“Pelan-pelan, Dik!“ ucapnya bersuara lagi setelah beberapa saat kami saling diam. Gerakan tanganku terhenti, aku menatapnya dengan rasa penasaran yang amat sangat.
“Mas sebenarnya tadi darimana saja? Kenapa lama sekali baru kembali. Keadaannya begini pula, ponsel Mas juga gak aktif berulangkali Mira hubungi.“
“Mas dari masjid, Dik, adik, kan tahu sendiri“
“Kok bisa babak belur.“
Mas Haris menghela nafas sembari menatapku lekat.
“Mas bohong?“ Selidikku menatapnya.“Sebenarnya setelah shalat maghrib dan dalam perjalanan menuju rumah Bapak, Mas dicegat beberapa orang dan dipukuli oleh mereka. Ponsel Mas diinjak hingga rusak seperti ini.“ Mas Haris menunjukkan ponselnya padaku. Layar retak-retak dan sepertinya sudah tak bisa digunakan lagi.
“Astagfirullah? Kenapa mereka memukuli Mas? Siapa mereka sebenarnya? Perampok? Apa yang mereka ambil?“
Mas Haris menggeleng. “Kamu pasti gak akan percaya kalau Mas bilang mereka suruhannya David?“
“Hah? David? Maksud Mas, orang-orang yang memukuli Mas, itu ….“
“Ya, seperti yang kamu pikirkan.“
“Mas tahu darimana?“
“Mas mencoba melawan, salah satu dari tiga orang itu berhasil Mas tangkap mengaku sebagai anak buah David.“
“Astagfirullahal'adzim, Mas, kenapa dia tega sekali berbuat begitu?“
“Itu karena kamu.“
“Karena Mira? Mira kenapa Mas?“
“David menyukai kamu walau dia tahu kamu sudah menikah dengan Mas. Mas dianggap sebagai penghalang dan dia berniat menyingkirkan. Sepertinya tadi mereka berniat membunuh, Mas.“
“Mas, jangan su'udzon, gak baik.“
“Mereka ada lima orang, Dik. Badannya besar-besar melebih Mas dan bawa pisau. Mas juga diberhentikan di tempat sepi. Apa tujuannya selain menghabisi, Mas.“
Aku termenung, tak menyangka. Kenapa David begitu kejam.
“Lalu bagaimana Mas bisa lolos.“
“Untungnya walau sepi, ada satu warga yang lewat dan menolong, Mas. Kalau tidak, Mas gak tahu apa yang akan terjadi.“
“David gila, kita harus melaporkan kejadian ini pada polisi, Mas. Supaya dia gak bakalan macam-macam lagi.“
“Orang seperti dia, gak akan mempan jika dilaporkan ke polisi. Mas, harus memberikan pelajaran yang menimbulkan efek jera berkepanjangan padanya. Mas akan buat dia menyesal karena berani mengusik kamu dan keluarga kita. David belum tahu dia berhadapan dengan siapa.“
Aku menatap Mas Haris tak mengerti. Apalagi kata-kata terakhirnya, memangnya Mas Haris siapa? Dia cuma tukang tahu. Hal apa yang akan diperbuat Mas Haris agar David jera? Atau jangan-jangan ….
“Mas gak berencana ngumpulin orang buat mukulin David, kan?“
“Kalau Mas melakukan itu, apa bedanya Mas dengan dia, Dik?“
“Lalu, Mas mau melakukan apa? Sudah biarkan saja kalau begitu, Mira takut Mas malah kenapa-kenapa.“
“Tenang saja, Mas tahu apa yang Mas lakukan. Mas juga gak akan melakukan hal yang merugikan diri sendiri apalagi kamu. Mas hanya perlu mengusik sedikit kelebihannya.“
Aku tak mengerti, omongan Mas Haris lama-lama semakin ngawur. Apakah ini efek karena dipukuli?
“Sekarang, kamu yang perlu hati-hati kalau keluar rumah. Jika bertemu David, jangan hiraukan dia dan pergi sejauh mungkin. Mas sebenarnya lebih mengkhawatirkan kamu daripada keadaan Mas sendiri. Apalagi saat Mas lihat David memaksa untuk memelukmu tadi.“
“Iya, Mas, setiap bertemu dia aku selalu pergi menjauh. Aku juga tidak tahan dengan sikapnya yang kelewatan.“
Mas Haris menarik tubuhku dan memelukku. Ia menyandarkan kepalanya pada bahuku. Kudengar sedikit helaan nafasnya yang terasa berat.
“Mas pastikan akan buat dia jera,” bisiknya, namun terdengar jelas ditelingaku.
***
Aku menyibakkan tirai jendela kembali, rencana untuk ke luar dari ruma kuurungkan begitu saja saat kulihat sebuah mobil dengan plat yang kukenali berhenti tidak jauh dari rumah.
