Dafa bernafas lega ketika melihat Aya membuka matanya, gadis itu tak sadarkan diri cukup lama. Pria itu hampir saja membawa Aya kerumah sakit jika tidak sadar-sadar juga.
"Alhamdulillah kamu sudah sadar," Dafa mengucap syukur memandang Aya senang.
Aya memegangi kepalanya yang berdenyut, ia mencoba mengingat kembali apa yang sudah terjadi.
Wanita itu bangun untuk bersandar di kepala ranjang. Sigap Dafa membantu menaruh bantal di balik punggung Aya.
Aya mengambil buku di sampingnya lalu menulis sesuatu, Dafa diam menunggu apa yang Aya tulis. "Terima kasih ya, kamu mau nolongin aku. Maaf aku pasti merepotkanmu."
"Tidak perlu bilang makasih, sebagai teman. Kita harus saling tolong menolong," ada rasa nyeri ketika dirinya mengatakan jika dia teman pada Aya.
Dafa berdeham tidak ingin memperdulikan isi hatinya. "Aku sudah buat kan bubur, tadi aku lihat bahan yang kita beli kemarin ada di tong sampah." Aya mendelik lalu cepat-cepat menulis.
"Maaf Dafa, aku tidak bermaksud membuangnya." Aya pikir Dafa akan marah. Namun pria itu justru tersenyum.
"Iya. Aku tau itu bukan kamu yang buang. Tapi suami kamu kan?" Aya mengangguk pelan dengan rasa bersalah.
"Aku nggak habis pikir sama suami kamu, dia nggak pernah nafkahi kamu. Tapi ngelarang kamu, menerima bantuan orang lain." ucap Dafa geram. Sungguh rasanya ia ingin menghajar wajah suami Aya yang sudah menyia-nyiakan istri sebaik gadis itu.
Dafa mengambil mangkuk di atas nakas meja di kamar Aya. Bubur ayam yang masih mengeluarkan asap beraroma enak langsung Aya cium. "Sini akk. Aku suapin," Dafa sudah menyodorkan satu sendok yang di tolak wanita itu.
Aya tidak enak dan canggung jika sampai harus di suapi oleh Dafa. Namun karena pria itu memaksa Aya pun menurut ketika sendok sudah ada di depan bibirnya.
"Ini kamu yang buat Daf?" tanya Aya di bukunya.
"Hehehe.. Iya, kenapa nggak enak ya?" Aya menggelengkan kepalanya kuat lalu menulis lagi.
"Bukan tidak enak, tapi ini sangat enak. Kamu jago masak?" wajah Aya menatap takjub pada Dafa, sementara pria itu terkekeh melihat reaksi Aya.
"Masa sih. Tapi ya.. bagus sih kalau kamu suka." ujar Dafa senang.
"Kalau boleh tau, kamu bekerja di mana?"
"Kamu mau tau?" Aya mengangguk kuat dengan semangat.
Dafa mengulum senyum sambil menyuapi Aya kembali. "Aku dulunya koki di salah satu restoran, tapi setelah mempunyai uang yang cukup, akhirnya aku membuat kedai dan kini menjadi cafe, dan saat ini aku menjadi koki di cafe aku sendiri." Aya bertepuk tangan matanya berbinar, sungguh pria di hadapannya ini luar biasa.
"Kamu keren Dafa, sudah mempunyai usaha sendiri." Dafa tertawa melihat Aya yang senang dan juga membaca ucapan wanita itu.
"Kapan-kapan, kamu mau nggak? Aku ajak ke cafeku?" lagi Aya mengangguk senang. Wanita itu memang ingin sekali pergi ketempat seperti itu.
Selama ini mana pernah dia datang ketempat seperti itu, yang ada orang-orang akan terus memperhatikannya.
Selesai menyuapi Aya, Dafa pamit pulang. Dafa tidak enak berada di apartemen orang bersama istri tetangganya sendiri. Sebenarnya jika boleh jujur Dafa masih ingin merawat dan menjaga wanita itu. Namun ia takut jika tiba-tiba Rama datang dan melihatnya ada di sini, pasti pria itu akan menyalahkan istrinya. Dafa tidak ingin Rama menganiaya Aya lagi.
