Waktu terasa begitu cepat bergulir, Aya sudah bisa melewati masa masa sulit ketika hamil muda, seperti mual dan pusing, kini kehamilannya sudah memasuki trimester kedua. Dan perempuan itu semakin manja dengan Dafa, ngidamnya pun kadang semakin aneh aneh, untung saja Dafa itu tidak pernah protes. Ada waktu itu, Aya ngidam meminta Dafa masak namun menggunakan pakaian wanita, awalnya pria itu menolak. Tapi berhubung Aya memohon dan wanita itu sudah ingin menangis, akhirnya Dafa menuruti, sebab. Ia tidak suka dan tidak ingin jika Aya menangis, ada juga Aya pernah ngidam buah rambutan, yang jadi masalah bukan karena buahnya, tapi karena Aya ngidam di saat buah tersebut belum musimnya. Jadilah Dafa keliling kota, bahkan sampai keluar kota untuk mencarikan buah tersebut, akhirnya setelah berjuang Dafa menemukan buah tersebut di salah satu desa terpencil di daerah kota karawang, entah bagaimana bisa Dafa bisa masuk kedalam pelosok sebuah desa, yang tidak terlalu kecil, namun tidak terlalu
Kerutan di kening Aya semakin dalam, ketika Dafa mengajaknya pulang, namun ia di bawa ke belakang tempat restoran itu. "Kenapa kita kesini Mas?" Aya menahan tangan Dafa, menatap pria itu penuh tanda tanya. "Ehmm," Dafa menggaruk keningnya bingung, "Eh ini sayang. Apa? ituloh jalanannya lagi di perbaiki, banyak debu. Aku nggak mau kamu kena debunya, kan nanti bisa bahaya buat dedeknya,""Perasaan tadi kita datang nggak ada yang ngerjain apa-apa Mas, tapi kenapa sekarang ada?""Ya Mas kurang tau, tadi Mas juga baru dapat informasi nya pas makan siang." bohong Dafa dengan terpaksa. Aya mengangguk beberapa kali, meskipun dia masih heran. "udah yuk," lagi Aya mengangguk patuh. Dafa mencari jalan alternatif, yang membuatnya tidak lewat jalan utama, melewati perkampungan dengan ukuran jalan yang sempit. Aya sempat heran dan ingin bertanya lagi, namun ketika sudah menggerakkan tangan, Dafa mendapatkan telepon yang membuatnya urung bertanya. Lagipula, suaminya itu tengah fokus menyetir
Belum lama masuk, Syifa sudah keluar lagi dengan membawa satu kotak p3k, gadis itu buru buru duduk di samping pria yang terus menatapnya dengan senyum di balik luka lebam di bibirnya. "Biar aku obatin ya Mas?" izin Syifa yang mulai menaruh cairan alkohol ke kapas putih, Tito hanya mengangguk mempersilahkan gadis itu. "Tahan Mas," Tito sedikit membulatkan matanya ketika jarak mereka begitu dekat, bukan hanya menahan sakit jika seperti ini, namun menahan napas pun Tito lakukan. Pria tersebut begitu gugup, apalagi dengan jarak sedekat itu, fokus matanya bukan lagi ke wajah, tapi ke bibir ranum Syifa, susah payah Tito menelan ludah, dia adalah pria normal, jika berdekatan seperti ini, hasratnya pun bergejolak. "Syifa?" panggil Tito dengan suara beratnya. "Ehm?" gadis itu belum menyadari atau memang Syifa jya terlalu polos. Tersadar dari pikiran buruknya, Tito menjauhkan kepalanya, ia memalingkan wajah dengan napas yang memburu. Syifa yang memang tidak mengerti, tersentak kaget samb
Semenjak Rama datang mengacak acak restonya, Dafa tidak mengizinkan Aya keluar rumah, atau ikut dengan lagi ketika ia ingin ke resto atau cafenya.Meskipun kadang perempuan itu ngeyel sampai harus marah, namun Dafa tetap tegas menolak permintaan istrinya, bukan dia tidak sayang dan tidak mau, ini semua demi kebaikan Aya, sayangnya dia tidak berani mengatakan sesungguhnya. Seperti saat ini, wanita itu tengah merajuk dan merengek minta ikut suaminya yang akan pergi ke resto. "Ayolah Mas, sekali aja. Aku mau ikut, aku janji nggak akan ganggu." mohon Aya, dengan wajah berbinar. "Nggak sayang, pokoknya kamu tetap di rumah. Tolong ngertiin aku dan jangan bandel, ini demi kamu dan anak kita." ujar Dafa tegas tak ingin di bantah. "Sebenarnya Mas kenapa? aku punya salah ya?" ucap Aya berwajah sendu. "Maafin aku Mas, kalau aku hamil malah bikin Mas Dafa kesal dan nggak suka," sambung Aya lagi, gerakan tangan pun pelan. Dafa menarik dan membuang napasnya begitu pelan, sembari memijat kenin
