Aku langsung berlari kembali ke kamar dan memeluk tubuh di pojokkan. Kubekap mulut serapat mungkin, menyembunyikan tangis. Apa yang dilakukan Bapak dengan pakaian dalam kami?Jantungku seolah berhenti berdetak saat kudengar langkah kaki mendekati kamarku. Terus kuperhatikan pintu menunggu bayangan seseorang mendekati kamar. Benar saja, siluet Bapak mendekati pintu dan memegang gorden, hingga ....Suara pintu yang diketuk membuat bapak urung membuka kain gorden. Terdengar langkahnya menjauhi kamarku dan menuju depan. Rupanya Ibu baru pulang. Aku bernapas lega. Tidak ada percakapan. Ibu sepertinya langsung tidur dan bapak menyusul. Aku? Apakah aku punya alasan untuk tidak takut?Berbagai pikiran seolah meracuniku. Kelakuan Bapak yang aneh ditambah trauma karena perlakuan seorang lelaki dewasa membuat mataku tak kunjung terpejam. Semua bayangan menjijikkan tentang Pak Doni, perlakuan Bapak, hingga nasib Tino terus bergantian berp
Keesokan paginya Bapak kembali menungguku di depan rumah, di atas motor. Tidak ada pertanyaan mengapa aku kemarin pulang lebih dulu. Lelaki kurus itu hanya diam. Kali ini aku mengenakan celana jeans panjang dan kemeja panjang pemberian Kak Nisa. Aku bahkan menyelipkan sebuah jarum pentul di retsleting celana. Ya, aku harus bisa melindungi diri. Tidak boleh takut dan harus berani menghadapi apa saja yang akan terjadi nanti. Seperti kemarin, sepanjang perjalanan aku dan bapak tiriku hanya diam. Dia fokus ke jalan, aku fokus ke sekitar dan tentu saja pikiranku. Bagaimana kalau Pak Doni datang lagi?Bagaimana kalau Bapak juga di sana?Bagaimana kalau mereka berdua kembali melakukan hal yang tidak-tidak padaku?Ah, andai aku berteriak meminta tolong, adakah yang peduli?"Ibu pikir kamu nggak ke sini lagi?" ucap wanita pemilik rumah makan yang kemudian kutahu bernama Bu Mira. Wanita bertubuh gemuk itu langsung men
"Kak Nisa?" panggilku pada Kak Nisa yang sudah berlari mendahuluiku. Dia berhenti lantas menoleh padaku, menatapku bingung seolah bertanya, ada apa?Mataku tak beralih dari kaus putih di depanku, kulihat Kak Nisa juga menatapnya. "Itu—""Kalian di sini?"Aku terkejut lantas menoleh ke belakang. Ada Kak Jago dan ....Aku langsung berlari mendekati Kak Nisa yang juga kulihat terkejut. Ya, Kak Jago mendekati kami bersama Pak Doni dan Bapak. Pak Doni sudah mengenakan perban di matanya. Sementara Bapak terlihat terengah-engah seperti baru saja mengejar sesuatu. Keduanya menyeringai ke arahku. Seringai yang tak dilihat oleh Kak Jago. "Leena, kamu dicari bapak sama guru ini!"Aku menggeleng. "Katanya kamu udah berhari-hari nggak sekolah, juga nggak pulang ke rumah!""Nggak!" gumamku dengan tubuh yang semakin gemetar. Kucengkeram ujung baju Kak Nisa, mencari perlindungan. "Nggak! Mereka b