Sebelum kembali, Dafa memastikan jika Aya sudah baik-baik saja. Dan Aya pun meyakinkan pada pria itu jika dirinya sudah tidak apa-apa.
***
Sudah merasa baikkan, Aya keluar dari kamar ia tersentak ketika melihat Rama sudah duduk anteng di ruang tamu.
Merasakan kehadiran Aya, Rama menoleh menatap tajam pada istrinya. "Puas tuan putri tidurnya?" sarkas Rama.
"Aku tidak enak badan Mas, maaf." ucap Aya menggunakan bahasa isyarat. Rama memutar bola matanya jengah. Ia paling tidak suka jika Aya sudah menggunakan bahasanya yang sama sekali tidak dia mengerti.
Rama bangun dari duduknya menghampiri Aya, wanita itu sudah waspada. Ia mundur beberapa langkah. "Kita di suruh pulang kerumah. Dandan yang cantik. Awas kalau sampai orang tua gue tau. Gue nyiksa lo. Pulang dari sana. Lihat apa yang bakal gue lakuin ke elo!" ancam Rama dan setelah itu pria itu masuk kedalam kamarnya.
Aya kembali masuk kedalam kamar untuk bersiap-siap, dia tidak ingin membuat Rama marah lagi. Secepat kilat wanita itu sudah sangat cantik. Dandan sedikit tebal namun tidak menor. Yang terpenting baginya bisa menutupi luka-luka pada wajahnya.
Saat keluar dari kamar, ternyata Rama belum keluar dari kamarnya. Aya menunggu di ruang tamu sambil menggunakan sepatu berhak cukup tinggi.
Wanita itu membalikan tubuh menatap Rama yang sudah rapi keluar dari kamarnya. Mereka cukup tercengang menatap satu sama lain. Mereka terpana akan penampilan malam ini.
Aya mengerjapkan matanya melihat begitu tampannya Rama malam ini. Begitu pun pria itu yang ternganga melihat istrinya berpenampilan yang berbeda. Rama mengakui jika Aya cantik. Ralat sangat cantik, Bahkan ia baru menyadari jika Aya lebih cantik dari pada Melinda pacarnya.
Rama menggeleng kuat, ia tidak boleh terpesona pada istri bisunya. Aya menatap sendu ketika raut wajah Rama berubah dingin kembali.
"Buruan!" bentak Rama yang keluar dari apartemennya di susul Aya mengekori di belakangnya.
"Aya?" sapa Dafa yang juga keluar dari apartemennya.
Dafa mengedipkan matanya beberapa kali. Kala mengagumi kecantikan Aya pada malam ini. "Rapi banget mau kemana?" tanya Dafa.
Aya mengeluarkan ponselnya lalu menulis. "Aku ingin pergi ke tempat orang tua Mas Rama, ada acara di sana." Dafa mengangguk paham sambil tersenyum.
"Buruan! Nggak usah pacaran!" tarik Rama pada tangan Aya dengan kasar.
Dafa menatap tajam kearah Rama. "Tolong jangan kasar dengan perempuan." ucap Dafa dingin.
"Mau kasar atau nggak. Bukan urusan lo! Aya istri gue. Paham lo!" kata Rama bernada tinggi.
Lalu menarik Aya kasar menuju lift. Saat pintu belum sepenuhnya tertutup Dafa dan Aya saling pandang. Aya menatap Dafa sendu. Sementara Dafa menatap kekhawatiran.
"Mas tolong jangan ngebut ya, aku takut. Nanti aku pingsan kayak waktu itu." Aya memperlihatkan tulisannya di ponsel.
"Terserah gue! Lo pingsan nggak masalah. Bila perlu mati aja sekalian. Ntar mayat lo tinggal gue buang ke sungai!"
Aya mendelik, tidak menyangka jawaban seperti itu yang dia dengar. Ucapan Rama sangat membuatnya sakit. Ia menatap sendu kearah suaminya yang sudah fokus menyetir. Air mata sudah sempat membasahi pipinya.