Ivan sepertinya adalah tipe pria keras kepala dan suka berbelit belit, selama dalam pemeriksaan. Lelaki itu tidak ada seriusnya sama sekali, setiap di tanya siapa yang menyuruhnya. Maka jawabannya selalu sama, yaitu tidak tau, namun setelah beberapa menit di tanya lagi. Jawabannya berubah, katanya yang menyuruhnya adalah bos besar. Melihat tidak ada kata serius dari Ivan, membuat Dafa geram, apalagi Tito yang memang memiliki kesabaran tipis dan mudah emosian. Jika saja tidak di kantor polisi, Ivan sudah babak belur, di tangannya, atau bahkan sudah tidak memiliki nyawa. "Jawab yang jujur!" hardik polisi begitu tegas. "Lho, gimana sih Pak. Saya sudah jujur."BUGH! Satu pukulan telak mengenai rahangnya, dan tonjokan itu berasal dari tangan Dafa, pria itu pun sama seperti Tito yang sudah tidak bisa bersabar lagi. "Sabar Pak, jangan main hakim sendiri." hardik petugas kepolisian itu. "Saya bukan main hakim sendiri, Pak. Tapi saya sudah kesal karena dia nggak mau jujur!" tuding Dafa
"Tadi katanya ada yang marah-marah," goda Dafa ketika pria itu masuk kamar, dan melihat istrinya tengah duduk di kursi menghadap kearah luar jendela. Perempuan itu menoleh, senyumannya terbit begitu cerah mengetahui jika suaminya sudah pulang, ia berlari kecil lalu memeluk bergelanyut manja di dada bidang Dafa. "Kenapa nggak kasih tau aku, kalau kamu mau makan Pancake, sayang?" Aya sedikit menjauh lalu menggerakkan tangannya. "Aku pengin coba masak sendiri, di bantu Ibu. Tapi ternyata rasanya nggak seenaknya buatan Mas Dafa, aku kesal sama diri aku sendiri. Padahal takaran dan bahan-bahannya sama, tapi kenapa rasanya beda." ucap Aya berbahasa isyarat, wajahnya pun tertekuk lesu. Hal itu mengundang tawa dari Dafa, istrinya ini kenapa selalu membuatnya gemas. "Nggak boleh nyalahin diri sendiri gitu Ah! setiap orang-orang kan beda, aku tadi sudah makan pancake buatan kamu kok, dan rasanya enak. Siapa bilang nggak enak? Ehmm." Dafa mencolek ujung hidung Aya. "Aku buatin lagi ya?" Aya
Tak ingin melihat Syifa bersedih, Tito berusaha menghibur gadis itu, entah ucapan ataupun tindakan. Padahal tanpa dia sadari, hal itu semakin membuat Syifa berdebar dan salah tingkah, seperti saat ini. Pria itu belum mau mengajak Syifa pulang, mereka mampir ke kesai es krim yang cukup terkenal di kota Jakarta, tentu Syifa senang. Siapa yang tidak senang, datang ke tempat makanan favoritnya, ia paling hobi makan es krim dengan rasa coklat ataupun tiramisu. Tapi ada satu hal yang membuat Syifa kesal, yaitu. Banyak anak remaja atau pun perempuan yang cukup berumur menatap kagum pada Tito, ada juga yang terang-terangan minta di goda oleh pria tersebut, siapa juga yang tidak terpesona dengan penampilan Tito. Pria itu menggunakan kemeja hitam yang di gulung sampai siku, dengan satu kancing bagian atas terbuka, di tambah aksen rambut sedikit berantakan. "Kenapa sih? Mas ajak kesini masih di tekuk gitu mukanya?" goda Tito mencolek dagu gadis itu. "Mas lihat kita jadi pusat perhatian pen
Ada rasa sesal yang di rasakan Tito terhadap Syifa, sebab. Usai mengatakan jika dirinya sayang kepada gadis itu, Syifa berubah diam. Ia tidak tau, Syifa diam karena tidak suka, atau bagaimana. "Fa," pria itu memegang pergelangan tangan Syifa, mencegah agar gadis itu tidak turun dari mobil. "Kenapa Mas?" tanya Syifa setenang mungkin. "Kamu kenapa? marah sama Mas? perkataan Mas tadi ada yang nyakitin hati kamu?" ujar Tito serius namun begitu lembut. Syifa mengedarkan pandangan kearah mana pun, saat ini ia sedang gugup. Apalagi Tito menatap wajahnya dengan intes. "Syifa_" panggil Tito dengan suara dalamnya. "Eh iya Mas, maaf aku jadi ngalamun." Tito menghela napas, menyandarkan tubuhnya di jok mobil, menatap kearah depan. "Kamu kepikiran soal omongan Mas, di kedai tadi? ehm." jeda sejenak. "Kalau iya, kamu nggak salah dengar kok. Mas memang sayang sama kamu, lebih dari seorang Kakak," mencoba menoleh, respon gadis itu tak banyak. Syifa masih bergeming menatap kedepan. "Mas juga n