11. Para Monster
Aku terkesiap bangun menjelang subuh. Teringat seragamku yang rusak karena ditarik Bapak kemarin. Segera kuambil baju putih lusuh itu dan membawanya mendekati lampu. Kuambil benang dan jarum jahit. Namun sayang beberapa kancing yang terlepas tidak kutemukan. Aku berpikir keras, bagaimana caranya agar bajuku bisa dikancingkan. Hingga akhirnya kutemukan dua peniti berkarat di tembok.Selesai!Meski hanya dengan peniti, setidaknya seragam itu masih bisa kupakai. Namun semakin kutatap seragam itu, aku semakin ragu untuk pergi ke sekolah. Teringat Pak Doni, Tino, dan sesuatu yang mungkin akan terjadi nanti.Apa Pak Doni marah? Bagaimana kalau dia semakin nekat? Ah, aku mungkin bisa melapor pada guru yang lain.Tentang Tino ... bagaimana kabarnya? Dia sakit apa, sih?Pagi sekali sudah kubereskan rumah sebelum akhirnya memandikan Kinara dan diriku sendiri. Aku lantas bersiap ke sekolah. Sempat kulirik gorden kamar Ibu yang terbuka sedikit. Kelihatannya Ibu masih terlelap. Kaina pun tak bersuara, masih tidur. Aku lantas berpamitan pada nenek setelah kuberikan segelas air dan nasi sisa kemarin.****"Kau harus sekolah!"Aku menghentikan langkah tak jauh dari depan rumah Tino. Di depan sana, Tino didorong dengan kuat oleh lelaki yang kemarin memperkenalkan diri sebagai bapaknya. Bocah lelaki itu bangkit dengan cepat dan segera mengenakan seragamnya yang belum terpakai dengan lengkap. Aku bisa melihat tubuh kurusnya yang seolah hanya tulang dibalut kulit tipis."Tino takut, Pak!"Tino sempat merengek sebelum akhirnya didorong ke halaman.“Apa? Kalau tidak begitu darimana kita dapat duit, hah?"bentak bapak Tino dengan galak.Tino memunguti tas buruk dan sepatunya yang dilempar ke tengah jalan. Aku menelan ludah memperhatikan dia yang melangkah pelan—sedikit kesulitan—memunguti perlengkapan sekolahnya."Apa kau lihat-lihat!"Aku tersentak. Bapak Tino mendelik galak ke arahku. Aku segera menunduk dan berjalan melewati Tino yang masih mengenakan sepatu."Awas kalau kau tidak bawa uang ke rumah!"Aku tak berani lagi menoleh.****Di sekolah, mataku tak henti memperhatikan Tino yang duduk diam di bangkunya. Dia menunduk, kadang menempelkan kening di meja, atau meremas tasnya. Saat pelajaran dimulai pun bocah lelaki itu tetap diam. Dia bahkan tidak mengeluarkan bukunya untuk mengikuti pelajaran."Oi, tidur aja kau!"Tino yang menempelkan keningnya di meja terkejut dan nyaris jatuh saat siswa yang duduk di depannya iseng menendang kaki meja Tino. Tino mengangkat wajah, menatap si pengganggu."Apa? Nggak terima? Dasar miskin, huu!"Lagi, kakinya jahil menendang meja Tino. Kali ini disertai dengan tarikan pada tas yang didekap Tino. Tino hanya diam kembali menarik tasnya."Apa kau lihat-lihat?"Aku tersentak. Rupanya siswa bertubuh gemuk itu mengetahui jika aku memperhatikan Tino. Aku langsung melengos dan menundukkan kepala."Kalian pacaran aja! Cocok! Sama-sama miskin, haha ...."Aku menelan ludah. Dalam hati berharap siswa itu tak menghampiriku untuk membully. Namun aku salah, dia mengajak satu temannya