"Cincin kamu ini, kamu percaya gak kalau cincin ini harganya lima ratus juta?“ “Hah? Ya gak mungkinlah. Ini itu cincin murah.“ “Tapi aku beneran yakin, Mir. Suamiku pengusaha berlian, aku sedikit banyak tahu tentang hal itu. Dan di cincin kamu ini setiap sisinya diantara baris M dan H bertabur berlian dengan kualitas yang gak bisa dianggap biasa.“ Aku terpaku mendengar penuturannya yang gak masuk akal sama sekali. Mas Haris cuma jualan tahu sedari muda. Dari mana dia mendapatkan uang untuk membeli cincin semahal ini. “Aku juga yakin kalau cincin ini bukan warisan. Pasti ditempa dan kalau kamu gak percaya kamu bisa cek di tokoku, Mir. Jujur deh, suami kamu konglomerat?" “Vi jangan bercanda, suamiku cuma tukang tahu.“
Lihat lebih banyakAku yang baru saja selesai menjemur pakaian sontak tersenyum senang mendapati pesan itu di ponselku. Dari Bapak.
[Iya, Pak nanti Amira datang bersama Mas Haris]
Kukirimkan pesan, langsung dibaca oleh Bapak. Kemungkinan beliau menunggu pesan balasanku sejak tadi. Lalu setelahnya, tak ada balasan darinya.
Aku menghela nafas sembari duduk di tepi ranjang. Tak mudah membuat Bapak menerima pernikahanku dengan Mas Haris dulu. Katanya, aku membuat harga dirinya yang seorang juragan tanah terluka karena hanya bersuamikan tukang tahu. Beliau bahkan sempat tak ingin mengakuiku sebagai anaknya.
Namun, lambat laun entah sejak kapan Bapak mulai luluh. Selain karena aku dahulu begitu dekat dengan Bapak. Atas saran Mas Haris aku selalu menegurnya melalui pesan atau berkunjung ke rumah. Lalu, Bapak mulai tenang walau banyak diam kala aku dan Mas Haris datang.
Hanya Ibu dan Kak Ita yang masih menampakkan genderang permusuhan ketika melihat aku bersama Mas Haris. Entahlah, aku masih tak mengerti. Apa yang salah dari bersuamikan tukang tahu. Aku seperti melakukan dosa besar yang tak termaafkan.
“Dik, dicari dari tadi ternyata di sini. Mas pamit mau berangkat jualan.“
Aku tersentak dan menoleh, tersadar dari lamunan. Mas Haris muncul dari balik pintu. Sekilas kutatap jam di layar ponsel menunjukkan pukul setengah tujuh.
“Maaf, Mas, habis balas pesan dari Bapak.“
“Bapak?“ Mas Haris masuk ke dalam kamar dan duduk tepat di sebelahku. Satu tangannya terulur memasukkan satu helai rambutku di bagian dahi yang ke luar dari hijab.
“Ah gak sadar kalau terlihat,” ucapku setelah Mas Haris selesai membenarkan letak hijabku kembali.
“Gak apa-apa untung Mas yang lihat.“ Dia mengelus kepalaku dengan lembut. “Bapak mengirim pesan apa?“
“Mau punggahan di rumah nanti sore, Mas, jadi kita disuruh ke sana.“ Aku mengulurkan ponsel di tangan. Mas Haris mengangguk-angguk sembari mengeluarkan dompet dari dalam saku celananya.
“Kalau begitu harus bawa sesuatu yang Bapak dan Ibu suka. Nanti beli sekalian ke pasar, ya!“ Mas Haris menyodorkan dua lembar uang pecahan seratus ribuan padaku. Sontak aku menolak dengan halus.
“Tadi Mas sudah ngasih Mira seratus ribu, itu sudah cukup kok.“
“Yang itu untuk keperluan di rumah. Yang ini untuk dibawa ke rumah Ibu dan Bapak. Belikan bolu kesukaan Ibu dan Bika ambon kesukaan Bapak. Pasti mereka senang kalau kita bawa penganan kesukaan mereka, Dik. Salah satu cara meluluhkan hati Ibu dan Bapak dengan memberikan apa yang mereka suka. Jangan lupa beli buat Kak Ita juga.“
“Kamu baik sekali, Mas, pada keluargaku meski mereka selalu memperlakukanmu dengan buruk.“
“Mereka begitu karena belum mengenaliku lebih jauh Dik. Mungkin kalau lebih ….“ Perkataan Mas Haris terhenti membuat aku menatap ke arahnya.
