Tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang ingin, lahir dengan keadaan dalam kekurangan. Namun apakah kita bisa memilih, tentu saja tidak bisa. Kita sebagai makhluk yang terlahir di dunia ini harus bisa menerima dan menjalani takdir yang sudah tuhan beri.
Tidak perlu mengeluh ataupun menyalahkan tuhan, percayalah jika ada tawa setelah tangis, ada suka setelah duka.
Itu yang selalu menguatkan hati seorang Ayana Salsabila. Jika tidak dirinya sendiri siapa yang menguatkannya untuk hidupnya sendiri.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membuat Rama yang masih bergelung di bawah selimut, terpaksa bangun dan membuka pintu tersebut.
"Apaan sih! Ganggu aja." Aya tersenyum lalu menyodorkan ponselnya.
"Makasih ya, kemarin Mas bawa aku sampai sini. Maaf aku ngerepotin Mas Rama, aku nggak bisa tahan rasa takut aku."
Rama tersenyum sinis. "Gue nggak peduli!"
Brak!
Rama menutup pintu kamarnya lagi tepat di depan wajah Aya. Gadis itu hanya bisa menghela napas dan kembali ke dapur.
Memasak untuk sarapan suaminya adalah tugas seorang istri, setelah memasak Aya melanjutkan pekerjaan membersihkan rumah. Gadis itu melakukannya sambil tersenyum, entah dia memang mudah tersenyum atau memang ia senang menjalani pekerjaan seperti itu.
Pukul setengah delapan, Rama keluar dengan pakaian formalnya, Aya yang baru pertama kali melihatnya pun terpana apalagi Rama menggulung kemejanya hingga batas siku. Membuat ketampanannya meningkat.
Aya tersenyum menunjuk pada meja makan. Berniat menyuruh suaminya itu untuk sarapan. Rama memandang Aya dan makanan itu sekejap lalu tersenyum remeh. "Lo pikir gue mau makan masakan lo. Jangan mimpi!" kata Rama dingin, setelah itu pergi meninggalkan Aya yang terdiam dengan ucapannya. Tanpa sadar air matanya lolos membasahi pipinya.
Lagi-lagi harusnya ia sadar, jika dia hanya istri di atas kertas. Sampai kapanpun Rama tidak ingin mengakui jika dirinya adalah istrinya.
Di luar apartemen Rama sudah di sambut oleh wanita berpakaian cukup seksi, wanita itu bersandar pada mobil milik Rama. Tersenyum genit saat Rama sudah dekat dengannya.
"Maaf lama ya, aku baru bangun." kata Rama lembut mengusap pipi wanita yang tak lain kekasihnya.
"Apa kamu kesenangan bermain dengan istrimu itu semalam, sampai-sampai baru bangun." ujar wanita itu cemberut.
Rama terkekeh. "Bermain? Menyentuhnya saja aku tak sudi!" katanya di akhiri tawa mereka berdua.
Rama segara menyuruh kekasihnya masuk kedalam mobil. Tujuannya Rama bukanlah kantor melainkan hotel untuk bersenang-senang dengan kekasihnya itu.
Aya memandang masakannya sendu, jika seperti ini. Siapa yang akan makan, ia sudah memasak cukup banyak. Jika di buang akan sayang.
Aya makan di meja makan seorang diri. Menikah ataupun belum menikah, hidupnya sama saja. Selalu sendiri tidak ada yang mau bersamanya.
Aya menangis tanpa suara, kadang ia ingin mengeluh pada takdir yang sudah membuatnya seperti ini. Jika bisa memilih, ia tidak ingin hidup dengan keadaan berbeda. Namun semua sudah menjadi garis hidupnya.
Tidak bisa di tolak ataupun di bantah. Semua hanya bisa di jalani. Yang terpenting bagi Aya masih di beri umur dan napas oleh tuhan. Itu sudah lebih dari cukup dan sangat bersyukur.