mendekatiku, berdiri tepat di samping mejaku."Oi, siapa namamu?"Aku diam."Ish, udah miskin tuli, bisu pula!"Keduanya tertawa terbahak-bahak."Hei, kalian itu cocok!" ucapnya menatapku dan melirik Tino yang masih diam. "Pacaran aja kalian, haha!""Sstt, ada Pak Doni!"Siswa gembul itu langsung ngibrit meninggalkanku. Juga Tino yang kini tampak gelisah. Benar, Pak Doni memasuki kelas kami. Senyum khasnya seolah menyatakan bahwa kemarin tidak terjadi apa-apa."Sudah sehat, Tino?" tanyanya langsung duduk di kursi depan Tino. Aku tak berani menoleh untuk melihatnya. Kuremas ujung rok dengan kuat, menahan takut."Gimana? Mau obat lagi?"Kuberanikan diri menoleh. Kulihat Tino menggeleng kuat. Dia memeluk tasnya erat."Nggak apa-apa! Sebentar aja. Bapak kamu juga nyuruh, kan?"Pak Doni mengusap kepala Tino pelan. Aku langsung menunduk saat tiba-tiba Pak Doni menoleh ke arahku. Jantungku langsung berdetak kencang dengan keringat yang mulai bermunculan.Ayo, Kaleena, kabur!Namun entah mengapa kakiku seolah lumpuh, tak mampu digerakkan. Hingga kemudian kulihat Pak Doni berdiri dan berjalan ke arahku."Kenapa Kaleena? Hem?"Pak Doni mengusap kepalaku pelan. Jemarinya terus mengusap-usap rambut kusutku."Seragamnya kok nggak jadi diambil? Nggak suka, ya?"Aku diam. Mataku mulai panas, menahan tangis. Sungguh, aku benar-benar takut. Bayangan tentang kejadian kemarin terbayang jelas."Atau mau seragam yang baru?" tanya Pak Doni mendekatkan wajah ke wajahku. Dia tersenyum lebar. Tidak! Tepatnya menyeringai!"Dengar!" Pak Doni mencengkeram kepalaku dengan kuat. "Kalau kamu cerita ke orang lain, maka ...." Tatapan Pak Doni menelusuri wajahku lantas turun ke dadaku. Dia tersenyum sinis. "Tamat riwayatmu!" Aku menelan ludah, ketakutan. Tak terasa air mataku mengalir. "Paham?" tanyanya dengan suara sangat lembut. Aku mengangguk cepat.Pak Doni menepuk pipiku sekali, mengusap rambutku dengan lembut, lantas meninggalkanku. Dia kembali mendekati Tino. Bocah itu bergerak-gerak gelisah, atau ... takut."Pulang sekolah langsung ke sana, Bapak tunggu!"Pak Doni mengusap kepala Tino lantas pergi. Dia sempat melirikku yang masih ketakutan.Sisa jam sekolah kuhabiskan dengan gemetar dan ketakutan. Sepertinya Tino juga begitu. Aku harus bagaimana? Melapor guru? Ah, mereka bahkan mungkin tidak mengenalku! Siapa yang akan peduli pada siswa miskin sepertiku? Mereka mungkin hanya akan menganggapku mencari perhatian.****Saat jam pulang, aku bergegas keluar kelas. Tidak ada kegiatan mengambil sampah hari ini. Aku harus segera pulang untuk menghindari Pak Doni. Namun kemudian ragu karena kulihat Pak Doni sudah berdiri di depan kelas. Dia tengah menunggu seseorang. Bukan aku, karena dia hanya diam saja saat aku melewatinya. Maka dengan cepat aku bersembunyi di balik tembok yang menuju gerbang.Tino?Kulihat Pak Doni menyambut Tino yang baru keluar kelas. Bocah itu terlihat pasrah. Tidak ada yang memperhatikan bagaimana kedekatan Tino dan Pak Doni. Semua seolah sibuk dengan urusan masing-masing, atau tak mau tahu.Merasa penasaran, niatku