Home / Lainnya / Aku Jual Diri karena Ibuku / Kami Si Lusuh yang Tak Tersentuh

Share

Kami Si Lusuh yang Tak Tersentuh

Author: Kutudollar
last update Last Updated: 2023-10-16 20:35:40

💔💔💔

Pagi sekali aku sudah mandi. Setelah membantu ibu menyiapkan sarapan. Bukan sarapan sebenarnya, karena hanya ada nasi kering 'bekas' saja. Nasi sisa dijemur hingga kering, dicuci bersih, lantas ditanak lagi. Jangan tanya rasanya. Kurasa hewan pun tidak ingin mengunyahnya. Hambar dan sama sekali tidak enak. Namun itulah yang sering menjadi pengganjal perut kami ketika tidak ada apa pun untuk dimakan. Tiga ekor ikan asin dipotong dua dipanggang dan dihidangkan begitu saja di meja. Siapa yang ingin sarapan, tinggal ambil. 

Ibu mengambil satu porsi kecil untuk nenek. Wanita renta itu terlihat enggan menyantapnya. Dia hanya menatap makanan itu lama. Air mataku nyatis jatuh melihat bagaimana wajahnya berubah sendu. 

"Mau ke mana kamu?" tanya Ibu ketika aku mengenakan sepatu. 

"Sekolah, Bu."

"Jangan lupa bawa sampah!"

Aku hanya mengangguk. Ya, dulu Ibu juga seperti bapak. Tidak mengijinkanku sekolah. Namun suatu hari aku berhasil mengumpulkam sekantung barang bekas dan membawanya ke rumah. Hasilnya dipakai ibu untuk membeli makan malam. Sejak itu Ibu menginjinkanku sekolah. 

Aku keluar rumah dengan hati riang. Berjalan hati-hati melewati jalan kering agar sepatuku tidak basah dan tembus oleh tanah becek. Sembari mendekap tas sekolah butut di dada. 

"Ibu kamu mana?" 

Aku menoleh. Seorang wanita bertubuh gemuk menatap tajam padaku. Dia adalah pemilik rumah petak yang kami sewa. 

"Nggak ada, Bu. Lagi kerja," jawabku gemetar. Tentu saja itu bohong. Karena akan sangat gawat jika dia tahu ibu sedang di rumah. Adu mulut tidak terhindarkan jika mereka berdua bertemu. 

"Kasih tahu ibumu, bayar uang sewa sore nanti. Enak aja tinggal udah berbulan-bulan nggak bayar. Masih untung kukasih tempat tinggal. Kalau nggak mau ke mana kalian, hah?"

Aku mengangguk lantas segera berlalu setelah wanita itu kembali memasuki rumahnya. 

Ya, ibu memang menyewa satu petak rumah kosong. Mungkin lebih pantas disebut gudang karena memang tidak layak disebut rumah. Bangunan dari bata tanpa plester itu sudah kumuh. Gentengnya sering bocor. Entah sudah berapa lapis plastik bekas yang diletakkan bapak di atasnya, untuk menghindari air memasuki rumah. Lantainya pun tak layak lagi. Semen kasar yang sudah mengelupas itu tidak pernah terlihat bersih. 

Ibu sering adu mulut dengan si pemilik rumah. Ibu kesal karena dia selalu menghina kami. Sementara dia tidak terima karena ibu selalu mengulur waktu. Ini pun entah sudah bulan ke berapa ibu tidak membayarnya. 

Ingin rasanya kami pindah ke tempat yang lebih baik. Namun kami tidak tahu harus ke mana. Semua orang di sekitar kami sudah mengenal bagaimana kehidupan kami yang sebenarnya. Jangankam untuk menyewa tempat tinggal, untuk makan saja kami kesulitan. Lantas siapa yang mau menyewakan tempatnya untuk kami tinggali secara gratis? Tentu tidak ada. Ini di kota, meski hanya di pinggiran. 

Tinggal di tempat itu, kami tidak punya tetangga. Tetangga terdekat berjarak sekitar 50 meter. Itulah mengapa tidak pernah ada yang mau peduli pada kesulitan kami. Pun mereka tak ingin ikut campur urusan keluarga kami. 

Pernah suatu ketika ibu dan bapak bertengkar. Bapa menghajar ibu hanya karena tidak ada makanan di meja. Ibu menjerit dan berlari keluar rumah dengan kandungan yang besar dan Kaina di gendongan. Ibu berteriak minta tolong. 

