POV Haris"Mas," panggil Kanya membuatku menoleh. Tanpa sadar sedari tadi selama duduk di kursi, aku hanya melamun tanpa terganggu dengan lalu lalang orang yang lewat dan pesta dengan banyak orang ramai ini.Lagipula, tak ada satupun yang aku kenal di pesta ini. Semua yang menyalamiku hanya memberikan ucapan selamat sebagai basa-basi. Tak ada yang dikenal dekat kecuali satu orang yang sedari tadi membuatku kepikiran. Seseorang itulah yang membuat pikiranku sedikit kacau dan banyak melamun sejak tadi.Pak Fadlan, lelaki paruh baya dan kata-katanya sangat membuatku kepikiran. Rasanya tak mungkin orang biasa bisa seberani itu mengutarakan hal yang menurutku sedikit tidak sopan."Semuanya hanyalah tipu muslihat, Haris. Saya tak bisa berbuat banyak. Wanita itu telah melakukan banyak hal untuk merenggut hampir seluruh hidupmu. Yang bisa kulakukan hanya berdoa semoga ingatanmu cepat pulih karena yang kau lakukan saat ini adalah sebuah kesalahan besar."Wanita mana yang Pak Fadlan maksud? Seme
[Nanti sore datang ke rumah, mau punggahan] Aku yang baru saja selesai menjemur pakaian sontak tersenyum senang mendapati pesan itu di ponselku. Dari Bapak. [Iya, Pak nanti Amira datang bersama Mas Haris] Kukirimkan pesan, langsung dibaca oleh Bapak. Kemungkinan beliau menunggu pesan balasanku sejak tadi. Lalu setelahnya, tak ada balasan darinya. Aku menghela nafas sembari duduk di tepi ranjang. Tak mudah membuat Bapak menerima pernikahanku dengan Mas Haris dulu. Katanya, aku membuat harga dirinya yang seorang juragan tanah terluka karena hanya bersuamikan tukang tahu. Beliau bahkan sempat tak ingin mengakuiku sebagai anaknya. Namun, lambat laun entah sejak kapan Bapak mulai luluh. Selain karena aku dahulu begitu dekat dengan Bapak. Atas saran Mas Haris aku selalu menegurnya melalui pesan atau berkunjung ke rumah. Lalu, Bapak mulai tenang walau banyak diam kala aku dan Mas Haris datang. Hanya Ibu dan Kak Ita yang masih menampakkan genderang permusuhan ketika melihat aku bersama M
“Minggir David!“ “Kamu mau pulang, kan? Ayo aku antar.“ Dia berucap tanpa memperdulikan perkataanku barusan. Tangannya terulur berusaha mengambil alih belanjaanku. Sontak aku mundur ke belakang guna menghindari tangannya bersentuhan denganku. Aku memutuskan berbalik dan lewat dari arah lain. Tapi David kembali menghadang jalanku. “David minggir! Kenapa kamu terus-terusan menghalangi jalanku?“ “Aku berniat membantu Mira. Kamu nampak kesusahan, suami kamu mana? Kenapa dia biarin kamu belanja sendirian?“ “Aku gak butuh bantuan kamu, tentang di mana suami aku saat ini bukan urusan kamu. Yang jelas sekarang dia lagi cari nafkah dengan bekerja, bukan ongkang-ongkang kaki nikmatin hasil kerja keras orang tua.“ Perkataanku sepertinya sedikit menyinggung David. Dia diam seketika dan itu kumanfaatkan untuk pergi dari hadapannya. Tak kusangka David nekat. Ia menahan tanganku yang buru-buru kutepis keras hingga belanjanku jatuh. “Kenapa sih, kamu selalu nolak keberadaanku Mir. Kenapa kamu
Maghrib di rumah Ibu berlangsung. Aku bangkit dari duduk dengan kuping panas mendengar ocehan dari keluarga yang sedari tadi tak berhenti. Kuhampiri Mas Haris yang sedari tadi menepuk tangan dan kakinya karena nyamuk yang hinggap. Laki-laki itu masih tetap berada di depan pintu selama beberapa waktu. “Mas, kita pulang saja, ya!“ ucapku padanya tak tega. “Loh kenapa? Kan, makan-makannya belum mulai, Dik.“ “Kita gak usah ikut. Yang penting udah datang.“ “Kamu kasihan sama, Mas?“ Aku mengigit bibir dengan mata berkaca. Mas Haris tahu keresahanku. “Kalau kita pulang sekarang Bapak bakalan sedih karena anaknya pulang cepat. Bapak pasti masih rindu sama Mira.“ “Tapi Bapak seperti tak peduli. Mereka juga terus menghasutku untuk meninggalkan Mas. Aku tak tahan lagi, mau pulang Mas.“ “Sebentar lagi ya! Gak enak sama keluarga kamu. Nanti Mas juga yang dianggap salah karena kita pulang duluan.“ Mau tak mau aku mengangguk, perkataan Mas Haris ada benarnya. Sudah cukup selama ini mereka