untuk pulang kuurungkan. Aku memutuskan mengikuti Pak Doni yang membawa Tino. Benar dugaanku, Pak Doni membawa Tino ke ruangannya, lagi. Guru olahragaku itu mengunci pintu setelah celingukan memperhatikan sekitar.Aku lantas menuju halaman belakang ruang kerja Pak Doni. Aku ingat ada jendela di belakang sana yang mungkin bisa kugunakan untuk mengintip.Kakiku gemetar saat berjinjit untuk mencapai tepi jendela yang sedikit tinggi. Jemarikupun berkeringat mencoba meraih tepi bingkai jendela untuk berpegangan. Ada celah gorden yang terbuka dan aku akan mengintip dari sana.Ya Tuhan!Aku membekap mulutku tak percaya. Aku menggeleng keras seolah hendak menyangkal apa yang dilihat mataku sendiri.Air mataku perlahan mengalir ketika melihat bagaimana Tino meringis kesakitan. Dia berbaring tertelungkup di meja. Tubuhnya bergerak-gerak karena Pak Doni menghimpit bagian belakang tubuhnya dan mendorongnya berkali-kali.Apa yang Pak Doni lakukan dengan celana yang sudah melorot hingga ke paha dan celana Tino yang terlepas di lantai?Tuhan, apakah Pak Doni ...?Tidak!Dengan dada sesak menahan tangis aku meninggalkan tempat itu.Aku harus melapor!Beruntung aku bertemu satpam sekolah yang sepertinya sudah bersiap pulang. Aku langsung mendekatinya dan dengan napas tersengal mencoba untuk buka suara."Pak ...? To—tolong!"Satpam dengan name tag Romli itu menatapku heran. Bukan karena aku yang ketakutan, tapi mungkin karena baru menyadari jika ada siswa selusuh aku di sekolah ini."Tolong temen saya, Pak!" ucapku menunjuk ke arah ruang kerja Pak Doni. "Temen saya anu ... temen saya dianuin sama Pak ...."Aku urung melanjutkan laporan ketika Pak Romli berlalu melewatiku dan ...."Pak?" Pak Romli menyapa Pak Doni yang berjalan bersama Tino. Ya, itu mereka."Bapaknya Tino sudah di depan," ucap Pak Romli.Bapaknya Tino?Pak Romli menunjuk pos satpam. Ternyata sudah ada Bapak Tino di dalam ruangan kecil itu."Sudah? Ayo, pulang!" tanya Bapak Tino mendekati putranya.Tino didorong pelan oleh Pak Doni untuk mendekati bapaknya. Bocah itu terlihat menahan sakit dengan wajah pucat. Aku menelan ludah memperhatikan bagaimana dia berjalan. Sedikit mengangkang dan sangat pelan. Bayangan tentang apa yang dilakukan Pak Doni seketika kembali berputar."Ini!" Pak Doni menyalami Bapak Tino. Jelas kulihat jika ada sesuatu di tangan guru olahragaku itu. Bapak Tino terkekeh dan langsung memasukkan benda itu ke kantung bajunya."Ayo!"Bapak Tino lantas membimbing putranya itu mendekati motor butut yang sudah terparkir. Mereka lantas meninggalkan sekolah.Jadi?Tidak!Tidak mungkin Tino diperlakukan begitu oleh Bapaknya sendiri, tapi ...."Kamu belum pulang, Leena?"Aku terkejut setengah mati. Pak Doni tersenyum dan melangkah mendekatiku. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menjauhinya. Menuju gerbang yang terbuka sedikit dan terus melarikan diri hingga di belokam depan sekolah. Aku berhenti untuk mengatur napas yang semakin tersengal.Tunggu!Aku menoleh, tepatnya mengintip dari balik tembok, untuk meyakinkan penglihatanku yang seperti melihat seseorang di depan gerbang.Bapak?Iya. Itu Bapak. Pak Doni terlihat menemuinya. Mereka bersalaman dan saling bertukar senyum.Bapak kenal Pak Doni?Kulihat Pak Doni membisikkan sesuatu pada Bapak. Bapak mengangguk dan mengacungkan ibu jari seolah memberi tanda jika dia mengerti.Apa yang mereka bicarakan?....BersambungAku harus pulang!Ibu harus tahu tentang semua ini!Perlakuan Pak Doni harus kulaporkan!Sepanjang perjalanan menuju rumah aku terus berlari. Tak peduli jika buku tulisku tercecer, jatuh di jalan. Pun sepatu yang kini kulepas dan kubawa berlari. Aku sampai depan rumah saat ibu baru keluar dari pintu."Ibu ... to—long ...!""Kenapa kamu?" Ibu menatap sekujur tubuhku. Aku masih diam, menenangkan diri dan mengatur napas. "Bapak .... Bapak sama ... Pak Doni ....""Apa? Bapak kenapa? Pak Doni siapa?"Mendadak aku bingung. Harus darimana aku memulainya? "Apa, sih?" Ibu terlihat penasaran dengan apa yang hendak kuceritakan. Namun entah mengapa semuanya mendadak hilang di tenggorokkan."Cepet amat kamu di rumah!"Aku tersentak dan langsung menoleh. Bapak berdiri tepat di belakangku. Dia tersenyum. Tidak, tepatnya menyeringai. "Ayo, sini kamu!"
"Kenapa kamu harus begini, Leena ...."Kurasakan jemari keriput itu mengusap pipiku yang basah. Tangannya gemetar memegang tubuhku yang bagai tak bertulang di lantai rumah. Telingaku masih mendengar percakapan Bapak dan Pak Doni di luar. Namun aku tidak mau tahu apa yang mereka bicarakan. Hingga kemudian terdengar daun pintu yang dibuka dengan grasa grusu. Aku yang menatap ke arah dapur, hanya bisa menebak jika yang masuk adalah Ibu. Benar. Itu Ibu. Dia membaringkan Kaina di kamar, lantas mendekatiku. Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibirnya. Dia hanya melihatku sekilas sembari mengambil air minum lantas kembali keluar rumah. Tuhan?Apa aku memang sudah mati?Sampai Ibu tak berminat untuk melihatku?Nenek masih bersamaku. Susah payah dia merangkak untuk mendekatiku. Diusapnya rambutku dengan lembut dan samar terdengar isak tangisnya. Ya, nenek menangis. Apakah dia menangisiku yang sudah mati? Atau
Entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Yang kurasakan sekarang adalah ....Aroma wangi, nyaman, sejuk, dan sangat tenang. Sekujur tubuhku terasa hangat dan sakit yang semula membuatku nyaris sekarat kini seolah hilang. Hanya sakit di pangkal paha yang masih sedikit terasa nyeri. Aku di mana?Kutatap sekeliling. Ruangan bersih dengan tembok berwarna putih dan gorden hijau muda yang meliuk-liuk ditiup angin. Di sebelahku ada sebuah meja dengan sebuah vas bunga cantik, sepiring aneka kue yang terlihat enak, dan segelas air yang sangat jernih. Mendadak aku haus. Ini di mana?Apa aku sudah di surga?Sepertinya iya, karena aku belum pernah melihat tempat terindah dengan makanan seenak itu. Aku mencoba menggerakkan tangan dan ... apa ini? Sebuah selang bening tersalur dari punggung tanganku ke sebuah wadah bening berisi air. Aku tahu namanya infus. Aku sakit? Apakah di surga ada yang sakit sepertiku?
