Home / Lainnya / Aku Jual Diri karena Ibuku / Cerita (mabuk) Bapak

Share

Cerita (mabuk) Bapak

Author: Kutudollar
last update Last Updated: 2023-11-18 15:30:55

Hari ini aku tidak sekolah. Satu-satunya seragamku basah setelah adegan siram-siraman bersama Ibu kemarin. Cuaca yang tidak panas membuat seragam yang kugantung di belakang tidak kering. Biarlah! Tak sekolah sehari tidak masalah. Bukankah tidak ada yang peduli aku sekolah atau tidak. Ya ... meski aku sangat menyayangkan. Aku pasti ketinggalan pelajaran hari ini.

Tidak ada yang bisa kulakukan selain membantu ibu membersihkan rumah. Pagi sekali Ibu sudah menuju rumah orang kaya untuk mencuci baju dan menyetrika. Tentu saja dengan Kaina dalam gendongan.

Nenek sudah membaik. Dia sudah duduk di tepi ranjang. Aku hanya melihatnya sekilas. Entahlah, sejak kejadian kemarin aku berubah pandangan pada nenek. Bukan benci, tapi kasihan yang terlalu dalam.

"Tidak ada yang mau merawat nenek lagi selain Ibumu!"

Kalimat nenek saat kutanya mengapa menangis terus terbayang.

Ke mana saudara ibu yang lain?

Lalu mengapa ibu mau menerima nenek? Bukankah Ibu sudah tidak dianggap anak lagi?

Ah, mungkin suatu saat aku akan tahu dengan sendirinya.

Brak!

Aku yang tengah mencuci pakaian di belakang terkejut. Pintu terbuka lebar, Bapak sempoyongan memasuki rumah. Dia pasti mabuk lagi!

"LEENA!"

Aku terkesiap bangun lantas mendekat. Bapak berdiri lemas bersandar tembok.

"Mana Ibumu?" tanyanya dengan suara parau.

"Ambil cucian, Pak!" jawabku gemetar.

"Sini kamu!"

Tangan Bapak melambai ke arahku, memintaku mendekat. Aku melangkah ragu-ragu dan takut.

Apa yang Bapak inginkan?

"Heh, sudah besar, kau, ya?"

Aku diam. Bapak memegang pundakku. Perlahan dia memutar tubuhku, memperhatikan tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Apa maksudnya?

Bapak lantas menunduk, mendekatkan wajah denganku. Aku bisa mencium aroma minuman beralkohol dari mulutnya. Dia terkekeh menatapku. "Sudah besar, harusnya cari duit," ucapnya pelan. "Bukan sekolah aja!" Bapak mendorong kepalaku pelan lantas berjalan sempoyongan menuju kursi dan mendudukinya.

"Ah ... hidup miskin itu tidak enak!" ucapnya lantas bersendawa. Aroma alkohol menguar tajam. "Apa kamu mau terus hidup miskin begini, hah?" Bapak menatapku, aku hanya menunduk.

"Sini kamu!"

Aku meremas ujung baju, gemetar, takut, dan perlahan mendekat. Bapak memegang bahuku dengan erat. "Kamu itu kayak ibumu!"

Aku diam.

"Pemalas! Tahunya duit saja!"

Bapak mendorong tubuhku pelan untuk menjauh. Aku mundur beberapa langkah, menghindari jika saja bapak melakukan sesuatu padaku.

"Tapi dia baik!"

Aku diam, mendengarkan.

"Emaknya yang kayak setan malah dirawat sampai sekarang!'

Aku mendongak.

Emak setan?

"Padahal dulu dia menghinaku habis-habisan. Benar-benar habis!"

Bapak menyandarkan kepala di sandaran kursi kayu. Tatapannya menerawang jauh, seolah mengingat sesuatu.

