Hari demi hari sudah berlalu begitu cepat. Tidak terasa umur pernikahan Rama dan Ayana sudah dua minggu lamanya.
Kian hari bukannya kebahagiaan yang Aya dapatkan, namun siksaan demi siksaan di berikan oleh Rama kepadanya. Pria itu semakin menyiksa Aya tiada henti, tidak ada hari selain meyakiti gadis itu. Hingga saat ini pun Rama tidak pernah mengagap Aya sebagai istrinya, melainkan sebagai pelayan di apartemennya.
Aya selalu menuruti keinginan suaminya, tapi entah kenapa apapun yang di lakukannya selalu salah. Sampai-sampai ia bingung harus bagaimana.
Hubungan dengan tetangganya itu pun juga sangat baik, saat ini hanya Dafa yang bisa menghiburnya, tadinya pria yang masih berusia 24 tahun itu tidak curiga. Namun lama-kelamaan saat melihat wajah pucat dan lebam di pipi Aya. Ia mulai curiga.
Dafa sudah menyuruh Aya untuk melaporkan suaminya yang sudah melakukan KDRT pada pihak yang berwajib, namun Aya memohon untuk tidak memberitahu kepada siapapun ataupun melaporkan Rama pada polisi.
"Oh.. Ternyata kerjaan lo tiap hari. Berduaan sama tuh cowok!" Aya mendelik tidak menyangka jika di belakangnya ada suaminya.
Sepertinya tadi Rama sudah pergi ke kantor, namun kenapa sekarang suaminya bisa ada di belakangnya. Aya mengambil ponsel di saku lalu menulis sesuatu. "Nggak begitu Mas, aku tidak ada hubungan apa-apa. Kita cuma berteman, dia tetangga kita, tapi dia baik Mas," tulisan Aya berhasil membuat Rama terbahak.
"Ngapain lo jelasin ke gue! Mau lo punya hubungan juga silahkan. Itu bukan urusan gue!"
"Lo pikir gue cemburu! Aya-aya.. Jangan kepedean lo. Cewek bisu kayak lo nggak akan bisa buat gue cemburu!" ujarnya yang sukses membuat Aya terdiam karena kebodohannya. Selesai memaki Aya Rama pergi meninggalkan istrinya yang masih diam terpaku.
Benar kenapa juga, tadi ia menulis kalimat itu. Dirinya terlalu berpikir ketinggian, mana mungkin seorang Rama cemburu kepadanya.
"Suami kamu ini sudah benar-benar keterlaluan! Sampai kapan kamu bisa bertahan dengan pria sombong seperti itu Aya!" gadis itu menoleh, menatap sendu pada Dafa.
"Atau jangan-jangan kamu sudah cinta sama suami kamu?" Aya sedikit membulatkan matanya, benarkah ia cinta pada suaminya.
Dia belum pernah yang namanya jatuh cinta, apa jika cinta pada seseorang seperti ini rasanya, Aya selalu merasa degdegan ketika bersama suaminya, namun ia tidak tahu apakah itu bisa di katakan jatuh cinta.
Aya memegang dadanya, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Aku tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta Daf," tulis Aya malu.
Dafa tengah menahan tawanya, jadi gadis di depannya ini masih polos, belum mengerti rasanya mencintai seseorang bagaimana.
Pria itu semakin gemas dengan gadis istimewa itu. Andai dia yang lebih dulu bertemu. Maka dirinya yang menikahi gadis lugu nan baik hati ini. Tidak peduli dengan kondisinya yang memiliki kekurangan. Hatinya sudah jatuh di pertama kali mereka bertemu beberapa hari yang lalu.
"Rasanya, kamu akan berdebar ketika sedang bersamanya. Senang ketika kamu melihatnya senang, dan sedih ketika kamu melihatnya bersedih. Ya.. Walaupun itu juga belum tentu bisa di katakan jika sudah cinta, bisa saja kan itu karena kasihan atau simpati," jelas Dafa membuat Aya sedikit mengerti.