Aku terus berontak saat Pak Doni berusaha mendekatiku. Bersembunyi di balik wanita berjilbab, menggunakan sendok sebagai senjata, hingga terus berteriak meminta tolong. "Maaf, jangan paksa dia lagi!"Kulihat Pak Doni berdiri kesal menatapku yang terus bersembunyi. Aku tak peduli jika punggung tanganku kembali berdarah. Selang infus kembali terlepas. Rasanya perih dan sakit. "Silahkan Bapak pulang dulu! Kembali nanti kalau dia sudah membaik!" ucap wanita berjilbab itu berusaha selembut mungkin. Aku yakin dia tengah kesal karena Pak Doni memaksaku. Sementara lelaki berkacamata dan rekannya hanya mematung melihatku yang ketakutan. "Baiklah! Tapi dia harus pulang sama saya. Saya khawatir Bapaknya akan menemukan dia di sini. Bapaknya ... ah, benar-benar bejat dia!"Aku mengintip betapa Pak Doni seolah merasa sangat sedih. Seolah dia ikut membayangkan bagaimana kejamnya Bapak. Padahal .... Segera kusembunyikan wajah saat Pak D
"Jangan sentuh dia!"Pak Doni yang sudah hampir mendekatiku menghentikan langkah dan menoleh ke belakang, tempat Kak Nisa yang berteriak mencegahnya. "Jago! Suruh temen kamu ini pulang!" bentak Kak Nisa pada Kak Jago yang masih bengong. "Hei, aku gurunya! Aku yang selama ini membiayai sekolahnya. Kalau bukan karena aku yang menutup biaya SPP-nya, memberinya baju, tas, dan buku dia tidak akan sekolah!"Aku terdiam, berpegangan pada ranjang di belakangku. Ya, memang selama ini Pak Doni lah yang membantuku, tapi apa lantas ... ah, apakah perbuatan baik selalu meminta imbalan?"Saya tidak peduli! Pergi atau saya panggil satpam?" Kak Nisa mendelik ke arah Pak Doni yang justru menatap Kak Jago, seolah meminta bantuan. Kak Jago hanya diam. Entah apa maksudnya. "Satpam!" teriak Kak Nisa. "Oke!" Pak Doni melangkah menjauhiku. Sekilas dia mendelik ke arahku sebelum akhirnya keluar diantar Kak Jago. Sepening
"Sini Kaina, sama Ibu!"Ibu merebut paksa Kinara dari pelukanku. Ibu juga melirik Kak Nisa yang sejak tadi memperhatikanku. Apa Kak Nisa melihat luka Kinara juga?Kulihat Ibu mengusap-usap luka Kinara, mencoba membuat bocah itu tenang. Namun kini aku yang tidak tenang. Luka karena apa itu?Tak lama kemudian Kak Nisa pamit. Dia ijin karena akan ada orang tua yang akan mengadopsi anak panti katanya. Dia harus segera kembali ke panti. Sebelum pulang, aku refleks memeluk Kak Nisa. Aku menangis di pelukannya. "Leena boleh tinggal di sana kan nanti?" tanyaku pelan. Kak Nisa mengangguk. "Kalau ada apa-apa langsung ke sana aja, ya!"ucapnya pelan yang mungkin hanya didengar olehku. Aku mengangguk cepat. Kak Nisa lantas pergi dengan ojek yang tadi kami sewa. Darinya aku baru tahu jika bangunan yang sering kulewati dulu adalah sebuah panti asuhan. Letaknya memang agak jauh dari rumahku. Hampir setiap ha