Aya memilih diam menyadarkan kepalanya di kaca jendela mobil, menatap kosong kearah jalanan.
Sangking asyik melamun tidak sadar ternyata mereka sudah sampai. Aya segera turun dari mobil Rama.
Rama menyodorkan lengannya untuk wanita peluk. "Jangan lupa apa yang gue bilang tadi." Aya mengangguk.
"Senyum!" perintah Rama sebelum mereka masuk.
Aya menurut, senyum manis terlihat di wajah cantik Ayana, wanita itu memeluk lengan Rama sesuai perintah sang suami.
Tanpa Aya sadari Rama sedang memperhatikannya, pria itu menatap tanpa kedip melihat senyum manis dari istrinya.
"Assalamu'alaikum," salam Rama ketika masuk kedalam rumahnya.Semua penghuni rumah orang tua Rama menoleh kearahnya, Bu Sarah tersenyum lebar ketika melihat siapa yang datang. "Ya ampun Aya, Mama kangen sama kamu nak. Apa kabar?" Aya tersenyum canggung lalu menyalami tangan sang mertua."Alhamdulillah baik Ma," tulis Aya di buku kecilnya."Tapi kok. Mama lihat kamu kurusan sayang? Muka kamu juga pucat?""Itu Ma, dia memang lagi kurang enak badan. Tadinya aku minta dia istirahat aja tapi dianya nggak mau." jawab Rama memotong ucapan Mamanya, dia takut Mamanya akan curiga."Jadi kamu lagi nggak enak badan? Kalau badan kamu kurang fit. Aturan nggak usah ikut nggak apa-apa nak, ini cuma acara keluarga yang kumpul setiap bulan." Bu Sarah terlihat sekali jika khawatir pada menantunya."Tuh kan sayang, apa aku bilang. Tadi aku bilang apa? Nggak usah ikut." ucap Rama lembut memberi senyuman manis pada wanita itu.Bu Sarah mengulum senyum sena
Karena hari belum terlalu larut, Dafa mengajak Aya terlebih dahulu ke suatu tempat. Di dekat taman kota, ada penjual yang berderetan menjajahkan jualannya.Dafa memilih mengajak Aya mencicipi minuman khas jawa tengah. "Gimana suka?" tanya Dafa saat mengajak Aya membeli minuman hangat.Aya mengangguk sambil terus menyendok wedang ronde yang baru pertama kali gadis itu minum."Sangat enak, aku baru pertama kali mencobanya, ternyata enak." Dafa terkekeh pelan sambil mengacak rambut gadis itu.Aya terdiam dengan detak jantung yang berpacu kuat, setiap Dafa melakukan kontak fisik hatinya selalu berdebar, lebih berdebar ketika ia bersama suaminya."Kamu belum pernah mencoba minuman ini?" tanya Dafa tidak percaya. Aya mengulum senyum sambil menggeleng."Ini minuman khas jawa tengah. Biasanya untuk menghangatkan tubuh. Kalau kondisi tubuh kurang fit pasti enakan badannya, setelah
Pria berkaos merah maroon mengusap keringat di keningnya, sesaat selesai membantu menanam bibit anggrek kedalam pot kecil.Selain membelikan, Dafa juga membantu Aya menanam bibit tersebut, selama membantu gadis itu. Dafa sering memperhatikan Wajah Aya, hari ini wajah cantik gadis itu terlihat berseri, senyum terus terukir dari bibir manis gadis itu.Dafa menarik sudut bibirnya. Ia merasa terlalu pede, bisa saja kan. senyum itu karena suaminya, Ingat. Aya sudah memiliki suami.Pria itu menggeleng kuat, dia tidak boleh terlalu berharap pada Aya, meskipun Rama bukanlah suami yang baik. Namun Dafa juga tidak ingin memanfaatkan keadaan Aya untuk ia dekati.Biarkan perasaan ini dia yang rasa, sejatinya bukan cinta yang salah, namun keadaan yang mengharuskan dirinya mundur dan melupakan cintanya.Dafa tersentak ketika usapan lembut terasa di lengannya. "Ada apa? Kenapa melamun?" tanya A
