Karena hari belum terlalu larut, Dafa mengajak Aya terlebih dahulu ke suatu tempat. Di dekat taman kota, ada penjual yang berderetan menjajahkan jualannya.
Dafa memilih mengajak Aya mencicipi minuman khas jawa tengah. "Gimana suka?" tanya Dafa saat mengajak Aya membeli minuman hangat.
Aya mengangguk sambil terus menyendok wedang ronde yang baru pertama kali gadis itu minum.
"Sangat enak, aku baru pertama kali mencobanya, ternyata enak." Dafa terkekeh pelan sambil mengacak rambut gadis itu.
Aya terdiam dengan detak jantung yang berpacu kuat, setiap Dafa melakukan kontak fisik hatinya selalu berdebar, lebih berdebar ketika ia bersama suaminya.
"Kamu belum pernah mencoba minuman ini?" tanya Dafa tidak percaya. Aya mengulum senyum sambil menggeleng.
"Ini minuman khas jawa tengah. Biasanya untuk menghangatkan tubuh. Kalau kondisi tubuh kurang fit pasti enakan badannya, setelah meminumnya, Aku tau kamu lagi kedinginan. Kamu juga belum sembuh total, makanya, aku ajak kamu kesini."
"Kamu asli mana?"
"Aku asli Semarang, keluarga aku semua ada di sana. Di sini aku mencari uang untuk orang tuaku di sana,"
"Alhamdulillah. Dari hasil cafe milikku sendiri, bisa mencukupi kebutuhan keluargaku di sana, ya walaupun Bapak memiliki beberapa ladang persawahan, tapi aku tetap rutin mengirimkan uang untuk mereka." cerita pria itu sambil memperlihatkan senyumannya di depan Aya.
Raut wajah Aya berubah ia menatap mata Dafa dengan serius. "Mau ada yang di sampaikan?" ujar Dafa seolah tau apa yang sedang terjadi pada gadis itu.
Dafa menunggu Aya yang sedang menulis di ponsel, cukup lama gadis itu menulis. Sampai Dafa sempat memasukan beberapa isi di wedang ronde kedalam mulutnya.
"Kenapa kamu baik sekali denganku Dafa? Aku ini cuma gadis bisu. Selama ini tidak ada yang mau dekat denganku, karena kondisiku., dan kamu juga tau masalahku dengan Mas Rama, aku merasa tidak enak. Karena terus menyusahkanmu." Dafa membaca tulisan itu lalu menghela napas, mata Aya juga sudah berkaca-kaca.
"Aku sudah pernah bilang kan, kalau aku tidak pernah mempersalahkan kondisimu. Justru kamu ini istimewa di mataku Aya. Biarkan mereka menganggapmu apa, yang terpenting kamu teman terbaikku." dan juga orang special di hatiku.
Dafa tidak berani mengucapkan kata yang ia ucapkan di dalam hatinya.
Dafa takut jika Aya tau, jika dirinya mulai menyukainya. Gadis itu menjauh dan tidak ingin berteman dengannya lagi.
Dirinya masih ingin berteman dan juga dekat dengan Aya, ia takut Rama melakukan lebih parah dari pada menganiayanya.
Mendengar jawaban Dafa, Aya menunduk. Air matanya turun membasahi pipinya. "Aya! Kenapa nangis? Aku salah bicara?" panik Dafa sambil mengusap pipi gadis itu.
"Kenapa kita baru bertemu di saat seperti ini Daf? Kenapa tuhan tidak mempertemukan kita sebelum aku menikah dengan Mas Rama?" tulisan Aya membuat Dafa terdiam.
Apa yang di dalam pikirannya juga begitu, kenapa tuhan mempertemukannya di saat gadis itu sudah menjadi milik orang lain. Lalu kenapa juga tuhan menumbuhkan perasaan lebih untuk perempuan yang sudah menjadi hak orang lain.
Dafa diam tidak menjawab pertanyaan gadis itu, yang bisa Dafa lakukan hanya mengusap pundak dan tersenyum tipis pada Ayana.
Tidak ingin membuat Aya menangisi keadaannya, Dafa segera membawa Aya kembali. Ia juga takut jika Rama sudah berada di apartemennya.
