Beranda / Lain / Aku Jual Diri karena Ibuku / Aku Penjual Nasi Uduk yang Tidak Pernah Makan Nasi Uduk

Share

Aku Jual Diri karena Ibuku
Aku Jual Diri karena Ibuku
Penulis: Kutudollar

Aku Penjual Nasi Uduk yang Tidak Pernah Makan Nasi Uduk

Penulis: Kutudollar
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bab 1 Aku Penjual Nasi Uduk yang Tidak Pernah Makan Nasi Uduk

Prang ..

"Kamu pikir aku senang kita hidup susah begini, hah? Setiap hari harus kerja pontang panting dan kamu cuma bisa minta duit!"

Aku memeluk erat tas sekolah lusuh di dada. Suara teriakkan yang sangat kukenal membuat langkahku terhenti di depan daun pintu yang sudah buruk dan berlubang. Entah apa lagi yang membuat Bapak marah kali ini.

"Kamu pikir aku juga senang, hah? Mengurus tiga anak seorang diri sedangkan kamu cuma di luar, pulang malam, dan mabuk. Itu yang kamu bilang kerja?"

Plak ....

Terdengar suara jeritan Ibu. Mungkin Bapak menamparnya lagi. Lalu suara barang-barang yang dilempar dan pecah terdengar bersahutan. Semua terdengar sangat genting dan menyayat hati. Belum lagi suara tangis Kaina dan Kinara. Ya, apa yang bisa dilakukan dua balita itu saat Bapak dan Ibu bertengkar selain menangis?

Perlahan aku mendorong daun pintu yang tidak dikunci. Aku terus menunduk, tidak berani menatap Bapak maupun Ibu yang sudah kupastikan tengah menatapku sekarang.

"Kamu lagi! Darimana jam segini baru pulang, hah?" teriak Bapak sembari menarik tas yang kupeluk erat. Benda yang sudah usang dan berusia sama dengan Kaina—tiga tahun—itu lantas robek dan membuat buku-bukuku berhamburan.

Tidak ada yang mampu kuucapkan selain menangis. Kupunguti satu persatu buku lusuh tanpa sampul itu dengan gemetar. Bukannya kasihan, Bapak malah menjambak rambutku dan mendorong tubuh kurusku hingga jatuh ke belakang. Aku menangis.

"Kamu ini yang ngabisin duit! Sekolah terus!"

Buku yang berhasil kukumpulkan dilempar ke wajahku. Aku terpejam.

"Besok nggak usah sekolah!"

Aku menggeleng pelan. Kulihat kaki Bapak yang perlahan menjauhiku. Dia keluar rumah dan menutupkan daun pintu dengan kasar. Tak peduli jika Ibu meriakinya agar tidak pergi. Tetap saja percuma karenabapak tidak menoleh sedikitpun. Apalagi kembali ke rumah. Aku hanya bisa menatap punggung bapak yang semakin menjauhi rumah.

"Cepat, Kaleena! Adikmu rewel ini!"

Aku tersentak dan segera mengumpulkan semua buku dan tas yang sudah robek. Lantas meletakkannya di meja dan bergegas melepas sepatu usangku yang sudah tidak layak pakai lagi.

"Cepat!" teriak ibu sembari menarik kuncir rambutku ke belakang. Aku nyaris jatuh andai tidak segera menuruti saja ke mana dia menarik rambutku.

"Cuci itu! Mau ibu pakai bikin nasi uduk lagi!"

Ibu menyentakkan tubuhku ke lantai dapur, di depan tumpukkan cucian piring dan perabot dapur lainnya.

"Aku ganti baju—"

"Cepat!"

Aku langsung berlari menuju kamar dan dengan cepat mengganti seragam SMP-ku dengan daster yang robek dan berlubang di beberapa bagian. Lantas kembali ke dapur dan melakukan perintah ibu. Sementara wanita kurus dan tinggi itu sibuk menyusui Kinara yang masih berusia empat bulan sembari menidurkan Kaina yang rewel.