Tersenyum di balik rasa sedih, itulah yang biasa manusia lakukan. Di depan terlihat baik-baik saja bisa tertawa, tersenyum bahagia.Namun dibalik itu semua mereka tidak tau jika kita sedang bersedih ataupun terluka. Begitu pun yang dilakukan Ayana.Gadis itu tampak baik-baik saja, sering tersenyum menyapa orang-orang yang tinggal di dekat apartemennya.Tapi taukah mereka jika Ayana sedang terluka, Ia merasa hidupnya seperti dulu, kesepian tidak punya teman ataupun saudara.Semenjak kejadian Rama menciumnya tiba-tiba di lift. Pria itu meninggalkannya begitu saja, tanpa mengatakan sesuatu. Suaminya pergi dan sampai saat ini tidak pulang.Aya merasa jika suaminya telah melukai hatinya dengan sangat, Aya juga manusia biasa yang bisa marah. Ia tidak terima dan merasa sakit hati. Setelah Rama menciumnya dengan intens bahkan Rama hampir melakukan hal lebih kepadanya, tiba-tiba per
Dafa tidak bisa fokus saat memerikan hasil kerja karyawannya dengan benar, entah sudah berapa kali pria itu menarik napas panjang sambil memijat keningnya.Yang ada di kepalanya hanya ada satu nama, yaitu Ayana. Semenjak bertemu beberapa jam yang lalu. Perasaannya menjadi gelisah. Dan selalu kepikiran tentang gadis itu."Agh!!" erang Dafa mengacak rambutnya frutasi.Kenapa susah sekali melupakan perempuan yang sama sekali tidak boleh ia pikiran, Dafa akui jika beberapa hari ini ia menghindari Aya, untuk kebaikan dirinya dan juga untuk gadis itu. Dafa tidak ingin semakin dalam menyukai atau bahkan mencintai Aya."Ada apa Mas?" Dafa tersentak baru menyadari jika bukan dirinya saja yang ada di ruangannya saat ini."Tidak ada, Pras tolong kamu selesaikan tugas saya. Nanti kalau sudah selesai kamu taruh di meja. Kepala saya sakit. mau pulang,""Baik Mas, biar saya
"Selamat pagi," sapa pria tampan yang baru saja masuk kekamar inap Aya.Aya yang masih berbaring diatas brankar, terlihat tersenyum membalas ucapan pria itu dengan mengangguk."Apa kamu mencariku?" Aya mengangguk lagi membuat Dafa tersenyum manis."Tadi aku tinggal sebentar untuk pulang, aku sengaja meminta tolong suster untuk menemanimu." Dafa mengalihkan pandangannya kearah suster yang sedari tadi menemani Aya."Makasih ya Sus, maaf saya agak lama," kata Dafa tidak enak."Tidak apa-apa Pak, kalau gitu saya pamit." ujar suster itu dan keluar dari kamar Aya.Setelah suster itu pergi, Dafa mendekati brankar Aya lalu memberikan sebuket bunga kesukaan gadis itu.Bunga tulip berwarna putih membuat Aya tersenyum senang. "Kamu tau aku suka bunga ini?" Dafa mengangguk."Kamu kan pernah kasih tau aku kalau kamu pingin punya t
Indahnya langit senja, dan merdunya suara riak ombak di tepi pantai. Membuat siapa saja merasakan ketenangan hati dan pikiran. Aya gadis berdress putih bermotif bunga dengan jepit rambut berbentuk pita menghiasi rambut indahnya tengah tersenyum menikmati itu semua.Dafa pria yang begitu baik dengannya telah membawanya ke tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama kedua orang tuanya.Rindu yang begitu dalam ia rasakan untuk kedua orang tuanya, sedikit bisa dia obati, Aya berharap mereka disana tidak sedih melihat putrinya harus mengalami hidup yang pelik.Namun ia berjanji setelah ini dia akan menjadi wanita lebih kuat dari sebelumnya. Gadis itu percaya jika rencana tuhan lebih indah dari apa yang kita bayangkan."Senyum terus dari tadi, mikirin apa?" Aya tersentak lalu menoleh kesamping. Melihat senyum manis Dafa membuat pacu jantungnya tiba-tiba tidak tenang.Segera ia menunduk