"Kamu tahu? Aku bahkan pernah membuang nenek itu!" Bapak menoleh ke arah belakang, tempat nenek terbaring. Mataku mengikuti arah tatapan Bapak. Kulihat nenek terpejam. Mungkin tidur. Entah sejak kapan nenek sudah berbaring, padahal tadi masih duduk melihatku mencuci pakaian.

"Tch, Ibumu ngamuk. Mengancam akan meninggalkanku jika aku tidak segera membawa pulang si renta itu pulang. Ya, padahal aku hanya membuangnya di tumpukkan sampah belakang. Haha ...."

Aku menunduk.

Apa benar seperti itu?

"Aku membencinya, sampai sekarang! Hatiku ...." Bapak menepuk dadanya berkali-kali. "Masih sakit. Sangat sakit!" sambungnya.

Bapak menuang air dari teko ke gelas dan meneguknya.

"Padahal ibumu hamil itu juga karena dia yang meminta untuk melakukannya! Aku sih, ya ... mau-mau aja, haha. Tapi nenek renta itu terus menyalahkanku!"

Aku menunduk.

Lalu, apakah aku hasil dari mereka?

"Sebenarnya ...." Bapak menatapku. "Aku ragu kalau kamu itu anakku!"

Aku tersentak.

Apa maksudnya?

"Ya ... Ibumu kan cantik. Banyak yang suka. Bisa aja kan dia tidur dengan lelaki lain!"

Aku menelan ludah.

"Haha, tak apa. Kamu tetap anakku!"

Bapak lantas memejamkan mata. Mungkin kepalanya semakin pusing. Sementara aku hanya bengong, berusaha mencerna semua yang diucapkan Bapak.

Haruskah aku percaya?

****

Menjelang siang Ibu baru pulang. Dia membawa sebungkus nasi yang diletakkan di meja tengah. Ibu memintaku membaginya dengan Kinara. Aku manut. Kubawa sebungkus nasi itu ke belakang, di samping nenek. Kuajak serta Kinara untuk kusuapi.

Aku menelan ludah dengan susah payah. Jemariku seolah tak kuasa menyuapkan nasi dengan lauk tempe kecap itu. Bukan karena porsinya yang hanya cukup dimakan Kinara, tapi kondisi nasi yang sepertinya hampir basi. Ya, tekstur nasinya lembek dan sedikit berair. Aku tidak tega untuk mencium aromanya.

Air mataku sukses mengalir saat satu suapan berhasil masuk ke mulut Kinara yang sudah sejak tadi menunggu. Bocah itu mengunyah pelan sembari menatapku. Kuambil satu suapan lagi, lantas kuberikan pada nenek. Mulutnya bergerak pelan mengunyah. Jelas terlihat di matanya jika nasi yang kusuapkan memang tidak enak.

Aku mengusap air mata dengan cepat saat Ibu melewatiku menuju pemandian. Sepertinya Kaina sudah tidur.

"Nggak sekolah kamu?"

Aku menoleh. "Nggak, Bu."

Ibu diam. Mungkin dia sudah menemukan jawaban mengapa aku tidak sekolah saat melihat seragamku terjemur di belakang.

"Nanti jual nasi uduk lagi!"

Aku hanya mengangguk.

Nasi di depanku masih tersisa banyak. Namun Kinara sudah tidak mau kusuapi. Begitu juga nenek. Aku menelan ludah menatap nasi yang sudah kucampur dengan beberapa iris tempe yang tersisa. Jemariku tak henti mencampur nasi dan tempe, seolah dengan begitu akan terlihat lebih menggoda untuk kumakan. Ya, sejak tadi belum ada satu suapan pun yang masuk ke perutku. Aku takut nasi itu tidak akan cukup jika aku ikut memakannya. Ditambah kondisinya yang tidak memungkinkan untuk kusantap. Namun, jika nenek dan Kinarabisa memakannya, mengapa aku tidak? Toh sejak kemarin tidak ada yang masuk perutku.