***
Kegiatan di sore hari Aya biasanya menyiapkan makan untuk suaminya. Namun karena beberapa hari Rama tidak pernah pulang, maka Aya tidak pernah masak, kini gadis itu sedang duduk menonton televisi.
"Bagus! Santai aja terus!" Aya tersentak, ia tidak tahu jika suaminya akan pulang.
"Mas kapan pulang?" tanyanya menggunakan bahasa isyarat.
Rama tidak menjawab karena memang dia tidak mengerti, pria itu justru maju menatap tajam istrinya. "Kenapa setiap hari gue semakin benci sama lo!"
"Apa yang harus aku lakukan Mas, supaya Mas nggak benci dan menerimaku sebagai istri." tulis Aya di ponselnya.
"Lo mau tahu?" Aya mengangguk yakin.
"MATI!"
"Lo harus mati supaya gue bisa bebas!" bentak Rama lalu pergi ke kamarnya meninggalkan Aya yang diam mematung dengan tubuh bergetar.
Kenapa harus mati pria itu baru tidak membencinya, Sebegitu bencikah suaminya kepadanya hingga menginginkan kematiannya.
"Bisu!" bentak Rama muncul kembali mengagetkan Aya yang masih melamun dengan ucapannya beberapa waktu lalu.
"Selain bisu. Lo budek! Dari tadi gue panggilin. Nggak nyaut!" Aya menunduk meminta maaf.
"Sebentar lagi pacar gue datang. Lo harus masak yang enak. Gue mau keluar. Awas kalau gue balik jemput pacar gue lo belum selesai. Siap-siap apa yang akan gue lakuin!" ancamnya.
Tanpa di suruh dua kali Aya bergegas menuju dapur guna memasak seperti apa yang suaminya minta, meskipun sakit hati karena memasak untuk pacar suaminya. Namun Aya masih mau melakukannya.
Hatinya merasa tidak di hargai, padahal istri sahnya di sini. Tapi Rama membawa perempuan yang sebenarnya tidak ada hak apapun tentang Rama.
Tepat pukul tujuh malam Aya selesai memasak, Rama juga baru saja kembali menjemput pacarnya Melinda.
"Bagus! Gue pikir lo nggak mau nurut."
"Sayang ini semua yang masak cewek bisu ini?"
"Iya, dia jago masak kok. Kan lumayan makan nggak usah beli." ucap Rama tertawa pelan. Rama berkata seperti itu seolah dirinya pernah makan masakan Aya, padahal selama ini sekalipun dirinya belum pernah mencoba masakan istrinya itu.
"Tapi kamu yakin sama rasanya? Kalau kita di racunin gimana?" ujarnya manja bergelayut di lengan pria berkaos merah itu.
"Aku yang akan bunuh dia kalau sampai racunin kamu," ucap Rama tajam.
Melinda tertawa senang lalu duduk di meja makan. Mereka berdua sudah mengisi piring masing-masing.
Rama yang lebih dulu menyuapkan makanan itu terdiam ketika masakan Aya sudah masuk kedalam mulutnya. Ia tercengang dengan rasanya. Dia tidak percaya jika gadis bisu itu bisa memasak. Rama mencuri pandang pada Aya yang tengah berdiri sambil menunduk.
"Enak juga masakannya, bermanfaat sekali dia, bisa masak. Bisa beres-beres. Tanpa kamu bayar," tawa mereka berdua memenuhi ruangan tersebut, Aya mengepalkan tangannya menahan sakit hati dan amarahnya.
Ingin melawan namun ia bisa apa.
Selesai makan malam Rama dan Melinda bersantai di ruang tamu, mereka sangat mesra padahal Aya yang masih berada di dapur untuk mencuci piring bisa melihat bahkan mendengar obrolan intim dari keduanya.