Dafa segera berlari ke parkiran, berniat mencari Aya yang kemungkinan belum terlalu jauh dari tempat itu.Namun saat ingin mengunakan helmnya Dafa melihat seorang gadis di sebrang jalan tengah bejalan sendirian di dekat halte bus.Dafa berlari dan menyeberangi jalan. "Aya!" panggilnya, tangannya menarik tangan kanan gadis itu untuk menghadap kearahnya.Betapa terkejutnya Dafa ketika melihat Aya pergi dari restorannya sambil menangis. "Aya, kamu tidak apa-apa?" tanya Dafa bernada sangat khawatir.Bukannya menjawab, Aya justru menepis tangan Dafa lalu mundur beberapa langkah. Hal itu membuat pria tersebut mengerutkan kening.Dafa menunggu gadis itu yang sedang menulis sesuatu di ponselnya."Mulai hari ini kita tidak perlu bertemu dan berteman lagi Dafa, sudah cukup selama ini aku menyusahkanmu. Mungkin saatnya aku mandiri dan hidup sendiri seperti dulu lagi. Te
Di tengah malam sekitar pukul 00:30 seorang gadis cantik, terlihat gelisah di atas kasur. Sedari tadi tubuhnya terus bergerak kesana kemari, gadis tersebut adalah Syifa, yang sedang bingung untuk mengambil keputusan apa tentang Tito. Hatinya tengah bimbang, antara masih ragu, takut dan tidak percaya. Syifa ragu jika harus menikah di usia muda, namun dia juga takut kehilangan Tito kalau sampai dirinya menolak, di sisi lain Syifa tidak percaya jika Tito merubah keputusannya menjadi menikahi dirinya, bukan untuk melamarnya. Jujur Syifa takut jika dia menikah sekarang, dirinya tak bisa membahagiakan pria tersebut, selama ini Tito begitu tulus mencintainya. Dirinya takut kalau nanti akan mengecewakan pria yang begitu dia cintai. Menghembuskan napas berulang kali, Syifa pun bermonolog. "Mungkin ini jalan terbaik, semoga apa yang sudah aku putuskan. Nggak akan salah dan merugikan semuanya." mengepalkan tangannya gadis tersebut menguatkan dirinya sendiri. "Syifa! ayo kamu pasti bisa. N
"Maksud Mas gimana? bukannya kita kesana baru mau membicarakan tentang hubungan kita ke Bapak?"Tito merubah posisinya, ia memegang setir dengan dua tangannya. "Mereka tetap mau menjodohkan aku dengan perempuan itu, kecuali aku sudah menikah. Maka mereka akan menghentikan perjodohan dan merelakan aku nikah sama kamu," "Tapi Mas, aku masih kuliah, memangnya Mas nggak masalah punya istri yang berstatus mahasiswa?""Memang kenapa? Mas nggak masalah. Menurut Mas lebih cepat lebih baik, atau kamu yang belum siap?" "Aku nggak tau? Aku cuma nggak mau jadi istri yang nggak baik,""Kenapa bisa mikir gitu, banyak kok di luar sana. Istrinya yang masih berstatus pelajar, dan mereka bisa menjalani itu dengan baik." lanjut Tito tak mau kalah. "Kasih aku waktu untuk mikir," putus Syifa memohon pada Tito agar pria itu mengerti dirinya juga berhak mengambil keputusan. Menarik napas panjangnya, Tito hanya bisa mengangguk pelan, menghargai keinginan gadisnya yang ingin memikirkan lebih dulu tentang