Terpaksa Aya memasukkan makanannya kedalam lemari es, setelah itu ia membersihkan diri. Aya berjalan kearah balkon. Membuka pintu tersebut, Matanya berbinar ketika ada beberapa tanaman di sana. Aya buru-buru mendatangi tanaman itu dan melihatnya ada tanaman apa saja.
Senyumanya semakin merekah saat melihat ada mawar merah dan putih, ada anggrek juga tapi sayang belum terlalu besar. Ia berjanji akan merawat mereka karena dirinya memang suka dengan bunga. Itulah kenapa ia berjualan bunga keliling.
Namun sekarang statusnya yang sudah menjadi istri, Mama mertuanya melarangnya untuk berjualan lagi. Beruntung di apartemen suaminya ada beberapa tanaman, hitung-hitung menghilangkan rasa bosan saat di rumah sendiri.
Aya sangat telaten merawat tanaman tersebut, bahkan senyumannya pun tidak pernah luntur.
"Ehm." Aya tersentak dan hampir saja terjungkal ke belakang saat mendengar suara deheman seseorang.
Aya mengedarkan pandangannya mencari sumber suara tersebut. "Hey, aku di sini." teriak laki-laki di sebelah balkon apartemennya.
Gadis itu tersenyum lega sekaligus malu, pasti laki-laki itu melihatnya hampir terjatuh tadi. "Tetangga baru ya? Salam kenal ya." ujarnya sangat ramah. Aya bingung bagaimana cara membalas ucapan laki-laki itu. Akhirnya ia hanya tersenyum canggung dan mengangguk.
"Boleh kenalan. Siapa tau kita bisa menjadi tetangga yang rukun," ajaknya di akhiri kekehan kecil.
Aya hanya tersenyum mengaruk kepalanya yang tidak gatal. Gadis itu memberi tanda pada laki-laki dengan lima jarinya untuk menunggu. Dan secepat kilat Aya masuk kedalam apartemennya lagi, Membuat cowok itu mengerutkan kening.
Baru saja ia berniat masuk karena dia berpikir jika gadis itu tidak ingin berkenalan dengannya, namun beberapa menit gadis itu keluar lagi dan menujukan ponselnya, lagi-lagi pria itu semakin bingung.
"Maaf aku tidak bisa bicara, salam kenal juga, kenalkan aku Ayana Salsabila." pria itu terdiam memandang gadis di depannya.
Pria itu melamun hingga beberapa menit, lalu mengusap wajahnya. Dan berdeham sejenak. "Salam kenal, nama aku Dafa Adelard Shaka. Bisa di panggil Dafa bisa juga di panggil Shaka atau ade. Terserah mbaknya aja deh," Aya tertawa hingga menutup mulutnya.
Dafa tertegun melihat paras cantiknya seorang Aya, senyumnya begitu manis dan natural. Walaupun tidak ada riasan di wajahnya, Namun kecantikannya sungguh luar biasa.
Aya mengetik sesuatu di ponselnya, Dafa menunggu sambil menatap wajah teduh Aya. "Kalau gitu, aku panggil kamu Dafa aja ya, jangan panggil aku Mbak. Aku belum tua! Dan maaf, kalau kita berkomunikasi sedikit sulit." kini giliran Dafa yang tertawa.
"Tau kok aku, muka kamu masih baby face merah kayak pantat bayi." Aya mendelik lucu yang sukses membuat Dafa tertawa lagi
Dafa senang mendapatkan tetangga baru selain cantik ia juga istimewa, menurutnya kekurangan yang di miliki Aya justru sumber keistimewan gadis itu. Namun sayang gadis itu sudah memiliki suami.
***
Brak!
Datang-datang Rama langsung membanting tas kerjanya, dasi ia tarik dan di buang ke sembarang arah. Aya buru-buru datang ingin mencium tangan suaminya. "Ngapain lo pegang-pegang gue!" sentak Rama menepis kasar tangan istrinya.
"Aku mau mencium tanganmu mas, ini bakti seorang istri." ucap Aya mengunakan bahasa tangan.
