Di sebuah rumah mewah nan megah, terdapat seorang laki-laki berusia 25 tahun yang sedang berseteru dengan orang tuanya, pria itu begitu marah saat dia tiba-tiba di beritahu jika dirinya akan di jodohkan oleh seorang wanita yang sama sekali tidak dia kenal.Ada beberapa alasan, kenapa dia tidak mau menuruti keinginan orang tuanya. Selain karena dia sudah memiliki kekasih, ada fakta yang paling tidak bisa ia terima adalah. Perempuan yang akan di jodohkan dengannya memiliki kekurangan, yaitu tidak bisa bicara.Itu sebabnya pria bernama Rama tersebut, sangat tidak setuju dan menolak dengan tegas."Sampai kapanpun aku tidak ingin menuruti keinginan Papa dan Mama. Aku tidak ingin menikah dengan gadis bisu itu!""Rama! Jaga ucapanmu. Dia punya nama. Dan dia itu calon istri kamu!" Rama tersenyum miring menatap sang Papa sengit."Terserah! Aku tidak peduli. Intinya aku tidak ingin menikah dengan dia!" tunjuk Rama pada gadis yang sedari tadi hanya diam
Tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang ingin, lahir dengan keadaan dalam kekurangan. Namun apakah kita bisa memilih, tentu saja tidak bisa. Kita sebagai makhluk yang terlahir di dunia ini harus bisa menerima dan menjalani takdir yang sudah tuhan beri.Tidak perlu mengeluh ataupun menyalahkan tuhan, percayalah jika ada tawa setelah tangis, ada suka setelah duka.Itu yang selalu menguatkan hati seorang Ayana Salsabila. Jika tidak dirinya sendiri siapa yang menguatkannya untuk hidupnya sendiri.Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu membuat Rama yang masih bergelung di bawah selimut, terpaksa bangun dan membuka pintu tersebut."Apaan sih! Ganggu aja." Aya tersenyum lalu menyodorkan ponselnya."Makasih ya, kemarin Mas bawa aku sampai sini. Maaf aku ngerepotin Mas Rama, aku nggak bisa tahan rasa takut aku."Rama tersenyum sinis. "Gue nggak peduli!"Brak!Rama menutup pintu kamarnya lagi tepat di depan wajah Aya. Ga
"Bunga terus yang di kasih makan, emang kamu sudah makan?" tanya Dafa ketika melihat Aya yang begitu tekun merawat tanamannya.Aya sedikit terkejut saat mendengar suara Dafa, ia menoleh sekejap lalu mengeluarkan ponselnya untuk menuliskan sesuatu. "Sudah, kalau kamu sudah belum?""Wah.. Ini pertanyaan atau tawaran, kan lumayan kalau dapat sarapan gratis." ujar Dafa berniat menggoda gadis itu.Aya tersenyum lalu memberi isyarat untuk tidak kemana-mana. Dafa menurut, ia menunggu gadis itu. Hingga beberapa menit Aya kembali dengan membawa satu piring nasi penuh berserta lauknya. Dafa mendelik padahal kan niatnya hanya menggoda gadis itu, namun ternyata Aya benar-benar memberikannya sarapan.Karena jarak pagar balkon mereka menempel Aya mudah menaruh piring tersebut di atas pagar Dafa.Raut wajah Aya berubah ketika Dafa tak kunjung menerima makanannya. Apakah semua orang tidak ingin mencoba makanan dari masakannya.Perlahan Aya menarik kembali p