Kubawa sisa nasi ke dapur. Kutuang sedikit garam di atasnya lantas kembali menguleninya. Air mataku tak henti mengalir saat satu suapan sukses masuk ke mulutku. Perutku meronta, hendak muntah. Namun dengan kuat kutahan. Entah bagaimana perasaan Ibu jika aku sampai memuntahkan nasi pemberiannya.

Tuhan, tidak adakah makanan lain yang Kau sediakan di luar sana untuk kami?

Akhirnya nasi habis tak tersisa. Meski dengan berderai air mata, aku berusaha menghabiskannya. Urusan sakit perut, biarlah terjadi nanti. Toh, nasi tadi belum benar-benar basi. Lagipula sudah biasa kan makan makanan seperti ini? Makanan yang entah darimana Ibu mendapatkannya.

Hingga menjelang sore, aku membantu Ibu membuat nasi uduk lagi. Sepertinya Ibu baru saja mendapatkan bayaran sedikit banyak untuk membeli beras dan lauk nasi uduk. Bagi Ibu uang yang didapat harus diputar lagi, agar bertambah. Salah satunya dengan menjual nasi uduk seperti ini.

****

"Nasi uduk!"

Aku berteriak nyaring dengan sepuluh nasi uduk di tampah atas kepalaku. Beruntung baru setengah jalan sudah ada tiga bungkus nasi yang terjual. Itu cukup membuat semangatku berkobar. Aku terus berjalan, meski panas sore hari cukup menyengat.

"Nasi uduk!"

Tenggorokanku mulai kering. Namun kali ini aku membawa air minum sendiri sebagai bekal.

Prang ....

"Kenapa kau tidak pergi saja bersama ibumu itu, hah!"

Aku terkesiap saat sebuah piring seng dilempar hingga ke jalanan. Seorang anak lelaki keluar dari rumah berdinding papan. Dia memeluk dirinya sendiri, ketakutan.

"Pergi saja, kau! Menyusahkan saja!"

Daun pintu dibanting dengan kuat. Membuat bocah lelaki seusiaku itu semakin ketakutan. Aku mematung, terus memperhatikannya. Hingga kemudian dia melihat keberadaanku.

Dia ...?

Bukankah dia bocah yang memberiku botol bekas kemarin di sekolah?

Aku terus memperhatikannya dengan seksama. Tubuh kurusnya sedikit membungkuk dengan celana kolor gombrang yang robek di bagian samping dan tak mengenakan baju. Kulit hitam dan kusamnya terlihat jelas. Membungkus tulang iga dan bahu yang menonjol jelas.

"Apa? Pergi sana!"

Aku terkejut karena bentakkannya. Belum juga sadar dari lamunanku, dia melempar sebuah batu kecil ke arahku. Tak ingin terluka aku lantas melangkah cepat meninggalkannya.

Dia kenapa?

....

Bersambung

Related chapters

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Tino dan Pak Doni

    Sore itu aku berhasil menjual seluruh nasi uduk. Ya, meski aku harus pulang saat adzan maghrib sudah berkumandang. Ibu pun tidak marah karena aku pulang terlambat. Mungkin karena aku berhasil kali ini. Ibu bahkan sudah menyiapkan nasi hangat—yang masih bagus—dan sayur asem. Selepas mandi aku makan dengan nikmat. Semakin nikmat saat kutahu nenek dan adikku juga sudah makan. Hanya Bapak yang entah ke mana. "Siapa yang kasih kamu sepatu?"Aku yang tengah menyiapkan peralatan sekolah menoleh ke arah Ibu yang tengah menidurkan Kinara. "Pak Doni.""Siapa dia?""Guru olahragaku, Bu."Ibu diam. Aku lantas menatap sepatu pemberian Pak Doni dan sepatu lamaku yang kuletakkan di bawah rak. Selamat tinggal sepatu buaya.****Langkahku terasa ringan. Sepatu pemberian Pak Doni sedikit kebesaran, tapi aku menyumpalnya dengan gumpalan kertas agar tidak terlepas ketika berjalan. Hingga kemudian langkahku sam