Aku langsung berlari kembali ke kamar dan memeluk tubuh di pojokkan. Kubekap mulut serapat mungkin, menyembunyikan tangis. Apa yang dilakukan Bapak dengan pakaian dalam kami?Jantungku seolah berhenti berdetak saat kudengar langkah kaki mendekati kamarku. Terus kuperhatikan pintu menunggu bayangan seseorang mendekati kamar. Benar saja, siluet Bapak mendekati pintu dan memegang gorden, hingga ....Suara pintu yang diketuk membuat bapak urung membuka kain gorden. Terdengar langkahnya menjauhi kamarku dan menuju depan. Rupanya Ibu baru pulang. Aku bernapas lega. Tidak ada percakapan. Ibu sepertinya langsung tidur dan bapak menyusul. Aku? Apakah aku punya alasan untuk tidak takut?Berbagai pikiran seolah meracuniku. Kelakuan Bapak yang aneh ditambah trauma karena perlakuan seorang lelaki dewasa membuat mataku tak kunjung terpejam. Semua bayangan menjijikkan tentang Pak Doni, perlakuan Bapak, hingga nasib Tino terus bergantian berp
Keesokan paginya Bapak kembali menungguku di depan rumah, di atas motor. Tidak ada pertanyaan mengapa aku kemarin pulang lebih dulu. Lelaki kurus itu hanya diam. Kali ini aku mengenakan celana jeans panjang dan kemeja panjang pemberian Kak Nisa. Aku bahkan menyelipkan sebuah jarum pentul di retsleting celana. Ya, aku harus bisa melindungi diri. Tidak boleh takut dan harus berani menghadapi apa saja yang akan terjadi nanti. Seperti kemarin, sepanjang perjalanan aku dan bapak tiriku hanya diam. Dia fokus ke jalan, aku fokus ke sekitar dan tentu saja pikiranku. Bagaimana kalau Pak Doni datang lagi?Bagaimana kalau Bapak juga di sana?Bagaimana kalau mereka berdua kembali melakukan hal yang tidak-tidak padaku?Ah, andai aku berteriak meminta tolong, adakah yang peduli?"Ibu pikir kamu nggak ke sini lagi?" ucap wanita pemilik rumah makan yang kemudian kutahu bernama Bu Mira. Wanita bertubuh gemuk itu langsung men
"Kamu kerja apa?" tanyaku pada Tino yang tengah berganti pakaian. Sebenarnya bukan ganti pakaian, hanya sedang mengenakan jaket kulit usang yang sedikit kebesaran di tubuh kurusnya. Celana jeans panjang belel dan kaus hitam yang berlubang di bagian punggung. "Kerja apa saja yang penting aku bisa makan!" jawabnya membuatku terdiam. "Lama?"Tino mengangguk. "Mungkin tengah malam aku pulang.""Aku?""Kenapa kamu?""Aku bagaimana?" Jujur aku takut jika harus tinggal sendiri di rumah ini. Bukan karena ada makam ibu Tino dan makam Kinara, tapi karena rumah ini memang jauh dari keramaian. Berada di tengah semak belukar yang akan tampak menyeramkan di malam hari. "Kamu takut?"Aku mengangguk cepat. "Terus, kamu mau ke mana?"Aku menggeleng. "Mau kuantar pulang?"Aku diam. Pulang? Apakah aku masih punya tempat untuk pulang?Entahlah!
"Kamu mau bunuh diri?"Aku diam, memeluk Kinara seerat mungkin. "Ayo, kuantar pulang!"Tino mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Aku hanya diam, menatap telapak tangannya, lantas menggeleng. "Kenapa?"Aku menggeleng lagi. Kudengar dia menghela napas panjang dan duduk bersila di depanku. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat jelas wajahnya. Wajah yang sudah lama tidak kulihat. Lama tak melihatnya, Tino kurus yang dulu dekil dan masih terlihat seperti bocah kurang gizi, kini sedikit berubah. Suaranya lebih besar dengan tubuh yang sedikit lebih tinggi. Rambutnya dibiarkan panjang seleher dengan bagian depan yang nyaris menutupi mata. Dia yang dulu kukenal pendiam nyatanya banyak bicara juga. Dia bahkan seolah sudah sangat akrab denganku. "Mau pulang nggak?"Aku menggeleng. "Aku tidak punya rumah!""Ehm ....""Terus adik kamu mau diapain? Mau dibiarin jadi bangkai!"