Hari demi hari sudah berlalu begitu cepat. Tidak terasa umur pernikahan Rama dan Ayana sudah dua minggu lamanya.Kian hari bukannya kebahagiaan yang Aya dapatkan, namun siksaan demi siksaan di berikan oleh Rama kepadanya. Pria itu semakin menyiksa Aya tiada henti, tidak ada hari selain meyakiti gadis itu. Hingga saat ini pun Rama tidak pernah mengagap Aya sebagai istrinya, melainkan sebagai pelayan di apartemennya.Aya selalu menuruti keinginan suaminya, tapi entah kenapa apapun yang di lakukannya selalu salah. Sampai-sampai ia bingung harus bagaimana.Hubungan dengan tetangganya itu pun juga sangat baik, saat ini hanya Dafa yang bisa menghiburnya, tadinya pria yang masih berusia 24 tahun itu tidak curiga. Namun lama-kelamaan saat melihat wajah pucat dan lebam di pipi Aya. Ia mulai curiga.Dafa sudah menyuruh Aya untuk melaporkan suaminya yang sudah melakukan KDRT pada pihak yang berwajib, namun Aya memohon untuk tidak memberitahu kepada siapapun ataupun
"Tadi gue bilang beli martabak apa! Kenapa rasa ini!" bentak Melinda ketika martabak yang Aya bawa tidak seperti dia mau.Aya mengambil kertas dan pulpen di atas meja. "Maaf, martabak yang kamu minta tidak ada, jadi aku belikan itu aja. Maaf jika kamu tidak suka,""Alasan! Bilang aja lo nggak ikhlas kan!" Aya menggelengkan kepalanya kuat."Ini ada apa sih. Ribut-ribut?" saut Rama."Ini lho sayang, istri kamu. Aku minta martabak coklat sama Red velvet, malah di belikan ini." adu Melinda sambil memberi bungkusan itu pada Rama.Pria itu menatap horor kearah Aya yang memandangnya dengan tatapan sendu, berharap suaminya tidak menyalahkan dirinya."Lo tau nggak. Pacar gue alergi kacang! Lo mau bunuh pacar gue! Iya!!" bentak Rama murka.Aya menggeleng kuat, dia tidak tahu jika Melinda alergi kacang, Ia mundur ketika Rama maju dengan emosi penuh.Plak!Rama menampar pipi Aya kiri dan kanan terus-menerus secara kuat hingga sudut
"Dafa. Makasih ya, sudah mau belikan aku bubur sama bahan makanan lainnya. Nanti kalau aku sudah punya uang, aku kembalikan."ujarnya dengan tulisan di ponsel."Nggak usah di kembalikan, aku ikhlas untuk kamu." tulus Dafa Aya mengangguk tidak enak."Kalau gitu aku pamit dulu ya, aku ada perlu." pamit Dafa lalu segera pergi setelah mendapatkan anggukan dari Aya.Wanita itu memperhatikan Dafa hingga hilang di balik pintu lift, ia menatap bungkusan yang Dafa belikan untuknya. Berupa beras lima kilo, mie instan dan juga beberapa butir telur. Lagi-lagi Aya sangat merasa tidak enak, tapi karena ia memang butuh dan juga pria itu yang menawarkan membuatnya menerima bantuannya.Aya segera masuk. Dan langsung menuju dapur untuk menaruh barang bawaannya.Prang!Aya memekik sampai menutup telinganya, ketika suara benda pecah menghantam dinding di dekatnya. "Bagus ya lo! Suami nggak ada di rumah, lo keluyuran sama cowok lain!"
Dafa bernafas lega ketika melihat Aya membuka matanya, gadis itu tak sadarkan diri cukup lama. Pria itu hampir saja membawa Aya kerumah sakit jika tidak sadar-sadar juga."Alhamdulillah kamu sudah sadar," Dafa mengucap syukur memandang Aya senang.Aya memegangi kepalanya yang berdenyut, ia mencoba mengingat kembali apa yang sudah terjadi.Wanita itu bangun untuk bersandar di kepala ranjang. Sigap Dafa membantu menaruh bantal di balik punggung Aya.Aya mengambil buku di sampingnya lalu menulis sesuatu, Dafa diam menunggu apa yang Aya tulis. "Terima kasih ya, kamu mau nolongin aku. Maaf aku pasti merepotkanmu.""Tidak perlu bilang makasih, sebagai teman. Kita harus saling tolong menolong," ada rasa nyeri ketika dirinya mengatakan jika dia teman pada Aya.Dafa berdeham tidak ingin memperdulikan isi hatinya. "Aku sudah buat kan bubur, tadi aku lihat bahan yang kita beli kemarin ada di tong sampah." Aya mendelik lalu cepat-cepat menulis."