    Last Updated : 2023-11-18
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Harga Satu Stel Seragam Bekas

    Entah mengapa aku ingin menoleh. Melihat keberadaan Tino yang berjalan menuju kelas. Apakah dia sudah sampai? Bukan, aku menoleh karena ingin tahu apa dia juga sedang melihat ke arahku. Perlahan aku menoleh. Benar saja. Tino yang sudah agak jauh, tengah menatapku. Kami bersitatap, meski tidak terlalu jelas karena jarak yang jauh. Namun aku dengan jelas melihat dia yang menggeleng pelan. Entah kenapa?"Ayo!" Pak Doni menarik pelan lenganku, untuk segera memasuki ruangannya. Aku menatapnya. Entah mengapa kali ini aku ragu. Aku lantas menoleh lagi, melihat keberadaan Tino. Bocah kurus itu masih di sana. Di sudut sekolah yang akan menuju ruang kelas kami. Namun dia tidak menggeleng atau memberi tanda. Hanya diam. "Ayo!' Tarikkan tangan Pak Doni kurasakan semakin keras. Aku nyaris terjatuh. Kuremas tepi rok dengan erat. Kali ini aku takut, entah karena apa. Pak Doni menutupkan daun pintu dengan rapat, tanpa menguncinya. Aku hanya menelan ludah menatapnya yang kini melepas tas ransel da

    Last Updated : 2023-11-19
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Kamu Harus Kerja, Kata Bapak

    10. Kamu Harus Kerja, Kata Bapak"Sini!"Tas Tino yang baru saja kupegang direbut paksa oleh lelaki yang tadi membawa Tino. Dia menatap galak padaku, lantas tersenyum ketika melihat isi tas Tino. Aku hanya memperhatikan lelaki kurus dan sedikit pucat itu hingga dia berbalik dan meninggalkanku. "Apa dia baik-baik saja?" tanyaku memberanikan diri bersuara. Dia menoleh sesaat, tanpa menjawab, lantas melenggang pergi meninggalkanku. "Pak—""Apa? Aku bapaknya, jadi nggak usah khawatir!"Lelaki itu lantas menutup pintu dengan keras, meninggalkanju yang masih bengong. Dia bapak Tino?Bukankah dia yang kemarin sore kulihat memarahi Tino di halaman rumah ini? Kenapa dia bisa semarah itu pada anaknya sendiri?Ah, bukankah Bapak di rumah juga sering memarahiku?Aku lantas melanjutkan perjalanan menuju pulang. Bayangan Pak Doni yang tadi hilang, kini seolah datang meneror. Aku menggeleng. Kembali mengingat bagaimana wajah yang biasanya menyenangkan itu berubah bak monster yang menakutkan. Pak D

    Last Updated : 2023-11-19
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Para Monster

    11. Para MonsterAku terkesiap bangun menjelang subuh. Teringat seragamku yang rusak karena ditarik Bapak kemarin. Segera kuambil baju putih lusuh itu dan membawanya mendekati lampu. Kuambil benang dan jarum jahit. Namun sayang beberapa kancing yang terlepas tidak kutemukan. Aku berpikir keras, bagaimana caranya agar bajuku bisa dikancingkan. Hingga akhirnya kutemukan dua peniti berkarat di tembok. Selesai!Meski hanya dengan peniti, setidaknya seragam itu masih bisa kupakai. Namun semakin kutatap seragam itu, aku semakin ragu untuk pergi ke sekolah. Teringat Pak Doni, Tino, dan sesuatu yang mungkin akan terjadi nanti. Apa Pak Doni marah? Bagaimana kalau dia semakin nekat? Ah, aku mungkin bisa melapor pada guru yang lain. Tentang Tino ... bagaimana kabarnya? Dia sakit apa, sih?Pagi sekali sudah kubereskan rumah sebelum akhirnya memandikan Kinara dan diriku sendiri. Aku lantas bersiap ke sekolah. Sempat kulirik gorden kamar Ib