Pasti Aya yang akan di salahkan, padahal sudah jelas jika laki-laki itu yang meninggalkan istrinya di pinggir jalan.
Di perjalanan pun mereka menjadi saling diam, padahal tadi Dafa selalu bercerita, membuat Aya di belakang boncengannya tersenyum dan juga tertawa kecil mendengar cerita darinya.
"Istirahat, biar cepat sembuh." pesan Dafa ketika mereka sudah sampai. "Jangan sedih, ingat. Tuhan punya rencana terbaik untuk hambanya. Kamu harus tetap kuat dan bertahan."
Aya mengangguk dengan senyumnya. "Iya Dafa, sekali lagi. Terima kasih," ujar Aya memakai bahasa isyaratnya.
Meskipun kurang paham, Dafa mengangguk lalu menyuruh gadis itu untuk masuk terlebih dahulu. Saat Aya sudah masuk, senyum yang di perlihatkan di depan Ayana memudar bernganti tatapan sendu pada pintu apartemen gadis itu.
***
"Masak apa lo?" Aya tersentak suara Rama mengangetkannya ketika sedang menyusun sarapan.
"Mas kapan pulang?" Aya tidak menjawab pertanyaan Rama ia justru menanyakan kapan pria itu pulang, setahunya semalam sang suami tidak pulang.
"Terserah gue mau pulang kapan! ini apartemen gue! Lo nggak ada hak untuk tanya gue pulang kapan." jawab Rama sedikit bernada tinggi saat selesai membaca tulisan Aya di ponsel. Aya mengangguk sekali sambil menunduk.
Aya sedikit terkejut ketika pria itu duduk di meja makan, lalu mengisi piringnya dengan nasi dan juga lauknya.
Aya mengulum senyum, pasalnya. Ini adalah kejadian langka, setelah menikah Rama tidak pernah mau makan ataupun mencoba hasil masakannya.
Sepanjang Rama makan, Aya terus memperhatikan suaminya yang begitu lahap memakan masakannya. Senyum terus terlihat dari wajah cantiknya.
Sadar sedang di perhatikan membuat Rama mendongak. "Apa lo lihat-lihat!" bentak Rama. Hingga Aya terlonjak dari duduknya.
"Gue makan masakan lo! Karena terpaksa. Bentar lagi gue ada meeting. Nggak sempat sarapan di luar."
"Masakan lo nggak ada apa-apanya di bandingkan masakan Melinda, dia lebih jago dari lo!!" sentak Rama.
Pria itu membanting sendok dan garpu, lalu berdiri sambil mengambil tas kantor di sampingnya. "Mas mau kemana? Sarapannya belum selesai?" tulis gadis itu.
"Lebih baik gue sarapan di tempat Melinda, dari pada sama lo yang ngerusak mood gue!" ucap Rama datar.
Selepas Rama keluar dengan membanting pintu, air mata gadis itu menetes sambil meremas tangannya. Hatinya sangat sakit dan perih. Ketika suaminya sendiri membandingkan dirinya dengan orang lain.
Aya tau dia tidak ada apa-apanya di bandingkan dengan Melinda, namun ia masih bisa jika hanya memasak dan melakukan hal yang biasanya wanita itu lakukan terhadap suaminya.
Bisakah sekali saja Rama menghargainya sebagai istri. Ia juga ingin di puji dan di perhatikan oleh suaminya sendiri.
Aya mengusap air matanya, lalu mengambil piring milik Rama yang tidak menghabiskan sarapannya ke tempat cucian piring.
Selesai sarapan dan cuci piring, Aya mengambil peralatan tanamannya, ia akan melakukan rutinitasnya setiap pagi.
Aya mulai memotong daun yang layu dan kering, ia melakukannya begitu telaten dan penuh kesabaran. "Pagi," sapa Dafa.
Aya menoleh lalu tersenyum. Gadis itu mendelik ketika pria itu melompat dari balkonnya menuju balkon miliknya. Sesampainya di hadapan Ayana. Dafa hanya nyengir kuda. "Hehehe.. Untung balkon kita cukup dekat. Coba kalau nggak! Bisa terjun aku." sambil melongokkan kepalanya ke bawah.