Tetangga yang melihat bukannya menolong, mereka malah menutup pintu rapat-rapat seolah tuli dan tak melihat. Aku yang belum paham keadaan saat itu hanya berpikir jika mungkin mereka takut dengan bapak yang membawa kayu pemukul. 

Seiring waktu aku paham. Begitulah cara kami hidup dan bertahan. Menghadapi semuanya sendiri dan tidak ikut campur urusan orang lain. 

Soal bantuan? 

Siapa juga yang akan sudi membantu orang yang bahkan tidak jelas asal-usulnya seperti kami. Datang dan pergi dari satu tempat ke tempat lainnya. 

***

"Hei, ini apa?"

Aku menoleh. Seorang siswa menunjuk ke bawah. Mataku mengikuti arah kayu yang dipegangnya. Sontak mereka tertawa terbahak-bahak. 

"Dia bawa buaya, awas!"

Satu ruang kelas riuh menertawakanku. Mereka berteriak sahut-sahutan menyebut aku membawa buaya. Kalian tahu apa maksud mereka? 

Sepatuku robek bagian depan. Cukup besar. Hingga menunjukkan sebagian jari kakiku yang memang tidak tertutup kaus kaki, karena berlubang. Mereka menganggap robekan menganga di sepatuku adalah buaya. Ya, aku membawa buaya ke mana-mana kata mereka. 

Perih dan sakit, tapi aku bisa apa?

Olok-olokkan mereka tak cukup sampai di situ. Mereka menertawakan semua yang ada padaku. Gembel, karena aku mengenakan seragam yang sudah tidak layak. Gimbal karena rambutku yang kusut dan merah. Serta julukan buluk untuk kulitku yang kusam dan bersisik ketika digaruk. Anak-anak sering menjahiliku dengan menggoreskan sesuatu di kulit lenganku. Mereka akan tertawa ketika melihat garis putih terang di kulitku. Seolah mereka baru saja menorehkan mahakarya besar di sebuah kanvas.  Belum lagi postur tubuhku yang memang lebih besar dari siswa lainnya. Mereka mengejekku sebagai gadis karena melihat dadaku yang terlihat lebih menonjol. Itulah alasan lain mengapa aku sering mendekat tas di dada setiap ke sekolah. 

Di sekolah, aku nyaris tidak punya teman. Siapa juga yang akan sudi berteman dengan si lusuh sepertiku?

Aku duduk sendirian, saat yang lain duduk berdua. Mereka mengeluhkan bau badanku yang tidak enak. Padahal aku selalu mandi. Ya meski tanpa sabun wangi. 

Sepanjang sekolah, aku hanya diam dan duduk memperhatikan pelajaran. Aku juga tidak pernah maju ketika guru memintaku maju untuk mengerjakan soal di papan tulis. Semua teman mengejekku bodoh karena ini. Padahal aku hanya malu jika akhirnya mereka semua memperhatikan sepatuku yang robek atau seragamku yang kumal. 

Hari-hari kuhabiskan dengan biasa saja. Sejak datang, aku tidak pernah keluar kelas kalau bukan untuk pulang. Aku enggan keluar karena pasti aku akan jadi bahan olokan saja. Dari jendela samping tempatku duduk aku memperhatikan keadaan di luar. Semua siswa nampak senang dengan kegiatannya masing-masing. Bermain di lapangan, mengobrol di taman, atau sekedar menghabiskam uang jajan dari rumah. Untuk urusan ini aku sering menahan nyeri. Bagaimana tidak, aku hanya bisa membayangkan jika makanan enak itu memasuki kerongkonganku dan mengisi perut. Alangkah nikmatnya!

Setelah pulang sekolah, aku tidak langsung kembali ke rumah. Dengan palstik hitam besar yang kubawa aku berkeliling sekolah. Kuletakkan tas bututku di tempat yang tersembunyi lantas mulai berkeliling. Satu persatu kotak sampah kuperiksa untuk mengambil beberapa botol plastik bekas air mineral. 

"Ini!