Aku terduduk lemas di lantai lorong Rumah Sakit. Tubuhku seolah tak bertulang. Hidupku hancur, tak berbentuk. Duniaku mendadak gelap dan hampa. Aku hanya diam saat beberapa petugas Rumah Sakit mendekatiku dan membantuku berdiri. Mereka membopongku memasuki sebuah ruangan dan meletakkanku di ranjang bersprei putih. "Dia pendarahan!"Aku hanya diam. Saat tangan-tangan asing itu memasang berbagai alat dan menusukkan jarum ke tubuhku. Kurasakan perih dan nyeri bersamaan di bawah sana. Mereka melepas pakaianku dan saling berbisik yang tidak bisa kudengar. Lambat laun penglihatanku kabur dan semakin lama semakin gelap. ****"Rumahmu di mana? Biar kami antar!"Aku menggeleng lemah. Rumah? Aku tidak punya!"Orang tuamu?"Aku menggeleng lagi. Apa aku punya orang tua? Punya, hanya saja mereka tidak seperti orang tua. Orang tua mana yang tega menjual dan membiarkan anaknya meregang nya
Dengan ditemani Kak Nisa aku mencari Kinara. Aku ingin memastikan kondisi adikku itu. Menurut Kak Nisa Kinara mengalami pendarahan parah akibat benturan benda tumpul. Entah apa yang dilakukan Bapak pada adikku itu. Kami sampai di ruang rawat khusus anak-anak. Dengan petunjuk resepsionis kami mencari ranjang tempat Kinara dirawat. Namun kami menemukan hal lain. "Dia bukan Kinara!" ucapku pada Kak Nisa yang juga menatap lekat pada bocah lelaki dengan perban di kepala. Usianya mungkin sekitar lima tahun. Itu jelag bukan Kinara."Maaf, Bu, pasien sebelum ibu yang di sini dipindah ke mana, ya?"Ibu dari bocah itu malah menatap kami dengan tatapan tidak suka dan sedikit curiga. Bukannya menjawab dia malah mendekap anaknya erat-erat seolah takut kami akan mengambilnya. Kak Nisa menarik lenganku, mengajakku menjauh. Hingga kemudian kami bertemu seorang perawat. "Oh, atas nama Kinara, ya?"Aku mengangguk cepat. "Dia suda
Aku remuk. Setelah terhempas keras pada tajam dan runcingnya batu tembok kehidupan. Aku pasrah. Andai Tuhan mencabut nyawaku, aku mau. Rasa sakit yang amat sangat seolah tak menginjinkan aku tak merasakannya. Rasa sakit di sekujur tubuh semakin terasa karena aku semakin tersadar. Sadar akan rasa sakit dari orang-orang berhati iblis. Pak DoniBapak kandungku sendiriDan ....Ibu? Ya kenapa baru kusadari jika sebelum kejadian itu Ibu seolah sengaja meninggalkanku sendiri di rumah? Ibu juga berdebat tentang hutang dan orang yang memberinya uang. Apakah yang dia maksud adalah bapak dan Pak Doni?Lalu, bukankah keduanya sudah ditangkap? Atau dipenjara? Lalu mengapa mereka ada di luar? Bebas?Lagi-lagi aku terdampar di tempat yang tidak kukenali. Ruangan bercat putih dengan bau obat yang menyengat. Ada suara berisik dari alat yang entah apa namanya. Tanganku kebas, tak mampu kugerakkan. Begitu juga seluruh tubuh yang ka
Aku termenung di kamar. Berbaring di sebelah nenek yang sudah memejamkan mata. Di sebelahku ada Kinara yang masih sibuk bermain dengan boneka buruknya. Padahal sudah hampir jam sepuluh malam. Pikiranku menerawang. Berbagai kejadian yang menimpaku seolah memenuhi otak. Membuatnya hendak meledak.Pak Doni ....Bapak kandung ....Kak Nisa ....Ibu ....Hingga bapak tiriku. "Jangan, San! Aku mohon!"Aku terkesiap. Suara kursi yang ambruk dan daun pintu yang dibanting terdengar jelas. "Lalu harus bagaimana? Kamu pikir uang hasil ngojek cukup?""Besok aku carikan lagi!""Dia sudah kasih aku uang!"Apa yang Ibu dan Bapak debatkan?"Dia itu anakmu!""Iya. Dia memang anakku dan aku punya hak melakukan apapun ke dia!"Kudengar langkah ibu ke arah kamar tempatku berbaring. Gorden pintu disibak, Ibu muncul di ambang pintu. "Sini kamu!" Aku bangkit dan mendeka