Aku hanya menatap kosong ke arah meja yang berisi beragam makanan lezat. Bahkan beberapa jenis makanan yang dihidangkan Kak Nisa belum pernah kulihat sebelumnya. Aku tak berminat menyantapnya, melihatnya saja aku tidak bertenaga. Duniaku terasa hampa, tanpa suara sedikit pun. Semua pun mendadak kelam dan gelap. Tidak ada satu pun yang kupikirkan, selain ... aku ingin mati!Dari Kak Nisa dan pembicaraan beberapa orang yang tidak kukenal, aku sudah ditampung di sebuah panti. Entah panti apa dan di mana. "Bapak dan Pak Doni sudah diproses secara hukum. Mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Kamu aman di sini!"Apa aku percaya? Sepertinya tidak!Jika aku aman, mengapa orang-orang baru itu seolah menatapku jijik. Beberapa orang mengarahkan ponsel dan kamera dengan cahaya silau yang sesekali menyala. Mereka juga sibuk berbicara di depan kamera sembari menyorot ke arahku. Apa yang mereka lakukan?"Ada ibumu!" Duniaku
Aku termenung di kamar. Berbaring di sebelah nenek yang sudah memejamkan mata. Di sebelahku ada Kinara yang masih sibuk bermain dengan boneka buruknya. Padahal sudah hampir jam sepuluh malam. Pikiranku menerawang. Berbagai kejadian yang menimpaku seolah memenuhi otak. Membuatnya hendak meledak.Pak Doni ....Bapak kandung ....Kak Nisa ....Ibu ....Hingga bapak tiriku. "Jangan, San! Aku mohon!"Aku terkesiap. Suara kursi yang ambruk dan daun pintu yang dibanting terdengar jelas. "Lalu harus bagaimana? Kamu pikir uang hasil ngojek cukup?""Besok aku carikan lagi!""Dia sudah kasih aku uang!"Apa yang Ibu dan Bapak debatkan?"Dia itu anakmu!""Iya. Dia memang anakku dan aku punya hak melakukan apapun ke dia!"Kudengar langkah ibu ke arah kamar tempatku berbaring. Gorden pintu disibak, Ibu muncul di ambang pintu. "Sini kamu!" Aku bangkit dan mendeka
Aku remuk. Setelah terhempas keras pada tajam dan runcingnya batu tembok kehidupan. Aku pasrah. Andai Tuhan mencabut nyawaku, aku mau. Rasa sakit yang amat sangat seolah tak menginjinkan aku tak merasakannya. Rasa sakit di sekujur tubuh semakin terasa karena aku semakin tersadar. Sadar akan rasa sakit dari orang-orang berhati iblis. Pak DoniBapak kandungku sendiriDan ....Ibu? Ya kenapa baru kusadari jika sebelum kejadian itu Ibu seolah sengaja meninggalkanku sendiri di rumah? Ibu juga berdebat tentang hutang dan orang yang memberinya uang. Apakah yang dia maksud adalah bapak dan Pak Doni?Lalu, bukankah keduanya sudah ditangkap? Atau dipenjara? Lalu mengapa mereka ada di luar? Bebas?Lagi-lagi aku terdampar di tempat yang tidak kukenali. Ruangan bercat putih dengan bau obat yang menyengat. Ada suara berisik dari alat yang entah apa namanya. Tanganku kebas, tak mampu kugerakkan. Begitu juga seluruh tubuh yang ka
Dengan ditemani Kak Nisa aku mencari Kinara. Aku ingin memastikan kondisi adikku itu. Menurut Kak Nisa Kinara mengalami pendarahan parah akibat benturan benda tumpul. Entah apa yang dilakukan Bapak pada adikku itu. Kami sampai di ruang rawat khusus anak-anak. Dengan petunjuk resepsionis kami mencari ranjang tempat Kinara dirawat. Namun kami menemukan hal lain. "Dia bukan Kinara!" ucapku pada Kak Nisa yang juga menatap lekat pada bocah lelaki dengan perban di kepala. Usianya mungkin sekitar lima tahun. Itu jelag bukan Kinara."Maaf, Bu, pasien sebelum ibu yang di sini dipindah ke mana, ya?"Ibu dari bocah itu malah menatap kami dengan tatapan tidak suka dan sedikit curiga. Bukannya menjawab dia malah mendekap anaknya erat-erat seolah takut kami akan mengambilnya. Kak Nisa menarik lenganku, mengajakku menjauh. Hingga kemudian kami bertemu seorang perawat. "Oh, atas nama Kinara, ya?"Aku mengangguk cepat. "Dia suda