“Kalau lebih?“ ulangku penasaran.
“Kalau lebih mungkin mereka akan jatuh cinta denganku sama sepertimu.“ Mas Haris menyentuh hidungku sembari tertawa.
“Halah gombal, Mas.“
“Serius, Dik, kan ada pepatahnya. Tak kenal maka tak sayang. Pernikahan kita baru satu tahun. Perlu sedikit waktu untuk mereka menerimaku.“
“Iya-iya, sudah ayo berangkat nanti Mas terlambat buat jualan ke pasar. Ini sudah hampir jam tujuh loh.“ Aku menunjuk jam dinding di kamar yang jarum panjangnya sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas.
“Ya Allah, sampai lupa. Yaudah ayo sekalian Mas antar pergi ke pasar.“
***
Beberapa belanjaan sudah di tangan. Makanan kesukaan Ibu dan Bapak serta untuk Kak Ita juga. Di pasar ini semuanya lengkap, jadi aku tak perlu jauh-jauh pergi ke berbagai tempat guna mencari satu persatu barang dalam nota belanjaku.
“Mang ayamnya satu ekor, ya!“
“Iya Mbak.“
“Eh, eh, eh … istrinya tukang tahu beli ayam juga? Kenapa gak masak tahu aja sih? Kasihan, tahunya kurang laku ya? Kulitasnya jelek?“
Aku menoleh ke asal suara. Seketika menggeleng tanpa menghiraukan ucapannya. Beberapa orang di depan tukang potong ayam itu mulai memperhatikan kami.
Dewi tampak kepanasan saat aku tak merespon dia yang mencoba memancing keributan. Dari dulu tak pernah berubah. Teman SMA sekaligus masih sepupu itu selalu merasa kalah saing denganku, entah dalam hal apa. Ia selalu melihatku dengan kacamata permusuhan.
“Istri tukang tahu mau beli ayam? Memangnya cukup duitnya? Ayam lagi naik harga loh. Nanti kurang lagi, mana belinya satu ekor. Kalau uangnya kurang nanti malu, mumpung aku di sini aku bayarin aja gimana?“
Nadanya halus namun terkesan meremehkan. Dewi berulangkali mengangkat tangannya saat berbicara. Gemerincing gelas emas yang hampir memenuhi pegelangan tangan terdengar nyaring di telinga, karena ia berdiri tepat di sebelahku.
“Gak usah, Wi, duitku masih cukup kok kalau cuma beli ayam.“
“Belagu banget, memangnya berapa sih jatah belanja istri tukang tahu? Paling cuma dua puluh ribu, kan? Ngaku kamu! Gak usah belagak sok kaya deh kalau masih miskin. Mending kayak aku, memang orang kaya. Duit belanjaku lima ratus ribu sehari.“
“Mbak yang kaya kalau mbaknya yang ini gak mau dibayarin, punya saya saja bayarin juga gak papa kok. Mbak kelihatan banyak uang emasnya sampai banyak gitu.“
Baru saja mulutku terbuka ingin membalas ucapannya. Seorang Ibu dengan songkok di kepalanya membalas ucapan Dewi sembari berkedip ke arahku.
“Dih, Ibu siapa? Main minta bayarin-bayarin aja. Saya memang banyak uang, tapi bukan buat bayarin belanjaan Ibu-Ibu.“
“Lah katanya situ orang kaya, niat bayarin lagi.“
“Ya memang saya orang kay—”
“Mbak ini ayamnya jadi dua puluh lima ribu.“
Ucapan Dewi terputus begitu saja dipotong tukang ayam. Ia mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan di depanku berlembar-lembar uang pecahan seratus ribuan.
“Lah katanya orang kaya, beli ayam kok cuma setengah kilo?“
Aku menatap ibu-ibu dengan songkok tadi. Sekilas kulihat Dewi melotot dengan mata hampir keluar dari tempatnya.