    Last Updated : 2023-11-20
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Dongeng Malam Laknat

    Aku harus pulang!Ibu harus tahu tentang semua ini!Perlakuan Pak Doni harus kulaporkan!Sepanjang perjalanan menuju rumah aku terus berlari. Tak peduli jika buku tulisku tercecer, jatuh di jalan. Pun sepatu yang kini kulepas dan kubawa berlari. Aku sampai depan rumah saat ibu baru keluar dari pintu."Ibu ... to—long ...!""Kenapa kamu?" Ibu menatap sekujur tubuhku. Aku masih diam, menenangkan diri dan mengatur napas. "Bapak .... Bapak sama ... Pak Doni ....""Apa? Bapak kenapa? Pak Doni siapa?"Mendadak aku bingung. Harus darimana aku memulainya? "Apa, sih?" Ibu terlihat penasaran dengan apa yang hendak kuceritakan. Namun entah mengapa semuanya mendadak hilang di tenggorokkan."Cepet amat kamu di rumah!"Aku tersentak dan langsung menoleh. Bapak berdiri tepat di belakangku. Dia tersenyum. Tidak, tepatnya menyeringai. "Ayo, sini kamu!"

    Last Updated : 2023-11-20
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Leena Salah Apa, Bu?

    "Kenapa kamu harus begini, Leena ...."Kurasakan jemari keriput itu mengusap pipiku yang basah. Tangannya gemetar memegang tubuhku yang bagai tak bertulang di lantai rumah. Telingaku masih mendengar percakapan Bapak dan Pak Doni di luar. Namun aku tidak mau tahu apa yang mereka bicarakan. Hingga kemudian terdengar daun pintu yang dibuka dengan grasa grusu. Aku yang menatap ke arah dapur, hanya bisa menebak jika yang masuk adalah Ibu. Benar. Itu Ibu. Dia membaringkan Kaina di kamar, lantas mendekatiku. Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibirnya. Dia hanya melihatku sekilas sembari mengambil air minum lantas kembali keluar rumah. Tuhan?Apa aku memang sudah mati?Sampai Ibu tak berminat untuk melihatku?Nenek masih bersamaku. Susah payah dia merangkak untuk mendekatiku. Diusapnya rambutku dengan lembut dan samar terdengar isak tangisnya. Ya, nenek menangis. Apakah dia menangisiku yang sudah mati? Atau

    Last Updated : 2023-11-20
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Rumah Malaikat

    Entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Yang kurasakan sekarang adalah ....Aroma wangi, nyaman, sejuk, dan sangat tenang. Sekujur tubuhku terasa hangat dan sakit yang semula membuatku nyaris sekarat kini seolah hilang. Hanya sakit di pangkal paha yang masih sedikit terasa nyeri. Aku di mana?Kutatap sekeliling. Ruangan bersih dengan tembok berwarna putih dan gorden hijau muda yang meliuk-liuk ditiup angin. Di sebelahku ada sebuah meja dengan sebuah vas bunga cantik, sepiring aneka kue yang terlihat enak, dan segelas air yang sangat jernih. Mendadak aku haus. Ini di mana?Apa aku sudah di surga?Sepertinya iya, karena aku belum pernah melihat tempat terindah dengan makanan seenak itu. Aku mencoba menggerakkan tangan dan ... apa ini? Sebuah selang bening tersalur dari punggung tanganku ke sebuah wadah bening berisi air. Aku tahu namanya infus. Aku sakit? Apakah di surga ada yang sakit sepertiku?