Aku terduduk lemas di lantai lorong Rumah Sakit. Tubuhku seolah tak bertulang. Hidupku hancur, tak berbentuk. Duniaku mendadak gelap dan hampa. Aku hanya diam saat beberapa petugas Rumah Sakit mendekatiku dan membantuku berdiri. Mereka membopongku memasuki sebuah ruangan dan meletakkanku di ranjang bersprei putih. "Dia pendarahan!"Aku hanya diam. Saat tangan-tangan asing itu memasang berbagai alat dan menusukkan jarum ke tubuhku. Kurasakan perih dan nyeri bersamaan di bawah sana. Mereka melepas pakaianku dan saling berbisik yang tidak bisa kudengar. Lambat laun penglihatanku kabur dan semakin lama semakin gelap. ****"Rumahmu di mana? Biar kami antar!"Aku menggeleng lemah. Rumah? Aku tidak punya!"Orang tuamu?"Aku menggeleng lagi. Apa aku punya orang tua? Punya, hanya saja mereka tidak seperti orang tua. Orang tua mana yang tega menjual dan membiarkan anaknya meregang nya
"Kamu kerja apa?" tanyaku pada Tino yang tengah berganti pakaian. Sebenarnya bukan ganti pakaian, hanya sedang mengenakan jaket kulit usang yang sedikit kebesaran di tubuh kurusnya. Celana jeans panjang belel dan kaus hitam yang berlubang di bagian punggung. "Kerja apa saja yang penting aku bisa makan!" jawabnya membuatku terdiam. "Lama?"Tino mengangguk. "Mungkin tengah malam aku pulang.""Aku?""Kenapa kamu?""Aku bagaimana?" Jujur aku takut jika harus tinggal sendiri di rumah ini. Bukan karena ada makam ibu Tino dan makam Kinara, tapi karena rumah ini memang jauh dari keramaian. Berada di tengah semak belukar yang akan tampak menyeramkan di malam hari. "Kamu takut?"Aku mengangguk cepat. "Terus, kamu mau ke mana?"Aku menggeleng. "Mau kuantar pulang?"Aku diam. Pulang? Apakah aku masih punya tempat untuk pulang?Entahlah!
"Kamu mau bunuh diri?"Aku diam, memeluk Kinara seerat mungkin. "Ayo, kuantar pulang!"Tino mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Aku hanya diam, menatap telapak tangannya, lantas menggeleng. "Kenapa?"Aku menggeleng lagi. Kudengar dia menghela napas panjang dan duduk bersila di depanku. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat jelas wajahnya. Wajah yang sudah lama tidak kulihat. Lama tak melihatnya, Tino kurus yang dulu dekil dan masih terlihat seperti bocah kurang gizi, kini sedikit berubah. Suaranya lebih besar dengan tubuh yang sedikit lebih tinggi. Rambutnya dibiarkan panjang seleher dengan bagian depan yang nyaris menutupi mata. Dia yang dulu kukenal pendiam nyatanya banyak bicara juga. Dia bahkan seolah sudah sangat akrab denganku. "Mau pulang nggak?"Aku menggeleng. "Aku tidak punya rumah!""Ehm ....""Terus adik kamu mau diapain? Mau dibiarin jadi bangkai!"