"Abis nyuci, siapin api dan daun pisang!"

Aku hanya mengangguk. Tanpa menjawab pun ibu sudah tahu jika aku tidak akan berani membantahnya.

"Leena ...."

Aku menoleh. Suara serak dan samar-samar membuatku menoleh.

"Iya, Nek."

Wanita renta yang berbaring tak berdaya di sofa buruk itu melambaikan tangan berisi cangkir air minum ke arahku. Dengan cepat aku mengambilnya dan mengisinya dengan air minum lagi. Lantas kembali memberikannya. Wanita itu hanya tersenyum dan mengusap punggung tanganku pelan.

Dia adalah nenekku, ibu dari ibu. Usianya sudah tua, entah berapa. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain berbaring dan memanggil nama siapapun ketika membutuhkan bantuan. Butuh air minum, makan, atau bahkan butuh dibersihkan bekasnya buang air kecil atau air besar. Ya, nenekku lumpuh sejak aku berusia lima tahun. Hanya itu yang kuingat. Terkadang dia merangkak sendiri ketika bosan. Turun dari sofa perlahan lantas akan dimarahi ibu karena hanya akan menyusahkan untuk kembali diangkatke sofa.

Selesai mencuci petabotan dapur, aku segera ke dapur belakang rumah dan menghidupkan api. Kulihat ibu sudah keluar dan membawa beras untuk dicuci. Beras yang nanti akan diolah ibu menjadi nasi uduk. Penganan sederhana yang hanya diberi lauk tempe kecap, telur dadar, dan sambel teri. Membayangkannya saja air liurku sudah berhamburan. Apalagi ditambah dengan perutku yang sudah keroncongan sejak bangun tidur.

"Kenapa bengong? Cari daun!" teriak Ibu yang mengejutkanku. Dengan cepat kuraih pisau di dapur dan segera menuju halaman belakang.

Ada banyak daun pisang batu yang tumbuh liar di dekat pembuangan sampah. Aku biasa memungutnya untuk keperluan ibu. Beberapa helai daun kuambil lantas kujemur untuk membuatnya layu. Aku duduk di atas sebuah batu, di bawah rerimbunan pisang sembari menunggu daunku layu.

Tak jauh dari tempatku duduk, terlihat beberapa anak seusiaku yang tengah asyik mengobrol dan menghabiskan jajanan yang mereka beli di jalan ketika pulang. Mereka teman satu sekolahku, atau mungkin satu kelas denganku. Aku tidak pernah memperhatikan mereka, tepatnya tidak berani.

Aku menelan ludah saat salah satu dari mereka menyedot dengan nikmat minuman segar dari sebuah cangkir putih transparan. Entah kenikmatan yang bagaimana yang akan kurasakan ketika cairan putih kekuningan yang dingin itu melewatu tenggorokanku. Perutku lantas riuh menabuh gendang kelaparan ketika mereka dengan nikmat mengunyah bakso bakar atau entah apa.

"Kaleena! Malah ngelamun kau, ya!"

Aku tersentak lantas segera membawa daun-daun yang sudah layu. Rupanya menghayati kenikmatan orang lain membuatku lupa tugas sendiri.

Hingga menjelang sore aku membantu Ibu di dapur. Menyiapkan lauk, menyiapkan keranjang, hingga bolak-balik ke kamar karena Kaina sudah bangun dan terus merengek.

"Kau jual itu! Jangan pulang kalau belum laku!"

Aku mengangguk cepat dan dengan gesit menata sepuluh bungkus nasi uduk dengan lauk seadanya keliling kampung. Kuletakkan tampah berisi penganan itu di atas kepalaku, tanpa alas. Aku akan terus meletakkannya di sana hingga ada yang memanggilku dan membeli barang daganganku.