Aya memukul lengan pria itu kuat hingga Dafa mengaduh kesakitan. Jangan seperti itu. Bahaya!" kata gadis itu di buku kecil yang ia bawa sambil mendelik pada Dafa.
"Cie.. Yang khawatir," goda Dafa. Sukses membuat Aya menunduk dan menyibukkan kembali pada tanamannya. Sementara Dafa tertawa kencang berhasil menggoda tetangganya ini.
Aya menghentikan gerakannya ketika sebuah bungkusan kecil ada di hadapannya. Yang membuatnya berhenti karena ia membaca tulisan di bungkusan itu.
Bibit Bunga anggrek putih, Yang selalu ia impikan kini ada di hadapannya. Gadis itu mendongak memandang kearah Dafa yang juga menatapnya lembut sambil tersenyum.
"Ini untuk aku?" Dafa membaca tulisan itu lalu mengangguk.
Aya memekik kesenangan hingga tanpa sadar gadis itu memeluk Dafa erat, Pria itu menegang bersamaan pacu jantung yang begitu kencang. Dengan tubuh kaku dan mata melotot, masih syok mendapatkan serangan mendadak dari Ayana, Dafa perlahan membalas pelukan Aya.
***
Pria berkaos merah maroon mengusap keringat di keningnya, sesaat selesai membantu menanam bibit anggrek kedalam pot kecil.Selain membelikan, Dafa juga membantu Aya menanam bibit tersebut, selama membantu gadis itu. Dafa sering memperhatikan Wajah Aya, hari ini wajah cantik gadis itu terlihat berseri, senyum terus terukir dari bibir manis gadis itu.Dafa menarik sudut bibirnya. Ia merasa terlalu pede, bisa saja kan. senyum itu karena suaminya, Ingat. Aya sudah memiliki suami.Pria itu menggeleng kuat, dia tidak boleh terlalu berharap pada Aya, meskipun Rama bukanlah suami yang baik. Namun Dafa juga tidak ingin memanfaatkan keadaan Aya untuk ia dekati.Biarkan perasaan ini dia yang rasa, sejatinya bukan cinta yang salah, namun keadaan yang mengharuskan dirinya mundur dan melupakan cintanya.Dafa tersentak ketika usapan lembut terasa di lengannya. "Ada apa? Kenapa melamun?" tanya A
Tersenyum di balik rasa sedih, itulah yang biasa manusia lakukan. Di depan terlihat baik-baik saja bisa tertawa, tersenyum bahagia.Namun dibalik itu semua mereka tidak tau jika kita sedang bersedih ataupun terluka. Begitu pun yang dilakukan Ayana.Gadis itu tampak baik-baik saja, sering tersenyum menyapa orang-orang yang tinggal di dekat apartemennya.Tapi taukah mereka jika Ayana sedang terluka, Ia merasa hidupnya seperti dulu, kesepian tidak punya teman ataupun saudara.Semenjak kejadian Rama menciumnya tiba-tiba di lift. Pria itu meninggalkannya begitu saja, tanpa mengatakan sesuatu. Suaminya pergi dan sampai saat ini tidak pulang.Aya merasa jika suaminya telah melukai hatinya dengan sangat, Aya juga manusia biasa yang bisa marah. Ia tidak terima dan merasa sakit hati. Setelah Rama menciumnya dengan intens bahkan Rama hampir melakukan hal lebih kepadanya, tiba-tiba per
Dafa tidak bisa fokus saat memerikan hasil kerja karyawannya dengan benar, entah sudah berapa kali pria itu menarik napas panjang sambil memijat keningnya.Yang ada di kepalanya hanya ada satu nama, yaitu Ayana. Semenjak bertemu beberapa jam yang lalu. Perasaannya menjadi gelisah. Dan selalu kepikiran tentang gadis itu."Agh!!" erang Dafa mengacak rambutnya frutasi.Kenapa susah sekali melupakan perempuan yang sama sekali tidak boleh ia pikiran, Dafa akui jika beberapa hari ini ia menghindari Aya, untuk kebaikan dirinya dan juga untuk gadis itu. Dafa tidak ingin semakin dalam menyukai atau bahkan mencintai Aya."Ada apa Mas?" Dafa tersentak baru menyadari jika bukan dirinya saja yang ada di ruangannya saat ini."Tidak ada, Pras tolong kamu selesaikan tugas saya. Nanti kalau sudah selesai kamu taruh di meja. Kepala saya sakit. mau pulang,""Baik Mas, biar saya