Mobil David, tapi tak kuketahui siapa yang ada di dalamnya. Entah David atau bukan, yang jelas ini agak menyeramkan, karena lelaki itu bertingkah serupa penguntit.
Sejak Mas Haris pergi untuk jualan tadi pagi, mobil itu sudah berada di sana sampai sore hari ini. Membuatku tak berani untuk ke luar dari rumah padahal berencana untuk pergi ke pasar.
Kemarin saja, saat di rumah Bapak yang ramai David berani memelukku. Apalagi jika aku nekat ke luar tanpa Mas Haris. Aku bergidik membayangkannya. Dewi apa tidak curiga suaminya tak pulang satu harian.
Kuputuskan menuju dapur dan memasak apa saja yang ada di kulkas. Untungnya setiap bulan Mas Haris selalu membetikanku uang untuk belanja bulanan walau sekarang isi kulkas sudah hampir menipis karena memasuki akhir bulan.
Terkadang, aku merasa heran dengan jumlah uang yang Mas Haris berikan padaku. Dia membaginya, namun drngan jumlah yang lumayan. Uang bulanan untuk belanja kenutuhan dapur berbeda dengan uang jajan yang ia berikan padaku setiap hari.
Dipikir-pikir, memangnya berapa penghasilan dari jualan tahu? Apa sebanyak itu sampai setiap bulan aku bisa mengisi kulkas dengan penuh lengkap dengan daging dan ayam di dalamnya.
Entahlah, aku kadang bertanya-tanya tapi juga tak ingin tahu.
Ting!
Notifikasi dari ponselku berbunyi saat aku masih sibuk mengambil daging yang agak beku di kulkas. Potongan daging yang hanya tinggal sedikit, kupikir akan mask sop hari ini sebagai menu berbuka.
Aku merogoh ponsel dalam saku. Sejenak meletakkan daging yang telah kuambil di atas meja. Kulihat pesan yang tertera di sana. Dari Fitri, sahabatku.
[Mir, lusa alumni sekolah ngadain bukber, mau ikut gak?]
Alumni? Aku merenung sejenak. Itu berarti aku akan bertemu dengan Dewi kembali. Rasa-rasanya membayangkan hal itu membuatku malas. Aku takut kejadian saat di rumah Bapak akan terulang. Apalagi mulut Dewi itu seperti tak bisa di rem.
[Kamu ikut Fit?]
[Ikut Mir, udah lama gak jumpa kawan-kawan. Sekalian silahturahmi juga. Kamu ikut, kan? Pengen banget ketemu sama kamu]
[Aku sepertinya agak malas]
[Karena ada Dewi?]
Fitri memang sahabat sejati. Dia tahu aku dan Dewi selalu tak akrab sejak SMA. Lebih tepatnya wanita itu yang sering cari gara-gara. Entah sejak kapan, lebih tepatnya karena beberapa kali laki-laki yang wanita itu sukai ternyata menyukaiku dan kami bersaing dalam ranking.
[Nanti gak usah dekat-dekat dialah. Kamu sama aku aja]
[Tetap aja, kan]
[Gak usah diladenin, Mir. Please ikut ya! Biar aku ada temannya]
[Ya sudah aku usahain]
[Sip, kabarin biar aku jemput besok]
Aku mengirim stiker jempol padanya. Lantas menaruh ponselku kembali. Sudah jam lima sore dan sebentar lagi buka puasa tapi Mas Haris belum juga pulang ke rumah.
Satu hal lain yang membuatku hetan selama satu tahun menikah dengannya selain uang belanja. Kupikir Mas Haris satu-satunya penjual tahu yang selalu pulang sore sekali. Terkadang malah malam hari.Padahal biasanya aku menemukan tukang tahu yang jualan di pasar selalu pulang siang hari dan berangkat pagi sekali. Namun, setiap aku menanyakannya, Mas Haris selalu punya alasan untuk itu.
“Assalammu'alaikum, Dik.“
“Wa'alaikumussalam,” jawabku sembari berjalan ke depan. Kulihat Mas Haris sudah pulang, padahal aku baru memikirkannya yang selalu pulang malam.
“Sudah pulang, Mas?“ tanyaku sembari mengulurkan tangan untuk menyalimnya.
“Mobil David, sejak kapan ada di depan rumah?“
Aku menoleh, mobil David sudah tak ada di sana.
“Mas lihat?“
Mas Haris mengangguk. “Dia datang ke sini? Nemuin kamu?"
“Enggak, di situ saja dari tadi pagi.