"Assalamu'alaikum," salam Rama ketika masuk kedalam rumahnya.Semua penghuni rumah orang tua Rama menoleh kearahnya, Bu Sarah tersenyum lebar ketika melihat siapa yang datang. "Ya ampun Aya, Mama kangen sama kamu nak. Apa kabar?" Aya tersenyum canggung lalu menyalami tangan sang mertua."Alhamdulillah baik Ma," tulis Aya di buku kecilnya."Tapi kok. Mama lihat kamu kurusan sayang? Muka kamu juga pucat?""Itu Ma, dia memang lagi kurang enak badan. Tadinya aku minta dia istirahat aja tapi dianya nggak mau." jawab Rama memotong ucapan Mamanya, dia takut Mamanya akan curiga."Jadi kamu lagi nggak enak badan? Kalau badan kamu kurang fit. Aturan nggak usah ikut nggak apa-apa nak, ini cuma acara keluarga yang kumpul setiap bulan." Bu Sarah terlihat sekali jika khawatir pada menantunya."Tuh kan sayang, apa aku bilang. Tadi aku bilang apa? Nggak usah ikut." ucap Rama lembut memberi senyuman manis pada wanita itu.Bu Sarah mengulum senyum sena
Di tengah malam sekitar pukul 00:30 seorang gadis cantik, terlihat gelisah di atas kasur. Sedari tadi tubuhnya terus bergerak kesana kemari, gadis tersebut adalah Syifa, yang sedang bingung untuk mengambil keputusan apa tentang Tito. Hatinya tengah bimbang, antara masih ragu, takut dan tidak percaya. Syifa ragu jika harus menikah di usia muda, namun dia juga takut kehilangan Tito kalau sampai dirinya menolak, di sisi lain Syifa tidak percaya jika Tito merubah keputusannya menjadi menikahi dirinya, bukan untuk melamarnya. Jujur Syifa takut jika dia menikah sekarang, dirinya tak bisa membahagiakan pria tersebut, selama ini Tito begitu tulus mencintainya. Dirinya takut kalau nanti akan mengecewakan pria yang begitu dia cintai. Menghembuskan napas berulang kali, Syifa pun bermonolog. "Mungkin ini jalan terbaik, semoga apa yang sudah aku putuskan. Nggak akan salah dan merugikan semuanya." mengepalkan tangannya gadis tersebut menguatkan dirinya sendiri. "Syifa! ayo kamu pasti bisa. N
"Maksud Mas gimana? bukannya kita kesana baru mau membicarakan tentang hubungan kita ke Bapak?"Tito merubah posisinya, ia memegang setir dengan dua tangannya. "Mereka tetap mau menjodohkan aku dengan perempuan itu, kecuali aku sudah menikah. Maka mereka akan menghentikan perjodohan dan merelakan aku nikah sama kamu," "Tapi Mas, aku masih kuliah, memangnya Mas nggak masalah punya istri yang berstatus mahasiswa?""Memang kenapa? Mas nggak masalah. Menurut Mas lebih cepat lebih baik, atau kamu yang belum siap?" "Aku nggak tau? Aku cuma nggak mau jadi istri yang nggak baik,""Kenapa bisa mikir gitu, banyak kok di luar sana. Istrinya yang masih berstatus pelajar, dan mereka bisa menjalani itu dengan baik." lanjut Tito tak mau kalah. "Kasih aku waktu untuk mikir," putus Syifa memohon pada Tito agar pria itu mengerti dirinya juga berhak mengambil keputusan. Menarik napas panjangnya, Tito hanya bisa mengangguk pelan, menghargai keinginan gadisnya yang ingin memikirkan lebih dulu tentang