    Last Updated : 2023-11-20
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Kak Nisa, Kak Jago, dan Kak Lian

    Aku terus berontak saat Pak Doni berusaha mendekatiku. Bersembunyi di balik wanita berjilbab, menggunakan sendok sebagai senjata, hingga terus berteriak meminta tolong. "Maaf, jangan paksa dia lagi!"Kulihat Pak Doni berdiri kesal menatapku yang terus bersembunyi. Aku tak peduli jika punggung tanganku kembali berdarah. Selang infus kembali terlepas. Rasanya perih dan sakit. "Silahkan Bapak pulang dulu! Kembali nanti kalau dia sudah membaik!" ucap wanita berjilbab itu berusaha selembut mungkin. Aku yakin dia tengah kesal karena Pak Doni memaksaku. Sementara lelaki berkacamata dan rekannya hanya mematung melihatku yang ketakutan. "Baiklah! Tapi dia harus pulang sama saya. Saya khawatir Bapaknya akan menemukan dia di sini. Bapaknya ... ah, benar-benar bejat dia!"Aku mengintip betapa Pak Doni seolah merasa sangat sedih. Seolah dia ikut membayangkan bagaimana kejamnya Bapak. Padahal .... Segera kusembunyikan wajah saat Pak D

    Last Updated : 2023-11-21

Latest chapter

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Dunia Asing

    "Kamu kerja apa?" tanyaku pada Tino yang tengah berganti pakaian. Sebenarnya bukan ganti pakaian, hanya sedang mengenakan jaket kulit usang yang sedikit kebesaran di tubuh kurusnya. Celana jeans panjang belel dan kaus hitam yang berlubang di bagian punggung. "Kerja apa saja yang penting aku bisa makan!" jawabnya membuatku terdiam. "Lama?"Tino mengangguk. "Mungkin tengah malam aku pulang.""Aku?""Kenapa kamu?""Aku bagaimana?" Jujur aku takut jika harus tinggal sendiri di rumah ini. Bukan karena ada makam ibu Tino dan makam Kinara, tapi karena rumah ini memang jauh dari keramaian. Berada di tengah semak belukar yang akan tampak menyeramkan di malam hari. "Kamu takut?"Aku mengangguk cepat. "Terus, kamu mau ke mana?"Aku menggeleng. "Mau kuantar pulang?"Aku diam. Pulang? Apakah aku masih punya tempat untuk pulang?Entahlah!

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Malaikat Gondrong

    "Kamu mau bunuh diri?"Aku diam, memeluk Kinara seerat mungkin. "Ayo, kuantar pulang!"Tino mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Aku hanya diam, menatap telapak tangannya, lantas menggeleng. "Kenapa?"Aku menggeleng lagi. Kudengar dia menghela napas panjang dan duduk bersila di depanku. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat jelas wajahnya. Wajah yang sudah lama tidak kulihat. Lama tak melihatnya, Tino kurus yang dulu dekil dan masih terlihat seperti bocah kurang gizi, kini sedikit berubah. Suaranya lebih besar dengan tubuh yang sedikit lebih tinggi. Rambutnya dibiarkan panjang seleher dengan bagian depan yang nyaris menutupi mata. Dia yang dulu kukenal pendiam nyatanya banyak bicara juga. Dia bahkan seolah sudah sangat akrab denganku. "Mau pulang nggak?"Aku menggeleng. "Aku tidak punya rumah!""Ehm ....""Terus adik kamu mau diapain? Mau dibiarin jadi bangkai!"