Tidak ada kendaraan yang membantuku menjajakan dagangan. Hanya kaki dengan sendal jepit butut yang menemani.

"Nasi uduk!" teriakku lantang di jalanan, di depan rumah yang sebagian tertutup rapat. Ya, siapa juga yang mau ada di luar rumah di tengah cuaca yang amat sangat panas ini.

Satu persatu rumah kulalui. Hasilnya nihil. Masih tetap sepuluh bungkus. Tubuhku sudah lelah luar biasa. Perut yang terus keroncongan juga mulai menimbulkam efek yang lain. Perut yang terakhir kuisi kemarin sore, itu pun hanya sisa nasi dingin yang sedikit mengering, semakin melilit. Sepertinya efek kelaparan sudah menjalar ke kepalaku yang mulai pening hebat.

Aku memutuskan berhenti di tepi jalan, di bawah pohon mangga kecil. Kuletakkan barang daganganku di pangkuan sementara aku menyelonjorkan kaki, istirahat. Kutatap jalanan cor semen yang seakan menguap karena panas. Tidak ada satu orang pun yang lewat, kecuali aku.

Aku meringis menaha perut yang semakin melilit. Perihnya sudah tidak tertahankan lagi. Kutatap bungkusan nasi uduk dengan air liur yang melimpah ruah. Aku menelan ludah.

Haruskah?

Setelah berpikir lama, akhirnya godaan perut yang lapar tak bisa kutahan lagi. Kuambil satu bungkus nasi dan kubuka dengan tangan gemetar.

Bagaimana kalau nanti Ibu tanya?

Ah, tapi aku sangat lapar! Bagaimana aku bisa terus berjualan kalau perutku lapar?

Tapi ... Ibu pasti marah besar nanti!

Ah, biarlah kupikir nanti!

Dengan lahap dan tanpa memperhatikan sekitar, kulahap habis nasi uduk dengan lauk seadanya itu. Sedikit sulit menelan karena tidak ada minum. Namun tak apa, yang penting kini aku kenyang. Nasi uduk itu terasa sangat nikmat. Kenikmatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Ya, meski hampir setiap hari aku menjajakan nasi uduk, nyatanya aku tidak pernah merasakannya sekalipun.

"Ini untuk dijual, bukan dimakan kamu!"

Begitu kata Ibu setiap kali aku menatap penuh nikmat pada nasi uduk yang dibungkus ibu.

Air mataku menetes ketika menatap bekas bungkus nasi uduk yang teronggok begitu saja. Rasa sesal mendadak menghampiri dan kini rasa takut juga menyerang. Bayangan kemarahan Ibu, pukulan, cubitan, cacian, bahkan mungkin aku tidak akan mendapat jatah makan malam.

"Aku cuma lapar, ya, Tuhan ...."

Kurengkuh tampah dengan erat seolah takut kehilangan rejeki lagi karena khilafku. Meski kini aku sudah kenyang, nyatanya ketakutan yang lain justru menghantui.

....

Bersambung

Bab terkait

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Semua Demi Kami, Katanya

    Aku menggeliat bangun ketika tangan hangat menyentuh pipiku pelan dan mengusapnya perlahan. Kubuka mata pelan-pelan dan kudapati wajah kecil dan bulat yang menatapku. "Kaina?"Aku beringsut bangun dengan bantuannya. Bocah tiga tahun dengan rambut keriting itu menuntunku masuk ke dalam rumah. Kepala pening hebat, dengan persendian yang terasa sakit semua, membuat langkahku sedikit terhuyung. Kaina lantas langsung bermain dengan tumpukkan mainan bekas yang didapat Bapak. Mainan yang rata-rata sudah rusak dan bahkan mungkin tidak layak dimainkan lagi. Dia mengacuhkanku yang duduk di kursi, tak jauh darinya. Aku memperhatikan sekitar. Sepi. Tidak ada suara dengkuran Bapak yang biasanya menggema di seluruh rumah atau suara rengekkan Kinara. Kulihat nenek yang berbaring lemah dengan napas yang sangat pelan. Ke mana ibu?"Ibu mana, Dek?"Kaina hanya menggeleng, membuat rambut kriting kriwilnya bergerak-gerak. Kuperhatikan l

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Jatah Makan Malam dari Malaikat

    Hilang rasa lapar, kini haus tak tertahankan menyerang. Cuaca yang panas tanpa ampun seolah mematahkan semangatku. "Ayo, Leena, jalan lagi!" Gumamku pada diri sendiri. Sekuat tenaga kuteruskan langkah dan sesekali berteriak menawarkam barang daganganku. Suara keras yang kuhasilkan tentu saja semakin menambah kering tenggorokan.Akhirnya aku sampai di sebuah gedung yang sedang dibangun. Tempat langganan yang sering kudatangi. Tidak laris memang, tapi setidaknya ada yang membeli. Namun, harapanku seolah sirna ketika kulihat para kuli bangunan di sana tengah santap siang. Nasi kotak dengan lauk yang sepertinya enak menjadi jatah makan siang mereka kali ini. Niatku untuk menawarkan dagangan seketika sirna. Namun, dengan niat dan sedikit takut akhirnya aku mendekat. "Nasi uduknya, Pak?" Beberapa lelaki yang tengah mengunyah makanan menoleh ke arahku. Mereka menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Hingga tatapan mereka berhenti pada

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Anak Haram Itu Apa, Nek?

    Demi membayar semua kesalahan, seharian aku habiskan waktu dengan bersih-bersih. Mulai dari ruang depan yang hanya ada meja usang yang salah satu kakinya sudah ditambahi kayu, ruang tengah yang berisi kasur lapuk tempatku tidur bersama Kaina, dan kamar Bapak, Ibu, dan Kinara yang hanya dibatasi kain besar sebagai tirai. Lalu ruangan sempit berisi sofa buruk tempat nenek tidur yang bersebelahan langsung dengan dapur kumuh. Hingga bagian belakang, tempat pemandian dan mencuci. Semua kubersihkan dan kulap, meski tak menyamarkan usangnya. Selesai berberes aku lantas teringat tas sekolah yang kemarin robek ditarik Bapak. Kuperhatikan benda usang yang pernah kubeli dengan uang hasil memunggut sampah selama seminggu, tiga tahun lalu. Ya, tiga tahun lalu, saat aku masih duduk di bangku kelas 6 SD. Tas dengan warna merah muda—yang sekarang kecokelatan dan pudar—bergambar bunga dan princess itu kubawa ke depan pintu, untuk melihatnya dengan jelas. Tuhan, sepertinya ini tid

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Kami Si Lusuh yang Tak Tersentuh

    💔💔💔Pagi sekali aku sudah mandi. Setelah membantu ibu menyiapkan sarapan. Bukan sarapan sebenarnya, karena hanya ada nasi kering 'bekas' saja. Nasi sisa dijemur hingga kering, dicuci bersih, lantas ditanak lagi. Jangan tanya rasanya. Kurasa hewan pun tidak ingin mengunyahnya. Hambar dan sama sekali tidak enak. Namun itulah yang sering menjadi pengganjal perut kami ketika tidak ada apa pun untuk dimakan. Tiga ekor ikan asin dipotong dua dipanggang dan dihidangkan begitu saja di meja. Siapa yang ingin sarapan, tinggal ambil. Ibu mengambil satu porsi kecil untuk nenek. Wanita renta itu terlihat enggan menyantapnya. Dia hanya menatap makanan itu lama. Air mataku nyatis jatuh melihat bagaimana wajahnya berubah sendu. "Mau ke mana kamu?" tanya Ibu ketika aku mengenakan sepatu. "Sekolah, Bu.""Jangan lupa bawa sampah!"Aku hanya mengangguk. Ya, dulu Ibu juga seperti bapak. Tidak mengijinkanku sek

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Anak Durhaka

    Aku pulang dengan hati riang. Ada sekantung besar barang bekas dan plastik berisi sepatu. Sepanjang jalan aku berdendang dalam hati, menyuarakan kegembiraanku. Semua orang mungkin hanya menganggap remeh kebehagiaanku, tapi tidak denganku. "Kalau nggak bisa bayar, pergi kalian dari sini!" teriak seorang wanita dengan kuat di depan rumah kami. Teriakkannya seolah menghentikan kebahagiaanku. Langkahku terhenti di tepi jalan menuju rumahku. Kulihat ibu pemilik rumah yang kami sewa berkacak pinggang di depan pintu rumah. Di depannya tergeletak sendal butut, gagang sapu, hingga ember pecah. Di depan daun pintuku juga terdapat beberapa buah batu berukuran kecil hingga sedang. Daun pintu yang sudah lapuk pun terlihat berlubang. Sepertinya apa yang kukhawatirkan benar terjadi. Ibu dan pemilik rumah beradu mulut. Atau bahkan sudah bertukar alat perang. Apa yang terjadi?"Dasar miskin! Dibantu malah ngelunjak!"Aku terdiam, memegang dua kant

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Cerita (mabuk) Bapak

    Hari ini aku tidak sekolah. Satu-satunya seragamku basah setelah adegan siram-siraman bersama Ibu kemarin. Cuaca yang tidak panas membuat seragam yang kugantung di belakang tidak kering. Biarlah! Tak sekolah sehari tidak masalah. Bukankah tidak ada yang peduli aku sekolah atau tidak. Ya ... meski aku sangat menyayangkan. Aku pasti ketinggalan pelajaran hari ini. Tidak ada yang bisa kulakukan selain membantu ibu membersihkan rumah. Pagi sekali Ibu sudah menuju rumah orang kaya untuk mencuci baju dan menyetrika. Tentu saja dengan Kaina dalam gendongan. Nenek sudah membaik. Dia sudah duduk di tepi ranjang. Aku hanya melihatnya sekilas. Entahlah, sejak kejadian kemarin aku berubah pandangan pada nenek. Bukan benci, tapi kasihan yang terlalu dalam. "Tidak ada yang mau merawat nenek lagi selain Ibumu!"Kalimat nenek saat kutanya mengapa menangis terus terbayang. Ke mana saudara ibu yang lain?Lalu mengapa ibu mau menerima nene

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Tino dan Pak Doni

    Sore itu aku berhasil menjual seluruh nasi uduk. Ya, meski aku harus pulang saat adzan maghrib sudah berkumandang. Ibu pun tidak marah karena aku pulang terlambat. Mungkin karena aku berhasil kali ini. Ibu bahkan sudah menyiapkan nasi hangat—yang masih bagus—dan sayur asem. Selepas mandi aku makan dengan nikmat. Semakin nikmat saat kutahu nenek dan adikku juga sudah makan. Hanya Bapak yang entah ke mana. "Siapa yang kasih kamu sepatu?"Aku yang tengah menyiapkan peralatan sekolah menoleh ke arah Ibu yang tengah menidurkan Kinara. "Pak Doni.""Siapa dia?""Guru olahragaku, Bu."Ibu diam. Aku lantas menatap sepatu pemberian Pak Doni dan sepatu lamaku yang kuletakkan di bawah rak. Selamat tinggal sepatu buaya.****Langkahku terasa ringan. Sepatu pemberian Pak Doni sedikit kebesaran, tapi aku menyumpalnya dengan gumpalan kertas agar tidak terlepas ketika berjalan. Hingga kemudian langkahku sam

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Harga Satu Stel Seragam Bekas

    Entah mengapa aku ingin menoleh. Melihat keberadaan Tino yang berjalan menuju kelas. Apakah dia sudah sampai? Bukan, aku menoleh karena ingin tahu apa dia juga sedang melihat ke arahku. Perlahan aku menoleh. Benar saja. Tino yang sudah agak jauh, tengah menatapku. Kami bersitatap, meski tidak terlalu jelas karena jarak yang jauh. Namun aku dengan jelas melihat dia yang menggeleng pelan. Entah kenapa?"Ayo!" Pak Doni menarik pelan lenganku, untuk segera memasuki ruangannya. Aku menatapnya. Entah mengapa kali ini aku ragu. Aku lantas menoleh lagi, melihat keberadaan Tino. Bocah kurus itu masih di sana. Di sudut sekolah yang akan menuju ruang kelas kami. Namun dia tidak menggeleng atau memberi tanda. Hanya diam. "Ayo!' Tarikkan tangan Pak Doni kurasakan semakin keras. Aku nyaris terjatuh. Kuremas tepi rok dengan erat. Kali ini aku takut, entah karena apa. Pak Doni menutupkan daun pintu dengan rapat, tanpa menguncinya. Aku hanya menelan ludah menatapnya yang kini melepas tas ransel da

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Dunia Asing

    "Kamu kerja apa?" tanyaku pada Tino yang tengah berganti pakaian. Sebenarnya bukan ganti pakaian, hanya sedang mengenakan jaket kulit usang yang sedikit kebesaran di tubuh kurusnya. Celana jeans panjang belel dan kaus hitam yang berlubang di bagian punggung. "Kerja apa saja yang penting aku bisa makan!" jawabnya membuatku terdiam. "Lama?"Tino mengangguk. "Mungkin tengah malam aku pulang.""Aku?""Kenapa kamu?""Aku bagaimana?" Jujur aku takut jika harus tinggal sendiri di rumah ini. Bukan karena ada makam ibu Tino dan makam Kinara, tapi karena rumah ini memang jauh dari keramaian. Berada di tengah semak belukar yang akan tampak menyeramkan di malam hari. "Kamu takut?"Aku mengangguk cepat. "Terus, kamu mau ke mana?"Aku menggeleng. "Mau kuantar pulang?"Aku diam. Pulang? Apakah aku masih punya tempat untuk pulang?Entahlah!

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Malaikat Gondrong

    "Kamu mau bunuh diri?"Aku diam, memeluk Kinara seerat mungkin. "Ayo, kuantar pulang!"Tino mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Aku hanya diam, menatap telapak tangannya, lantas menggeleng. "Kenapa?"Aku menggeleng lagi. Kudengar dia menghela napas panjang dan duduk bersila di depanku. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat jelas wajahnya. Wajah yang sudah lama tidak kulihat. Lama tak melihatnya, Tino kurus yang dulu dekil dan masih terlihat seperti bocah kurang gizi, kini sedikit berubah. Suaranya lebih besar dengan tubuh yang sedikit lebih tinggi. Rambutnya dibiarkan panjang seleher dengan bagian depan yang nyaris menutupi mata. Dia yang dulu kukenal pendiam nyatanya banyak bicara juga. Dia bahkan seolah sudah sangat akrab denganku. "Mau pulang nggak?"Aku menggeleng. "Aku tidak punya rumah!""Ehm ....""Terus adik kamu mau diapain? Mau dibiarin jadi bangkai!"

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Setan yang Melahirkan Malaikat

    Aku terduduk lemas di lantai lorong Rumah Sakit. Tubuhku seolah tak bertulang. Hidupku hancur, tak berbentuk. Duniaku mendadak gelap dan hampa. Aku hanya diam saat beberapa petugas Rumah Sakit mendekatiku dan membantuku berdiri. Mereka membopongku memasuki sebuah ruangan dan meletakkanku di ranjang bersprei putih. "Dia pendarahan!"Aku hanya diam. Saat tangan-tangan asing itu memasang berbagai alat dan menusukkan jarum ke tubuhku. Kurasakan perih dan nyeri bersamaan di bawah sana. Mereka melepas pakaianku dan saling berbisik yang tidak bisa kudengar. Lambat laun penglihatanku kabur dan semakin lama semakin gelap. ****"Rumahmu di mana? Biar kami antar!"Aku menggeleng lemah. Rumah? Aku tidak punya!"Orang tuamu?"Aku menggeleng lagi. Apa aku punya orang tua? Punya, hanya saja mereka tidak seperti orang tua. Orang tua mana yang tega menjual dan membiarkan anaknya meregang nya

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Kinara Sayang, Kinara Malang

    Dengan ditemani Kak Nisa aku mencari Kinara. Aku ingin memastikan kondisi adikku itu. Menurut Kak Nisa Kinara mengalami pendarahan parah akibat benturan benda tumpul. Entah apa yang dilakukan Bapak pada adikku itu. Kami sampai di ruang rawat khusus anak-anak. Dengan petunjuk resepsionis kami mencari ranjang tempat Kinara dirawat. Namun kami menemukan hal lain. "Dia bukan Kinara!" ucapku pada Kak Nisa yang juga menatap lekat pada bocah lelaki dengan perban di kepala. Usianya mungkin sekitar lima tahun. Itu jelag bukan Kinara."Maaf, Bu, pasien sebelum ibu yang di sini dipindah ke mana, ya?"Ibu dari bocah itu malah menatap kami dengan tatapan tidak suka dan sedikit curiga. Bukannya menjawab dia malah mendekap anaknya erat-erat seolah takut kami akan mengambilnya. Kak Nisa menarik lenganku, mengajakku menjauh. Hingga kemudian kami bertemu seorang perawat. "Oh, atas nama Kinara, ya?"Aku mengangguk cepat. "Dia suda

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Orang-Orang Sakti

    Aku remuk. Setelah terhempas keras pada tajam dan runcingnya batu tembok kehidupan. Aku pasrah. Andai Tuhan mencabut nyawaku, aku mau. Rasa sakit yang amat sangat seolah tak menginjinkan aku tak merasakannya. Rasa sakit di sekujur tubuh semakin terasa karena aku semakin tersadar. Sadar akan rasa sakit dari orang-orang berhati iblis. Pak DoniBapak kandungku sendiriDan ....Ibu? Ya kenapa baru kusadari jika sebelum kejadian itu Ibu seolah sengaja meninggalkanku sendiri di rumah? Ibu juga berdebat tentang hutang dan orang yang memberinya uang. Apakah yang dia maksud adalah bapak dan Pak Doni?Lalu, bukankah keduanya sudah ditangkap? Atau dipenjara? Lalu mengapa mereka ada di luar? Bebas?Lagi-lagi aku terdampar di tempat yang tidak kukenali. Ruangan bercat putih dengan bau obat yang menyengat. Ada suara berisik dari alat yang entah apa namanya. Tanganku kebas, tak mampu kugerakkan. Begitu juga seluruh tubuh yang ka

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Malam Laknat yang Panjang

    Aku termenung di kamar. Berbaring di sebelah nenek yang sudah memejamkan mata. Di sebelahku ada Kinara yang masih sibuk bermain dengan boneka buruknya. Padahal sudah hampir jam sepuluh malam. Pikiranku menerawang. Berbagai kejadian yang menimpaku seolah memenuhi otak. Membuatnya hendak meledak.Pak Doni ....Bapak kandung ....Kak Nisa ....Ibu ....Hingga bapak tiriku. "Jangan, San! Aku mohon!"Aku terkesiap. Suara kursi yang ambruk dan daun pintu yang dibanting terdengar jelas. "Lalu harus bagaimana? Kamu pikir uang hasil ngojek cukup?""Besok aku carikan lagi!""Dia sudah kasih aku uang!"Apa yang Ibu dan Bapak debatkan?"Dia itu anakmu!""Iya. Dia memang anakku dan aku punya hak melakukan apapun ke dia!"Kudengar langkah ibu ke arah kamar tempatku berbaring. Gorden pintu disibak, Ibu muncul di ambang pintu. "Sini kamu!" Aku bangkit dan mendeka