"Selamat pagi," sapa pria tampan yang baru saja masuk kekamar inap Aya.Aya yang masih berbaring diatas brankar, terlihat tersenyum membalas ucapan pria itu dengan mengangguk."Apa kamu mencariku?" Aya mengangguk lagi membuat Dafa tersenyum manis."Tadi aku tinggal sebentar untuk pulang, aku sengaja meminta tolong suster untuk menemanimu." Dafa mengalihkan pandangannya kearah suster yang sedari tadi menemani Aya."Makasih ya Sus, maaf saya agak lama," kata Dafa tidak enak."Tidak apa-apa Pak, kalau gitu saya pamit." ujar suster itu dan keluar dari kamar Aya.Setelah suster itu pergi, Dafa mendekati brankar Aya lalu memberikan sebuket bunga kesukaan gadis itu.Bunga tulip berwarna putih membuat Aya tersenyum senang. "Kamu tau aku suka bunga ini?" Dafa mengangguk."Kamu kan pernah kasih tau aku kalau kamu pingin punya t
Indahnya langit senja, dan merdunya suara riak ombak di tepi pantai. Membuat siapa saja merasakan ketenangan hati dan pikiran. Aya gadis berdress putih bermotif bunga dengan jepit rambut berbentuk pita menghiasi rambut indahnya tengah tersenyum menikmati itu semua.Dafa pria yang begitu baik dengannya telah membawanya ke tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama kedua orang tuanya.Rindu yang begitu dalam ia rasakan untuk kedua orang tuanya, sedikit bisa dia obati, Aya berharap mereka disana tidak sedih melihat putrinya harus mengalami hidup yang pelik.Namun ia berjanji setelah ini dia akan menjadi wanita lebih kuat dari sebelumnya. Gadis itu percaya jika rencana tuhan lebih indah dari apa yang kita bayangkan."Senyum terus dari tadi, mikirin apa?" Aya tersentak lalu menoleh kesamping. Melihat senyum manis Dafa membuat pacu jantungnya tiba-tiba tidak tenang.Segera ia menunduk
Dafa segera berlari ke parkiran, berniat mencari Aya yang kemungkinan belum terlalu jauh dari tempat itu.Namun saat ingin mengunakan helmnya Dafa melihat seorang gadis di sebrang jalan tengah bejalan sendirian di dekat halte bus.Dafa berlari dan menyeberangi jalan. "Aya!" panggilnya, tangannya menarik tangan kanan gadis itu untuk menghadap kearahnya.Betapa terkejutnya Dafa ketika melihat Aya pergi dari restorannya sambil menangis. "Aya, kamu tidak apa-apa?" tanya Dafa bernada sangat khawatir.Bukannya menjawab, Aya justru menepis tangan Dafa lalu mundur beberapa langkah. Hal itu membuat pria tersebut mengerutkan kening.Dafa menunggu gadis itu yang sedang menulis sesuatu di ponselnya."Mulai hari ini kita tidak perlu bertemu dan berteman lagi Dafa, sudah cukup selama ini aku menyusahkanmu. Mungkin saatnya aku mandiri dan hidup sendiri seperti dulu lagi. Te
Bugh!Satu pukulan cukup kencang Dafa dapatkan ketika ia baru saja keluar dari apartemennya."Di mana Aya!" bentak orang yang sudah memukulnya.Dafa tersenyum sinis sambil mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya. "Ngapain lo cari dia? Lo sudah bukan siapa-siapanya lagi!" Rama tersenyum miring melipat tangannya di dada."Ternyata dugaan gue benar. Pasti karena lo! Aya ceraiin gue.""Dan karena cewek bisu itu! Gue jadi hidup susah!!" teriaknya.Dafa terlihat tenang, ia perlahan bangun lalu berdiri tepat di hadapan Rama. "Lo punya otak kan. Aya minta cerai itu semua karena lo perlakukan dia dengan kasar! Siapa yang mau dan betah sama suami B*****t kayak lo!""Yang bisanya cuma sakiti istrinya!" ujar Dafa dingin tepat di depan wajah pria yang menatapnya tajam."Kalau hidup lo susah. Anggap ini karma dari tuhan!" se