"Eh! Bisu. Habis ini belikan gue martabak manis, rasa coklat sama red velvet." perintah Melinda.
"Kamu mau apa sayang, kita kan butuh cemilan malam ini?" tanya Melinda bernada manja.
"Ehm.. Apa ya? Nggak usah deh, itu aja." putus Rama.
"Lo dengar nggak!" hardik Melinda.
Aya mengangguk kuat lalu menghampiri Melinda yang menyodorkan uang.
Aya keluar dari apartemen dan mencari penjual martabak yang tidak terlalu jauh. Sudah sedikit berjalan mencari penjual tersebut. Namun tidak terlihat ada tanda-tanda penjual martabak di dekat apartemen itu.
Senyumnya mengembang ketika melihat ada penjual yang sedang ia cari. Aya segera menghampiri pedagang tersebut, Aya terdiam ketika ia lupa membawa ponsel. Bagaimana dirinya memesan jika ponselnya saja tidak ada.
"Aya," sapa seseorang di belakangnya.
Gadis itu berbalik, di hadapannya ada Dafa yang menatapnya bingung. "Kamu mau beli martabak?" Aya mengangguk dengan senyum lebarnya.
"Tapi aku lupa bawa ponsel aku," Aya berbicara dengan bahasa isyaratnya.
Dafa mencerna sejenak, meskipun baru mengenal Aya beberapa minggu, Dafa diam-diam mencari tau tentang bahasa isyarat yang di gunakan oleh gadis di depannya ini.
"Oh kamu mau pesan tapi lupa bawa hp?" lagi Aya mengangguk tersenyum lega, ada Dafa yang mengerti tentang kesulitannya.
"Memangnya kamu mau pesan apa? Biar aku pesankan?"
Aya pun memberitahu martabak rasa apa yang ingin dia beli pada Dafa.
"Pak saya pesan martabak manis rasa coklat sama red velvet satu ya," pesan Dafa pada pedagangnya.
"Wah maaf mas, tempat saya nggak ada rasa red velvet, adanya cuma keju susu, coklat, kacang aja mas." Aya sedikit kecewa ketika pesanan yang ia mau tidak ada.
Aya akhirnya membelikan Melinda rasa kacang dan keju susu saja. "Pesannya banyak banget? Ada tamu?" tanya Dafa sesaat Aya sudah selesai membayar, lalu mereka memutuskan untuk berbarengan balik ke apartemen.
"Bukan, ini untuk Mas Rama. dia lagi lembur kerja," tulis Aya di ponsel milik Dafa.
Aya terpaksa berbohong kepada Dafa agar teman sekaligus tetangganya ini tidak berpikir buruk kepada Rama.
Meski Dafa tidak percaya namun ia hanya mampu mengangguk.
Dafa diam-diam memperhatikan gadis di sampingnya ini, tidak ada wajah berseri ataupun senyum yang lepas darinya. Hanya murung dan kesedihan yang Dafa tangkap dari raut wajah Aya.
Namun ia salut, karena Aya bisa menutupi kesedihannya dengan sempurna. Siapa saja tidak ada yang tau jika dirinya tengah menderita.