Aku mendongak. Seorang anak lelaki mengulurkan dua buah botol bekas padaku. Aku hanya bengong. Dia lantas memasukkan paksa benda bekas itu ke dalam palstikku. Dengan cepat dia melangkah pergi meninggalkanku yang belum sempat mengucap terima kasih. Aku hanya memperhatikan langkahnya yang semakin menjauh. 

"Leena?"

Aku menoleh. 

"Besok pakai ini, ya!"

"Makasih, Pak," ucapku bergetar. Dia hanya tersenyum lantas berlalu. 

Air mataku sukses mengalir ketika membuka bungkusan darinya. Sepasang sepatu. Bukan sepatu baru, tapi masih bisa dipakai. Lebih layak dari milikku. Aku lantas menatap lelaki muda yamg kukenal bernama Pak Doni itu. Guru olahragaku itu adalah orang yang paling sering memberiku sesuatu. Seragam bekas, sepatu bekas, hingga buku tulis dan buku paket. Lelaki bertubuh jangkung itu selalu memberiku barang berharga—menurutku—ketika semua orang sudah pulang. 

Terima kasih, Pak.

....

Bersambung

Related chapters

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Anak Durhaka

    Aku pulang dengan hati riang. Ada sekantung besar barang bekas dan plastik berisi sepatu. Sepanjang jalan aku berdendang dalam hati, menyuarakan kegembiraanku. Semua orang mungkin hanya menganggap remeh kebehagiaanku, tapi tidak denganku. "Kalau nggak bisa bayar, pergi kalian dari sini!" teriak seorang wanita dengan kuat di depan rumah kami. Teriakkannya seolah menghentikan kebahagiaanku. Langkahku terhenti di tepi jalan menuju rumahku. Kulihat ibu pemilik rumah yang kami sewa berkacak pinggang di depan pintu rumah. Di depannya tergeletak sendal butut, gagang sapu, hingga ember pecah. Di depan daun pintuku juga terdapat beberapa buah batu berukuran kecil hingga sedang. Daun pintu yang sudah lapuk pun terlihat berlubang. Sepertinya apa yang kukhawatirkan benar terjadi. Ibu dan pemilik rumah beradu mulut. Atau bahkan sudah bertukar alat perang. Apa yang terjadi?"Dasar miskin! Dibantu malah ngelunjak!"Aku terdiam, memegang dua kant

    Last Updated : 2023-11-18
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Cerita (mabuk) Bapak

    Hari ini aku tidak sekolah. Satu-satunya seragamku basah setelah adegan siram-siraman bersama Ibu kemarin. Cuaca yang tidak panas membuat seragam yang kugantung di belakang tidak kering. Biarlah! Tak sekolah sehari tidak masalah. Bukankah tidak ada yang peduli aku sekolah atau tidak. Ya ... meski aku sangat menyayangkan. Aku pasti ketinggalan pelajaran hari ini. Tidak ada yang bisa kulakukan selain membantu ibu membersihkan rumah. Pagi sekali Ibu sudah menuju rumah orang kaya untuk mencuci baju dan menyetrika. Tentu saja dengan Kaina dalam gendongan. Nenek sudah membaik. Dia sudah duduk di tepi ranjang. Aku hanya melihatnya sekilas. Entahlah, sejak kejadian kemarin aku berubah pandangan pada nenek. Bukan benci, tapi kasihan yang terlalu dalam. "Tidak ada yang mau merawat nenek lagi selain Ibumu!"Kalimat nenek saat kutanya mengapa menangis terus terbayang. Ke mana saudara ibu yang lain?Lalu mengapa ibu mau menerima nene

    Last Updated : 2023-11-18
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Tino dan Pak Doni

    Sore itu aku berhasil menjual seluruh nasi uduk. Ya, meski aku harus pulang saat adzan maghrib sudah berkumandang. Ibu pun tidak marah karena aku pulang terlambat. Mungkin karena aku berhasil kali ini. Ibu bahkan sudah menyiapkan nasi hangat—yang masih bagus—dan sayur asem. Selepas mandi aku makan dengan nikmat. Semakin nikmat saat kutahu nenek dan adikku juga sudah makan. Hanya Bapak yang entah ke mana. "Siapa yang kasih kamu sepatu?"Aku yang tengah menyiapkan peralatan sekolah menoleh ke arah Ibu yang tengah menidurkan Kinara. "Pak Doni.""Siapa dia?""Guru olahragaku, Bu."Ibu diam. Aku lantas menatap sepatu pemberian Pak Doni dan sepatu lamaku yang kuletakkan di bawah rak. Selamat tinggal sepatu buaya.****Langkahku terasa ringan. Sepatu pemberian Pak Doni sedikit kebesaran, tapi aku menyumpalnya dengan gumpalan kertas agar tidak terlepas ketika berjalan. Hingga kemudian langkahku sam

    Last Updated : 2023-11-18
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Harga Satu Stel Seragam Bekas

    Entah mengapa aku ingin menoleh. Melihat keberadaan Tino yang berjalan menuju kelas. Apakah dia sudah sampai? Bukan, aku menoleh karena ingin tahu apa dia juga sedang melihat ke arahku. Perlahan aku menoleh. Benar saja. Tino yang sudah agak jauh, tengah menatapku. Kami bersitatap, meski tidak terlalu jelas karena jarak yang jauh. Namun aku dengan jelas melihat dia yang menggeleng pelan. Entah kenapa?"Ayo!" Pak Doni menarik pelan lenganku, untuk segera memasuki ruangannya. Aku menatapnya. Entah mengapa kali ini aku ragu. Aku lantas menoleh lagi, melihat keberadaan Tino. Bocah kurus itu masih di sana. Di sudut sekolah yang akan menuju ruang kelas kami. Namun dia tidak menggeleng atau memberi tanda. Hanya diam. "Ayo!' Tarikkan tangan Pak Doni kurasakan semakin keras. Aku nyaris terjatuh. Kuremas tepi rok dengan erat. Kali ini aku takut, entah karena apa. Pak Doni menutupkan daun pintu dengan rapat, tanpa menguncinya. Aku hanya menelan ludah menatapnya yang kini melepas tas ransel da

    Last Updated : 2023-11-19
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Kamu Harus Kerja, Kata Bapak

    10. Kamu Harus Kerja, Kata Bapak"Sini!"Tas Tino yang baru saja kupegang direbut paksa oleh lelaki yang tadi membawa Tino. Dia menatap galak padaku, lantas tersenyum ketika melihat isi tas Tino. Aku hanya memperhatikan lelaki kurus dan sedikit pucat itu hingga dia berbalik dan meninggalkanku. "Apa dia baik-baik saja?" tanyaku memberanikan diri bersuara. Dia menoleh sesaat, tanpa menjawab, lantas melenggang pergi meninggalkanku. "Pak—""Apa? Aku bapaknya, jadi nggak usah khawatir!"Lelaki itu lantas menutup pintu dengan keras, meninggalkanju yang masih bengong. Dia bapak Tino?Bukankah dia yang kemarin sore kulihat memarahi Tino di halaman rumah ini? Kenapa dia bisa semarah itu pada anaknya sendiri?Ah, bukankah Bapak di rumah juga sering memarahiku?Aku lantas melanjutkan perjalanan menuju pulang. Bayangan Pak Doni yang tadi hilang, kini seolah datang meneror. Aku menggeleng. Kembali mengingat bagaimana wajah yang biasanya menyenangkan itu berubah bak monster yang menakutkan. Pak D

    Last Updated : 2023-11-19
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Para Monster

    11. Para MonsterAku terkesiap bangun menjelang subuh. Teringat seragamku yang rusak karena ditarik Bapak kemarin. Segera kuambil baju putih lusuh itu dan membawanya mendekati lampu. Kuambil benang dan jarum jahit. Namun sayang beberapa kancing yang terlepas tidak kutemukan. Aku berpikir keras, bagaimana caranya agar bajuku bisa dikancingkan. Hingga akhirnya kutemukan dua peniti berkarat di tembok. Selesai!Meski hanya dengan peniti, setidaknya seragam itu masih bisa kupakai. Namun semakin kutatap seragam itu, aku semakin ragu untuk pergi ke sekolah. Teringat Pak Doni, Tino, dan sesuatu yang mungkin akan terjadi nanti. Apa Pak Doni marah? Bagaimana kalau dia semakin nekat? Ah, aku mungkin bisa melapor pada guru yang lain. Tentang Tino ... bagaimana kabarnya? Dia sakit apa, sih?Pagi sekali sudah kubereskan rumah sebelum akhirnya memandikan Kinara dan diriku sendiri. Aku lantas bersiap ke sekolah. Sempat kulirik gorden kamar Ib