Hari demi hari telah di lalui oleh Aya begitu cepat, tidak terasa kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan sesuai rencana. Acara tujuh bulanannya akan di adakan dikota semarang, sesuai permintaan wanita itu, tentu Dafa dengan senang hati, mempersiapkan semuanya. Dan rencananya esok lusa, mereka akan berangkat ke sana, lalu untuk masalah syifa. Dafa waktu itu turun tangan menemui orang tua Tito. Memberitahu jika putra mereka sudah memiliki pendamping, tak perlu menjodohkan karena Tito sudah memiliki wanita yang sudah pria itu pilih. Dafa sempat adu mulut dengan orang tua Tito, mereka tidak setuju jika putranya menikah dengan wanita yang bukan pilihan dari orang tuanya. Namun Dafa tidak ingin membuat sahabatnya menderita lagi oleh kelakuan orang tuanya, maka ia memberanikan diri untuk melawan ucapan kedua orang tua tersebut. "Sayang, sudah dong kamu jangan gerak kesana sini, aku nggak mau ya. Kamu kecapean," Aya mengulas senyum. Menghampiri suaminya yang berdiri sembari mel
Sudah berada di parkiran mobil, Aya diam berpegangan pada badan mobil lebih dulu. "Sayang, kita kerumah sakit ya?" ajak Dafa yang tak tega dan juga melihat wajah pucat kesakitan istrinya. Aya menggeleng pelan. "Nggak usah Mas, aku nggak apa-apa. Kita pulang aja.""Nggak apa-apa gimana? kamu kesakitan gini. Kita tetap kerumah sakit, oke."Dafa tidak mau terjadi sesuatu kepada calon anaknya, tapi Aya kekeuh tak ingin pergi. "Nggak usah Mas, aku mau pulang. Aku mau istirahat, aku yakin buat istirahat sudah hilang. Jadi kita pulang aja ya," mohon Aya matanya menatap sendu kepada suaminya. Dafa menghela napas panjangnya, ia paling lemah jika Aya sudah memohon seperti itu. "Oke kita pulang aja," membantu Aya masuk ke mobil dan juga memasangkan sabuk pengaman. Setelah menutup pintu ia berniat segera memutari mobilnya, namun saat berbalik badan Dafa cukup terkejut ada Pak Suryo dan Bu Sarah. "Ada apa lagi?" ucap Dafa datar. "Maaf saya harus segera pulang.""Kami ingin mengucapkan terima
Sudah berada di depan tempat Rama berada, Ayana meminta untuk tidak keluar terlebih dahulu, ia mengatur dirinya sendiri, agar tidak takut, tidak gugup dan yang paling harus tetap tenang. Dengan setia Dafa di sampingnya, menggengam tangan Aya yang terasa dingin dan berkeringat, sembari terus memandang sang istri dari samping, ia juga memberi kecupan di punggung tangan wanita itu. "Sebentar ya Mas," izin Aya saat menoleh mendapati sang suami menatap teduh kepadanya. "Iya sayang, aku tenangin diri dan persiapkan semuanya, aku di sini selalu jagain kamu." mengangguk pelan Aya kembali melihat kedepan, yang di mana ia sudah melihat ada Pak Suryo dan Bu Sarah sedang menunggu dirinya. Mereka tidak datang kearahnya, karena Dafa sudah memberitahu kepada mereka untuk sabar dan menunggu terlebih dahulu. Memejamkan matanya Aya seperti melafalkan doa, Dafa menepuk puncak kepala istrinya dengan sayang. Membuka matanya Aya menggerakkan tangannya. "Yuk Mas," ajak Aya yang sudah yakin. "Sudah si
"Sayang, bisa nggak? nggak usah dandan. Biasa aja gitu, bajunya emang nggak ada yang lain?" keluh Dafa saat melihat istrinya yang sedang memoleskan bedak ke wajahnya. Aya memutar bola matanya jengah, ini sudah yang keberapa kalinya, Dafa mengatakan hal yang sama. "Ini sudah biasa aja Mas, aku bahkan nggak pakai lipstik. Baju ini juga baju rumahan," kata Aya dengan tatapan sebalnya. "Ck_ kamu tuh terlalu cantik, Ay_ aku nggak suka,""Terus aku harus gimana? aku udah biasa aja lho. Kalau Mas terus kayak gini, mending nggak usah pergi!" ujar Aya menggunakan bahasa isyarat. "Oke, lebih baik memang seperti itu. Kita nggak usah pergi!" saut Dafa. Aya mengangguk, lalu berjalan merebahkan tubuhnya di atas kasur, melihat itu Dafa melongo tak percaya, padahal ia tidak serius. "Lho sayang, kok kamu malah tidur sih? kan kita mau ke lapa?" bangun lagi dari rebahannya, Aya kian menatap Dafa kesal. "Tadi siapa yang nyuruh nggak jadi pergi? ya udah mending aku tidur!" jawab Aya matanya pun mel