"Tadi gue bilang beli martabak apa! Kenapa rasa ini!" bentak Melinda ketika martabak yang Aya bawa tidak seperti dia mau.Aya mengambil kertas dan pulpen di atas meja. "Maaf, martabak yang kamu minta tidak ada, jadi aku belikan itu aja. Maaf jika kamu tidak suka,""Alasan! Bilang aja lo nggak ikhlas kan!" Aya menggelengkan kepalanya kuat."Ini ada apa sih. Ribut-ribut?" saut Rama."Ini lho sayang, istri kamu. Aku minta martabak coklat sama Red velvet, malah di belikan ini." adu Melinda sambil memberi bungkusan itu pada Rama.Pria itu menatap horor kearah Aya yang memandangnya dengan tatapan sendu, berharap suaminya tidak menyalahkan dirinya."Lo tau nggak. Pacar gue alergi kacang! Lo mau bunuh pacar gue! Iya!!" bentak Rama murka.Aya menggeleng kuat, dia tidak tahu jika Melinda alergi kacang, Ia mundur ketika Rama maju dengan emosi penuh.Plak!Rama menampar pipi Aya kiri dan kanan terus-menerus secara kuat hingga sudut
"Dafa. Makasih ya, sudah mau belikan aku bubur sama bahan makanan lainnya. Nanti kalau aku sudah punya uang, aku kembalikan."ujarnya dengan tulisan di ponsel."Nggak usah di kembalikan, aku ikhlas untuk kamu." tulus Dafa Aya mengangguk tidak enak."Kalau gitu aku pamit dulu ya, aku ada perlu." pamit Dafa lalu segera pergi setelah mendapatkan anggukan dari Aya.Wanita itu memperhatikan Dafa hingga hilang di balik pintu lift, ia menatap bungkusan yang Dafa belikan untuknya. Berupa beras lima kilo, mie instan dan juga beberapa butir telur. Lagi-lagi Aya sangat merasa tidak enak, tapi karena ia memang butuh dan juga pria itu yang menawarkan membuatnya menerima bantuannya.Aya segera masuk. Dan langsung menuju dapur untuk menaruh barang bawaannya.Prang!Aya memekik sampai menutup telinganya, ketika suara benda pecah menghantam dinding di dekatnya. "Bagus ya lo! Suami nggak ada di rumah, lo keluyuran sama cowok lain!"
Dafa bernafas lega ketika melihat Aya membuka matanya, gadis itu tak sadarkan diri cukup lama. Pria itu hampir saja membawa Aya kerumah sakit jika tidak sadar-sadar juga."Alhamdulillah kamu sudah sadar," Dafa mengucap syukur memandang Aya senang.Aya memegangi kepalanya yang berdenyut, ia mencoba mengingat kembali apa yang sudah terjadi.Wanita itu bangun untuk bersandar di kepala ranjang. Sigap Dafa membantu menaruh bantal di balik punggung Aya.Aya mengambil buku di sampingnya lalu menulis sesuatu, Dafa diam menunggu apa yang Aya tulis. "Terima kasih ya, kamu mau nolongin aku. Maaf aku pasti merepotkanmu.""Tidak perlu bilang makasih, sebagai teman. Kita harus saling tolong menolong," ada rasa nyeri ketika dirinya mengatakan jika dia teman pada Aya.Dafa berdeham tidak ingin memperdulikan isi hatinya. "Aku sudah buat kan bubur, tadi aku lihat bahan yang kita beli kemarin ada di tong sampah." Aya mendelik lalu cepat-cepat menulis."
