting dan menyayat hati. Belum lagi suara tangis Kaina dan Kinara. Ya, apa yang bisa dilakukan dua balita itu saat Bapak dan Ibu bertengkar selain menangis?Perlahan aku mendorong daun pintu yang tidak dikunci. Aku terus menunduk, tidak berani menatap Bapak maupun Ibu yang suda
last updateLast Updated : 2023-10-03
Read more
Semua Demi Kami, Katanya
Aku menggeliat bangun ketika tangan hangat menyentuh pipiku pelan dan mengusapnya perlahan. Kubuka mata pelan-pelan dan kudapati wajah kecil dan bulat yang menatapku. "Kaina?"Aku beringsut bangun dengan bantuannya. Bocah tiga tahun dengan rambut keriting itu menuntunku masuk ke dalam rumah. Kepala pening hebat, dengan persendian yang terasa sakit semua, membuat langkahku sedikit terhuyung. Kaina lantas langsung bermain dengan tumpukkan mainan bekas yang didapat Bapak. Mainan yang rata-rata sudah rusak dan bahkan mungkin tidak layak dimainkan lagi. Dia mengacuhkanku yang duduk di kursi, tak jauh darinya. Aku memperhatikan sekitar. Sepi. Tidak ada suara dengkuran Bapak yang biasanya menggema di seluruh rumah atau suara rengekkan Kinara. Kulihat nenek yang berbaring lemah dengan napas yang sangat pelan. Ke mana ibu?"Ibu mana, Dek?"Kaina hanya menggeleng, membuat rambut kriting kriwilnya bergerak-gerak. Kuperhatikan l
last updateLast Updated : 2023-10-16
Read more
Jatah Makan Malam dari Malaikat
Hilang rasa lapar, kini haus tak tertahankan menyerang. Cuaca yang panas tanpa ampun seolah mematahkan semangatku. "Ayo, Leena, jalan lagi!" Gumamku pada diri sendiri. Sekuat tenaga kuteruskan langkah dan sesekali berteriak menawarkam barang daganganku. Suara keras yang kuhasilkan tentu saja semakin menambah kering tenggorokan.Akhirnya aku sampai di sebuah gedung yang sedang dibangun. Tempat langganan yang sering kudatangi. Tidak laris memang, tapi setidaknya ada yang membeli. Namun, harapanku seolah sirna ketika kulihat para kuli bangunan di sana tengah santap siang. Nasi kotak dengan lauk yang sepertinya enak menjadi jatah makan siang mereka kali ini. Niatku untuk menawarkan dagangan seketika sirna. Namun, dengan niat dan sedikit takut akhirnya aku mendekat. "Nasi uduknya, Pak?" Beberapa lelaki yang tengah mengunyah makanan menoleh ke arahku. Mereka menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Hingga tatapan mereka berhenti pada
last updateLast Updated : 2023-10-16
Read more
Anak Haram Itu Apa, Nek?