“Suka-suka saya dong, Bu. Saya ini orang kaya levelnya bukan ayam potong begini. Ini mah buat pembantu saya di rumah. Saya habis ini mau beli daging dua kilo. Ibu-ibu belum tentu mampu, kan? Apalagi kamu Mira, cuma istri jual tahu.“
“Iya-iya, Wi. Aku cuma mampu beli ayam doang gak kayak kamu,” ucapku berusaha menengahi pembicaraan ini. Ibu-ibu dengan songkok di kepalanya seperti berniat untuk membalas. Kutahan tangannya agar ia tak kelepasan.
“Nah, gitu dong. Udah miskin sadar diri.“
Aku menggeleng begitu Dewi berjalan meninggalkan tempat potong ayam. Seketika suasana memanas tadi tampak damai dan tentram.
“Orang kayak gitu mah mesti dibalas Mbak, jangan terlalu sabar. Dia selalu merasa hidupnya di atas terus. Padahal roda itu, kan, berputar.“
“Iya, Bu, biar saja, biar cape sendiri.“
“Ih saya mah gergetan atuh lihat mbaknya sabar banget.“
Aku tak membalas lagi, ayamku sudah selesai dipotong. Setelah berpamitan dengan si ibu tadi aku bergegas ke luar dari pasar.
Sampai di parkiran aku celingukan mencari tukang becak untuk membawaku pulang. Malah tak sengaja bersitatap dengan seseorang. Buru-buru aku berbalik pergi sebelum dia menyadari keberadaanku.
“Mira!“
Aku menghela nafas, berusaha memprcepat langkah tapi dia lebih cepat dari dugaan dan menghalang jalanku kini.
“Minggir David!“ ucapku penuh penekanan dengan mata berkilat marah. Namun lelaki di depanku seolah tak gentar, ia tetap tak bergerak dari tempatnya.
POV HarisAku menatap anak lelaki berambut ikal yang sedang bermain motor-motoran itu dengan tatapan lekat. Anak kecil yang dikatakan Kanya adalah anakku dengannya, tapi tak terlihat mirip denganku sama sekali. Malah wajahnya mengingatkanku akan wajah yang sedikit familiar namun aku tak ingat siapa."Nak," panggilku lembut dan membuat anak itu menoleh. Kulambaikan tangan agar ia mendekat. Biasanya aku tak pernah mendekat karena perasaan aneh yang tak bisa kuungkapkan, tapi kali ini aku ingin tahu sesuatu darinya, biasanya anak kecil tak pandai berbohong."Kenapa Om," ucap anak tersebut padaku membuat kedua alisku bertaut bingung. "Om?" tanyaku bingung."Ya Om, kan, bukan Papa Haykal. Kalau Papa Haykal baru Haykal panggil Papa, eh!" Haykal tampak menutup mulutnya sendiri seolah terkejut dengan ucapan yang anak lelaki itu lontarkan barusan. Dia kaget dengan ucapannya?"Itu artinya Om bukan Papa kamu?" tanyaku dengan rasa penasaran, sementara Haykal diam aku tahu yang dikatakannya itu be
POV Mira"Kalau begitu Mbak harus menemuinya! Kita tak punya banyak waktu. Pernikahan tanpa izin istri pertama, pernikahan dalam keadaan Pak Haris amnesia bukankah itu tidak sah! Itu sama saja pernikahan yang dilaksanakan atas dasar kebohongan. Mbak harus mencegahnya!"Aku mengusap wajah dengan kasar. Jalu dan Ghea menatapku dengan wajah kalut. Memutuskan sesuatu dengan cepat dan tepat bukanlah hal yang mudah. Pikiranku juga serasa buntu."Mbak Mira," panggil Ghea sembari memegang tanganku. Aku menatap ke arahnya, dia lalu memelukku dengan erat. "Ghea tahu ini hal yang sulit, tapi Mbak gak boleh nyerah. Mbak gak boleh putus asa. Ingat anak dalam kandungan, Mbak. Dia harus mendapatkan Ayahnya kembali."Aku menangis, kali ini air mataku mengalir deras meski tanpa suara. Ghea sangat memahami perasaanku. Di tengah kekalutan ini, pikiranku sudah tak lagi jernih, aku bahkan bingung harus melakukan apa."Kita cari satu persatu jalannya, Mbak. Suatu saat pasti kebohongan Kanya akan terbongkar