    Last Updated : 2023-11-20
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Dongeng Malam Laknat

    Aku harus pulang!Ibu harus tahu tentang semua ini!Perlakuan Pak Doni harus kulaporkan!Sepanjang perjalanan menuju rumah aku terus berlari. Tak peduli jika buku tulisku tercecer, jatuh di jalan. Pun sepatu yang kini kulepas dan kubawa berlari. Aku sampai depan rumah saat ibu baru keluar dari pintu."Ibu ... to—long ...!""Kenapa kamu?" Ibu menatap sekujur tubuhku. Aku masih diam, menenangkan diri dan mengatur napas. "Bapak .... Bapak sama ... Pak Doni ....""Apa? Bapak kenapa? Pak Doni siapa?"Mendadak aku bingung. Harus darimana aku memulainya? "Apa, sih?" Ibu terlihat penasaran dengan apa yang hendak kuceritakan. Namun entah mengapa semuanya mendadak hilang di tenggorokkan."Cepet amat kamu di rumah!"Aku tersentak dan langsung menoleh. Bapak berdiri tepat di belakangku. Dia tersenyum. Tidak, tepatnya menyeringai. "Ayo, sini kamu!"

    Last Updated : 2023-11-20
  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Leena Salah Apa, Bu?

    "Kenapa kamu harus begini, Leena ...."Kurasakan jemari keriput itu mengusap pipiku yang basah. Tangannya gemetar memegang tubuhku yang bagai tak bertulang di lantai rumah. Telingaku masih mendengar percakapan Bapak dan Pak Doni di luar. Namun aku tidak mau tahu apa yang mereka bicarakan. Hingga kemudian terdengar daun pintu yang dibuka dengan grasa grusu. Aku yang menatap ke arah dapur, hanya bisa menebak jika yang masuk adalah Ibu. Benar. Itu Ibu. Dia membaringkan Kaina di kamar, lantas mendekatiku. Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibirnya. Dia hanya melihatku sekilas sembari mengambil air minum lantas kembali keluar rumah. Tuhan?Apa aku memang sudah mati?Sampai Ibu tak berminat untuk melihatku?Nenek masih bersamaku. Susah payah dia merangkak untuk mendekatiku. Diusapnya rambutku dengan lembut dan samar terdengar isak tangisnya. Ya, nenek menangis. Apakah dia menangisiku yang sudah mati? Atau

    Last Updated : 2023-11-20

Latest chapter

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Dunia Asing

    "Kamu kerja apa?" tanyaku pada Tino yang tengah berganti pakaian. Sebenarnya bukan ganti pakaian, hanya sedang mengenakan jaket kulit usang yang sedikit kebesaran di tubuh kurusnya. Celana jeans panjang belel dan kaus hitam yang berlubang di bagian punggung. "Kerja apa saja yang penting aku bisa makan!" jawabnya membuatku terdiam. "Lama?"Tino mengangguk. "Mungkin tengah malam aku pulang.""Aku?""Kenapa kamu?""Aku bagaimana?" Jujur aku takut jika harus tinggal sendiri di rumah ini. Bukan karena ada makam ibu Tino dan makam Kinara, tapi karena rumah ini memang jauh dari keramaian. Berada di tengah semak belukar yang akan tampak menyeramkan di malam hari. "Kamu takut?"Aku mengangguk cepat. "Terus, kamu mau ke mana?"Aku menggeleng. "Mau kuantar pulang?"Aku diam. Pulang? Apakah aku masih punya tempat untuk pulang?Entahlah!

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Malaikat Gondrong

    "Kamu mau bunuh diri?"Aku diam, memeluk Kinara seerat mungkin. "Ayo, kuantar pulang!"Tino mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Aku hanya diam, menatap telapak tangannya, lantas menggeleng. "Kenapa?"Aku menggeleng lagi. Kudengar dia menghela napas panjang dan duduk bersila di depanku. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat jelas wajahnya. Wajah yang sudah lama tidak kulihat. Lama tak melihatnya, Tino kurus yang dulu dekil dan masih terlihat seperti bocah kurang gizi, kini sedikit berubah. Suaranya lebih besar dengan tubuh yang sedikit lebih tinggi. Rambutnya dibiarkan panjang seleher dengan bagian depan yang nyaris menutupi mata. Dia yang dulu kukenal pendiam nyatanya banyak bicara juga. Dia bahkan seolah sudah sangat akrab denganku. "Mau pulang nggak?"Aku menggeleng. "Aku tidak punya rumah!""Ehm ....""Terus adik kamu mau diapain? Mau dibiarin jadi bangkai!"

