"Bunga terus yang di kasih makan, emang kamu sudah makan?" tanya Dafa ketika melihat Aya yang begitu tekun merawat tanamannya.
Aya sedikit terkejut saat mendengar suara Dafa, ia menoleh sekejap lalu mengeluarkan ponselnya untuk menuliskan sesuatu. "Sudah, kalau kamu sudah belum?"
"Wah.. Ini pertanyaan atau tawaran, kan lumayan kalau dapat sarapan gratis." ujar Dafa berniat menggoda gadis itu.
Aya tersenyum lalu memberi isyarat untuk tidak kemana-mana. Dafa menurut, ia menunggu gadis itu. Hingga beberapa menit Aya kembali dengan membawa satu piring nasi penuh berserta lauknya. Dafa mendelik padahal kan niatnya hanya menggoda gadis itu, namun ternyata Aya benar-benar memberikannya sarapan.
Karena jarak pagar balkon mereka menempel Aya mudah menaruh piring tersebut di atas pagar Dafa.
Raut wajah Aya berubah ketika Dafa tak kunjung menerima makanannya. Apakah semua orang tidak ingin mencoba makanan dari masakannya.
Perlahan Aya menarik kembali piringnya, hal itu membuat Dafa bingung. "Lho. Kok di ambil lagi?" Aya menulis di ponselnya.
"Tidak jadi, pasti kamu tidak mau makan masakanku." Dafa bisa melihat raut kesedihan dari Aya.
"Siapa bilang! Sini." ujarnya cepat lalu menarik piring yang Aya pegang.
Dafa tercengang ketika merasakan masakan Aya, yang begitu enak. "Bagaimana? Tidak enak ya?" tulis gadis itu.
"Enak banget ini. nggak bohong aku," ujar Dafa begitu semangat, Aya sampai tertawa pelan, menurutnya Dafa ini pria yang humoris dan enak di ajak untuk berteman.
memandangi Dafa yang begitu menikmati makanannya, membuatnya membayangkan seandainya di depannya ini adalah suaminya, pasti dirinya akan jauh lebih bahagia.
"Jika kamu suka, besok aku akan buatkan kamu makanan lagi,"
"Memangnya tidak apa-apa, jangan ah. Aku takut suamimu marah." Aya menunduk menutupi kesedihannya.
Namun tetap saja Dafa bisa melihat itu. Aya mendongak lagi lalu mengetik sesuatu."tidak apa-apa, suamiku mana mungkin marah."
"Oh begitu ya, oke aku tunggu lho besok," sebenarnya Dafa ingin menanyakan sesuatu, namun ia sadar diri jika dia bukan siapa-siapa. Lagi pula dirinya baru kenal dengan gadis itu.
Aya mengangguk mantap sambil memberi jempol pada Dafa, pria itu memandangi Aya. Walaupun tersenyum ia merasa jika Aya tengah menutupi sesuatu, terlihat jelas dari mata gadis itu.
Di kantor, Rama sedang memeriksa hasil kerja karyawannya, hingga suara yang sangat ia hapal membuatnya menoleh. Senyumannya merekah ketika orang itu masuk dan duduk di depan mejanya. "Hei.. Kenapa datang nggak bilang-bilang. Aku kan bisa menjemputmu sayang." kata Rama lembut.
"Nggak apa-apa, aku kesini cuma bentar doang. Mau minta duit sih, kalau di kasih," ujarnya sambil memilin jari lentik berkuku merah tersebut. Rama terkekeh memajukan duduknya menaruh tangannya di atas meja.
"Untuk apa? Bukannya aku sudah kasih dua hari yang lalu." wanita itu cemberut membuat Rama gemas tangannya terulur mencubit pipi kekasihnya yang bernama Melinda.
"Udah habis lah, duit segitu doang beli daleman juga nggak cukup Ram!" kesalnya. Rama mengakui jika kekasihnya ini gila uang.
Padahal dua hari yang lalu dirinya baru saja mentransfer uang sejumlah 200 juta. Namun sekarang wanita itu sudah meminta lagi.
"Memangnya butuh berapa?" mata Melinda berbinar sinyal mendapatkan uang sudah ia dapatkan.
"150 juta, eh nggak deh. 175 juta, segitu aja dulu." katanya begitu bersemangat.
Rama cukup terkejut uang sebanyak itu, sebenarnya untuk apa.