"Ngapain sih lo. Nggak ngerti gue!" Rama mendorong tubuh Aya hingga membentur tembok. Lalu pergi ke dapur.
"Lo nggak masak. Hah!" bentak suaminya ketika melihat meja makan kosong.
Aya bergegas berlari menyusul Rama ke dapur. "Aku pikir, mas nggak bakal makan di rumah, makanya aku tidak masak." lagi Aya menggerakkan tangannya untuk berbicara dengan Rama.
Rama menatap tajam pada istrinya dan.
Plak!
"Itu hukuman karena lo nggak masak buat gue." tekannya lalu pergi ke kamar dengan membanting pintu.
Aya mengusap pipinya yang terasa panas dan perih. Ia pikir suaminya hanya kasar dengan kata-kata. Namun ternyata suaminya juga melakukan kontak fisik, sekejam itukah Rama.
Dia harus kuat dan tabah apapun perlakuan Rama nanti. Ia akan menyerah jika dirinya benar-benar tidak sanggup.
Tok! Tok! Tok!
"Apalagi sih hah!" ujar Rama ketika membukakan pintu untuk Aya.
Gadis itu tersenyum dan menyodorkan semangkuk mie instan. "Ini buat gue?" Aya mengangguk mantap sambil tersenyum.
Prang!
Rama menepis mangkuk tersebut hingga pecah dan kuah yang masih panas mengenai tangan Aya. Gadis itu meringis menahan panas di tangannya. "Lo pikir gue mau!" pipi gadis itu sudah basah ia menatap sendu yang di balas tatapan tajam
"Dasar Istri Nggak guna!"
"Bersihkan! Awas kalau ini nggak bersih. Lihat apa yang bakal gue lakuin!" ancamnya dan masuk kembali kedalam kamar.
Aya bergegas mengambil sapu dan peralatan pel. Mengabaikan tangannya yang merah dan panas.
Ia tersenyum lega, pekerjaannya sudah selesai dan bersih seperti semula. Semoga Rama tidak marah dan ia tidak mendapatkan hukuman.
Aya menyiram tangannya yang semakin merah di wastafel dapur. Ia mencari keberadaan kotak obat. Siapa tau ada obat luka bakar.
Saat mendapatkan kotak itu ia tersenyum getir, obat yang ia cari tidak ada. Aya akhirnya hanya mengoleskan pasta gigi di tangannya. Entahlah ini efektif atau tidak. Dulu katanya jika terkena air panas menggunakan pasta gigi bisa mengurangi rasa perih dan panas.
Sebelum shubuh Aya sudah bangun, memasak dan merapikan rumah. Jika nanti suaminya bangun rumah sudah rapi dan masakan sudah ada.
Setengah tujuh Rama keluar melirik meja makan yang penuh dengan makanan seperti kemarin.
"Cucikan baju gue di kamar, Tapi ingat. lo nggak boleh nyolong. Awas aja gue pulang kerja barang gue ada yang ilang!" Aya mengangguk mengerti lalu menyuruh suaminya untuk makan.
"Siapa lo berani perintah gue! Lo pikir gue mau sarapan masakan lo. Mimpi lo ketinggian cewek bisu! Gue tegasin sekali lagi. Lo cuma istri di depan keluarga gue doang. Tapi kalau di sini lo nggak lebih dari seorang babu!" gadis itu menunduk dengan air mata yang sudah jatuh ke pipinya. Rama selalu membuat hatinya terluka.
"Bunga terus yang di kasih makan, emang kamu sudah makan?" tanya Dafa ketika melihat Aya yang begitu tekun merawat tanamannya.Aya sedikit terkejut saat mendengar suara Dafa, ia menoleh sekejap lalu mengeluarkan ponselnya untuk menuliskan sesuatu. "Sudah, kalau kamu sudah belum?""Wah.. Ini pertanyaan atau tawaran, kan lumayan kalau dapat sarapan gratis." ujar Dafa berniat menggoda gadis itu.Aya tersenyum lalu memberi isyarat untuk tidak kemana-mana. Dafa menurut, ia menunggu gadis itu. Hingga beberapa menit Aya kembali dengan membawa satu piring nasi penuh berserta lauknya. Dafa mendelik padahal kan niatnya hanya menggoda gadis itu, namun ternyata Aya benar-benar memberikannya sarapan.Karena jarak pagar balkon mereka menempel Aya mudah menaruh piring tersebut di atas pagar Dafa.Raut wajah Aya berubah ketika Dafa tak kunjung menerima makanannya. Apakah semua orang tidak ingin mencoba makanan dari masakannya.Perlahan Aya menarik kembali p
Hari demi hari sudah berlalu begitu cepat. Tidak terasa umur pernikahan Rama dan Ayana sudah dua minggu lamanya.Kian hari bukannya kebahagiaan yang Aya dapatkan, namun siksaan demi siksaan di berikan oleh Rama kepadanya. Pria itu semakin menyiksa Aya tiada henti, tidak ada hari selain meyakiti gadis itu. Hingga saat ini pun Rama tidak pernah mengagap Aya sebagai istrinya, melainkan sebagai pelayan di apartemennya.Aya selalu menuruti keinginan suaminya, tapi entah kenapa apapun yang di lakukannya selalu salah. Sampai-sampai ia bingung harus bagaimana.Hubungan dengan tetangganya itu pun juga sangat baik, saat ini hanya Dafa yang bisa menghiburnya, tadinya pria yang masih berusia 24 tahun itu tidak curiga. Namun lama-kelamaan saat melihat wajah pucat dan lebam di pipi Aya. Ia mulai curiga.Dafa sudah menyuruh Aya untuk melaporkan suaminya yang sudah melakukan KDRT pada pihak yang berwajib, namun Aya memohon untuk tidak memberitahu kepada siapapun ataupun
"Tadi gue bilang beli martabak apa! Kenapa rasa ini!" bentak Melinda ketika martabak yang Aya bawa tidak seperti dia mau.Aya mengambil kertas dan pulpen di atas meja. "Maaf, martabak yang kamu minta tidak ada, jadi aku belikan itu aja. Maaf jika kamu tidak suka,""Alasan! Bilang aja lo nggak ikhlas kan!" Aya menggelengkan kepalanya kuat."Ini ada apa sih. Ribut-ribut?" saut Rama."Ini lho sayang, istri kamu. Aku minta martabak coklat sama Red velvet, malah di belikan ini." adu Melinda sambil memberi bungkusan itu pada Rama.Pria itu menatap horor kearah Aya yang memandangnya dengan tatapan sendu, berharap suaminya tidak menyalahkan dirinya."Lo tau nggak. Pacar gue alergi kacang! Lo mau bunuh pacar gue! Iya!!" bentak Rama murka.Aya menggeleng kuat, dia tidak tahu jika Melinda alergi kacang, Ia mundur ketika Rama maju dengan emosi penuh.Plak!Rama menampar pipi Aya kiri dan kanan terus-menerus secara kuat hingga sudut
"Dafa. Makasih ya, sudah mau belikan aku bubur sama bahan makanan lainnya. Nanti kalau aku sudah punya uang, aku kembalikan."ujarnya dengan tulisan di ponsel."Nggak usah di kembalikan, aku ikhlas untuk kamu." tulus Dafa Aya mengangguk tidak enak."Kalau gitu aku pamit dulu ya, aku ada perlu." pamit Dafa lalu segera pergi setelah mendapatkan anggukan dari Aya.Wanita itu memperhatikan Dafa hingga hilang di balik pintu lift, ia menatap bungkusan yang Dafa belikan untuknya. Berupa beras lima kilo, mie instan dan juga beberapa butir telur. Lagi-lagi Aya sangat merasa tidak enak, tapi karena ia memang butuh dan juga pria itu yang menawarkan membuatnya menerima bantuannya.Aya segera masuk. Dan langsung menuju dapur untuk menaruh barang bawaannya.Prang!Aya memekik sampai menutup telinganya, ketika suara benda pecah menghantam dinding di dekatnya. "Bagus ya lo! Suami nggak ada di rumah, lo keluyuran sama cowok lain!"