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Setan yang Melahirkan Malaikat

    Aku terduduk lemas di lantai lorong Rumah Sakit. Tubuhku seolah tak bertulang. Hidupku hancur, tak berbentuk. Duniaku mendadak gelap dan hampa. Aku hanya diam saat beberapa petugas Rumah Sakit mendekatiku dan membantuku berdiri. Mereka membopongku memasuki sebuah ruangan dan meletakkanku di ranjang bersprei putih. "Dia pendarahan!"Aku hanya diam. Saat tangan-tangan asing itu memasang berbagai alat dan menusukkan jarum ke tubuhku. Kurasakan perih dan nyeri bersamaan di bawah sana. Mereka melepas pakaianku dan saling berbisik yang tidak bisa kudengar. Lambat laun penglihatanku kabur dan semakin lama semakin gelap. ****"Rumahmu di mana? Biar kami antar!"Aku menggeleng lemah. Rumah? Aku tidak punya!"Orang tuamu?"Aku menggeleng lagi. Apa aku punya orang tua? Punya, hanya saja mereka tidak seperti orang tua. Orang tua mana yang tega menjual dan membiarkan anaknya meregang nya

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Kinara Sayang, Kinara Malang

    Dengan ditemani Kak Nisa aku mencari Kinara. Aku ingin memastikan kondisi adikku itu. Menurut Kak Nisa Kinara mengalami pendarahan parah akibat benturan benda tumpul. Entah apa yang dilakukan Bapak pada adikku itu. Kami sampai di ruang rawat khusus anak-anak. Dengan petunjuk resepsionis kami mencari ranjang tempat Kinara dirawat. Namun kami menemukan hal lain. "Dia bukan Kinara!" ucapku pada Kak Nisa yang juga menatap lekat pada bocah lelaki dengan perban di kepala. Usianya mungkin sekitar lima tahun. Itu jelag bukan Kinara."Maaf, Bu, pasien sebelum ibu yang di sini dipindah ke mana, ya?"Ibu dari bocah itu malah menatap kami dengan tatapan tidak suka dan sedikit curiga. Bukannya menjawab dia malah mendekap anaknya erat-erat seolah takut kami akan mengambilnya. Kak Nisa menarik lenganku, mengajakku menjauh. Hingga kemudian kami bertemu seorang perawat. "Oh, atas nama Kinara, ya?"Aku mengangguk cepat. "Dia suda

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Orang-Orang Sakti

    Aku remuk. Setelah terhempas keras pada tajam dan runcingnya batu tembok kehidupan. Aku pasrah. Andai Tuhan mencabut nyawaku, aku mau. Rasa sakit yang amat sangat seolah tak menginjinkan aku tak merasakannya. Rasa sakit di sekujur tubuh semakin terasa karena aku semakin tersadar. Sadar akan rasa sakit dari orang-orang berhati iblis. Pak DoniBapak kandungku sendiriDan ....Ibu? Ya kenapa baru kusadari jika sebelum kejadian itu Ibu seolah sengaja meninggalkanku sendiri di rumah? Ibu juga berdebat tentang hutang dan orang yang memberinya uang. Apakah yang dia maksud adalah bapak dan Pak Doni?Lalu, bukankah keduanya sudah ditangkap? Atau dipenjara? Lalu mengapa mereka ada di luar? Bebas?Lagi-lagi aku terdampar di tempat yang tidak kukenali. Ruangan bercat putih dengan bau obat yang menyengat. Ada suara berisik dari alat yang entah apa namanya. Tanganku kebas, tak mampu kugerakkan. Begitu juga seluruh tubuh yang ka