Rama paling tidak tega jika tidak memberikan uang itu pada kekasihnya. Meskipun berjumlah banyak, Rama selalu memberikan uang yang di minta oleh Melinda.
"Baiklah, aku transfer sekarang." Melinda sangat senang. Sampai-sampai ia bertepuk tangan beberapa kali dengan wajah kegirangan.
Selesai Rama transfer Melinda segera pamit pada laki-laki itu. Namun sebelum pergi Melinda memberikan hadiah, berupa ciuman panas untuk Rama. "Aku tunggu nanti malam," bisik Melinda di telinga Rama.
Membuat Rama mengeram kesal karena kekasihnya sudah menggodanya, setelah berhasil membuatnya bergairah ia di tinggal begitu saja.
***
Pukul 00: 35 Aya masih terjaga di ruang tamu, ia ingin menunggu suaminya pulang. Tapi sudah selarut ini belum ada tanda-tanda kedatangan suaminya itu.
Ngantuk. Sudah pasti, sebenarnya Aya tidak bisa tidur selarut ini. Namun demi baktinya pada suami, maka ia rela menunggu sampai suaminya itu pulang.
Aya bingung ingin melakukan apa, acara televisi sudah tidak ada yang menarik. Sesekali ia mengusap matanya yang mengeluarkan air mata karena pedih menahan kantuk.
Aya melirik jam di dinding, sudah menujukan pukul 01:15 ia menoleh pada pintu, tidak juga ada kedatangan suaminya. Ia menyerah matanya sudah tidak sanggup untuk menahan kantuknya, Akhirnya gadis itu merebahkan tubuhnya di sofa dan mulai terlelap.
Di apartemen, sang istri sedang menunggu hingga tertidur di sofa. sementara suaminya kini tengah asyik bercumbu di rumah kekasihnya, Rama begitu terbuai oleh permainan Melinda tanpa memikirkan seseorang yang tengah menunggunya rumahnya.
Aya terbangun mengedarkan pandangannya mencari sosok yang masih ia tunggu. Waktu sudah menujukan shubuh, Aya berdiri ingin memeriksa kamar suaminya.
Ia hanya ingin memeriksa, suaminya sudah pulang atau memang tidak pulang. Memberanikan diri Aya memutar knop pintu tersebut. saat pintu sudah terbuka lebar, Hatinya berubah sendu. Ternyata suaminya tidak pulang.
Tidur di manakah suaminya sekarang, baik-baik sajakah suaminya. Pikirnya dalam hati.
Aya menutup pintu lagi dan pergi ke kamarnya sendiri untuk bersiap-siap sholat subuh.
Selesai sholat subuh, gadis itu menuju dapur. Bersiap-siap untuk membuat sarapan. Meskipun suaminya tidak pulang. Ia tetap memasak. Lagi pula jika suaminya tidak ada, ia sudah punya janji dengan tetangganya itu.
Mendengar suara pintu terbuka membuat Aya menoleh. Tersenyum saat melihat Rama pulang dengan wajah kusutnya. Aya menghampiri Rama berniat untuk menyalami tangan suaminya.
Belum sampai meraih tangan kanan Rama. Pria itu lebih dulu menghindar dan masuk kedalam kamarnya.
Masih posisi menunduk Aya, tersenyum getir. Lagi-lagi ia di tolak. Ia menegakkan tubuhnya, menatap sendu pintu kamar milik Rama yang sudah tertutup rapat.
Pria itu hanya sebentar di rumah, hanya numpang mandi dan berganti baju. Aya melihat Rama sudah sangat rapi dan wangi.
Aya sedikit berlari dan mencegah Rama untuk pergi. Namun karena refleks memegang lengannya. Pria itu menepis tangan Aya sangat kuat hingga gadis itu tersungkur di lantai.
"Berapa kali gue bilang! Jangan sentuh gue! Lo memang nggak ngerti bahasa manusia. Ya!" bentak Rama sangat kencang, Aya menggeleng kuat.
Rama maju. lalu berjongkok di depan gadis itu dan menarik rambut Aya hingga ia mendongak ke atas. "Lo memang nggak bisa di baikin ya. Sekali-sekali lo di hukum. Biar kapok!" ujar Rama terdengar menakutkan di telinga Aya.
"Sini lo!" Rama berdiri lalu menggeret Aya dengan menarik rambut gadis itu.