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Setan yang Melahirkan Malaikat

    Aku terduduk lemas di lantai lorong Rumah Sakit. Tubuhku seolah tak bertulang. Hidupku hancur, tak berbentuk. Duniaku mendadak gelap dan hampa. Aku hanya diam saat beberapa petugas Rumah Sakit mendekatiku dan membantuku berdiri. Mereka membopongku memasuki sebuah ruangan dan meletakkanku di ranjang bersprei putih. "Dia pendarahan!"Aku hanya diam. Saat tangan-tangan asing itu memasang berbagai alat dan menusukkan jarum ke tubuhku. Kurasakan perih dan nyeri bersamaan di bawah sana. Mereka melepas pakaianku dan saling berbisik yang tidak bisa kudengar. Lambat laun penglihatanku kabur dan semakin lama semakin gelap. ****"Rumahmu di mana? Biar kami antar!"Aku menggeleng lemah. Rumah? Aku tidak punya!"Orang tuamu?"Aku menggeleng lagi. Apa aku punya orang tua? Punya, hanya saja mereka tidak seperti orang tua. Orang tua mana yang tega menjual dan membiarkan anaknya meregang nya

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Kinara Sayang, Kinara Malang

    Dengan ditemani Kak Nisa aku mencari Kinara. Aku ingin memastikan kondisi adikku itu. Menurut Kak Nisa Kinara mengalami pendarahan parah akibat benturan benda tumpul. Entah apa yang dilakukan Bapak pada adikku itu. Kami sampai di ruang rawat khusus anak-anak. Dengan petunjuk resepsionis kami mencari ranjang tempat Kinara dirawat. Namun kami menemukan hal lain. "Dia bukan Kinara!" ucapku pada Kak Nisa yang juga menatap lekat pada bocah lelaki dengan perban di kepala. Usianya mungkin sekitar lima tahun. Itu jelag bukan Kinara."Maaf, Bu, pasien sebelum ibu yang di sini dipindah ke mana, ya?"Ibu dari bocah itu malah menatap kami dengan tatapan tidak suka dan sedikit curiga. Bukannya menjawab dia malah mendekap anaknya erat-erat seolah takut kami akan mengambilnya. Kak Nisa menarik lenganku, mengajakku menjauh. Hingga kemudian kami bertemu seorang perawat. "Oh, atas nama Kinara, ya?"Aku mengangguk cepat. "Dia suda

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Orang-Orang Sakti

    Aku remuk. Setelah terhempas keras pada tajam dan runcingnya batu tembok kehidupan. Aku pasrah. Andai Tuhan mencabut nyawaku, aku mau. Rasa sakit yang amat sangat seolah tak menginjinkan aku tak merasakannya. Rasa sakit di sekujur tubuh semakin terasa karena aku semakin tersadar. Sadar akan rasa sakit dari orang-orang berhati iblis. Pak DoniBapak kandungku sendiriDan ....Ibu? Ya kenapa baru kusadari jika sebelum kejadian itu Ibu seolah sengaja meninggalkanku sendiri di rumah? Ibu juga berdebat tentang hutang dan orang yang memberinya uang. Apakah yang dia maksud adalah bapak dan Pak Doni?Lalu, bukankah keduanya sudah ditangkap? Atau dipenjara? Lalu mengapa mereka ada di luar? Bebas?Lagi-lagi aku terdampar di tempat yang tidak kukenali. Ruangan bercat putih dengan bau obat yang menyengat. Ada suara berisik dari alat yang entah apa namanya. Tanganku kebas, tak mampu kugerakkan. Begitu juga seluruh tubuh yang ka

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Malam Laknat yang Panjang

    Aku termenung di kamar. Berbaring di sebelah nenek yang sudah memejamkan mata. Di sebelahku ada Kinara yang masih sibuk bermain dengan boneka buruknya. Padahal sudah hampir jam sepuluh malam. Pikiranku menerawang. Berbagai kejadian yang menimpaku seolah memenuhi otak. Membuatnya hendak meledak.Pak Doni ....Bapak kandung ....Kak Nisa ....Ibu ....Hingga bapak tiriku. "Jangan, San! Aku mohon!"Aku terkesiap. Suara kursi yang ambruk dan daun pintu yang dibanting terdengar jelas. "Lalu harus bagaimana? Kamu pikir uang hasil ngojek cukup?""Besok aku carikan lagi!""Dia sudah kasih aku uang!"Apa yang Ibu dan Bapak debatkan?"Dia itu anakmu!""Iya. Dia memang anakku dan aku punya hak melakukan apapun ke dia!"Kudengar langkah ibu ke arah kamar tempatku berbaring. Gorden pintu disibak, Ibu muncul di ambang pintu. "Sini kamu!" Aku bangkit dan mendeka