POV Haris"Mas," panggil Kanya membuatku menoleh. Tanpa sadar sedari tadi selama duduk di kursi, aku hanya melamun tanpa terganggu dengan lalu lalang orang yang lewat dan pesta dengan banyak orang ramai ini.Lagipula, tak ada satupun yang aku kenal di pesta ini. Semua yang menyalamiku hanya memberikan ucapan selamat sebagai basa-basi. Tak ada yang dikenal dekat kecuali satu orang yang sedari tadi membuatku kepikiran. Seseorang itulah yang membuat pikiranku sedikit kacau dan banyak melamun sejak tadi.Pak Fadlan, lelaki paruh baya dan kata-katanya sangat membuatku kepikiran. Rasanya tak mungkin orang biasa bisa seberani itu mengutarakan hal yang menurutku sedikit tidak sopan."Semuanya hanyalah tipu muslihat, Haris. Saya tak bisa berbuat banyak. Wanita itu telah melakukan banyak hal untuk merenggut hampir seluruh hidupmu. Yang bisa kulakukan hanya berdoa semoga ingatanmu cepat pulih karena yang kau lakukan saat ini adalah sebuah kesalahan besar."Wanita mana yang Pak Fadlan maksud? Seme
POV HarisAwalnya kupikir memang ada yang disembunyikan oleh Kanya. Namun, saat melihat isi dalam gudang di halaman belakang pagi ini dengan rasa penasaran yang begitu menggebu, akhirnya aku tahu kalau Kanya memang tak menyembunyikan apapun.Tak ada apa-apa di sana. Hanya barang rongsokan berdebu yang disusun acak. Kecurigaanku sama sekali tak terbukti. Mungkin Kanya dan Mbak Wati hanya sedang berbicara serius tentang suatu hal hingga harus pergi ke halaman belakang, di mana tak ada orang.Aku menghela nafas, perasaan bersalah itu kembali menyelimuti. Entah benarkah ini, aku selalu berprasangka buruk pada Kanya."Tak ada jejak apapun yang membuktikan prasangkaku," ucapku menelisik sekali lagi isi ruangan yang berdebu tersebut. Lantas berbalik dan pergi keluar dari gudang belakang.Sesampainya di kamar, aku menemukan beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Kanya. Tanpa pikir panjang aku segera menelponnya kembali."Ada apa?""Kamu gak lupa hari ini acara kita, kan, Mas?" tanya Ka
POV Mira"Dia mengubah gedung yang ia sewa untuk pernikahan demi mengecoh kita."Aku bergeming. "Kalau begitu pernikahannya ...?"Aku menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran buruk dari kepala. Aku tak ingin memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan terjadi. Tidak sebelum aku membuktikannya."Jalu, apa Kanya tahu kalau kau berusaha merusak acaranya? Apa dia sempat melihatmu? Atau bahkan mata-matanya pernah memergokimu?""Saya pikir itu tidak mungkin, Bu Mira. Karena saya sudah sangat berhati-hati melakukannya. Termasuk membayar orang-orang yang saya percayai."Aku mengusap wajah dengan kasar, membenarkan letak hijab yang sudah tak karuan bentuknya."Jadi, kau melakukannya dengan bantuan orang lain juga?""Kita tak bisa melakukannya sendiri, Mbak. Untuk masuk ke dalam gedung, kami harus punya akses yang dipegang oleh orang-orang Kanya," ujar Ghea mewakili Jalu berbicara."Kalau begitu, secara tidak langsung kalian telah melakukan persekongkolan dengan orang-orang Kanya?""Y
POV MiraAku menggeleng tak habis pikir, namun juga tak menyalahkan. Mbak Wati berhasil menukar foto dalam gudang itu dengan foto Kanya bersama Mas Haris.Aku tahu, Mbak Wati melakukan hal itu karena terpaksa, dia juga menuruti Kanya karena takut dengan ancaman wanita itu.Untung saja aku sempat memeriksanya. Meski itu harus membuatku tidur hanya beberapa jam saja dan berusaha bangun sepagi ini. Saat langin masih gelap dan adzan subuh belum berkumandang.Aku tahu Kanya pasti merencanakan sesuatu dengan foto ini. Salah satu kemungkinan yang ada dalam pikiranku. Dia tak ingin Mas Haris secara tak sengaja menemukan foto ini dan ingatannya kembali."Wanita itu sangat licik," gumamku dengan tangan terkepal. Meski berusaha keras untuk tak memasukkan hal-hal negatif yang bisa memengaruhi pikiran dan nantinya akan berpengaruh ke janinku. Aku tetap tak bisa mencegahnya.Tingkah Kanya benar-benar sudah di luar batas. Dia dengan keegoisannya berusaha untuk meraih apa yang dia inginkan walau deng