"Assalamu'alaikum," salam Rama ketika masuk kedalam rumahnya.Semua penghuni rumah orang tua Rama menoleh kearahnya, Bu Sarah tersenyum lebar ketika melihat siapa yang datang. "Ya ampun Aya, Mama kangen sama kamu nak. Apa kabar?" Aya tersenyum canggung lalu menyalami tangan sang mertua."Alhamdulillah baik Ma," tulis Aya di buku kecilnya."Tapi kok. Mama lihat kamu kurusan sayang? Muka kamu juga pucat?""Itu Ma, dia memang lagi kurang enak badan. Tadinya aku minta dia istirahat aja tapi dianya nggak mau." jawab Rama memotong ucapan Mamanya, dia takut Mamanya akan curiga."Jadi kamu lagi nggak enak badan? Kalau badan kamu kurang fit. Aturan nggak usah ikut nggak apa-apa nak, ini cuma acara keluarga yang kumpul setiap bulan." Bu Sarah terlihat sekali jika khawatir pada menantunya."Tuh kan sayang, apa aku bilang. Tadi aku bilang apa? Nggak usah ikut." ucap Rama lembut memberi senyuman manis pada wanita itu.Bu Sarah mengulum senyum sena
Karena hari belum terlalu larut, Dafa mengajak Aya terlebih dahulu ke suatu tempat. Di dekat taman kota, ada penjual yang berderetan menjajahkan jualannya.Dafa memilih mengajak Aya mencicipi minuman khas jawa tengah. "Gimana suka?" tanya Dafa saat mengajak Aya membeli minuman hangat.Aya mengangguk sambil terus menyendok wedang ronde yang baru pertama kali gadis itu minum."Sangat enak, aku baru pertama kali mencobanya, ternyata enak." Dafa terkekeh pelan sambil mengacak rambut gadis itu.Aya terdiam dengan detak jantung yang berpacu kuat, setiap Dafa melakukan kontak fisik hatinya selalu berdebar, lebih berdebar ketika ia bersama suaminya."Kamu belum pernah mencoba minuman ini?" tanya Dafa tidak percaya. Aya mengulum senyum sambil menggeleng."Ini minuman khas jawa tengah. Biasanya untuk menghangatkan tubuh. Kalau kondisi tubuh kurang fit pasti enakan badannya, setelah
Pria berkaos merah maroon mengusap keringat di keningnya, sesaat selesai membantu menanam bibit anggrek kedalam pot kecil.Selain membelikan, Dafa juga membantu Aya menanam bibit tersebut, selama membantu gadis itu. Dafa sering memperhatikan Wajah Aya, hari ini wajah cantik gadis itu terlihat berseri, senyum terus terukir dari bibir manis gadis itu.Dafa menarik sudut bibirnya. Ia merasa terlalu pede, bisa saja kan. senyum itu karena suaminya, Ingat. Aya sudah memiliki suami.Pria itu menggeleng kuat, dia tidak boleh terlalu berharap pada Aya, meskipun Rama bukanlah suami yang baik. Namun Dafa juga tidak ingin memanfaatkan keadaan Aya untuk ia dekati.Biarkan perasaan ini dia yang rasa, sejatinya bukan cinta yang salah, namun keadaan yang mengharuskan dirinya mundur dan melupakan cintanya.Dafa tersentak ketika usapan lembut terasa di lengannya. "Ada apa? Kenapa melamun?" tanya A
Tersenyum di balik rasa sedih, itulah yang biasa manusia lakukan. Di depan terlihat baik-baik saja bisa tertawa, tersenyum bahagia.Namun dibalik itu semua mereka tidak tau jika kita sedang bersedih ataupun terluka. Begitu pun yang dilakukan Ayana.Gadis itu tampak baik-baik saja, sering tersenyum menyapa orang-orang yang tinggal di dekat apartemennya.Tapi taukah mereka jika Ayana sedang terluka, Ia merasa hidupnya seperti dulu, kesepian tidak punya teman ataupun saudara.Semenjak kejadian Rama menciumnya tiba-tiba di lift. Pria itu meninggalkannya begitu saja, tanpa mengatakan sesuatu. Suaminya pergi dan sampai saat ini tidak pulang.Aya merasa jika suaminya telah melukai hatinya dengan sangat, Aya juga manusia biasa yang bisa marah. Ia tidak terima dan merasa sakit hati. Setelah Rama menciumnya dengan intens bahkan Rama hampir melakukan hal lebih kepadanya, tiba-tiba per