Ayana gadis berparas cantik berkulit putih, terlihat sangat sibuk kesana kemari. Melihat para chef di restoran milik Dafa yang sedang membuat masakan-masakan Indonesia.Aya kini sudah tidak lagi menjadi chef di restoran ini. Ia hanya mengawasi dan melihat apa saja yang kurang jika juru masak sedang memasak.Itu semua permintaan Bos yang tak lain adalah Dafa, pria itu meminta Aya untuk tidak ikut memasak lagi. Dafa menyerahkan pekerjaan Aya pada chef terbaik di restorannya.Tadinya Aya menolak dan masih ingin memasak, Aya juga sempat berpikiran buruk pada Dafa, gadis itu menganggap Dafa tidak mempercayainya menjadi juru memasak di tempat usahanya ini.Tentu dengan tegas Dafa membantah, justru ia melakukan ini demi gadis itu, dia melakukannya karena Dafa tidak ingin Aya kelelahan. Meskipun berat namun ia menerima keinginan pria itu."Pandang terus.. Makanya! Buruan halalin." ucap t
Di tengah malam sekitar pukul 00:30 seorang gadis cantik, terlihat gelisah di atas kasur. Sedari tadi tubuhnya terus bergerak kesana kemari, gadis tersebut adalah Syifa, yang sedang bingung untuk mengambil keputusan apa tentang Tito. Hatinya tengah bimbang, antara masih ragu, takut dan tidak percaya. Syifa ragu jika harus menikah di usia muda, namun dia juga takut kehilangan Tito kalau sampai dirinya menolak, di sisi lain Syifa tidak percaya jika Tito merubah keputusannya menjadi menikahi dirinya, bukan untuk melamarnya. Jujur Syifa takut jika dia menikah sekarang, dirinya tak bisa membahagiakan pria tersebut, selama ini Tito begitu tulus mencintainya. Dirinya takut kalau nanti akan mengecewakan pria yang begitu dia cintai. Menghembuskan napas berulang kali, Syifa pun bermonolog. "Mungkin ini jalan terbaik, semoga apa yang sudah aku putuskan. Nggak akan salah dan merugikan semuanya." mengepalkan tangannya gadis tersebut menguatkan dirinya sendiri. "Syifa! ayo kamu pasti bisa. N
"Maksud Mas gimana? bukannya kita kesana baru mau membicarakan tentang hubungan kita ke Bapak?"Tito merubah posisinya, ia memegang setir dengan dua tangannya. "Mereka tetap mau menjodohkan aku dengan perempuan itu, kecuali aku sudah menikah. Maka mereka akan menghentikan perjodohan dan merelakan aku nikah sama kamu," "Tapi Mas, aku masih kuliah, memangnya Mas nggak masalah punya istri yang berstatus mahasiswa?""Memang kenapa? Mas nggak masalah. Menurut Mas lebih cepat lebih baik, atau kamu yang belum siap?" "Aku nggak tau? Aku cuma nggak mau jadi istri yang nggak baik,""Kenapa bisa mikir gitu, banyak kok di luar sana. Istrinya yang masih berstatus pelajar, dan mereka bisa menjalani itu dengan baik." lanjut Tito tak mau kalah. "Kasih aku waktu untuk mikir," putus Syifa memohon pada Tito agar pria itu mengerti dirinya juga berhak mengambil keputusan. Menarik napas panjangnya, Tito hanya bisa mengangguk pelan, menghargai keinginan gadisnya yang ingin memikirkan lebih dulu tentang