POV Haris"Tuan ... sedang apa?" Aku terpekik kaget, saat melihat Ira tiba-tiba muncul di hadapanku. Segera aku menariknya untuk ikut bersembunyi di balik meja karena pekikanku tadi, mungkin sedikit terdengar oleh Kanya dan Mbak Wati."Kenapa kita bersembunyi, Tuan?" tanya Ira sesaat setelah kami terdiam cukup lama dalam keadaan saling bertatapan. Aku bergeming, tidak mungkin kujelaskan aku sedang menguntit Kanya. Bisa-bisa Ira menaruh curiga padaku. "B--bukan apa-apa sebenarnya. Tadi ada tikus, jadi saya sedikit terkejut.""Benarkah? Di mana? Baru kali ini saya mendengar ada tikus di rumah ini," ucap Ira sembari celingukan."Kamu, kan, baru kerja dua hari. Tidak tahu kalau di rumah ini sering banyak tikusnya."Ira menatapku dengan dua alis saling bertaut. Sepertinya masih cukup bingung. Entahlah, aku tak mengerti apa yang ada di pikirannya saat ini."Sebaiknya kamu kembali ke kamar untuk beristirahat. Kasihan bayi yang ada dalam kandunganmu kalau kau terlalu banyak bergerak ke san
POV Haris"Ira pulanglah, aku yang akan menemani Mas Haris di rumah sakit," ujar Kanya usai beberapa dokter dan perawat yang tadi datang memeriksa keluar dari ruangan."Aku akan pulang," ujarku cepat. "Lagipula kondisiku tak terlalu parah sampai harus dirawat di rumah sakit.""T--tapi Mas, ini juga untuk memastikan kalau kondisi kamu dalam keadaan baik-baik saja. Besok juga sudah hari pernikahan kita, kamu harus dalam keadaan sehat.""Kanya, apa kau lihat kondisiku memburuk?" ucapku penuh penekanan. Wanita berambut lurus itu menggeleng."Kalau begitu aku tetap pulang. Berada di rumah sakit ini juga tak memastikan kalau aku bisa beristirahat dengan baik.""Baiklah kalau begitu aku antar, ya," pinta Kanya sembari hendak memeluk lenganku.Aku menepisnya, tak kupedulikan gerutuan Kanya yang mengganggu telinga. Kulirik Ira yang sedikit terkejut."Ayo Ira, kau juga harus pulang bersama kami."****"Mas berubah!" Aku menoleh, menghela nafas saat menatap Kanya dengan bibir mencebik tengah me
POV HarisRasanya lega, kelegaan yang datang dari hati tanpa terpaksa. Usai kutunaikan kewajibanku sebagai umat muslim, seolah angin sejuk itu datang. Mengguyur dan menyiram rohani hingga ke kalbu."Tak pernah sedamai ini sejak aku bangun usai kecelakaan itu," ucapku sembari menatap sajadah yang masih terbentang. "Aku seolah kehilangan diriku sendiri di tengah hiruk pikuknya masalah."Aku bangkit, merapikan sajadah dan kopiah yang tersimpan di sudut lemari. Tertumpuk oleh banyaknya pakaian dan barang-barangku yang tak terpakai, seperti sudah sangat lama aku meninggalkannya.Aku menatap nanar pada cermin di hadapan. Pada diriku yang tampak tak kukenali. Pandanganku beralih pada dinding di samping.Bekas pigura yang hendak kucari tahu, namun terhenti karena Mbak Wati seperti mencegahku melakukannya. Jujur aku begitu penasaran.Mbak Wati, orang yang kupercaya itu sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Bekas pigura yang kutanyakan padanya itu pasti adalah sesuatu yang ia rahasiakan. Ka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen