Share

Tino dan Pak Doni

Penulis: Kutudollar
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-18 21:30:00

Sore itu aku berhasil menjual seluruh nasi uduk. Ya, meski aku harus pulang saat adzan maghrib sudah berkumandang. Ibu pun tidak marah karena aku pulang terlambat. Mungkin karena aku berhasil kali ini. Ibu bahkan sudah menyiapkan nasi hangat—yang masih bagus—dan sayur asem. Selepas mandi aku makan dengan nikmat. Semakin nikmat saat kutahu nenek dan adikku juga sudah makan. Hanya Bapak yang entah ke mana.

"Siapa yang kasih kamu sepatu?"

Aku yang tengah menyiapkan peralatan sekolah menoleh ke arah Ibu yang tengah menidurkan Kinara.

"Pak Doni."

"Siapa dia?"

"Guru olahragaku, Bu."

Ibu diam. Aku lantas menatap sepatu pemberian Pak Doni dan sepatu lamaku yang kuletakkan di bawah rak.

Selamat tinggal sepatu buaya.

****

Langkahku terasa ringan. Sepatu pemberian Pak Doni sedikit kebesaran, tapi aku menyumpalnya dengan gumpalan kertas agar tidak terlepas ketika berjalan.

Hingga kemudian langkahku sampai di depan rumah kemarin sore. Rumah tempat bocah lelaki yang kulihat kemarin. Pintunya tertutup. Sepi. Keadannya pun sedikit suram. Halamannya kotor oleh daun rambutan di halaman dan beberapa ranting kayu.

Aku terkesiap ketika tiba-tiba daun pintu itu terbuka. Seorang anak lelaki yang juga mengenakan seragam sepertiku keluar rumah. Aku langsung meneruskan perjalanan, takut dia akan memarahiku lagi.

Aku tahu dia tepat di belakangku, hanya terpisah beberapa meter saja. Namun aku tidak berani untuk menoleh.

Sesampainya di sekolah, aku baru tahu jika bocah lelaki itu satu kelas denganku. Dia duduk berselang dua baris kursi di sampingku. Sama, dia duduk sendirian, di kursi paling belakang.

Siapa namanya?

Kok aku baru tahu kalau dia satu kelas denganku?

Saat istirahat, Pak Doni mendatangi kursiku. Dia tersenyum penuh kehangatan dan duduk di depan kursiku. Aku melirik bocah lelaki itu yang menundukkan kepala. Sesekali dia melirik ke arahku atau ... ke arah Pak Doni?

"Kenapa kemarin nggak sekolah?" tanya Pak Doni menatapku.

"Seragamku basah, Pak!"

"Ow." Pak Doni melirik bocah lelaki itu yang langsung menundukkan kepala dalam-dalam, seolah takut. "Seragam kamu cuma satu?"

Aku mengangguk cepat.

"Ehm gitu. Nanti ke ruangan Bapak, ya. Ada seragam bekas tapi masih bisa dipakai. Kamu pakai aja. Spertinya juga muat."

Aku mengangguk dan tak henti mengucap terima kasih. Pak Doni lantas pamit kembali ke kantor.

Jadi, beliau ke sini hanya untuk bertanya tentang itu?

Terima kasih, Tuhan, ternyata masih ada orang baik di sekitarku.

Kulihat Pak Doni mendatangi kursi bocah lelaki itu. Dia menepuk pundaknya pelan dan ....

"Tino? Kamu sakit?" tanya Pak Doni menempelkan punggung tangannya ke dahi bocah itu.

Ow, namanya Tino.

Tino menggeleng dengan posisi yang masih menunduk.

"Ke ruangan Bapak, yuk. Nanti Bapak kasih obat!"

Tino menggeleng keras. Dia bahkan berpegangan pada meja ketika Pak Doni menarik tangannya untuk ikut.

"Kalau kamu tetap begini, bagaimana bisa mengikuti pelajaran selanjutnya? Jam pulang masih lama, lho!"

Aku tetap memperhatikan mereka. Terutama Tino. Bocah yang kuperkirakan lebih tinggi dariku itu tetap diam di kursinya, seolah menempel. Sekuat tenaga dia menolak tarikan Pak Doni. Hingga Pak Doni menunduk, mendekatkan wajah ke wajah Tino. Aku hanya mengerutkan kening, tidak tahu apa yang mereka bicarakan sehingga harus berbisik.