Hari demi hari telah di lalui oleh Aya begitu cepat, tidak terasa kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan sesuai rencana. Acara tujuh bulanannya akan di adakan dikota semarang, sesuai permintaan wanita itu, tentu Dafa dengan senang hati, mempersiapkan semuanya. Dan rencananya esok lusa, mereka akan berangkat ke sana, lalu untuk masalah syifa. Dafa waktu itu turun tangan menemui orang tua Tito. Memberitahu jika putra mereka sudah memiliki pendamping, tak perlu menjodohkan karena Tito sudah memiliki wanita yang sudah pria itu pilih. Dafa sempat adu mulut dengan orang tua Tito, mereka tidak setuju jika putranya menikah dengan wanita yang bukan pilihan dari orang tuanya. Namun Dafa tidak ingin membuat sahabatnya menderita lagi oleh kelakuan orang tuanya, maka ia memberanikan diri untuk melawan ucapan kedua orang tua tersebut. "Sayang, sudah dong kamu jangan gerak kesana sini, aku nggak mau ya. Kamu kecapean," Aya mengulas senyum. Menghampiri suaminya yang berdiri sembari mel
Sudah berada di parkiran mobil, Aya diam berpegangan pada badan mobil lebih dulu. "Sayang, kita kerumah sakit ya?" ajak Dafa yang tak tega dan juga melihat wajah pucat kesakitan istrinya. Aya menggeleng pelan. "Nggak usah Mas, aku nggak apa-apa. Kita pulang aja.""Nggak apa-apa gimana? kamu kesakitan gini. Kita tetap kerumah sakit, oke."Dafa tidak mau terjadi sesuatu kepada calon anaknya, tapi Aya kekeuh tak ingin pergi. "Nggak usah Mas, aku mau pulang. Aku mau istirahat, aku yakin buat istirahat sudah hilang. Jadi kita pulang aja ya," mohon Aya matanya menatap sendu kepada suaminya. Dafa menghela napas panjangnya, ia paling lemah jika Aya sudah memohon seperti itu. "Oke kita pulang aja," membantu Aya masuk ke mobil dan juga memasangkan sabuk pengaman. Setelah menutup pintu ia berniat segera memutari mobilnya, namun saat berbalik badan Dafa cukup terkejut ada Pak Suryo dan Bu Sarah. "Ada apa lagi?" ucap Dafa datar. "Maaf saya harus segera pulang.""Kami ingin mengucapkan terima
Sudah berada di depan tempat Rama berada, Ayana meminta untuk tidak keluar terlebih dahulu, ia mengatur dirinya sendiri, agar tidak takut, tidak gugup dan yang paling harus tetap tenang. Dengan setia Dafa di sampingnya, menggengam tangan Aya yang terasa dingin dan berkeringat, sembari terus memandang sang istri dari samping, ia juga memberi kecupan di punggung tangan wanita itu. "Sebentar ya Mas," izin Aya saat menoleh mendapati sang suami menatap teduh kepadanya. "Iya sayang, aku tenangin diri dan persiapkan semuanya, aku di sini selalu jagain kamu." mengangguk pelan Aya kembali melihat kedepan, yang di mana ia sudah melihat ada Pak Suryo dan Bu Sarah sedang menunggu dirinya. Mereka tidak datang kearahnya, karena Dafa sudah memberitahu kepada mereka untuk sabar dan menunggu terlebih dahulu. Memejamkan matanya Aya seperti melafalkan doa, Dafa menepuk puncak kepala istrinya dengan sayang. Membuka matanya Aya menggerakkan tangannya. "Yuk Mas," ajak Aya yang sudah yakin. "Sudah si
"Sayang, bisa nggak? nggak usah dandan. Biasa aja gitu, bajunya emang nggak ada yang lain?" keluh Dafa saat melihat istrinya yang sedang memoleskan bedak ke wajahnya. Aya memutar bola matanya jengah, ini sudah yang keberapa kalinya, Dafa mengatakan hal yang sama. "Ini sudah biasa aja Mas, aku bahkan nggak pakai lipstik. Baju ini juga baju rumahan," kata Aya dengan tatapan sebalnya. "Ck_ kamu tuh terlalu cantik, Ay_ aku nggak suka,""Terus aku harus gimana? aku udah biasa aja lho. Kalau Mas terus kayak gini, mending nggak usah pergi!" ujar Aya menggunakan bahasa isyarat. "Oke, lebih baik memang seperti itu. Kita nggak usah pergi!" saut Dafa. Aya mengangguk, lalu berjalan merebahkan tubuhnya di atas kasur, melihat itu Dafa melongo tak percaya, padahal ia tidak serius. "Lho sayang, kok kamu malah tidur sih? kan kita mau ke lapa?" bangun lagi dari rebahannya, Aya kian menatap Dafa kesal. "Tadi siapa yang nyuruh nggak jadi pergi? ya udah mending aku tidur!" jawab Aya matanya pun mel