Demi membayar semua kesalahan, seharian aku habiskan waktu dengan bersih-bersih. Mulai dari ruang depan yang hanya ada meja usang yang salah satu kakinya sudah ditambahi kayu, ruang tengah yang berisi kasur lapuk tempatku tidur bersama Kaina, dan kamar Bapak, Ibu, dan Kinara yang hanya dibatasi kain besar sebagai tirai. Lalu ruangan sempit berisi sofa buruk tempat nenek tidur yang bersebelahan langsung dengan dapur kumuh. Hingga bagian belakang, tempat pemandian dan mencuci. Semua kubersihkan dan kulap, meski tak menyamarkan usangnya. Selesai berberes aku lantas teringat tas sekolah yang kemarin robek ditarik Bapak. Kuperhatikan benda usang yang pernah kubeli dengan uang hasil memunggut sampah selama seminggu, tiga tahun lalu. Ya, tiga tahun lalu, saat aku masih duduk di bangku kelas 6 SD. Tas dengan warna merah muda—yang sekarang kecokelatan dan pudar—bergambar bunga dan princess itu kubawa ke depan pintu, untuk melihatnya dengan jelas. Tuhan, sepertinya ini tid
last updateLast Updated : 2023-10-16
Read more
Kami Si Lusuh yang Tak Tersentuh
💔💔💔Pagi sekali aku sudah mandi. Setelah membantu ibu menyiapkan sarapan. Bukan sarapan sebenarnya, karena hanya ada nasi kering 'bekas' saja. Nasi sisa dijemur hingga kering, dicuci bersih, lantas ditanak lagi. Jangan tanya rasanya. Kurasa hewan pun tidak ingin mengunyahnya. Hambar dan sama sekali tidak enak. Namun itulah yang sering menjadi pengganjal perut kami ketika tidak ada apa pun untuk dimakan. Tiga ekor ikan asin dipotong dua dipanggang dan dihidangkan begitu saja di meja. Siapa yang ingin sarapan, tinggal ambil. Ibu mengambil satu porsi kecil untuk nenek. Wanita renta itu terlihat enggan menyantapnya. Dia hanya menatap makanan itu lama. Air mataku nyatis jatuh melihat bagaimana wajahnya berubah sendu. "Mau ke mana kamu?" tanya Ibu ketika aku mengenakan sepatu. "Sekolah, Bu.""Jangan lupa bawa sampah!"Aku hanya mengangguk. Ya, dulu Ibu juga seperti bapak. Tidak mengijinkanku sek
last updateLast Updated : 2023-10-16
Read more
Anak Durhaka
Aku pulang dengan hati riang. Ada sekantung besar barang bekas dan plastik berisi sepatu. Sepanjang jalan aku berdendang dalam hati, menyuarakan kegembiraanku. Semua orang mungkin hanya menganggap remeh kebehagiaanku, tapi tidak denganku. "Kalau nggak bisa bayar, pergi kalian dari sini!" teriak seorang wanita dengan kuat di depan rumah kami. Teriakkannya seolah menghentikan kebahagiaanku. Langkahku terhenti di tepi jalan menuju rumahku. Kulihat ibu pemilik rumah yang kami sewa berkacak pinggang di depan pintu rumah. Di depannya tergeletak sendal butut, gagang sapu, hingga ember pecah. Di depan daun pintuku juga terdapat beberapa buah batu berukuran kecil hingga sedang. Daun pintu yang sudah lapuk pun terlihat berlubang. Sepertinya apa yang kukhawatirkan benar terjadi. Ibu dan pemilik rumah beradu mulut. Atau bahkan sudah bertukar alat perang. Apa yang terjadi?"Dasar miskin! Dibantu malah ngelunjak!"Aku terdiam, memegang dua kant
last updateLast Updated : 2023-11-18
Read more
Cerita (mabuk) Bapak
Hari ini aku tidak sekolah. Satu-satunya seragamku basah setelah adegan siram-siraman bersama Ibu kemarin. Cuaca yang tidak panas membuat seragam yang kugantung di belakang tidak kering. Biarlah! Tak sekolah sehari tidak masalah. Bukankah tidak ada yang peduli aku sekolah atau tidak. Ya ... meski aku sangat menyayangkan. Aku pasti ketinggalan pelajaran hari ini. Tidak ada yang bisa kulakukan selain membantu ibu membersihkan rumah. Pagi sekali Ibu sudah menuju rumah orang kaya untuk mencuci baju dan menyetrika. Tentu saja dengan Kaina dalam gendongan. Nenek sudah membaik. Dia sudah duduk di tepi ranjang. Aku hanya melihatnya sekilas. Entahlah, sejak kejadian kemarin aku berubah pandangan pada nenek. Bukan benci, tapi kasihan yang terlalu dalam. "Tidak ada yang mau merawat nenek lagi selain Ibumu!"Kalimat nenek saat kutanya mengapa menangis terus terbayang. Ke mana saudara ibu yang lain?Lalu mengapa ibu mau menerima nene