Entah apa yang dibisikkan Pak Doni, nyatanya Tino akhirnya mau menurut. Dia berdiri lantas melangkah pelan, mengikuti langkah lebar Pak Doni yang memegangi tangannya.

Aku hanya tersenyum. Pak Doni baik sekali. Saat guru lain tak menganggap kami ada, beliau bahkan dengan senang hati membantu.

Aku tetap menatap kepergian Tino hingga sampai di pintu kelas. Tak kusangka Tino menoleh, menatapku dan menggeleng. Bukan hanya menggeleng, dia juga seolah ketakutan. Itu terlihat jelas dari sorot matanya ke arahku.

Ada apa?

Apa yang dia takutkan?

****

"Wih, dia punya sepatu baru. Kemarin nggak sekolah mungkin buayanya lagi bertelur."

Tawa berderai dengan cepat memenuhi ruangan kelas. Bocah lelaki yang biasa mengejekku, kini berulah lagi. Dia membawa rombongan lebih banyak. Ada enam orang anak yang kini tengah mengerumuniku. Dua wanita di antara mereka juga terlihat sangat senang melihat aku ditertawakan. Mungkin bagi mereka aku adalah hiburan.

"Paling dapat dari kotak sampah. Dia kan tiap hari ngambil sampah di sekolah."

"Iya. Aku juga lihat. Ish, jijik, bau!"

Mereka bersamaan menutup hidung, seolah aku adalah sampah menjijikkan yang sangat bau. Aku hanya diam. Berusaha sekuat mungkin menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk mata.

"Kalau nanti nemu seragam di tempat sampah, ambil, ya. Seragam kamu udah kayak sampah!"

"Masih bersih lap dapur di rumahku, haha."

Aku menunduk. Kali ini air mataku tak tertahankan lagi. Meluncur deras, menelusuri pipi, hingga akhirnya jatuh di pangkuan. Dadaku sesak. Ingin rasanya aku menutup mulut mereka satu persatu dengan tamparan, tapi aku bisa apa?

Ya, mungkin aku memang sejelek dan sehina itu hingga pantas diperlakukan seperti ini. Aku terus memejamkan mata. Aku tak ingin melihat bagaimana rupa seragam yang kukenakan, yang diejek oleh mereka.

Ingatanku tentu masih kuat kalau hanya sekedar mengingat bagaimana rupa seragam yang kukenakan sekarang. Warna putihnya nyaris hilang, digantikan warna kekuninganyang kusam. Titik-titik hitam memenuhi bagian leher dan punggung. Kancing bajunya pun sudah beraneka warna dan bentuk karena aku menggantinya berkali-kali. Belum lagi roknya yang sudah sangat memprihatinkan. Retsletingnya sudah lama rusak. Aku menjahitnya hingga hampir sampai atas. Pengaitnya pun sudah berkali-kali kuganti.

Bel masuk berbunyi, menyelamatkanku dari cercaan mereka. Pelajaran kedua segera dimulai. Kukeluarkan buku Sejarah, mata pelajaran selanjutnya yang juga menjadi pelajaram kesukaanku.

Mataku menatap daun pintu. Lantas berganti menatap kursi tempat Tino. Bocah itu belum kembali. Apa dia benar-benar sakit? Mengapa begitu lama?

****

Seperti biasa, kuletakkan tas di tempat yang tersembunyi lantas mulai berkeliling mendatangi kotak sampah satu persatu. Beberapa guru yang belum pulang sempat melihatku, tapi kemudian acuh saja.

Aku mulai beraksi. Satu persatu botol dan gelas plastik bekas air mineral mengisi plastik hitam yang kubawa. Satu persatu kotak sampah juga sudah kuabsen. Hingga aku sampai di depan gedung olahraga, tempat di mana letak ruang kerja Pak Doni. Aku segera bersembunyi ketika kudengar suara pintu yang dibuka. Mataku mengintip, memperhatikan siapa yang keluar.

"Sudah jangan nangis! Obatnya jangan lupa diminum, ya!"

Pak Doni memegang bahu Tino di sampingnya. Bocah lelaki itu terlihat sedikit menunduk dan memegangi pinggang. Dia meringis kesakitan. Wajahnya juga terlihat sembab. Apa dia baru saja menangis?

"Hati-hati pulangnya, ya!"

Tino diam saja. Dia terus melangkah dengan sedikit kepayahan. Langkahnya terlihat sedikit lebar dengan posisi kaki yang mengangkang. Tangannya pun tak lepas dari memegangi pinggangnya. Dia terus meringis kesakitan.

Tino sakit apa?

Aku terus memperhatikan Tino yang berjalan menuju kelas. Mungkin dia akan mengambil tasnya terlebih dahulu, baru kemudian pulang. Aku lantas menatap pintu ruangan Pak Doni yang terbuka sedikit.

"Leena?"

Aku terkejut. Rupanya Pak Doni sudah bersiap untuk pulang. Dia memegang kunci ruang kerjanya dengan tas ransel yang sudah di punggung.

"Kenapa?"

"Ehm, nggak, Pak. Nggak apa-apa!"

Pak Doni menepuk dahi. "Oh, iya, Bapak lupa. Seragam, ya? Sini!"

Pak Doni melambaikan tangan ke arahku untuk mendekat. Dia yang sudah mengunci pintu kembali membukanya. Aku masih mematung di tempat.

"Ayo, sini!" panggilnya lagi.

Aku mengangguk dan tersenyum, lantas melangkah untuk mendekatinya. Pak Doni tersenyum menyambut kedatanganku.

....

Bersambung

Bab terkait

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Harga Satu Stel Seragam Bekas

    Entah mengapa aku ingin menoleh. Melihat keberadaan Tino yang berjalan menuju kelas. Apakah dia sudah sampai? Bukan, aku menoleh karena ingin tahu apa dia juga sedang melihat ke arahku. Perlahan aku menoleh. Benar saja. Tino yang sudah agak jauh, tengah menatapku. Kami bersitatap, meski tidak terlalu jelas karena jarak yang jauh. Namun aku dengan jelas melihat dia yang menggeleng pelan. Entah kenapa?"Ayo!" Pak Doni menarik pelan lenganku, untuk segera memasuki ruangannya. Aku menatapnya. Entah mengapa kali ini aku ragu. Aku lantas menoleh lagi, melihat keberadaan Tino. Bocah kurus itu masih di sana. Di sudut sekolah yang akan menuju ruang kelas kami. Namun dia tidak menggeleng atau memberi tanda. Hanya diam. "Ayo!' Tarikkan tangan Pak Doni kurasakan semakin keras. Aku nyaris terjatuh. Kuremas tepi rok dengan erat. Kali ini aku takut, entah karena apa. Pak Doni menutupkan daun pintu dengan rapat, tanpa menguncinya. Aku hanya menelan ludah menatapnya yang kini melepas tas ransel da

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-19
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Kamu Harus Kerja, Kata Bapak

    10. Kamu Harus Kerja, Kata Bapak"Sini!"Tas Tino yang baru saja kupegang direbut paksa oleh lelaki yang tadi membawa Tino. Dia menatap galak padaku, lantas tersenyum ketika melihat isi tas Tino. Aku hanya memperhatikan lelaki kurus dan sedikit pucat itu hingga dia berbalik dan meninggalkanku. "Apa dia baik-baik saja?" tanyaku memberanikan diri bersuara. Dia menoleh sesaat, tanpa menjawab, lantas melenggang pergi meninggalkanku. "Pak—""Apa? Aku bapaknya, jadi nggak usah khawatir!"Lelaki itu lantas menutup pintu dengan keras, meninggalkanju yang masih bengong. Dia bapak Tino?Bukankah dia yang kemarin sore kulihat memarahi Tino di halaman rumah ini? Kenapa dia bisa semarah itu pada anaknya sendiri?Ah, bukankah Bapak di rumah juga sering memarahiku?Aku lantas melanjutkan perjalanan menuju pulang. Bayangan Pak Doni yang tadi hilang, kini seolah datang meneror. Aku menggeleng. Kembali mengingat bagaimana wajah yang biasanya menyenangkan itu berubah bak monster yang menakutkan. Pak D

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-19
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Para Monster