Dafa tidak bisa fokus saat memerikan hasil kerja karyawannya dengan benar, entah sudah berapa kali pria itu menarik napas panjang sambil memijat keningnya.Yang ada di kepalanya hanya ada satu nama, yaitu Ayana. Semenjak bertemu beberapa jam yang lalu. Perasaannya menjadi gelisah. Dan selalu kepikiran tentang gadis itu."Agh!!" erang Dafa mengacak rambutnya frutasi.Kenapa susah sekali melupakan perempuan yang sama sekali tidak boleh ia pikiran, Dafa akui jika beberapa hari ini ia menghindari Aya, untuk kebaikan dirinya dan juga untuk gadis itu. Dafa tidak ingin semakin dalam menyukai atau bahkan mencintai Aya."Ada apa Mas?" Dafa tersentak baru menyadari jika bukan dirinya saja yang ada di ruangannya saat ini."Tidak ada, Pras tolong kamu selesaikan tugas saya. Nanti kalau sudah selesai kamu taruh di meja. Kepala saya sakit. mau pulang,""Baik Mas, biar saya
Di tengah malam sekitar pukul 00:30 seorang gadis cantik, terlihat gelisah di atas kasur. Sedari tadi tubuhnya terus bergerak kesana kemari, gadis tersebut adalah Syifa, yang sedang bingung untuk mengambil keputusan apa tentang Tito. Hatinya tengah bimbang, antara masih ragu, takut dan tidak percaya. Syifa ragu jika harus menikah di usia muda, namun dia juga takut kehilangan Tito kalau sampai dirinya menolak, di sisi lain Syifa tidak percaya jika Tito merubah keputusannya menjadi menikahi dirinya, bukan untuk melamarnya. Jujur Syifa takut jika dia menikah sekarang, dirinya tak bisa membahagiakan pria tersebut, selama ini Tito begitu tulus mencintainya. Dirinya takut kalau nanti akan mengecewakan pria yang begitu dia cintai. Menghembuskan napas berulang kali, Syifa pun bermonolog. "Mungkin ini jalan terbaik, semoga apa yang sudah aku putuskan. Nggak akan salah dan merugikan semuanya." mengepalkan tangannya gadis tersebut menguatkan dirinya sendiri. "Syifa! ayo kamu pasti bisa. N
"Maksud Mas gimana? bukannya kita kesana baru mau membicarakan tentang hubungan kita ke Bapak?"Tito merubah posisinya, ia memegang setir dengan dua tangannya. "Mereka tetap mau menjodohkan aku dengan perempuan itu, kecuali aku sudah menikah. Maka mereka akan menghentikan perjodohan dan merelakan aku nikah sama kamu," "Tapi Mas, aku masih kuliah, memangnya Mas nggak masalah punya istri yang berstatus mahasiswa?""Memang kenapa? Mas nggak masalah. Menurut Mas lebih cepat lebih baik, atau kamu yang belum siap?" "Aku nggak tau? Aku cuma nggak mau jadi istri yang nggak baik,""Kenapa bisa mikir gitu, banyak kok di luar sana. Istrinya yang masih berstatus pelajar, dan mereka bisa menjalani itu dengan baik." lanjut Tito tak mau kalah. "Kasih aku waktu untuk mikir," putus Syifa memohon pada Tito agar pria itu mengerti dirinya juga berhak mengambil keputusan. Menarik napas panjangnya, Tito hanya bisa mengangguk pelan, menghargai keinginan gadisnya yang ingin memikirkan lebih dulu tentang
Hari demi hari telah di lalui oleh Aya begitu cepat, tidak terasa kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan sesuai rencana. Acara tujuh bulanannya akan di adakan dikota semarang, sesuai permintaan wanita itu, tentu Dafa dengan senang hati, mempersiapkan semuanya. Dan rencananya esok lusa, mereka akan berangkat ke sana, lalu untuk masalah syifa. Dafa waktu itu turun tangan menemui orang tua Tito. Memberitahu jika putra mereka sudah memiliki pendamping, tak perlu menjodohkan karena Tito sudah memiliki wanita yang sudah pria itu pilih. Dafa sempat adu mulut dengan orang tua Tito, mereka tidak setuju jika putranya menikah dengan wanita yang bukan pilihan dari orang tuanya. Namun Dafa tidak ingin membuat sahabatnya menderita lagi oleh kelakuan orang tuanya, maka ia memberanikan diri untuk melawan ucapan kedua orang tua tersebut. "Sayang, sudah dong kamu jangan gerak kesana sini, aku nggak mau ya. Kamu kecapean," Aya mengulas senyum. Menghampiri suaminya yang berdiri sembari mel
Sudah berada di parkiran mobil, Aya diam berpegangan pada badan mobil lebih dulu. "Sayang, kita kerumah sakit ya?" ajak Dafa yang tak tega dan juga melihat wajah pucat kesakitan istrinya. Aya menggeleng pelan. "Nggak usah Mas, aku nggak apa-apa. Kita pulang aja.""Nggak apa-apa gimana? kamu kesakitan gini. Kita tetap kerumah sakit, oke."Dafa tidak mau terjadi sesuatu kepada calon anaknya, tapi Aya kekeuh tak ingin pergi. "Nggak usah Mas, aku mau pulang. Aku mau istirahat, aku yakin buat istirahat sudah hilang. Jadi kita pulang aja ya," mohon Aya matanya menatap sendu kepada suaminya. Dafa menghela napas panjangnya, ia paling lemah jika Aya sudah memohon seperti itu. "Oke kita pulang aja," membantu Aya masuk ke mobil dan juga memasangkan sabuk pengaman. Setelah menutup pintu ia berniat segera memutari mobilnya, namun saat berbalik badan Dafa cukup terkejut ada Pak Suryo dan Bu Sarah. "Ada apa lagi?" ucap Dafa datar. "Maaf saya harus segera pulang.""Kami ingin mengucapkan terima
Sudah berada di depan tempat Rama berada, Ayana meminta untuk tidak keluar terlebih dahulu, ia mengatur dirinya sendiri, agar tidak takut, tidak gugup dan yang paling harus tetap tenang. Dengan setia Dafa di sampingnya, menggengam tangan Aya yang terasa dingin dan berkeringat, sembari terus memandang sang istri dari samping, ia juga memberi kecupan di punggung tangan wanita itu. "Sebentar ya Mas," izin Aya saat menoleh mendapati sang suami menatap teduh kepadanya. "Iya sayang, aku tenangin diri dan persiapkan semuanya, aku di sini selalu jagain kamu." mengangguk pelan Aya kembali melihat kedepan, yang di mana ia sudah melihat ada Pak Suryo dan Bu Sarah sedang menunggu dirinya. Mereka tidak datang kearahnya, karena Dafa sudah memberitahu kepada mereka untuk sabar dan menunggu terlebih dahulu. Memejamkan matanya Aya seperti melafalkan doa, Dafa menepuk puncak kepala istrinya dengan sayang. Membuka matanya Aya menggerakkan tangannya. "Yuk Mas," ajak Aya yang sudah yakin. "Sudah si
"Sayang, bisa nggak? nggak usah dandan. Biasa aja gitu, bajunya emang nggak ada yang lain?" keluh Dafa saat melihat istrinya yang sedang memoleskan bedak ke wajahnya. Aya memutar bola matanya jengah, ini sudah yang keberapa kalinya, Dafa mengatakan hal yang sama. "Ini sudah biasa aja Mas, aku bahkan nggak pakai lipstik. Baju ini juga baju rumahan," kata Aya dengan tatapan sebalnya. "Ck_ kamu tuh terlalu cantik, Ay_ aku nggak suka,""Terus aku harus gimana? aku udah biasa aja lho. Kalau Mas terus kayak gini, mending nggak usah pergi!" ujar Aya menggunakan bahasa isyarat. "Oke, lebih baik memang seperti itu. Kita nggak usah pergi!" saut Dafa. Aya mengangguk, lalu berjalan merebahkan tubuhnya di atas kasur, melihat itu Dafa melongo tak percaya, padahal ia tidak serius. "Lho sayang, kok kamu malah tidur sih? kan kita mau ke lapa?" bangun lagi dari rebahannya, Aya kian menatap Dafa kesal. "Tadi siapa yang nyuruh nggak jadi pergi? ya udah mending aku tidur!" jawab Aya matanya pun mel