Dafa bernafas lega ketika melihat Aya membuka matanya, gadis itu tak sadarkan diri cukup lama. Pria itu hampir saja membawa Aya kerumah sakit jika tidak sadar-sadar juga."Alhamdulillah kamu sudah sadar," Dafa mengucap syukur memandang Aya senang.Aya memegangi kepalanya yang berdenyut, ia mencoba mengingat kembali apa yang sudah terjadi.Wanita itu bangun untuk bersandar di kepala ranjang. Sigap Dafa membantu menaruh bantal di balik punggung Aya.Aya mengambil buku di sampingnya lalu menulis sesuatu, Dafa diam menunggu apa yang Aya tulis. "Terima kasih ya, kamu mau nolongin aku. Maaf aku pasti merepotkanmu.""Tidak perlu bilang makasih, sebagai teman. Kita harus saling tolong menolong," ada rasa nyeri ketika dirinya mengatakan jika dia teman pada Aya.Dafa berdeham tidak ingin memperdulikan isi hatinya. "Aku sudah buat kan bubur, tadi aku lihat bahan yang kita beli kemarin ada di tong sampah." Aya mendelik lalu cepat-cepat menulis."
"Assalamu'alaikum," salam Rama ketika masuk kedalam rumahnya.Semua penghuni rumah orang tua Rama menoleh kearahnya, Bu Sarah tersenyum lebar ketika melihat siapa yang datang. "Ya ampun Aya, Mama kangen sama kamu nak. Apa kabar?" Aya tersenyum canggung lalu menyalami tangan sang mertua."Alhamdulillah baik Ma," tulis Aya di buku kecilnya."Tapi kok. Mama lihat kamu kurusan sayang? Muka kamu juga pucat?""Itu Ma, dia memang lagi kurang enak badan. Tadinya aku minta dia istirahat aja tapi dianya nggak mau." jawab Rama memotong ucapan Mamanya, dia takut Mamanya akan curiga."Jadi kamu lagi nggak enak badan? Kalau badan kamu kurang fit. Aturan nggak usah ikut nggak apa-apa nak, ini cuma acara keluarga yang kumpul setiap bulan." Bu Sarah terlihat sekali jika khawatir pada menantunya."Tuh kan sayang, apa aku bilang. Tadi aku bilang apa? Nggak usah ikut." ucap Rama lembut memberi senyuman manis pada wanita itu.Bu Sarah mengulum senyum sena
Karena hari belum terlalu larut, Dafa mengajak Aya terlebih dahulu ke suatu tempat. Di dekat taman kota, ada penjual yang berderetan menjajahkan jualannya.Dafa memilih mengajak Aya mencicipi minuman khas jawa tengah. "Gimana suka?" tanya Dafa saat mengajak Aya membeli minuman hangat.Aya mengangguk sambil terus menyendok wedang ronde yang baru pertama kali gadis itu minum."Sangat enak, aku baru pertama kali mencobanya, ternyata enak." Dafa terkekeh pelan sambil mengacak rambut gadis itu.Aya terdiam dengan detak jantung yang berpacu kuat, setiap Dafa melakukan kontak fisik hatinya selalu berdebar, lebih berdebar ketika ia bersama suaminya."Kamu belum pernah mencoba minuman ini?" tanya Dafa tidak percaya. Aya mengulum senyum sambil menggeleng."Ini minuman khas jawa tengah. Biasanya untuk menghangatkan tubuh. Kalau kondisi tubuh kurang fit pasti enakan badannya, setelah