Aya sudah menangis merasakan pusing di kepalanya, ia sudah memohon untuk di lepaskan dengan cara memberontak.
Tapi sayang tenaganya kalah dengan suaminya. Rama membawanya ke kamar mandi, Pria itu menyalakan shower dengan mengatur suhunya untuk air panas.
Rama mengalirkan shower itu ke tubuh Aya. Gadis itu menangis, menjerit kepanasan, tangannya menangkup memberi isyarat untuk berhenti dan meminta maaf, wajah Aya sudah memerah. Tangannya pun ikut memerah.
Puas sudah memandikan istrinya dengan air panas, Rama tersenyum miring dan pergi meninggalkan Aya yang masih kesakitan begitu saja.
Aya menangis meratapi nasibnya dan juga merasakan sakit di tubuhnya.
Sisa tenaga yang di punya Aya berdiri untuk keluar dari kamar mandi tersebut, Apartemen itu sudah kosong lagi. Setelah menyiram dirinya Rama pergi meninggalkannya lagi.
Aya masuk kedalam kamarnya untuk berganti baju, ia menangis ketika duduk di depan meja rias, menatap wajahnya yang merah-merah.
Perlahan ia menuju dapur berniat untuk memasak lagi, bagaimana pun keadaannya Aya harus bisa menepati janjinya. Dari dulu orang tuanya selalu mengajarinya untuk tidak ingkar janji pada siapapun.
Hari demi hari sudah berlalu begitu cepat. Tidak terasa umur pernikahan Rama dan Ayana sudah dua minggu lamanya.Kian hari bukannya kebahagiaan yang Aya dapatkan, namun siksaan demi siksaan di berikan oleh Rama kepadanya. Pria itu semakin menyiksa Aya tiada henti, tidak ada hari selain meyakiti gadis itu. Hingga saat ini pun Rama tidak pernah mengagap Aya sebagai istrinya, melainkan sebagai pelayan di apartemennya.Aya selalu menuruti keinginan suaminya, tapi entah kenapa apapun yang di lakukannya selalu salah. Sampai-sampai ia bingung harus bagaimana.Hubungan dengan tetangganya itu pun juga sangat baik, saat ini hanya Dafa yang bisa menghiburnya, tadinya pria yang masih berusia 24 tahun itu tidak curiga. Namun lama-kelamaan saat melihat wajah pucat dan lebam di pipi Aya. Ia mulai curiga.Dafa sudah menyuruh Aya untuk melaporkan suaminya yang sudah melakukan KDRT pada pihak yang berwajib, namun Aya memohon untuk tidak memberitahu kepada siapapun ataupun
"Tadi gue bilang beli martabak apa! Kenapa rasa ini!" bentak Melinda ketika martabak yang Aya bawa tidak seperti dia mau.Aya mengambil kertas dan pulpen di atas meja. "Maaf, martabak yang kamu minta tidak ada, jadi aku belikan itu aja. Maaf jika kamu tidak suka,""Alasan! Bilang aja lo nggak ikhlas kan!" Aya menggelengkan kepalanya kuat."Ini ada apa sih. Ribut-ribut?" saut Rama."Ini lho sayang, istri kamu. Aku minta martabak coklat sama Red velvet, malah di belikan ini." adu Melinda sambil memberi bungkusan itu pada Rama.Pria itu menatap horor kearah Aya yang memandangnya dengan tatapan sendu, berharap suaminya tidak menyalahkan dirinya."Lo tau nggak. Pacar gue alergi kacang! Lo mau bunuh pacar gue! Iya!!" bentak Rama murka.Aya menggeleng kuat, dia tidak tahu jika Melinda alergi kacang, Ia mundur ketika Rama maju dengan emosi penuh.Plak!Rama menampar pipi Aya kiri dan kanan terus-menerus secara kuat hingga sudut
"Dafa. Makasih ya, sudah mau belikan aku bubur sama bahan makanan lainnya. Nanti kalau aku sudah punya uang, aku kembalikan."ujarnya dengan tulisan di ponsel."Nggak usah di kembalikan, aku ikhlas untuk kamu." tulus Dafa Aya mengangguk tidak enak."Kalau gitu aku pamit dulu ya, aku ada perlu." pamit Dafa lalu segera pergi setelah mendapatkan anggukan dari Aya.Wanita itu memperhatikan Dafa hingga hilang di balik pintu lift, ia menatap bungkusan yang Dafa belikan untuknya. Berupa beras lima kilo, mie instan dan juga beberapa butir telur. Lagi-lagi Aya sangat merasa tidak enak, tapi karena ia memang butuh dan juga pria itu yang menawarkan membuatnya menerima bantuannya.Aya segera masuk. Dan langsung menuju dapur untuk menaruh barang bawaannya.Prang!Aya memekik sampai menutup telinganya, ketika suara benda pecah menghantam dinding di dekatnya. "Bagus ya lo! Suami nggak ada di rumah, lo keluyuran sama cowok lain!"