Brak!! Suara gebrakan terdengar begitu keras di salah satu tempat kecil dan sedikit gelap. Di sana ada satu perempuan tengah duduk di kursi tangan dalam keadaan terikat di belakang tubuhhya. Tangisan pun terdengar lirih di sela keheningan yang ada, perempuan itu tidak sendiri, ada dua laki-laki berjas hitam. "Maksud kamu apa datang ke toilet ketika sepi, dan ingin melabrak pacar saya?!" ujar suara bariton di hadapan perempuan itu, dan suara pria tersebut tak lain adalah Tito. Ia menyuruh anak buahnya untuk menculik Felly dan membawanya di salah satu gedung kosong, Tito hanya ingin sedikit memberi pelajaran kepada wanita yang sudah membuat sang kekasih ketakutan. "Kamu mau celakai Syifa? IYA?!" Felly terlonjak kaget mendengar bentakan dari Tito. "Kamu nggak tau berhadapan dengan siapa? kamu pikir saya diam aja, ketika ada orang yang mau menyakiti pacar saya."Tubuh Felly menegang, ia begitu ketakutan melihat raut wajah Tito, yang biasanya ia lihat begitu tampan, kini berubah men
"Syifa. Kamu nggak apa-apa kan dek?" tiba di rumah Syifa langsung di lihat kondisinya oleh sang Kakak. Tadi Dafa mendapatkan kabar dari Tito, Syifa di ganggu oleh salah satu mahasiswi di sana, tentu Dafa langsung kalang kabut bahkan ia ingin menyusul Syifa ke kampus. Namun urung, saat Tito mengatakan jika masalah ini biar dia yang mengurus. "Aku nggak apa-apa, Mas. Tadi aku telepon pihak keamanan di kampus, jadi alhamdulillah sebelum aku kenapa-napa, satpam sudah datang dan tolongin aku. Lagian tadi juga ada teman aku yang bantuin, kalau nggak ada siapa-siapa, ya aku nggak tau nasib aku." ujar Syifa. "Alhamdulillah, Mas khawatir banget sama kamu dek.""Tenang aja, Daf. Syifa aman kalau sama gue." timpal Tito. "Tolong ya ngaca. Lo ya sumber dari masalah ini," sungut Dafa kesal. "Lah kok gue?'" Iyalah, coba lo nggak caper ke mereka. Nggak ada yang bakal ganggu adek gue!""Astagfirullah_ siapa yang caper coba?!" jawab Tito tak terima. "Halah sok-sokan. Nggak mau ngaku lagi," Tito
Syifa berada di kamar mandi bersama satu gadis bernama Weni, dia adalah teman satu bangku dengang Syifa, keduanya terlihat asyik bercanda hingga suara bantingan pintu terdengar cukup keras membuat dua gadis itu terlonjak kaget. "Kalian apa-apaan sih! mau ngapain Hah?!" bentak Weni yang begitu berani. Syifa membulatkan matanya melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam kearahnya. Gadis itu mundur beberapa langkah, ingat pesan dari sang kekasih Syifa buru-buru masuk kedalam satu bilik kamar mandi dan menguncinya dari dalam. "Jangan sembunyi lo! keluar." bentak seorang gadis. "Kenapa, lo takut! dasar cupu." Syifa tak memperdulikan teriakan yang tak lain adalah Felly. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas, Syifa menelpon nomer keamanan kampus, beruntung pihak kampus bisa memberi nomer jika terjadi sesuatu pada mahasiswa atau mahasiswinya. "Hai! mau ngapain kalian di sini. Kalian ke kampus untuk belajar, bukan sok jadi pahlawan seperti ini!" bentak pak Rahmat, m