"Fa, aku pergi dulu ya. Sekali lagi Mas minta maaf, nanti kita bisa pergi lain waktu.""Nggak apa-apa Mas, Aku ngerti kok. Mas Tito sibuk," jawab Syifa meskipun msih terdengar nyolot. "Udah, nggak usah ngambek. Kayak anak kecil aja, ingat kamu udah gede. udah mau kuliah, kalau mau jalan-jalan. Yuk sama Mas Dafa sama Mba Aya,""Aku nggak ngambek! apaan sih, Mas," katanya tidak ngambek tapi dari raut wajah gadis itu terlihat sekali jika sedang kesal. "Ya udah nggak ngambek, tapi Nesu," ledek Dafa dengan kata Nesu yang berarti marah. "Sopo seng nesu! aku ora Nesu." sontak Dafa terbahak sebab, adiknya itu justru berbicara dengan bahasa Jawa. Aya dan Tito tentu hanya diam, mereka kurang paham apa yang di ucapkan Syifa. "Kalian kenapa jadi berantem sih, mana gue nggak tau artinya lagi!" sungut Tito kesal. "Udah sana pergi. Katanya tadi ada meeting, gimana sih lo!""Ya ini gue mau pergi," Tito menoleh pada Syifa. "Fa, aku pergi ya. Assalamu'alaikum,"Gadis itu mengangguk. "Wa'alaikumsa
"Aku ganti baju dulu, habis itu aku buatin siomay-nya." kata Dafa sembari menyuruh Aya duduk di sofa. "Aku boleh lihat nggak Mas?""Jangan, mending aku di sini aja. Tunggu aku selesai masak." Aya berubah sendu, matanya pun sudah berkaca kaca. Dafa jadi bingung sendiri, ternyata wanita hamil memang mudah menangis, baru sedikit bicara dengan nada tinggi sudah menangis. Pria itu menekuk lutut, berlutut di hadapan Aya. "Jangan nangis dong sayang, aku bukannya nggak bolehin kamu lihat, tapi aku nggak mau kamu kecapean,""Aku kan, nggak ngerjain apa-apa. Nggak mungkin capek Mas," Dafa meringis, benar juga. "Oke deh, asal kamu lihat aku masak aja. Duduk di kursi anteng di sana," pesan Dafa. Aya berubah ceria kembali, ia tersenyum lalu mengangguk setuju. Sebagai hadiahnya, Aya memcium pipi Dafa yang membuat pria itu semakin senang. Berganti baju terlebih dahulu, Dafa baru berkutat di dapur, mulai memotong ayam, udang dan ikan tenggiri. Aya nurut duduk anteng di kursi, melihat bagaiman
"Assalamu'alaikum," "Wa'alaikumsalam," jawab Syifa yang membukakan pintu untuk Tito. "Sudah siap?""Sudah Mas, aku pikir Mas Tito nggak bisa lagi." Tito terkekeh menepuk puncak kepala Syifa. "Nggak lah, kan kemarin Mas sudah janji. Nggak mungkin bohong," seulas senyum manis tercetak di bibir Syifa. "Kita pamit dulu ya Mas,""Oke," Tito menurut, ia ikut masuk untuk bertemu Bu Hasniah dan tentunya Dafa sahabatnya. "Sebenarnya, lo mau bawa kemana lagi adik gue?""Terserah, Syifa-nya aja. Dianya mau kemana," jawab pria itu sambil melirik pada gadis itu lalu tersenyum tipis. "Aku pengin keliling Jakarta, Mas Dafa." ujar Syifa greget. "Kalau cuma keliling Jakarta, Mas Dafa juga bisa. Ngapain harus sama si buaya!""Siapa buaya?" beo Syifa dengan raut wajah cengonya. "Tuh di sampingmu." tunjuk Dafa memkai dagunya. "Sembarangan! jangan di dengerin Fa, Mas mu ini memang minta di cubit ginjalnya!" sungut menatap tajam pada sahabatnya itu. Dafa terbahak puas, ketika sudah berhasil mengg
Tito mengajak Syifa berkeliling Jakarta, sampai gadis itu puas, dan tempat terakhir yang mereka kunjungi adalah Taman kota, di sana Syifa seperti anak kecil yang bebas mau pergi kemanapun. Tito hanya mengikuti dari belakang, memperhatikan wajah cantik Syifa yang sedang bahagia, lagi lagi dia senang ketika melihat senyum gadis itu, pokoknya hari ini ia ingin memanjakan Syifa. "Mas, boleh nggak? aku beli itu?" tunjuk Syifa pada pedagang telur gulung, sosis bakar dan juga bakso bakar. "Boleh, beli sepuas kamu." Syifa bersorak lalu berlari kecil menghampiri pedagang tersebut. Syifa membeli telur gulung sosis bakar, dan bakso bakar cukup banyak, usah membayar Tito mengajak gadis itu untuk duduk di salah satu bangku di taman itu. "Ehmm_ enak. Nggak beda jauh sama di Jawa," kata Syifa terkikik geli. "Boleh," jawab Tito. Entah Syifa sadar atau tidak, namun gadis itu memberikan telur gulung miliknya yang sudah dia gigit ke Tito, dan pria itu menerima saja. "Enak Mas?" "Enak," jawabann