Pria berkaos merah maroon mengusap keringat di keningnya, sesaat selesai membantu menanam bibit anggrek kedalam pot kecil.Selain membelikan, Dafa juga membantu Aya menanam bibit tersebut, selama membantu gadis itu. Dafa sering memperhatikan Wajah Aya, hari ini wajah cantik gadis itu terlihat berseri, senyum terus terukir dari bibir manis gadis itu.Dafa menarik sudut bibirnya. Ia merasa terlalu pede, bisa saja kan. senyum itu karena suaminya, Ingat. Aya sudah memiliki suami.Pria itu menggeleng kuat, dia tidak boleh terlalu berharap pada Aya, meskipun Rama bukanlah suami yang baik. Namun Dafa juga tidak ingin memanfaatkan keadaan Aya untuk ia dekati.Biarkan perasaan ini dia yang rasa, sejatinya bukan cinta yang salah, namun keadaan yang mengharuskan dirinya mundur dan melupakan cintanya.Dafa tersentak ketika usapan lembut terasa di lengannya. "Ada apa? Kenapa melamun?" tanya A
Di tengah malam sekitar pukul 00:30 seorang gadis cantik, terlihat gelisah di atas kasur. Sedari tadi tubuhnya terus bergerak kesana kemari, gadis tersebut adalah Syifa, yang sedang bingung untuk mengambil keputusan apa tentang Tito. Hatinya tengah bimbang, antara masih ragu, takut dan tidak percaya. Syifa ragu jika harus menikah di usia muda, namun dia juga takut kehilangan Tito kalau sampai dirinya menolak, di sisi lain Syifa tidak percaya jika Tito merubah keputusannya menjadi menikahi dirinya, bukan untuk melamarnya. Jujur Syifa takut jika dia menikah sekarang, dirinya tak bisa membahagiakan pria tersebut, selama ini Tito begitu tulus mencintainya. Dirinya takut kalau nanti akan mengecewakan pria yang begitu dia cintai. Menghembuskan napas berulang kali, Syifa pun bermonolog. "Mungkin ini jalan terbaik, semoga apa yang sudah aku putuskan. Nggak akan salah dan merugikan semuanya." mengepalkan tangannya gadis tersebut menguatkan dirinya sendiri. "Syifa! ayo kamu pasti bisa. N
"Maksud Mas gimana? bukannya kita kesana baru mau membicarakan tentang hubungan kita ke Bapak?"Tito merubah posisinya, ia memegang setir dengan dua tangannya. "Mereka tetap mau menjodohkan aku dengan perempuan itu, kecuali aku sudah menikah. Maka mereka akan menghentikan perjodohan dan merelakan aku nikah sama kamu," "Tapi Mas, aku masih kuliah, memangnya Mas nggak masalah punya istri yang berstatus mahasiswa?""Memang kenapa? Mas nggak masalah. Menurut Mas lebih cepat lebih baik, atau kamu yang belum siap?" "Aku nggak tau? Aku cuma nggak mau jadi istri yang nggak baik,""Kenapa bisa mikir gitu, banyak kok di luar sana. Istrinya yang masih berstatus pelajar, dan mereka bisa menjalani itu dengan baik." lanjut Tito tak mau kalah. "Kasih aku waktu untuk mikir," putus Syifa memohon pada Tito agar pria itu mengerti dirinya juga berhak mengambil keputusan. Menarik napas panjangnya, Tito hanya bisa mengangguk pelan, menghargai keinginan gadisnya yang ingin memikirkan lebih dulu tentang
Hari demi hari telah di lalui oleh Aya begitu cepat, tidak terasa kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan sesuai rencana. Acara tujuh bulanannya akan di adakan dikota semarang, sesuai permintaan wanita itu, tentu Dafa dengan senang hati, mempersiapkan semuanya. Dan rencananya esok lusa, mereka akan berangkat ke sana, lalu untuk masalah syifa. Dafa waktu itu turun tangan menemui orang tua Tito. Memberitahu jika putra mereka sudah memiliki pendamping, tak perlu menjodohkan karena Tito sudah memiliki wanita yang sudah pria itu pilih. Dafa sempat adu mulut dengan orang tua Tito, mereka tidak setuju jika putranya menikah dengan wanita yang bukan pilihan dari orang tuanya. Namun Dafa tidak ingin membuat sahabatnya menderita lagi oleh kelakuan orang tuanya, maka ia memberanikan diri untuk melawan ucapan kedua orang tua tersebut. "Sayang, sudah dong kamu jangan gerak kesana sini, aku nggak mau ya. Kamu kecapean," Aya mengulas senyum. Menghampiri suaminya yang berdiri sembari mel