last updateLast Updated : 2023-11-18
Read more
Tino dan Pak Doni
Sore itu aku berhasil menjual seluruh nasi uduk. Ya, meski aku harus pulang saat adzan maghrib sudah berkumandang. Ibu pun tidak marah karena aku pulang terlambat. Mungkin karena aku berhasil kali ini. Ibu bahkan sudah menyiapkan nasi hangat—yang masih bagus—dan sayur asem. Selepas mandi aku makan dengan nikmat. Semakin nikmat saat kutahu nenek dan adikku juga sudah makan. Hanya Bapak yang entah ke mana. "Siapa yang kasih kamu sepatu?"Aku yang tengah menyiapkan peralatan sekolah menoleh ke arah Ibu yang tengah menidurkan Kinara. "Pak Doni.""Siapa dia?""Guru olahragaku, Bu."Ibu diam. Aku lantas menatap sepatu pemberian Pak Doni dan sepatu lamaku yang kuletakkan di bawah rak. Selamat tinggal sepatu buaya.****Langkahku terasa ringan. Sepatu pemberian Pak Doni sedikit kebesaran, tapi aku menyumpalnya dengan gumpalan kertas agar tidak terlepas ketika berjalan. Hingga kemudian langkahku sam
last updateLast Updated : 2023-11-18
Read more
Harga Satu Stel Seragam Bekas
Entah mengapa aku ingin menoleh. Melihat keberadaan Tino yang berjalan menuju kelas. Apakah dia sudah sampai? Bukan, aku menoleh karena ingin tahu apa dia juga sedang melihat ke arahku. Perlahan aku menoleh. Benar saja. Tino yang sudah agak jauh, tengah menatapku. Kami bersitatap, meski tidak terlalu jelas karena jarak yang jauh. Namun aku dengan jelas melihat dia yang menggeleng pelan. Entah kenapa?"Ayo!" Pak Doni menarik pelan lenganku, untuk segera memasuki ruangannya. Aku menatapnya. Entah mengapa kali ini aku ragu. Aku lantas menoleh lagi, melihat keberadaan Tino. Bocah kurus itu masih di sana. Di sudut sekolah yang akan menuju ruang kelas kami. Namun dia tidak menggeleng atau memberi tanda. Hanya diam. "Ayo!' Tarikkan tangan Pak Doni kurasakan semakin keras. Aku nyaris terjatuh. Kuremas tepi rok dengan erat. Kali ini aku takut, entah karena apa. Pak Doni menutupkan daun pintu dengan rapat, tanpa menguncinya. Aku hanya menelan ludah menatapnya yang kini melepas tas ransel da
last updateLast Updated : 2023-11-19
Read more
Kamu Harus Kerja, Kata Bapak
10. Kamu Harus Kerja, Kata Bapak"Sini!"Tas Tino yang baru saja kupegang direbut paksa oleh lelaki yang tadi membawa Tino. Dia menatap galak padaku, lantas tersenyum ketika melihat isi tas Tino. Aku hanya memperhatikan lelaki kurus dan sedikit pucat itu hingga dia berbalik dan meninggalkanku. "Apa dia baik-baik saja?" tanyaku memberanikan diri bersuara. Dia menoleh sesaat, tanpa menjawab, lantas melenggang pergi meninggalkanku. "Pak—""Apa? Aku bapaknya, jadi nggak usah khawatir!"Lelaki itu lantas menutup pintu dengan keras, meninggalkanju yang masih bengong. Dia bapak Tino?Bukankah dia yang kemarin sore kulihat memarahi Tino di halaman rumah ini? Kenapa dia bisa semarah itu pada anaknya sendiri?Ah, bukankah Bapak di rumah juga sering memarahiku?Aku lantas melanjutkan perjalanan menuju pulang. Bayangan Pak Doni yang tadi hilang, kini seolah datang meneror. Aku menggeleng. Kembali mengingat bagaimana wajah yang biasanya menyenangkan itu berubah bak monster yang menakutkan. Pak D
last updateLast Updated : 2023-11-19
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status