Sudah hampir setengah jam, Dafa dan Aya keliling kota Jakarta untuk mencari gado-gado, dapat di pastikan tidak ada penjual gado-gado di jam dua belas malam. Sebenarnya Dafa sudah yakin tidak mungkin ada, namun demi menyenangkan dan meyakinkan Aya, ia menuruti permintaan bumil, keliling kota mencari makanan yang sedang dia inginkan. Dafa menoleh, ia mengerutkan kening saat melihat ada cairan bening di pelupuk mata sang istri. Dafa bergegas menepikan mobilnya, menghadap kearah Aya. "Sayang, kamu kenapa? ada yang sakit?" panik Pria itu menarik lembut dagu Aya agar melihat kearahnya. "Aku sedih Mas, penjual gado-gado nya nggak ada," katanya berbahasa isyarat, lalu jatuh sudah air matanya. Dafa menghela napas, ia pikir ada terjadi sesuatu pada istrinya. "Ya Allah, sayang. Aku pikir kamu kenapa," menarik tubuh sang istri, Dafa mengusap punggung Aya yang bergetar. "Ini sudah malam, sayang. wajar kalau penjualnya nggak ada, makanya tadi nawarin untuk aku aja yang buat,"dengan wajah sen
"Lo suka kan sama Syifa?" Tito diam, memalingkan wajah. "Lo diam berarti memang benar, gue pikir kemarin-kemarin lo nggak serius, tapi semakin kesini. Semakin gue yakin lo punya perasaan sama adik gue,"Helaan napas keluar dari mulut Tito, ia menunduk memandang sepatunya sendiri. "Awalnya gue juga nggak yakin, karena lo tau kan? gue udah lama nggak ngerasain kayak gini, seperti yang pernah gue bilang.""Gue udah coba ngelak dan berusaha tahan perasaan gue, tapi nggak bisa Daf. Maaf kalau lo marah sama gue," ujar Tito yang berarti membenarkan ucapan Dafa. Kini Dafa yang menarik napas panjangnya. Menatap lurus kedepan, tersiam sejenak dengan pikirannya. "Kenapa minta minta maaf? Tito menoleh pada Dafa. "Gue tau gimana rasanya, karena gue pernah ada di posisi lo, di saat Aya masih milik orang lain, gue udah berusaha menahan perasaan gue. Tapi nggak bisa, justru semakin kita lawan. Perasaan itu semakin besar."Dafa perlahan memiringkan wajah menatap Tito. "Gue memang pengin lo jatuh c
Semenjak kejadian kemarin, Syifa sering terdiam memikirkan Tito, entah kenapa dia semakin hari semakin ingin tau dan merasa ada yang aneh dengannya. Ada perasaan tidak suka, ketika kemarin ada seorang perempuan yang datang kepada pria itu. Apalagi mereka begitu terlihat sangat akrab, walaupun Tito merespon kurang baik pada wanita itu, tetap saja dia merasa jengkel, marah dan nggak suka. "Aku kenapa sih! kenapa mikirin Mas Tito terus, kalau pun cewek itu, pacarnya ya biarin dong. Tapi kenapa rasanya nggak enak gini ya," monolog gadis itu, ia mengacak rambutnya kesal. "Apa iya, aku suka sama Mas Tito? Kalau beneran gimana? emang boleh sama Mas Dafa, secara umur kita cukup jauh," ujarnya lagi. Masih sibuk dengan pikirannya, ponselnya berdering. Satu notif masuk dari pria yang sedang dia pikirkan.Syifa mebdesah berat, membaca pesan dari Tito. Pria itu bilang, jika dia besok siang akan kerumah untuk memberikan sesuatu untuk dirinya. Hanya membalas kata singkat, Syifa menaruh benda p
Syifa terdiam memperhatikan apa yang Tito bawakan untuknya, setumpuk beberapa buku tebal. "Mas, seharusnya. Mas Tito nggak perlu bawain buku sebanyak ini?" "Nggak apa-apa, Mas tau jurusan yang kamu ambil membutuhkan buku yang nggak dikit, jurusan kita sama, jadi ini ada beberapa buku punya Mas. Yang sudah nggak di pakai, kamu bisa pakai aja, dari pada kamu belikan. Ya memang sih kamu masih harus beli buku yang baru, karena kadang ada yang nggak sama materinya, tapi paling nggak. Buku Mas bisa bantu,* ujar Tito panjang lebar. Syifa meringis malu. Ia tidak enak selalu saja merepotkan pria yang begitu baik dengannya. "Tapi Mas, aku sudah bilang kemarin. Aku nggak enak, ini pasti buku-buku mahal,""Justru itu, karena buku ini mahal. Mas mau kasih ke kamu, supaya bisa berguna. Kalau cuma Mas pajang di perpus rumah Mas, nggak ada gunanya. Malah nanti rusak nggak bisa di pakai."Berpikir sejenak, sebelum ia menerima pemberian Tito. "Udah terima aja," keduanya kompak menoleh, ketika suara Da