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Malam Laknat yang Panjang

    Aku termenung di kamar. Berbaring di sebelah nenek yang sudah memejamkan mata. Di sebelahku ada Kinara yang masih sibuk bermain dengan boneka buruknya. Padahal sudah hampir jam sepuluh malam. Pikiranku menerawang. Berbagai kejadian yang menimpaku seolah memenuhi otak. Membuatnya hendak meledak.Pak Doni ....Bapak kandung ....Kak Nisa ....Ibu ....Hingga bapak tiriku. "Jangan, San! Aku mohon!"Aku terkesiap. Suara kursi yang ambruk dan daun pintu yang dibanting terdengar jelas. "Lalu harus bagaimana? Kamu pikir uang hasil ngojek cukup?""Besok aku carikan lagi!""Dia sudah kasih aku uang!"Apa yang Ibu dan Bapak debatkan?"Dia itu anakmu!""Iya. Dia memang anakku dan aku punya hak melakukan apapun ke dia!"Kudengar langkah ibu ke arah kamar tempatku berbaring. Gorden pintu disibak, Ibu muncul di ambang pintu. "Sini kamu!" Aku bangkit dan mendeka

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Aku Tidak Gila

    Aku hanya menatap kosong ke arah meja yang berisi beragam makanan lezat. Bahkan beberapa jenis makanan yang dihidangkan Kak Nisa belum pernah kulihat sebelumnya. Aku tak berminat menyantapnya, melihatnya saja aku tidak bertenaga. Duniaku terasa hampa, tanpa suara sedikit pun. Semua pun mendadak kelam dan gelap. Tidak ada satu pun yang kupikirkan, selain ... aku ingin mati!Dari Kak Nisa dan pembicaraan beberapa orang yang tidak kukenal, aku sudah ditampung di sebuah panti. Entah panti apa dan di mana. "Bapak dan Pak Doni sudah diproses secara hukum. Mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Kamu aman di sini!"Apa aku percaya? Sepertinya tidak!Jika aku aman, mengapa orang-orang baru itu seolah menatapku jijik. Beberapa orang mengarahkan ponsel dan kamera dengan cahaya silau yang sesekali menyala. Mereka juga sibuk berbicara di depan kamera sembari menyorot ke arahku. Apa yang mereka lakukan?"Ada ibumu!" Duniaku

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Aku Bagai Hewan Tak Berharga

    "Kak Nisa?" panggilku pada Kak Nisa yang sudah berlari mendahuluiku. Dia berhenti lantas menoleh padaku, menatapku bingung seolah bertanya, ada apa?Mataku tak beralih dari kaus putih di depanku, kulihat Kak Nisa juga menatapnya. "Itu—""Kalian di sini?"Aku terkejut lantas menoleh ke belakang. Ada Kak Jago dan ....Aku langsung berlari mendekati Kak Nisa yang juga kulihat terkejut. Ya, Kak Jago mendekati kami bersama Pak Doni dan Bapak. Pak Doni sudah mengenakan perban di matanya. Sementara Bapak terlihat terengah-engah seperti baru saja mengejar sesuatu. Keduanya menyeringai ke arahku. Seringai yang tak dilihat oleh Kak Jago. "Leena, kamu dicari bapak sama guru ini!"Aku menggeleng. "Katanya kamu udah berhari-hari nggak sekolah, juga nggak pulang ke rumah!""Nggak!" gumamku dengan tubuh yang semakin gemetar. Kucengkeram ujung baju Kak Nisa, mencari perlindungan. "Nggak! Mereka b

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Iblis Berbentuk Manusia

    Keesokan paginya Bapak kembali menungguku di depan rumah, di atas motor. Tidak ada pertanyaan mengapa aku kemarin pulang lebih dulu. Lelaki kurus itu hanya diam. Kali ini aku mengenakan celana jeans panjang dan kemeja panjang pemberian Kak Nisa. Aku bahkan menyelipkan sebuah jarum pentul di retsleting celana. Ya, aku harus bisa melindungi diri. Tidak boleh takut dan harus berani menghadapi apa saja yang akan terjadi nanti. Seperti kemarin, sepanjang perjalanan aku dan bapak tiriku hanya diam. Dia fokus ke jalan, aku fokus ke sekitar dan tentu saja pikiranku. Bagaimana kalau Pak Doni datang lagi?Bagaimana kalau Bapak juga di sana?Bagaimana kalau mereka berdua kembali melakukan hal yang tidak-tidak padaku?Ah, andai aku berteriak meminta tolong, adakah yang peduli?"Ibu pikir kamu nggak ke sini lagi?" ucap wanita pemilik rumah makan yang kemudian kutahu bernama Bu Mira. Wanita bertubuh gemuk itu langsung men

DMCA.com Protection Status