Aku terduduk lemas di lantai lorong Rumah Sakit. Tubuhku seolah tak bertulang. Hidupku hancur, tak berbentuk. Duniaku mendadak gelap dan hampa. Aku hanya diam saat beberapa petugas Rumah Sakit mendekatiku dan membantuku berdiri. Mereka membopongku memasuki sebuah ruangan dan meletakkanku di ranjang bersprei putih. "Dia pendarahan!"Aku hanya diam. Saat tangan-tangan asing itu memasang berbagai alat dan menusukkan jarum ke tubuhku. Kurasakan perih dan nyeri bersamaan di bawah sana. Mereka melepas pakaianku dan saling berbisik yang tidak bisa kudengar. Lambat laun penglihatanku kabur dan semakin lama semakin gelap. ****"Rumahmu di mana? Biar kami antar!"Aku menggeleng lemah. Rumah? Aku tidak punya!"Orang tuamu?"Aku menggeleng lagi. Apa aku punya orang tua? Punya, hanya saja mereka tidak seperti orang tua. Orang tua mana yang tega menjual dan membiarkan anaknya meregang nya
Dengan ditemani Kak Nisa aku mencari Kinara. Aku ingin memastikan kondisi adikku itu. Menurut Kak Nisa Kinara mengalami pendarahan parah akibat benturan benda tumpul. Entah apa yang dilakukan Bapak pada adikku itu. Kami sampai di ruang rawat khusus anak-anak. Dengan petunjuk resepsionis kami mencari ranjang tempat Kinara dirawat. Namun kami menemukan hal lain. "Dia bukan Kinara!" ucapku pada Kak Nisa yang juga menatap lekat pada bocah lelaki dengan perban di kepala. Usianya mungkin sekitar lima tahun. Itu jelag bukan Kinara."Maaf, Bu, pasien sebelum ibu yang di sini dipindah ke mana, ya?"Ibu dari bocah itu malah menatap kami dengan tatapan tidak suka dan sedikit curiga. Bukannya menjawab dia malah mendekap anaknya erat-erat seolah takut kami akan mengambilnya. Kak Nisa menarik lenganku, mengajakku menjauh. Hingga kemudian kami bertemu seorang perawat. "Oh, atas nama Kinara, ya?"Aku mengangguk cepat. "Dia suda
Aku remuk. Setelah terhempas keras pada tajam dan runcingnya batu tembok kehidupan. Aku pasrah. Andai Tuhan mencabut nyawaku, aku mau. Rasa sakit yang amat sangat seolah tak menginjinkan aku tak merasakannya. Rasa sakit di sekujur tubuh semakin terasa karena aku semakin tersadar. Sadar akan rasa sakit dari orang-orang berhati iblis. Pak DoniBapak kandungku sendiriDan ....Ibu? Ya kenapa baru kusadari jika sebelum kejadian itu Ibu seolah sengaja meninggalkanku sendiri di rumah? Ibu juga berdebat tentang hutang dan orang yang memberinya uang. Apakah yang dia maksud adalah bapak dan Pak Doni?Lalu, bukankah keduanya sudah ditangkap? Atau dipenjara? Lalu mengapa mereka ada di luar? Bebas?Lagi-lagi aku terdampar di tempat yang tidak kukenali. Ruangan bercat putih dengan bau obat yang menyengat. Ada suara berisik dari alat yang entah apa namanya. Tanganku kebas, tak mampu kugerakkan. Begitu juga seluruh tubuh yang ka
Aku termenung di kamar. Berbaring di sebelah nenek yang sudah memejamkan mata. Di sebelahku ada Kinara yang masih sibuk bermain dengan boneka buruknya. Padahal sudah hampir jam sepuluh malam. Pikiranku menerawang. Berbagai kejadian yang menimpaku seolah memenuhi otak. Membuatnya hendak meledak.Pak Doni ....Bapak kandung ....Kak Nisa ....Ibu ....Hingga bapak tiriku. "Jangan, San! Aku mohon!"Aku terkesiap. Suara kursi yang ambruk dan daun pintu yang dibanting terdengar jelas. "Lalu harus bagaimana? Kamu pikir uang hasil ngojek cukup?""Besok aku carikan lagi!""Dia sudah kasih aku uang!"Apa yang Ibu dan Bapak debatkan?"Dia itu anakmu!""Iya. Dia memang anakku dan aku punya hak melakukan apapun ke dia!"Kudengar langkah ibu ke arah kamar tempatku berbaring. Gorden pintu disibak, Ibu muncul di ambang pintu. "Sini kamu!" Aku bangkit dan mendeka