Dafa bernafas lega ketika melihat Aya membuka matanya, gadis itu tak sadarkan diri cukup lama. Pria itu hampir saja membawa Aya kerumah sakit jika tidak sadar-sadar juga."Alhamdulillah kamu sudah sadar," Dafa mengucap syukur memandang Aya senang.Aya memegangi kepalanya yang berdenyut, ia mencoba mengingat kembali apa yang sudah terjadi.Wanita itu bangun untuk bersandar di kepala ranjang. Sigap Dafa membantu menaruh bantal di balik punggung Aya.Aya mengambil buku di sampingnya lalu menulis sesuatu, Dafa diam menunggu apa yang Aya tulis. "Terima kasih ya, kamu mau nolongin aku. Maaf aku pasti merepotkanmu.""Tidak perlu bilang makasih, sebagai teman. Kita harus saling tolong menolong," ada rasa nyeri ketika dirinya mengatakan jika dia teman pada Aya.Dafa berdeham tidak ingin memperdulikan isi hatinya. "Aku sudah buat kan bubur, tadi aku lihat bahan yang kita beli kemarin ada di tong sampah." Aya mendelik lalu cepat-cepat menulis."
"Assalamu'alaikum," salam Rama ketika masuk kedalam rumahnya.Semua penghuni rumah orang tua Rama menoleh kearahnya, Bu Sarah tersenyum lebar ketika melihat siapa yang datang. "Ya ampun Aya, Mama kangen sama kamu nak. Apa kabar?" Aya tersenyum canggung lalu menyalami tangan sang mertua."Alhamdulillah baik Ma," tulis Aya di buku kecilnya."Tapi kok. Mama lihat kamu kurusan sayang? Muka kamu juga pucat?""Itu Ma, dia memang lagi kurang enak badan. Tadinya aku minta dia istirahat aja tapi dianya nggak mau." jawab Rama memotong ucapan Mamanya, dia takut Mamanya akan curiga."Jadi kamu lagi nggak enak badan? Kalau badan kamu kurang fit. Aturan nggak usah ikut nggak apa-apa nak, ini cuma acara keluarga yang kumpul setiap bulan." Bu Sarah terlihat sekali jika khawatir pada menantunya."Tuh kan sayang, apa aku bilang. Tadi aku bilang apa? Nggak usah ikut." ucap Rama lembut memberi senyuman manis pada wanita itu.Bu Sarah mengulum senyum sena
Karena hari belum terlalu larut, Dafa mengajak Aya terlebih dahulu ke suatu tempat. Di dekat taman kota, ada penjual yang berderetan menjajahkan jualannya.Dafa memilih mengajak Aya mencicipi minuman khas jawa tengah. "Gimana suka?" tanya Dafa saat mengajak Aya membeli minuman hangat.Aya mengangguk sambil terus menyendok wedang ronde yang baru pertama kali gadis itu minum."Sangat enak, aku baru pertama kali mencobanya, ternyata enak." Dafa terkekeh pelan sambil mengacak rambut gadis itu.Aya terdiam dengan detak jantung yang berpacu kuat, setiap Dafa melakukan kontak fisik hatinya selalu berdebar, lebih berdebar ketika ia bersama suaminya."Kamu belum pernah mencoba minuman ini?" tanya Dafa tidak percaya. Aya mengulum senyum sambil menggeleng."Ini minuman khas jawa tengah. Biasanya untuk menghangatkan tubuh. Kalau kondisi tubuh kurang fit pasti enakan badannya, setelah
Pria berkaos merah maroon mengusap keringat di keningnya, sesaat selesai membantu menanam bibit anggrek kedalam pot kecil.Selain membelikan, Dafa juga membantu Aya menanam bibit tersebut, selama membantu gadis itu. Dafa sering memperhatikan Wajah Aya, hari ini wajah cantik gadis itu terlihat berseri, senyum terus terukir dari bibir manis gadis itu.Dafa menarik sudut bibirnya. Ia merasa terlalu pede, bisa saja kan. senyum itu karena suaminya, Ingat. Aya sudah memiliki suami.Pria itu menggeleng kuat, dia tidak boleh terlalu berharap pada Aya, meskipun Rama bukanlah suami yang baik. Namun Dafa juga tidak ingin memanfaatkan keadaan Aya untuk ia dekati.Biarkan perasaan ini dia yang rasa, sejatinya bukan cinta yang salah, namun keadaan yang mengharuskan dirinya mundur dan melupakan cintanya.Dafa tersentak ketika usapan lembut terasa di lengannya. "Ada apa? Kenapa melamun?" tanya A