Hari demi hari telah di lalui oleh Aya begitu cepat, tidak terasa kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan sesuai rencana. Acara tujuh bulanannya akan di adakan dikota semarang, sesuai permintaan wanita itu, tentu Dafa dengan senang hati, mempersiapkan semuanya. Dan rencananya esok lusa, mereka akan berangkat ke sana, lalu untuk masalah syifa. Dafa waktu itu turun tangan menemui orang tua Tito. Memberitahu jika putra mereka sudah memiliki pendamping, tak perlu menjodohkan karena Tito sudah memiliki wanita yang sudah pria itu pilih. Dafa sempat adu mulut dengan orang tua Tito, mereka tidak setuju jika putranya menikah dengan wanita yang bukan pilihan dari orang tuanya. Namun Dafa tidak ingin membuat sahabatnya menderita lagi oleh kelakuan orang tuanya, maka ia memberanikan diri untuk melawan ucapan kedua orang tua tersebut. "Sayang, sudah dong kamu jangan gerak kesana sini, aku nggak mau ya. Kamu kecapean," Aya mengulas senyum. Menghampiri suaminya yang berdiri sembari mel
Sudah berada di parkiran mobil, Aya diam berpegangan pada badan mobil lebih dulu. "Sayang, kita kerumah sakit ya?" ajak Dafa yang tak tega dan juga melihat wajah pucat kesakitan istrinya. Aya menggeleng pelan. "Nggak usah Mas, aku nggak apa-apa. Kita pulang aja.""Nggak apa-apa gimana? kamu kesakitan gini. Kita tetap kerumah sakit, oke."Dafa tidak mau terjadi sesuatu kepada calon anaknya, tapi Aya kekeuh tak ingin pergi. "Nggak usah Mas, aku mau pulang. Aku mau istirahat, aku yakin buat istirahat sudah hilang. Jadi kita pulang aja ya," mohon Aya matanya menatap sendu kepada suaminya. Dafa menghela napas panjangnya, ia paling lemah jika Aya sudah memohon seperti itu. "Oke kita pulang aja," membantu Aya masuk ke mobil dan juga memasangkan sabuk pengaman. Setelah menutup pintu ia berniat segera memutari mobilnya, namun saat berbalik badan Dafa cukup terkejut ada Pak Suryo dan Bu Sarah. "Ada apa lagi?" ucap Dafa datar. "Maaf saya harus segera pulang.""Kami ingin mengucapkan terima
Sudah berada di depan tempat Rama berada, Ayana meminta untuk tidak keluar terlebih dahulu, ia mengatur dirinya sendiri, agar tidak takut, tidak gugup dan yang paling harus tetap tenang. Dengan setia Dafa di sampingnya, menggengam tangan Aya yang terasa dingin dan berkeringat, sembari terus memandang sang istri dari samping, ia juga memberi kecupan di punggung tangan wanita itu. "Sebentar ya Mas," izin Aya saat menoleh mendapati sang suami menatap teduh kepadanya. "Iya sayang, aku tenangin diri dan persiapkan semuanya, aku di sini selalu jagain kamu." mengangguk pelan Aya kembali melihat kedepan, yang di mana ia sudah melihat ada Pak Suryo dan Bu Sarah sedang menunggu dirinya. Mereka tidak datang kearahnya, karena Dafa sudah memberitahu kepada mereka untuk sabar dan menunggu terlebih dahulu. Memejamkan matanya Aya seperti melafalkan doa, Dafa menepuk puncak kepala istrinya dengan sayang. Membuka matanya Aya menggerakkan tangannya. "Yuk Mas," ajak Aya yang sudah yakin. "Sudah si
"Sayang, bisa nggak? nggak usah dandan. Biasa aja gitu, bajunya emang nggak ada yang lain?" keluh Dafa saat melihat istrinya yang sedang memoleskan bedak ke wajahnya. Aya memutar bola matanya jengah, ini sudah yang keberapa kalinya, Dafa mengatakan hal yang sama. "Ini sudah biasa aja Mas, aku bahkan nggak pakai lipstik. Baju ini juga baju rumahan," kata Aya dengan tatapan sebalnya. "Ck_ kamu tuh terlalu cantik, Ay_ aku nggak suka,""Terus aku harus gimana? aku udah biasa aja lho. Kalau Mas terus kayak gini, mending nggak usah pergi!" ujar Aya menggunakan bahasa isyarat. "Oke, lebih baik memang seperti itu. Kita nggak usah pergi!" saut Dafa. Aya mengangguk, lalu berjalan merebahkan tubuhnya di atas kasur, melihat itu Dafa melongo tak percaya, padahal ia tidak serius. "Lho sayang, kok kamu malah tidur sih? kan kita mau ke lapa?" bangun lagi dari rebahannya, Aya kian menatap Dafa kesal. "Tadi siapa yang nyuruh nggak jadi pergi? ya udah mending aku tidur!" jawab Aya matanya pun mel