Sudah berada di parkiran mobil, Aya diam berpegangan pada badan mobil lebih dulu. "Sayang, kita kerumah sakit ya?" ajak Dafa yang tak tega dan juga melihat wajah pucat kesakitan istrinya. Aya menggeleng pelan. "Nggak usah Mas, aku nggak apa-apa. Kita pulang aja.""Nggak apa-apa gimana? kamu kesakitan gini. Kita tetap kerumah sakit, oke."Dafa tidak mau terjadi sesuatu kepada calon anaknya, tapi Aya kekeuh tak ingin pergi. "Nggak usah Mas, aku mau pulang. Aku mau istirahat, aku yakin buat istirahat sudah hilang. Jadi kita pulang aja ya," mohon Aya matanya menatap sendu kepada suaminya. Dafa menghela napas panjangnya, ia paling lemah jika Aya sudah memohon seperti itu. "Oke kita pulang aja," membantu Aya masuk ke mobil dan juga memasangkan sabuk pengaman. Setelah menutup pintu ia berniat segera memutari mobilnya, namun saat berbalik badan Dafa cukup terkejut ada Pak Suryo dan Bu Sarah. "Ada apa lagi?" ucap Dafa datar. "Maaf saya harus segera pulang.""Kami ingin mengucapkan terima
Sudah berada di depan tempat Rama berada, Ayana meminta untuk tidak keluar terlebih dahulu, ia mengatur dirinya sendiri, agar tidak takut, tidak gugup dan yang paling harus tetap tenang. Dengan setia Dafa di sampingnya, menggengam tangan Aya yang terasa dingin dan berkeringat, sembari terus memandang sang istri dari samping, ia juga memberi kecupan di punggung tangan wanita itu. "Sebentar ya Mas," izin Aya saat menoleh mendapati sang suami menatap teduh kepadanya. "Iya sayang, aku tenangin diri dan persiapkan semuanya, aku di sini selalu jagain kamu." mengangguk pelan Aya kembali melihat kedepan, yang di mana ia sudah melihat ada Pak Suryo dan Bu Sarah sedang menunggu dirinya. Mereka tidak datang kearahnya, karena Dafa sudah memberitahu kepada mereka untuk sabar dan menunggu terlebih dahulu. Memejamkan matanya Aya seperti melafalkan doa, Dafa menepuk puncak kepala istrinya dengan sayang. Membuka matanya Aya menggerakkan tangannya. "Yuk Mas," ajak Aya yang sudah yakin. "Sudah si
"Sayang, bisa nggak? nggak usah dandan. Biasa aja gitu, bajunya emang nggak ada yang lain?" keluh Dafa saat melihat istrinya yang sedang memoleskan bedak ke wajahnya. Aya memutar bola matanya jengah, ini sudah yang keberapa kalinya, Dafa mengatakan hal yang sama. "Ini sudah biasa aja Mas, aku bahkan nggak pakai lipstik. Baju ini juga baju rumahan," kata Aya dengan tatapan sebalnya. "Ck_ kamu tuh terlalu cantik, Ay_ aku nggak suka,""Terus aku harus gimana? aku udah biasa aja lho. Kalau Mas terus kayak gini, mending nggak usah pergi!" ujar Aya menggunakan bahasa isyarat. "Oke, lebih baik memang seperti itu. Kita nggak usah pergi!" saut Dafa. Aya mengangguk, lalu berjalan merebahkan tubuhnya di atas kasur, melihat itu Dafa melongo tak percaya, padahal ia tidak serius. "Lho sayang, kok kamu malah tidur sih? kan kita mau ke lapa?" bangun lagi dari rebahannya, Aya kian menatap Dafa kesal. "Tadi siapa yang nyuruh nggak jadi pergi? ya udah mending aku tidur!" jawab Aya matanya pun mel