Aku hanya menatap kosong ke arah meja yang berisi beragam makanan lezat. Bahkan beberapa jenis makanan yang dihidangkan Kak Nisa belum pernah kulihat sebelumnya. Aku tak berminat menyantapnya, melihatnya saja aku tidak bertenaga. Duniaku terasa hampa, tanpa suara sedikit pun. Semua pun mendadak kelam dan gelap. Tidak ada satu pun yang kupikirkan, selain ... aku ingin mati!Dari Kak Nisa dan pembicaraan beberapa orang yang tidak kukenal, aku sudah ditampung di sebuah panti. Entah panti apa dan di mana. "Bapak dan Pak Doni sudah diproses secara hukum. Mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Kamu aman di sini!"Apa aku percaya? Sepertinya tidak!Jika aku aman, mengapa orang-orang baru itu seolah menatapku jijik. Beberapa orang mengarahkan ponsel dan kamera dengan cahaya silau yang sesekali menyala. Mereka juga sibuk berbicara di depan kamera sembari menyorot ke arahku. Apa yang mereka lakukan?"Ada ibumu!" Duniaku
"Kak Nisa?" panggilku pada Kak Nisa yang sudah berlari mendahuluiku. Dia berhenti lantas menoleh padaku, menatapku bingung seolah bertanya, ada apa?Mataku tak beralih dari kaus putih di depanku, kulihat Kak Nisa juga menatapnya. "Itu—""Kalian di sini?"Aku terkejut lantas menoleh ke belakang. Ada Kak Jago dan ....Aku langsung berlari mendekati Kak Nisa yang juga kulihat terkejut. Ya, Kak Jago mendekati kami bersama Pak Doni dan Bapak. Pak Doni sudah mengenakan perban di matanya. Sementara Bapak terlihat terengah-engah seperti baru saja mengejar sesuatu. Keduanya menyeringai ke arahku. Seringai yang tak dilihat oleh Kak Jago. "Leena, kamu dicari bapak sama guru ini!"Aku menggeleng. "Katanya kamu udah berhari-hari nggak sekolah, juga nggak pulang ke rumah!""Nggak!" gumamku dengan tubuh yang semakin gemetar. Kucengkeram ujung baju Kak Nisa, mencari perlindungan. "Nggak! Mereka b
Keesokan paginya Bapak kembali menungguku di depan rumah, di atas motor. Tidak ada pertanyaan mengapa aku kemarin pulang lebih dulu. Lelaki kurus itu hanya diam. Kali ini aku mengenakan celana jeans panjang dan kemeja panjang pemberian Kak Nisa. Aku bahkan menyelipkan sebuah jarum pentul di retsleting celana. Ya, aku harus bisa melindungi diri. Tidak boleh takut dan harus berani menghadapi apa saja yang akan terjadi nanti. Seperti kemarin, sepanjang perjalanan aku dan bapak tiriku hanya diam. Dia fokus ke jalan, aku fokus ke sekitar dan tentu saja pikiranku. Bagaimana kalau Pak Doni datang lagi?Bagaimana kalau Bapak juga di sana?Bagaimana kalau mereka berdua kembali melakukan hal yang tidak-tidak padaku?Ah, andai aku berteriak meminta tolong, adakah yang peduli?"Ibu pikir kamu nggak ke sini lagi?" ucap wanita pemilik rumah makan yang kemudian kutahu bernama Bu Mira. Wanita bertubuh gemuk itu langsung men