Brak!! Suara gebrakan terdengar begitu keras di salah satu tempat kecil dan sedikit gelap. Di sana ada satu perempuan tengah duduk di kursi tangan dalam keadaan terikat di belakang tubuhhya. Tangisan pun terdengar lirih di sela keheningan yang ada, perempuan itu tidak sendiri, ada dua laki-laki berjas hitam. "Maksud kamu apa datang ke toilet ketika sepi, dan ingin melabrak pacar saya?!" ujar suara bariton di hadapan perempuan itu, dan suara pria tersebut tak lain adalah Tito. Ia menyuruh anak buahnya untuk menculik Felly dan membawanya di salah satu gedung kosong, Tito hanya ingin sedikit memberi pelajaran kepada wanita yang sudah membuat sang kekasih ketakutan. "Kamu mau celakai Syifa? IYA?!" Felly terlonjak kaget mendengar bentakan dari Tito. "Kamu nggak tau berhadapan dengan siapa? kamu pikir saya diam aja, ketika ada orang yang mau menyakiti pacar saya."Tubuh Felly menegang, ia begitu ketakutan melihat raut wajah Tito, yang biasanya ia lihat begitu tampan, kini berubah men
"Syifa. Kamu nggak apa-apa kan dek?" tiba di rumah Syifa langsung di lihat kondisinya oleh sang Kakak. Tadi Dafa mendapatkan kabar dari Tito, Syifa di ganggu oleh salah satu mahasiswi di sana, tentu Dafa langsung kalang kabut bahkan ia ingin menyusul Syifa ke kampus. Namun urung, saat Tito mengatakan jika masalah ini biar dia yang mengurus. "Aku nggak apa-apa, Mas. Tadi aku telepon pihak keamanan di kampus, jadi alhamdulillah sebelum aku kenapa-napa, satpam sudah datang dan tolongin aku. Lagian tadi juga ada teman aku yang bantuin, kalau nggak ada siapa-siapa, ya aku nggak tau nasib aku." ujar Syifa. "Alhamdulillah, Mas khawatir banget sama kamu dek.""Tenang aja, Daf. Syifa aman kalau sama gue." timpal Tito. "Tolong ya ngaca. Lo ya sumber dari masalah ini," sungut Dafa kesal. "Lah kok gue?'" Iyalah, coba lo nggak caper ke mereka. Nggak ada yang bakal ganggu adek gue!""Astagfirullah_ siapa yang caper coba?!" jawab Tito tak terima. "Halah sok-sokan. Nggak mau ngaku lagi," Tito
Syifa berada di kamar mandi bersama satu gadis bernama Weni, dia adalah teman satu bangku dengang Syifa, keduanya terlihat asyik bercanda hingga suara bantingan pintu terdengar cukup keras membuat dua gadis itu terlonjak kaget. "Kalian apa-apaan sih! mau ngapain Hah?!" bentak Weni yang begitu berani. Syifa membulatkan matanya melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam kearahnya. Gadis itu mundur beberapa langkah, ingat pesan dari sang kekasih Syifa buru-buru masuk kedalam satu bilik kamar mandi dan menguncinya dari dalam. "Jangan sembunyi lo! keluar." bentak seorang gadis. "Kenapa, lo takut! dasar cupu." Syifa tak memperdulikan teriakan yang tak lain adalah Felly. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas, Syifa menelpon nomer keamanan kampus, beruntung pihak kampus bisa memberi nomer jika terjadi sesuatu pada mahasiswa atau mahasiswinya. "Hai! mau ngapain kalian di sini. Kalian ke kampus untuk belajar, bukan sok jadi pahlawan seperti ini!" bentak pak Rahmat, m