Brak!! Suara gebrakan terdengar begitu keras di salah satu tempat kecil dan sedikit gelap. Di sana ada satu perempuan tengah duduk di kursi tangan dalam keadaan terikat di belakang tubuhhya. Tangisan pun terdengar lirih di sela keheningan yang ada, perempuan itu tidak sendiri, ada dua laki-laki berjas hitam. "Maksud kamu apa datang ke toilet ketika sepi, dan ingin melabrak pacar saya?!" ujar suara bariton di hadapan perempuan itu, dan suara pria tersebut tak lain adalah Tito. Ia menyuruh anak buahnya untuk menculik Felly dan membawanya di salah satu gedung kosong, Tito hanya ingin sedikit memberi pelajaran kepada wanita yang sudah membuat sang kekasih ketakutan. "Kamu mau celakai Syifa? IYA?!" Felly terlonjak kaget mendengar bentakan dari Tito. "Kamu nggak tau berhadapan dengan siapa? kamu pikir saya diam aja, ketika ada orang yang mau menyakiti pacar saya."Tubuh Felly menegang, ia begitu ketakutan melihat raut wajah Tito, yang biasanya ia lihat begitu tampan, kini berubah men
"Syifa. Kamu nggak apa-apa kan dek?" tiba di rumah Syifa langsung di lihat kondisinya oleh sang Kakak. Tadi Dafa mendapatkan kabar dari Tito, Syifa di ganggu oleh salah satu mahasiswi di sana, tentu Dafa langsung kalang kabut bahkan ia ingin menyusul Syifa ke kampus. Namun urung, saat Tito mengatakan jika masalah ini biar dia yang mengurus. "Aku nggak apa-apa, Mas. Tadi aku telepon pihak keamanan di kampus, jadi alhamdulillah sebelum aku kenapa-napa, satpam sudah datang dan tolongin aku. Lagian tadi juga ada teman aku yang bantuin, kalau nggak ada siapa-siapa, ya aku nggak tau nasib aku." ujar Syifa. "Alhamdulillah, Mas khawatir banget sama kamu dek.""Tenang aja, Daf. Syifa aman kalau sama gue." timpal Tito. "Tolong ya ngaca. Lo ya sumber dari masalah ini," sungut Dafa kesal. "Lah kok gue?'" Iyalah, coba lo nggak caper ke mereka. Nggak ada yang bakal ganggu adek gue!""Astagfirullah_ siapa yang caper coba?!" jawab Tito tak terima. "Halah sok-sokan. Nggak mau ngaku lagi," Tito
Syifa berada di kamar mandi bersama satu gadis bernama Weni, dia adalah teman satu bangku dengang Syifa, keduanya terlihat asyik bercanda hingga suara bantingan pintu terdengar cukup keras membuat dua gadis itu terlonjak kaget. "Kalian apa-apaan sih! mau ngapain Hah?!" bentak Weni yang begitu berani. Syifa membulatkan matanya melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam kearahnya. Gadis itu mundur beberapa langkah, ingat pesan dari sang kekasih Syifa buru-buru masuk kedalam satu bilik kamar mandi dan menguncinya dari dalam. "Jangan sembunyi lo! keluar." bentak seorang gadis. "Kenapa, lo takut! dasar cupu." Syifa tak memperdulikan teriakan yang tak lain adalah Felly. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas, Syifa menelpon nomer keamanan kampus, beruntung pihak kampus bisa memberi nomer jika terjadi sesuatu pada mahasiswa atau mahasiswinya. "Hai! mau ngapain kalian di sini. Kalian ke kampus untuk belajar, bukan sok jadi pahlawan seperti ini!" bentak pak Rahmat, m