Brak!! Suara gebrakan terdengar begitu keras di salah satu tempat kecil dan sedikit gelap. Di sana ada satu perempuan tengah duduk di kursi tangan dalam keadaan terikat di belakang tubuhhya. Tangisan pun terdengar lirih di sela keheningan yang ada, perempuan itu tidak sendiri, ada dua laki-laki berjas hitam. "Maksud kamu apa datang ke toilet ketika sepi, dan ingin melabrak pacar saya?!" ujar suara bariton di hadapan perempuan itu, dan suara pria tersebut tak lain adalah Tito. Ia menyuruh anak buahnya untuk menculik Felly dan membawanya di salah satu gedung kosong, Tito hanya ingin sedikit memberi pelajaran kepada wanita yang sudah membuat sang kekasih ketakutan. "Kamu mau celakai Syifa? IYA?!" Felly terlonjak kaget mendengar bentakan dari Tito. "Kamu nggak tau berhadapan dengan siapa? kamu pikir saya diam aja, ketika ada orang yang mau menyakiti pacar saya."Tubuh Felly menegang, ia begitu ketakutan melihat raut wajah Tito, yang biasanya ia lihat begitu tampan, kini berubah men
"Syifa. Kamu nggak apa-apa kan dek?" tiba di rumah Syifa langsung di lihat kondisinya oleh sang Kakak. Tadi Dafa mendapatkan kabar dari Tito, Syifa di ganggu oleh salah satu mahasiswi di sana, tentu Dafa langsung kalang kabut bahkan ia ingin menyusul Syifa ke kampus. Namun urung, saat Tito mengatakan jika masalah ini biar dia yang mengurus. "Aku nggak apa-apa, Mas. Tadi aku telepon pihak keamanan di kampus, jadi alhamdulillah sebelum aku kenapa-napa, satpam sudah datang dan tolongin aku. Lagian tadi juga ada teman aku yang bantuin, kalau nggak ada siapa-siapa, ya aku nggak tau nasib aku." ujar Syifa. "Alhamdulillah, Mas khawatir banget sama kamu dek.""Tenang aja, Daf. Syifa aman kalau sama gue." timpal Tito. "Tolong ya ngaca. Lo ya sumber dari masalah ini," sungut Dafa kesal. "Lah kok gue?'" Iyalah, coba lo nggak caper ke mereka. Nggak ada yang bakal ganggu adek gue!""Astagfirullah_ siapa yang caper coba?!" jawab Tito tak terima. "Halah sok-sokan. Nggak mau ngaku lagi," Tito
Syifa berada di kamar mandi bersama satu gadis bernama Weni, dia adalah teman satu bangku dengang Syifa, keduanya terlihat asyik bercanda hingga suara bantingan pintu terdengar cukup keras membuat dua gadis itu terlonjak kaget. "Kalian apa-apaan sih! mau ngapain Hah?!" bentak Weni yang begitu berani. Syifa membulatkan matanya melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam kearahnya. Gadis itu mundur beberapa langkah, ingat pesan dari sang kekasih Syifa buru-buru masuk kedalam satu bilik kamar mandi dan menguncinya dari dalam. "Jangan sembunyi lo! keluar." bentak seorang gadis. "Kenapa, lo takut! dasar cupu." Syifa tak memperdulikan teriakan yang tak lain adalah Felly. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas, Syifa menelpon nomer keamanan kampus, beruntung pihak kampus bisa memberi nomer jika terjadi sesuatu pada mahasiswa atau mahasiswinya. "Hai! mau ngapain kalian di sini. Kalian ke kampus untuk belajar, bukan sok jadi pahlawan seperti ini!" bentak pak Rahmat, m