Sesampainya di rumah, aku bergegas mengambil kotak P3K dan mengobati lebam di mata dan sudut bibirnya Mas Haris yang belum berani kutanyakan apa sebabnya. “Pelan-pelan, Dik!“ ucapnya bersuara lagi setelah beberapa saat kami saling diam. Gerakan tanganku terhenti, aku menatapnya dengan rasa penasaran yang amat sangat. “Mas sebenarnya tadi darimana saja? Kenapa lama sekali baru kembali. Keadaannya begini pula, ponsel Mas juga gak aktif berulangkali Mira hubungi.“ “Mas dari masjid, Dik, adik, kan tahu sendiri“ “Kok bisa babak belur.“ Mas Haris menghela nafas sembari menatapku lekat.“Mas bohong?“ Selidikku menatapnya. “Sebenarnya setelah shalat maghrib dan dalam perjalanan menuju rumah Bapak, Mas dicegat beberapa orang dan dipukuli oleh mereka. Ponsel Mas diinjak hingga rusak seperti ini.“ Mas Haris menunjukkan ponselnya padaku. Layar retak-retak dan sepertinya sudah tak bisa digunakan lagi. “Astagfirullah? Kenapa mereka memukuli Mas? Siapa mereka sebenarnya? Perampok? Apa yang me
Dari pagi sampai sore ini kuperhatikan. Mobil David sama sekali tak tampak di depan rumah walau aku masih tak berani ke luar. Entahlah, setelah aku memikirkan perkataan Mas Haris kemarin, dia akan membuat David jera. Memangnya apa yang bisa dilakukan suamiku. Suara air yang sudah matang dari arah dapur membuatku tersentak kemudian berlari pergi secepat mungkin. Teko air sudah mendidih dan menimbulkan bunyi nyaring. Aku segera mematikan kompor. Aku membalik jumput-jumput yang sedang kugoreng. Sedikit kehitaman karena aku meninggalkannya cukup lama tadi. Cukup banyak pisang yang ada di dalam kulkas, aku memutuskan membuat penganan ini untuk berbuka nanti.Kupilih beberapa yang tidak gosong dan menatanya dalam piring. Terlalu banyak juga tak akan habis, aku berniat membagi ke tetangga. Aku ke luar dari rumah dengan piring berisi jumput-jumput di tangan, hendak berjalan menuju rumah Bu Gia, namun sedikit bingung saat melihat rumah yang berada di sebelah kiri rumahku tampak berbeda dar
“Mas kenal dengan tetangga sebelah?“ tembakku langsung saat aku dan Mas Haris sudah selesai shalat maghrib dan sekarang sedang menyantap nasi. “Yang mana?“ “Yang baru pindah.“ “Loh, Mas mana tahu, kan baru pindah. Lihat orangnya juga belum.“ “Terus kenapa tadi dia tahu kalau aku istri Mas ya?“ “Asal tebak mungkin.“ “Gak mungkin.“ “Tahu dari tetangga yang lain.“ Ah benar saja, tak terpikir olehku. Mungkin saja gadis itu tahu dari Bu Gia. Tapi, kenapa saat kutanya kembali gadis itu terlihat takut? Dan lagi, sekarang Mas Haris tak berani menatap ke arahku saat berbicara. Hal yang ia lakukan setiap kali ia berbohong. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku. Tentang hal jelek Mas Haris dan gadis yang tinggal di sebelah. Jangan-jangan …. “Dik!“ Aku tersentak, menoleh ke arah Mas Haris yang tengah melambaikan tangan di depan wajahku. “Kenapa, Mas?“ “Dari tadi dipanggilin gak nyahut, mikirin apa?“ “Bukan apa-apa, Mas bilang apa tadi?“ “Besok, gimana kalau kita buka di luar?“ “B
Acara reuni tetap berlanjut dan aku tak melihat Dewi di manapun. Entah mungkin ia sedang berganti baju atau bagaimana aku tak terlalu memperdulikannya. “Lama lagi ya waktu berbuka?“ Pertanyaan Fitri membuatku menoleh dari layar ponsel. Mas Haris mengirim pesan dan menanyakan keberadaanku. Kasihan juga dia pasti sedang berbuka sendirian di rumah. Aku jadi menyesal ikut bukber di sini. “Lima belas menit lagi, Fit, sabar ya!“ ucapku menepuk bahunya. Ia hanya menghela nafas sembari mematikan ponsel. “Hai Mira, Fitri, apa kabar?“ Seorang wanita cantik menghampiri meja kami. Viola, salah satu teman yang merupakan istri dari pengusaha berlian. Dulu, dia begitu akrab dengan kami. Berbeda dengan Dewi, Viola yang lebih kaya saja gayanya tidak sesombong wanita itu. “Baik Viola, kamu bagaimana?“ jawabku dengan senyuman. Ia menyibakkan gamisnya dan menampilkan perutnya yang buncit. “Alhamdulillah lagi hamil anak kembar.“ “Wah selamat, Vi,” ucap Fitri sembari memeluk Viola, aku mengikuti