    11. Para MonsterAku terkesiap bangun menjelang subuh. Teringat seragamku yang rusak karena ditarik Bapak kemarin. Segera kuambil baju putih lusuh itu dan membawanya mendekati lampu. Kuambil benang dan jarum jahit. Namun sayang beberapa kancing yang terlepas tidak kutemukan. Aku berpikir keras, bagaimana caranya agar bajuku bisa dikancingkan. Hingga akhirnya kutemukan dua peniti berkarat di tembok. Selesai!Meski hanya dengan peniti, setidaknya seragam itu masih bisa kupakai. Namun semakin kutatap seragam itu, aku semakin ragu untuk pergi ke sekolah. Teringat Pak Doni, Tino, dan sesuatu yang mungkin akan terjadi nanti. Apa Pak Doni marah? Bagaimana kalau dia semakin nekat? Ah, aku mungkin bisa melapor pada guru yang lain. Tentang Tino ... bagaimana kabarnya? Dia sakit apa, sih?Pagi sekali sudah kubereskan rumah sebelum akhirnya memandikan Kinara dan diriku sendiri. Aku lantas bersiap ke sekolah. Sempat kulirik gorden kamar Ib

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-20
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Dongeng Malam Laknat

    Aku harus pulang!Ibu harus tahu tentang semua ini!Perlakuan Pak Doni harus kulaporkan!Sepanjang perjalanan menuju rumah aku terus berlari. Tak peduli jika buku tulisku tercecer, jatuh di jalan. Pun sepatu yang kini kulepas dan kubawa berlari. Aku sampai depan rumah saat ibu baru keluar dari pintu."Ibu ... to—long ...!""Kenapa kamu?" Ibu menatap sekujur tubuhku. Aku masih diam, menenangkan diri dan mengatur napas. "Bapak .... Bapak sama ... Pak Doni ....""Apa? Bapak kenapa? Pak Doni siapa?"Mendadak aku bingung. Harus darimana aku memulainya? "Apa, sih?" Ibu terlihat penasaran dengan apa yang hendak kuceritakan. Namun entah mengapa semuanya mendadak hilang di tenggorokkan."Cepet amat kamu di rumah!"Aku tersentak dan langsung menoleh. Bapak berdiri tepat di belakangku. Dia tersenyum. Tidak, tepatnya menyeringai. "Ayo, sini kamu!"

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-20
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Leena Salah Apa, Bu?

    "Kenapa kamu harus begini, Leena ...."Kurasakan jemari keriput itu mengusap pipiku yang basah. Tangannya gemetar memegang tubuhku yang bagai tak bertulang di lantai rumah. Telingaku masih mendengar percakapan Bapak dan Pak Doni di luar. Namun aku tidak mau tahu apa yang mereka bicarakan. Hingga kemudian terdengar daun pintu yang dibuka dengan grasa grusu. Aku yang menatap ke arah dapur, hanya bisa menebak jika yang masuk adalah Ibu. Benar. Itu Ibu. Dia membaringkan Kaina di kamar, lantas mendekatiku. Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibirnya. Dia hanya melihatku sekilas sembari mengambil air minum lantas kembali keluar rumah. Tuhan?Apa aku memang sudah mati?Sampai Ibu tak berminat untuk melihatku?Nenek masih bersamaku. Susah payah dia merangkak untuk mendekatiku. Diusapnya rambutku dengan lembut dan samar terdengar isak tangisnya. Ya, nenek menangis. Apakah dia menangisiku yang sudah mati? Atau

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-20
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Rumah Malaikat

    Entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Yang kurasakan sekarang adalah ....Aroma wangi, nyaman, sejuk, dan sangat tenang. Sekujur tubuhku terasa hangat dan sakit yang semula membuatku nyaris sekarat kini seolah hilang. Hanya sakit di pangkal paha yang masih sedikit terasa nyeri. Aku di mana?Kutatap sekeliling. Ruangan bersih dengan tembok berwarna putih dan gorden hijau muda yang meliuk-liuk ditiup angin. Di sebelahku ada sebuah meja dengan sebuah vas bunga cantik, sepiring aneka kue yang terlihat enak, dan segelas air yang sangat jernih. Mendadak aku haus. Ini di mana?Apa aku sudah di surga?Sepertinya iya, karena aku belum pernah melihat tempat terindah dengan makanan seenak itu. Aku mencoba menggerakkan tangan dan ... apa ini? Sebuah selang bening tersalur dari punggung tanganku ke sebuah wadah bening berisi air. Aku tahu namanya infus. Aku sakit? Apakah di surga ada yang sakit sepertiku?