Aku hanya menatap kosong ke arah meja yang berisi beragam makanan lezat. Bahkan beberapa jenis makanan yang dihidangkan Kak Nisa belum pernah kulihat sebelumnya. Aku tak berminat menyantapnya, melihatnya saja aku tidak bertenaga. Duniaku terasa hampa, tanpa suara sedikit pun. Semua pun mendadak kelam dan gelap. Tidak ada satu pun yang kupikirkan, selain ... aku ingin mati!Dari Kak Nisa dan pembicaraan beberapa orang yang tidak kukenal, aku sudah ditampung di sebuah panti. Entah panti apa dan di mana. "Bapak dan Pak Doni sudah diproses secara hukum. Mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Kamu aman di sini!"Apa aku percaya? Sepertinya tidak!Jika aku aman, mengapa orang-orang baru itu seolah menatapku jijik. Beberapa orang mengarahkan ponsel dan kamera dengan cahaya silau yang sesekali menyala. Mereka juga sibuk berbicara di depan kamera sembari menyorot ke arahku. Apa yang mereka lakukan?"Ada ibumu!" Duniaku
"Kak Nisa?" panggilku pada Kak Nisa yang sudah berlari mendahuluiku. Dia berhenti lantas menoleh padaku, menatapku bingung seolah bertanya, ada apa?Mataku tak beralih dari kaus putih di depanku, kulihat Kak Nisa juga menatapnya. "Itu—""Kalian di sini?"Aku terkejut lantas menoleh ke belakang. Ada Kak Jago dan ....Aku langsung berlari mendekati Kak Nisa yang juga kulihat terkejut. Ya, Kak Jago mendekati kami bersama Pak Doni dan Bapak. Pak Doni sudah mengenakan perban di matanya. Sementara Bapak terlihat terengah-engah seperti baru saja mengejar sesuatu. Keduanya menyeringai ke arahku. Seringai yang tak dilihat oleh Kak Jago. "Leena, kamu dicari bapak sama guru ini!"Aku menggeleng. "Katanya kamu udah berhari-hari nggak sekolah, juga nggak pulang ke rumah!""Nggak!" gumamku dengan tubuh yang semakin gemetar. Kucengkeram ujung baju Kak Nisa, mencari perlindungan. "Nggak! Mereka b
Keesokan paginya Bapak kembali menungguku di depan rumah, di atas motor. Tidak ada pertanyaan mengapa aku kemarin pulang lebih dulu. Lelaki kurus itu hanya diam. Kali ini aku mengenakan celana jeans panjang dan kemeja panjang pemberian Kak Nisa. Aku bahkan menyelipkan sebuah jarum pentul di retsleting celana. Ya, aku harus bisa melindungi diri. Tidak boleh takut dan harus berani menghadapi apa saja yang akan terjadi nanti. Seperti kemarin, sepanjang perjalanan aku dan bapak tiriku hanya diam. Dia fokus ke jalan, aku fokus ke sekitar dan tentu saja pikiranku. Bagaimana kalau Pak Doni datang lagi?Bagaimana kalau Bapak juga di sana?Bagaimana kalau mereka berdua kembali melakukan hal yang tidak-tidak padaku?Ah, andai aku berteriak meminta tolong, adakah yang peduli?"Ibu pikir kamu nggak ke sini lagi?" ucap wanita pemilik rumah makan yang kemudian kutahu bernama Bu Mira. Wanita bertubuh gemuk itu langsung men