Brak!! Suara gebrakan terdengar begitu keras di salah satu tempat kecil dan sedikit gelap. Di sana ada satu perempuan tengah duduk di kursi tangan dalam keadaan terikat di belakang tubuhhya. Tangisan pun terdengar lirih di sela keheningan yang ada, perempuan itu tidak sendiri, ada dua laki-laki berjas hitam. "Maksud kamu apa datang ke toilet ketika sepi, dan ingin melabrak pacar saya?!" ujar suara bariton di hadapan perempuan itu, dan suara pria tersebut tak lain adalah Tito. Ia menyuruh anak buahnya untuk menculik Felly dan membawanya di salah satu gedung kosong, Tito hanya ingin sedikit memberi pelajaran kepada wanita yang sudah membuat sang kekasih ketakutan. "Kamu mau celakai Syifa? IYA?!" Felly terlonjak kaget mendengar bentakan dari Tito. "Kamu nggak tau berhadapan dengan siapa? kamu pikir saya diam aja, ketika ada orang yang mau menyakiti pacar saya."Tubuh Felly menegang, ia begitu ketakutan melihat raut wajah Tito, yang biasanya ia lihat begitu tampan, kini berubah men
"Syifa. Kamu nggak apa-apa kan dek?" tiba di rumah Syifa langsung di lihat kondisinya oleh sang Kakak. Tadi Dafa mendapatkan kabar dari Tito, Syifa di ganggu oleh salah satu mahasiswi di sana, tentu Dafa langsung kalang kabut bahkan ia ingin menyusul Syifa ke kampus. Namun urung, saat Tito mengatakan jika masalah ini biar dia yang mengurus. "Aku nggak apa-apa, Mas. Tadi aku telepon pihak keamanan di kampus, jadi alhamdulillah sebelum aku kenapa-napa, satpam sudah datang dan tolongin aku. Lagian tadi juga ada teman aku yang bantuin, kalau nggak ada siapa-siapa, ya aku nggak tau nasib aku." ujar Syifa. "Alhamdulillah, Mas khawatir banget sama kamu dek.""Tenang aja, Daf. Syifa aman kalau sama gue." timpal Tito. "Tolong ya ngaca. Lo ya sumber dari masalah ini," sungut Dafa kesal. "Lah kok gue?'" Iyalah, coba lo nggak caper ke mereka. Nggak ada yang bakal ganggu adek gue!""Astagfirullah_ siapa yang caper coba?!" jawab Tito tak terima. "Halah sok-sokan. Nggak mau ngaku lagi," Tito
Syifa berada di kamar mandi bersama satu gadis bernama Weni, dia adalah teman satu bangku dengang Syifa, keduanya terlihat asyik bercanda hingga suara bantingan pintu terdengar cukup keras membuat dua gadis itu terlonjak kaget. "Kalian apa-apaan sih! mau ngapain Hah?!" bentak Weni yang begitu berani. Syifa membulatkan matanya melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam kearahnya. Gadis itu mundur beberapa langkah, ingat pesan dari sang kekasih Syifa buru-buru masuk kedalam satu bilik kamar mandi dan menguncinya dari dalam. "Jangan sembunyi lo! keluar." bentak seorang gadis. "Kenapa, lo takut! dasar cupu." Syifa tak memperdulikan teriakan yang tak lain adalah Felly. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas, Syifa menelpon nomer keamanan kampus, beruntung pihak kampus bisa memberi nomer jika terjadi sesuatu pada mahasiswa atau mahasiswinya. "Hai! mau ngapain kalian di sini. Kalian ke kampus untuk belajar, bukan sok jadi pahlawan seperti ini!" bentak pak Rahmat, m