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-20
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Kak Nisa, Kak Jago, dan Kak Lian

    Aku terus berontak saat Pak Doni berusaha mendekatiku. Bersembunyi di balik wanita berjilbab, menggunakan sendok sebagai senjata, hingga terus berteriak meminta tolong. "Maaf, jangan paksa dia lagi!"Kulihat Pak Doni berdiri kesal menatapku yang terus bersembunyi. Aku tak peduli jika punggung tanganku kembali berdarah. Selang infus kembali terlepas. Rasanya perih dan sakit. "Silahkan Bapak pulang dulu! Kembali nanti kalau dia sudah membaik!" ucap wanita berjilbab itu berusaha selembut mungkin. Aku yakin dia tengah kesal karena Pak Doni memaksaku. Sementara lelaki berkacamata dan rekannya hanya mematung melihatku yang ketakutan. "Baiklah! Tapi dia harus pulang sama saya. Saya khawatir Bapaknya akan menemukan dia di sini. Bapaknya ... ah, benar-benar bejat dia!"Aku mengintip betapa Pak Doni seolah merasa sangat sedih. Seolah dia ikut membayangkan bagaimana kejamnya Bapak. Padahal .... Segera kusembunyikan wajah saat Pak D

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-21
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Dijemput Ibu dan Rumah Baru

    "Jangan sentuh dia!"Pak Doni yang sudah hampir mendekatiku menghentikan langkah dan menoleh ke belakang, tempat Kak Nisa yang berteriak mencegahnya. "Jago! Suruh temen kamu ini pulang!" bentak Kak Nisa pada Kak Jago yang masih bengong. "Hei, aku gurunya! Aku yang selama ini membiayai sekolahnya. Kalau bukan karena aku yang menutup biaya SPP-nya, memberinya baju, tas, dan buku dia tidak akan sekolah!"Aku terdiam, berpegangan pada ranjang di belakangku. Ya, memang selama ini Pak Doni lah yang membantuku, tapi apa lantas ... ah, apakah perbuatan baik selalu meminta imbalan?"Saya tidak peduli! Pergi atau saya panggil satpam?" Kak Nisa mendelik ke arah Pak Doni yang justru menatap Kak Jago, seolah meminta bantuan. Kak Jago hanya diam. Entah apa maksudnya. "Satpam!" teriak Kak Nisa. "Oke!" Pak Doni melangkah menjauhiku. Sekilas dia mendelik ke arahku sebelum akhirnya keluar diantar Kak Jago. Sepening

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-21

Bab terbaru

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Dunia Asing

    "Kamu kerja apa?" tanyaku pada Tino yang tengah berganti pakaian. Sebenarnya bukan ganti pakaian, hanya sedang mengenakan jaket kulit usang yang sedikit kebesaran di tubuh kurusnya. Celana jeans panjang belel dan kaus hitam yang berlubang di bagian punggung. "Kerja apa saja yang penting aku bisa makan!" jawabnya membuatku terdiam. "Lama?"Tino mengangguk. "Mungkin tengah malam aku pulang.""Aku?""Kenapa kamu?""Aku bagaimana?" Jujur aku takut jika harus tinggal sendiri di rumah ini. Bukan karena ada makam ibu Tino dan makam Kinara, tapi karena rumah ini memang jauh dari keramaian. Berada di tengah semak belukar yang akan tampak menyeramkan di malam hari. "Kamu takut?"Aku mengangguk cepat. "Terus, kamu mau ke mana?"Aku menggeleng. "Mau kuantar pulang?"Aku diam. Pulang? Apakah aku masih punya tempat untuk pulang?Entahlah!

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Malaikat Gondrong

    "Kamu mau bunuh diri?"Aku diam, memeluk Kinara seerat mungkin. "Ayo, kuantar pulang!"Tino mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Aku hanya diam, menatap telapak tangannya, lantas menggeleng. "Kenapa?"Aku menggeleng lagi. Kudengar dia menghela napas panjang dan duduk bersila di depanku. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat jelas wajahnya. Wajah yang sudah lama tidak kulihat. Lama tak melihatnya, Tino kurus yang dulu dekil dan masih terlihat seperti bocah kurang gizi, kini sedikit berubah. Suaranya lebih besar dengan tubuh yang sedikit lebih tinggi. Rambutnya dibiarkan panjang seleher dengan bagian depan yang nyaris menutupi mata. Dia yang dulu kukenal pendiam nyatanya banyak bicara juga. Dia bahkan seolah sudah sangat akrab denganku. "Mau pulang nggak?"Aku menggeleng. "Aku tidak punya rumah!""Ehm ....""Terus adik kamu mau diapain? Mau dibiarin jadi bangkai!"