Tersenyum di balik rasa sedih, itulah yang biasa manusia lakukan. Di depan terlihat baik-baik saja bisa tertawa, tersenyum bahagia.Namun dibalik itu semua mereka tidak tau jika kita sedang bersedih ataupun terluka. Begitu pun yang dilakukan Ayana.Gadis itu tampak baik-baik saja, sering tersenyum menyapa orang-orang yang tinggal di dekat apartemennya.Tapi taukah mereka jika Ayana sedang terluka, Ia merasa hidupnya seperti dulu, kesepian tidak punya teman ataupun saudara.Semenjak kejadian Rama menciumnya tiba-tiba di lift. Pria itu meninggalkannya begitu saja, tanpa mengatakan sesuatu. Suaminya pergi dan sampai saat ini tidak pulang.Aya merasa jika suaminya telah melukai hatinya dengan sangat, Aya juga manusia biasa yang bisa marah. Ia tidak terima dan merasa sakit hati. Setelah Rama menciumnya dengan intens bahkan Rama hampir melakukan hal lebih kepadanya, tiba-tiba per
Di tengah malam sekitar pukul 00:30 seorang gadis cantik, terlihat gelisah di atas kasur. Sedari tadi tubuhnya terus bergerak kesana kemari, gadis tersebut adalah Syifa, yang sedang bingung untuk mengambil keputusan apa tentang Tito. Hatinya tengah bimbang, antara masih ragu, takut dan tidak percaya. Syifa ragu jika harus menikah di usia muda, namun dia juga takut kehilangan Tito kalau sampai dirinya menolak, di sisi lain Syifa tidak percaya jika Tito merubah keputusannya menjadi menikahi dirinya, bukan untuk melamarnya. Jujur Syifa takut jika dia menikah sekarang, dirinya tak bisa membahagiakan pria tersebut, selama ini Tito begitu tulus mencintainya. Dirinya takut kalau nanti akan mengecewakan pria yang begitu dia cintai. Menghembuskan napas berulang kali, Syifa pun bermonolog. "Mungkin ini jalan terbaik, semoga apa yang sudah aku putuskan. Nggak akan salah dan merugikan semuanya." mengepalkan tangannya gadis tersebut menguatkan dirinya sendiri. "Syifa! ayo kamu pasti bisa. N
"Maksud Mas gimana? bukannya kita kesana baru mau membicarakan tentang hubungan kita ke Bapak?"Tito merubah posisinya, ia memegang setir dengan dua tangannya. "Mereka tetap mau menjodohkan aku dengan perempuan itu, kecuali aku sudah menikah. Maka mereka akan menghentikan perjodohan dan merelakan aku nikah sama kamu," "Tapi Mas, aku masih kuliah, memangnya Mas nggak masalah punya istri yang berstatus mahasiswa?""Memang kenapa? Mas nggak masalah. Menurut Mas lebih cepat lebih baik, atau kamu yang belum siap?" "Aku nggak tau? Aku cuma nggak mau jadi istri yang nggak baik,""Kenapa bisa mikir gitu, banyak kok di luar sana. Istrinya yang masih berstatus pelajar, dan mereka bisa menjalani itu dengan baik." lanjut Tito tak mau kalah. "Kasih aku waktu untuk mikir," putus Syifa memohon pada Tito agar pria itu mengerti dirinya juga berhak mengambil keputusan. Menarik napas panjangnya, Tito hanya bisa mengangguk pelan, menghargai keinginan gadisnya yang ingin memikirkan lebih dulu tentang