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Aku Tidak Gila

    Aku hanya menatap kosong ke arah meja yang berisi beragam makanan lezat. Bahkan beberapa jenis makanan yang dihidangkan Kak Nisa belum pernah kulihat sebelumnya. Aku tak berminat menyantapnya, melihatnya saja aku tidak bertenaga. Duniaku terasa hampa, tanpa suara sedikit pun. Semua pun mendadak kelam dan gelap. Tidak ada satu pun yang kupikirkan, selain ... aku ingin mati!Dari Kak Nisa dan pembicaraan beberapa orang yang tidak kukenal, aku sudah ditampung di sebuah panti. Entah panti apa dan di mana. "Bapak dan Pak Doni sudah diproses secara hukum. Mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Kamu aman di sini!"Apa aku percaya? Sepertinya tidak!Jika aku aman, mengapa orang-orang baru itu seolah menatapku jijik. Beberapa orang mengarahkan ponsel dan kamera dengan cahaya silau yang sesekali menyala. Mereka juga sibuk berbicara di depan kamera sembari menyorot ke arahku. Apa yang mereka lakukan?"Ada ibumu!" Duniaku

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Aku Bagai Hewan Tak Berharga

    "Kak Nisa?" panggilku pada Kak Nisa yang sudah berlari mendahuluiku. Dia berhenti lantas menoleh padaku, menatapku bingung seolah bertanya, ada apa?Mataku tak beralih dari kaus putih di depanku, kulihat Kak Nisa juga menatapnya. "Itu—""Kalian di sini?"Aku terkejut lantas menoleh ke belakang. Ada Kak Jago dan ....Aku langsung berlari mendekati Kak Nisa yang juga kulihat terkejut. Ya, Kak Jago mendekati kami bersama Pak Doni dan Bapak. Pak Doni sudah mengenakan perban di matanya. Sementara Bapak terlihat terengah-engah seperti baru saja mengejar sesuatu. Keduanya menyeringai ke arahku. Seringai yang tak dilihat oleh Kak Jago. "Leena, kamu dicari bapak sama guru ini!"Aku menggeleng. "Katanya kamu udah berhari-hari nggak sekolah, juga nggak pulang ke rumah!""Nggak!" gumamku dengan tubuh yang semakin gemetar. Kucengkeram ujung baju Kak Nisa, mencari perlindungan. "Nggak! Mereka b

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Iblis Berbentuk Manusia

    Keesokan paginya Bapak kembali menungguku di depan rumah, di atas motor. Tidak ada pertanyaan mengapa aku kemarin pulang lebih dulu. Lelaki kurus itu hanya diam. Kali ini aku mengenakan celana jeans panjang dan kemeja panjang pemberian Kak Nisa. Aku bahkan menyelipkan sebuah jarum pentul di retsleting celana. Ya, aku harus bisa melindungi diri. Tidak boleh takut dan harus berani menghadapi apa saja yang akan terjadi nanti. Seperti kemarin, sepanjang perjalanan aku dan bapak tiriku hanya diam. Dia fokus ke jalan, aku fokus ke sekitar dan tentu saja pikiranku. Bagaimana kalau Pak Doni datang lagi?Bagaimana kalau Bapak juga di sana?Bagaimana kalau mereka berdua kembali melakukan hal yang tidak-tidak padaku?Ah, andai aku berteriak meminta tolong, adakah yang peduli?"Ibu pikir kamu nggak ke sini lagi?" ucap wanita pemilik rumah makan yang kemudian kutahu bernama Bu Mira. Wanita bertubuh gemuk itu langsung men

DMCA.com Protection Status