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Setan yang Melahirkan Malaikat

    Aku terduduk lemas di lantai lorong Rumah Sakit. Tubuhku seolah tak bertulang. Hidupku hancur, tak berbentuk. Duniaku mendadak gelap dan hampa. Aku hanya diam saat beberapa petugas Rumah Sakit mendekatiku dan membantuku berdiri. Mereka membopongku memasuki sebuah ruangan dan meletakkanku di ranjang bersprei putih. "Dia pendarahan!"Aku hanya diam. Saat tangan-tangan asing itu memasang berbagai alat dan menusukkan jarum ke tubuhku. Kurasakan perih dan nyeri bersamaan di bawah sana. Mereka melepas pakaianku dan saling berbisik yang tidak bisa kudengar. Lambat laun penglihatanku kabur dan semakin lama semakin gelap. ****"Rumahmu di mana? Biar kami antar!"Aku menggeleng lemah. Rumah? Aku tidak punya!"Orang tuamu?"Aku menggeleng lagi. Apa aku punya orang tua? Punya, hanya saja mereka tidak seperti orang tua. Orang tua mana yang tega menjual dan membiarkan anaknya meregang nya

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Kinara Sayang, Kinara Malang

    Dengan ditemani Kak Nisa aku mencari Kinara. Aku ingin memastikan kondisi adikku itu. Menurut Kak Nisa Kinara mengalami pendarahan parah akibat benturan benda tumpul. Entah apa yang dilakukan Bapak pada adikku itu. Kami sampai di ruang rawat khusus anak-anak. Dengan petunjuk resepsionis kami mencari ranjang tempat Kinara dirawat. Namun kami menemukan hal lain. "Dia bukan Kinara!" ucapku pada Kak Nisa yang juga menatap lekat pada bocah lelaki dengan perban di kepala. Usianya mungkin sekitar lima tahun. Itu jelag bukan Kinara."Maaf, Bu, pasien sebelum ibu yang di sini dipindah ke mana, ya?"Ibu dari bocah itu malah menatap kami dengan tatapan tidak suka dan sedikit curiga. Bukannya menjawab dia malah mendekap anaknya erat-erat seolah takut kami akan mengambilnya. Kak Nisa menarik lenganku, mengajakku menjauh. Hingga kemudian kami bertemu seorang perawat. "Oh, atas nama Kinara, ya?"Aku mengangguk cepat. "Dia suda

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Orang-Orang Sakti

    Aku remuk. Setelah terhempas keras pada tajam dan runcingnya batu tembok kehidupan. Aku pasrah. Andai Tuhan mencabut nyawaku, aku mau. Rasa sakit yang amat sangat seolah tak menginjinkan aku tak merasakannya. Rasa sakit di sekujur tubuh semakin terasa karena aku semakin tersadar. Sadar akan rasa sakit dari orang-orang berhati iblis. Pak DoniBapak kandungku sendiriDan ....Ibu? Ya kenapa baru kusadari jika sebelum kejadian itu Ibu seolah sengaja meninggalkanku sendiri di rumah? Ibu juga berdebat tentang hutang dan orang yang memberinya uang. Apakah yang dia maksud adalah bapak dan Pak Doni?Lalu, bukankah keduanya sudah ditangkap? Atau dipenjara? Lalu mengapa mereka ada di luar? Bebas?Lagi-lagi aku terdampar di tempat yang tidak kukenali. Ruangan bercat putih dengan bau obat yang menyengat. Ada suara berisik dari alat yang entah apa namanya. Tanganku kebas, tak mampu kugerakkan. Begitu juga seluruh tubuh yang ka