Hari demi hari telah di lalui oleh Aya begitu cepat, tidak terasa kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan sesuai rencana. Acara tujuh bulanannya akan di adakan dikota semarang, sesuai permintaan wanita itu, tentu Dafa dengan senang hati, mempersiapkan semuanya. Dan rencananya esok lusa, mereka akan berangkat ke sana, lalu untuk masalah syifa. Dafa waktu itu turun tangan menemui orang tua Tito. Memberitahu jika putra mereka sudah memiliki pendamping, tak perlu menjodohkan karena Tito sudah memiliki wanita yang sudah pria itu pilih. Dafa sempat adu mulut dengan orang tua Tito, mereka tidak setuju jika putranya menikah dengan wanita yang bukan pilihan dari orang tuanya. Namun Dafa tidak ingin membuat sahabatnya menderita lagi oleh kelakuan orang tuanya, maka ia memberanikan diri untuk melawan ucapan kedua orang tua tersebut. "Sayang, sudah dong kamu jangan gerak kesana sini, aku nggak mau ya. Kamu kecapean," Aya mengulas senyum. Menghampiri suaminya yang berdiri sembari mel
Sudah berada di parkiran mobil, Aya diam berpegangan pada badan mobil lebih dulu. "Sayang, kita kerumah sakit ya?" ajak Dafa yang tak tega dan juga melihat wajah pucat kesakitan istrinya. Aya menggeleng pelan. "Nggak usah Mas, aku nggak apa-apa. Kita pulang aja.""Nggak apa-apa gimana? kamu kesakitan gini. Kita tetap kerumah sakit, oke."Dafa tidak mau terjadi sesuatu kepada calon anaknya, tapi Aya kekeuh tak ingin pergi. "Nggak usah Mas, aku mau pulang. Aku mau istirahat, aku yakin buat istirahat sudah hilang. Jadi kita pulang aja ya," mohon Aya matanya menatap sendu kepada suaminya. Dafa menghela napas panjangnya, ia paling lemah jika Aya sudah memohon seperti itu. "Oke kita pulang aja," membantu Aya masuk ke mobil dan juga memasangkan sabuk pengaman. Setelah menutup pintu ia berniat segera memutari mobilnya, namun saat berbalik badan Dafa cukup terkejut ada Pak Suryo dan Bu Sarah. "Ada apa lagi?" ucap Dafa datar. "Maaf saya harus segera pulang.""Kami ingin mengucapkan terima
Sudah berada di depan tempat Rama berada, Ayana meminta untuk tidak keluar terlebih dahulu, ia mengatur dirinya sendiri, agar tidak takut, tidak gugup dan yang paling harus tetap tenang. Dengan setia Dafa di sampingnya, menggengam tangan Aya yang terasa dingin dan berkeringat, sembari terus memandang sang istri dari samping, ia juga memberi kecupan di punggung tangan wanita itu. "Sebentar ya Mas," izin Aya saat menoleh mendapati sang suami menatap teduh kepadanya. "Iya sayang, aku tenangin diri dan persiapkan semuanya, aku di sini selalu jagain kamu." mengangguk pelan Aya kembali melihat kedepan, yang di mana ia sudah melihat ada Pak Suryo dan Bu Sarah sedang menunggu dirinya. Mereka tidak datang kearahnya, karena Dafa sudah memberitahu kepada mereka untuk sabar dan menunggu terlebih dahulu. Memejamkan matanya Aya seperti melafalkan doa, Dafa menepuk puncak kepala istrinya dengan sayang. Membuka matanya Aya menggerakkan tangannya. "Yuk Mas," ajak Aya yang sudah yakin. "Sudah si
"Sayang, bisa nggak? nggak usah dandan. Biasa aja gitu, bajunya emang nggak ada yang lain?" keluh Dafa saat melihat istrinya yang sedang memoleskan bedak ke wajahnya. Aya memutar bola matanya jengah, ini sudah yang keberapa kalinya, Dafa mengatakan hal yang sama. "Ini sudah biasa aja Mas, aku bahkan nggak pakai lipstik. Baju ini juga baju rumahan," kata Aya dengan tatapan sebalnya. "Ck_ kamu tuh terlalu cantik, Ay_ aku nggak suka,""Terus aku harus gimana? aku udah biasa aja lho. Kalau Mas terus kayak gini, mending nggak usah pergi!" ujar Aya menggunakan bahasa isyarat. "Oke, lebih baik memang seperti itu. Kita nggak usah pergi!" saut Dafa. Aya mengangguk, lalu berjalan merebahkan tubuhnya di atas kasur, melihat itu Dafa melongo tak percaya, padahal ia tidak serius. "Lho sayang, kok kamu malah tidur sih? kan kita mau ke lapa?" bangun lagi dari rebahannya, Aya kian menatap Dafa kesal. "Tadi siapa yang nyuruh nggak jadi pergi? ya udah mending aku tidur!" jawab Aya matanya pun mel