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Aku Tidak Gila

    Aku hanya menatap kosong ke arah meja yang berisi beragam makanan lezat. Bahkan beberapa jenis makanan yang dihidangkan Kak Nisa belum pernah kulihat sebelumnya. Aku tak berminat menyantapnya, melihatnya saja aku tidak bertenaga. Duniaku terasa hampa, tanpa suara sedikit pun. Semua pun mendadak kelam dan gelap. Tidak ada satu pun yang kupikirkan, selain ... aku ingin mati!Dari Kak Nisa dan pembicaraan beberapa orang yang tidak kukenal, aku sudah ditampung di sebuah panti. Entah panti apa dan di mana. "Bapak dan Pak Doni sudah diproses secara hukum. Mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Kamu aman di sini!"Apa aku percaya? Sepertinya tidak!Jika aku aman, mengapa orang-orang baru itu seolah menatapku jijik. Beberapa orang mengarahkan ponsel dan kamera dengan cahaya silau yang sesekali menyala. Mereka juga sibuk berbicara di depan kamera sembari menyorot ke arahku. Apa yang mereka lakukan?"Ada ibumu!" Duniaku

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Aku Bagai Hewan Tak Berharga

    "Kak Nisa?" panggilku pada Kak Nisa yang sudah berlari mendahuluiku. Dia berhenti lantas menoleh padaku, menatapku bingung seolah bertanya, ada apa?Mataku tak beralih dari kaus putih di depanku, kulihat Kak Nisa juga menatapnya. "Itu—""Kalian di sini?"Aku terkejut lantas menoleh ke belakang. Ada Kak Jago dan ....Aku langsung berlari mendekati Kak Nisa yang juga kulihat terkejut. Ya, Kak Jago mendekati kami bersama Pak Doni dan Bapak. Pak Doni sudah mengenakan perban di matanya. Sementara Bapak terlihat terengah-engah seperti baru saja mengejar sesuatu. Keduanya menyeringai ke arahku. Seringai yang tak dilihat oleh Kak Jago. "Leena, kamu dicari bapak sama guru ini!"Aku menggeleng. "Katanya kamu udah berhari-hari nggak sekolah, juga nggak pulang ke rumah!""Nggak!" gumamku dengan tubuh yang semakin gemetar. Kucengkeram ujung baju Kak Nisa, mencari perlindungan. "Nggak! Mereka b

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Iblis Berbentuk Manusia

    Keesokan paginya Bapak kembali menungguku di depan rumah, di atas motor. Tidak ada pertanyaan mengapa aku kemarin pulang lebih dulu. Lelaki kurus itu hanya diam. Kali ini aku mengenakan celana jeans panjang dan kemeja panjang pemberian Kak Nisa. Aku bahkan menyelipkan sebuah jarum pentul di retsleting celana. Ya, aku harus bisa melindungi diri. Tidak boleh takut dan harus berani menghadapi apa saja yang akan terjadi nanti. Seperti kemarin, sepanjang perjalanan aku dan bapak tiriku hanya diam. Dia fokus ke jalan, aku fokus ke sekitar dan tentu saja pikiranku. Bagaimana kalau Pak Doni datang lagi?Bagaimana kalau Bapak juga di sana?Bagaimana kalau mereka berdua kembali melakukan hal yang tidak-tidak padaku?Ah, andai aku berteriak meminta tolong, adakah yang peduli?"Ibu pikir kamu nggak ke sini lagi?" ucap wanita pemilik rumah makan yang kemudian kutahu bernama Bu Mira. Wanita bertubuh gemuk itu langsung men

DMCA.com Protection Status