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Malam Laknat yang Panjang

    Aku termenung di kamar. Berbaring di sebelah nenek yang sudah memejamkan mata. Di sebelahku ada Kinara yang masih sibuk bermain dengan boneka buruknya. Padahal sudah hampir jam sepuluh malam. Pikiranku menerawang. Berbagai kejadian yang menimpaku seolah memenuhi otak. Membuatnya hendak meledak.Pak Doni ....Bapak kandung ....Kak Nisa ....Ibu ....Hingga bapak tiriku. "Jangan, San! Aku mohon!"Aku terkesiap. Suara kursi yang ambruk dan daun pintu yang dibanting terdengar jelas. "Lalu harus bagaimana? Kamu pikir uang hasil ngojek cukup?""Besok aku carikan lagi!""Dia sudah kasih aku uang!"Apa yang Ibu dan Bapak debatkan?"Dia itu anakmu!""Iya. Dia memang anakku dan aku punya hak melakukan apapun ke dia!"Kudengar langkah ibu ke arah kamar tempatku berbaring. Gorden pintu disibak, Ibu muncul di ambang pintu. "Sini kamu!" Aku bangkit dan mendeka

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Aku Tidak Gila

    Aku hanya menatap kosong ke arah meja yang berisi beragam makanan lezat. Bahkan beberapa jenis makanan yang dihidangkan Kak Nisa belum pernah kulihat sebelumnya. Aku tak berminat menyantapnya, melihatnya saja aku tidak bertenaga. Duniaku terasa hampa, tanpa suara sedikit pun. Semua pun mendadak kelam dan gelap. Tidak ada satu pun yang kupikirkan, selain ... aku ingin mati!Dari Kak Nisa dan pembicaraan beberapa orang yang tidak kukenal, aku sudah ditampung di sebuah panti. Entah panti apa dan di mana. "Bapak dan Pak Doni sudah diproses secara hukum. Mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Kamu aman di sini!"Apa aku percaya? Sepertinya tidak!Jika aku aman, mengapa orang-orang baru itu seolah menatapku jijik. Beberapa orang mengarahkan ponsel dan kamera dengan cahaya silau yang sesekali menyala. Mereka juga sibuk berbicara di depan kamera sembari menyorot ke arahku. Apa yang mereka lakukan?"Ada ibumu!" Duniaku

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Aku Bagai Hewan Tak Berharga

    "Kak Nisa?" panggilku pada Kak Nisa yang sudah berlari mendahuluiku. Dia berhenti lantas menoleh padaku, menatapku bingung seolah bertanya, ada apa?Mataku tak beralih dari kaus putih di depanku, kulihat Kak Nisa juga menatapnya. "Itu—""Kalian di sini?"Aku terkejut lantas menoleh ke belakang. Ada Kak Jago dan ....Aku langsung berlari mendekati Kak Nisa yang juga kulihat terkejut. Ya, Kak Jago mendekati kami bersama Pak Doni dan Bapak. Pak Doni sudah mengenakan perban di matanya. Sementara Bapak terlihat terengah-engah seperti baru saja mengejar sesuatu. Keduanya menyeringai ke arahku. Seringai yang tak dilihat oleh Kak Jago. "Leena, kamu dicari bapak sama guru ini!"Aku menggeleng. "Katanya kamu udah berhari-hari nggak sekolah, juga nggak pulang ke rumah!""Nggak!" gumamku dengan tubuh yang semakin gemetar. Kucengkeram ujung baju Kak Nisa, mencari perlindungan. "Nggak! Mereka b

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Iblis Berbentuk Manusia

    Keesokan paginya Bapak kembali menungguku di depan rumah, di atas motor. Tidak ada pertanyaan mengapa aku kemarin pulang lebih dulu. Lelaki kurus itu hanya diam. Kali ini aku mengenakan celana jeans panjang dan kemeja panjang pemberian Kak Nisa. Aku bahkan menyelipkan sebuah jarum pentul di retsleting celana. Ya, aku harus bisa melindungi diri. Tidak boleh takut dan harus berani menghadapi apa saja yang akan terjadi nanti. Seperti kemarin, sepanjang perjalanan aku dan bapak tiriku hanya diam. Dia fokus ke jalan, aku fokus ke sekitar dan tentu saja pikiranku. Bagaimana kalau Pak Doni datang lagi?Bagaimana kalau Bapak juga di sana?Bagaimana kalau mereka berdua kembali melakukan hal yang tidak-tidak padaku?Ah, andai aku berteriak meminta tolong, adakah yang peduli?"Ibu pikir kamu nggak ke sini lagi?" ucap wanita pemilik rumah makan yang kemudian kutahu bernama Bu Mira. Wanita bertubuh gemuk itu langsung men

DMCA.com Protection Status