Brak!! Suara gebrakan terdengar begitu keras di salah satu tempat kecil dan sedikit gelap. Di sana ada satu perempuan tengah duduk di kursi tangan dalam keadaan terikat di belakang tubuhhya. Tangisan pun terdengar lirih di sela keheningan yang ada, perempuan itu tidak sendiri, ada dua laki-laki berjas hitam. "Maksud kamu apa datang ke toilet ketika sepi, dan ingin melabrak pacar saya?!" ujar suara bariton di hadapan perempuan itu, dan suara pria tersebut tak lain adalah Tito. Ia menyuruh anak buahnya untuk menculik Felly dan membawanya di salah satu gedung kosong, Tito hanya ingin sedikit memberi pelajaran kepada wanita yang sudah membuat sang kekasih ketakutan. "Kamu mau celakai Syifa? IYA?!" Felly terlonjak kaget mendengar bentakan dari Tito. "Kamu nggak tau berhadapan dengan siapa? kamu pikir saya diam aja, ketika ada orang yang mau menyakiti pacar saya."Tubuh Felly menegang, ia begitu ketakutan melihat raut wajah Tito, yang biasanya ia lihat begitu tampan, kini berubah men
"Syifa. Kamu nggak apa-apa kan dek?" tiba di rumah Syifa langsung di lihat kondisinya oleh sang Kakak. Tadi Dafa mendapatkan kabar dari Tito, Syifa di ganggu oleh salah satu mahasiswi di sana, tentu Dafa langsung kalang kabut bahkan ia ingin menyusul Syifa ke kampus. Namun urung, saat Tito mengatakan jika masalah ini biar dia yang mengurus. "Aku nggak apa-apa, Mas. Tadi aku telepon pihak keamanan di kampus, jadi alhamdulillah sebelum aku kenapa-napa, satpam sudah datang dan tolongin aku. Lagian tadi juga ada teman aku yang bantuin, kalau nggak ada siapa-siapa, ya aku nggak tau nasib aku." ujar Syifa. "Alhamdulillah, Mas khawatir banget sama kamu dek.""Tenang aja, Daf. Syifa aman kalau sama gue." timpal Tito. "Tolong ya ngaca. Lo ya sumber dari masalah ini," sungut Dafa kesal. "Lah kok gue?'" Iyalah, coba lo nggak caper ke mereka. Nggak ada yang bakal ganggu adek gue!""Astagfirullah_ siapa yang caper coba?!" jawab Tito tak terima. "Halah sok-sokan. Nggak mau ngaku lagi," Tito
Syifa berada di kamar mandi bersama satu gadis bernama Weni, dia adalah teman satu bangku dengang Syifa, keduanya terlihat asyik bercanda hingga suara bantingan pintu terdengar cukup keras membuat dua gadis itu terlonjak kaget. "Kalian apa-apaan sih! mau ngapain Hah?!" bentak Weni yang begitu berani. Syifa membulatkan matanya melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam kearahnya. Gadis itu mundur beberapa langkah, ingat pesan dari sang kekasih Syifa buru-buru masuk kedalam satu bilik kamar mandi dan menguncinya dari dalam. "Jangan sembunyi lo! keluar." bentak seorang gadis. "Kenapa, lo takut! dasar cupu." Syifa tak memperdulikan teriakan yang tak lain adalah Felly. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas, Syifa menelpon nomer keamanan kampus, beruntung pihak kampus bisa memberi nomer jika terjadi sesuatu pada mahasiswa atau mahasiswinya. "Hai! mau ngapain kalian di sini. Kalian ke kampus untuk belajar, bukan sok jadi pahlawan seperti ini!" bentak pak Rahmat, m