“Pagi?“
“Ya, sejak Mas pergi jualan? Aku gak berani ke luar jadinya. Gak jadi ke pasar juga, berbuka hari ini masak apa aja yang ada di kulkas.“
“Gak apa-apa, bagus malahan,” ucap Mas Haris tanpa menoleh ke arahku. Matanya tetap fokus menatap ke depan dengan tangan terkepal erat.
Kupikir, saat ini dia sedang menahan amarahnya.
Dari pagi sampai sore ini kuperhatikan. Mobil David sama sekali tak tampak di depan rumah walau aku masih tak berani ke luar. Entahlah, setelah aku memikirkan perkataan Mas Haris kemarin, dia akan membuat David jera. Memangnya apa yang bisa dilakukan suamiku. Suara air yang sudah matang dari arah dapur membuatku tersentak kemudian berlari pergi secepat mungkin. Teko air sudah mendidih dan menimbulkan bunyi nyaring. Aku segera mematikan kompor. Aku membalik jumput-jumput yang sedang kugoreng. Sedikit kehitaman karena aku meninggalkannya cukup lama tadi. Cukup banyak pisang yang ada di dalam kulkas, aku memutuskan membuat penganan ini untuk berbuka nanti.Kupilih beberapa yang tidak gosong dan menatanya dalam piring. Terlalu banyak juga tak akan habis, aku berniat membagi ke tetangga. Aku ke luar dari rumah dengan piring berisi jumput-jumput di tangan, hendak berjalan menuju rumah Bu Gia, namun sedikit bingung saat melihat rumah yang berada di sebelah kiri rumahku tampak berbeda dar
“Mas kenal dengan tetangga sebelah?“ tembakku langsung saat aku dan Mas Haris sudah selesai shalat maghrib dan sekarang sedang menyantap nasi. “Yang mana?“ “Yang baru pindah.“ “Loh, Mas mana tahu, kan baru pindah. Lihat orangnya juga belum.“ “Terus kenapa tadi dia tahu kalau aku istri Mas ya?“ “Asal tebak mungkin.“ “Gak mungkin.“ “Tahu dari tetangga yang lain.“ Ah benar saja, tak terpikir olehku. Mungkin saja gadis itu tahu dari Bu Gia. Tapi, kenapa saat kutanya kembali gadis itu terlihat takut? Dan lagi, sekarang Mas Haris tak berani menatap ke arahku saat berbicara. Hal yang ia lakukan setiap kali ia berbohong. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku. Tentang hal jelek Mas Haris dan gadis yang tinggal di sebelah. Jangan-jangan …. “Dik!“ Aku tersentak, menoleh ke arah Mas Haris yang tengah melambaikan tangan di depan wajahku. “Kenapa, Mas?“ “Dari tadi dipanggilin gak nyahut, mikirin apa?“ “Bukan apa-apa, Mas bilang apa tadi?“ “Besok, gimana kalau kita buka di luar?“ “B
Acara reuni tetap berlanjut dan aku tak melihat Dewi di manapun. Entah mungkin ia sedang berganti baju atau bagaimana aku tak terlalu memperdulikannya. “Lama lagi ya waktu berbuka?“ Pertanyaan Fitri membuatku menoleh dari layar ponsel. Mas Haris mengirim pesan dan menanyakan keberadaanku. Kasihan juga dia pasti sedang berbuka sendirian di rumah. Aku jadi menyesal ikut bukber di sini. “Lima belas menit lagi, Fit, sabar ya!“ ucapku menepuk bahunya. Ia hanya menghela nafas sembari mematikan ponsel. “Hai Mira, Fitri, apa kabar?“ Seorang wanita cantik menghampiri meja kami. Viola, salah satu teman yang merupakan istri dari pengusaha berlian. Dulu, dia begitu akrab dengan kami. Berbeda dengan Dewi, Viola yang lebih kaya saja gayanya tidak sesombong wanita itu. “Baik Viola, kamu bagaimana?“ jawabku dengan senyuman. Ia menyibakkan gamisnya dan menampilkan perutnya yang buncit. “Alhamdulillah lagi hamil anak kembar.“ “Wah selamat, Vi,” ucap Fitri sembari memeluk Viola, aku mengikuti
“Kalau begitu, Mas akan mengatakan, sebenarnya ….“ Aku menunggu dengan tidak sabar dan jantung berdebar. Setiap perkataan yang ke luar dari mulut Mas Haris entah kenapa malah terasa lambat. “Sebenarnya ….“ “Ya.“ “Mas ….“ “Hm?“ “Tadi minum kopi tiga gelas di warkop Mbah Ruslam saat buka puasa karena kamu gak ada di rumah, Dik.“ Aku terpaku dengan mulut terbuka, walau perkataan Mas Haris sedikit membuatku kaget karena dia memang kularang minum kopi banyak dikarenakan asam lambungnya, namun bukan hal ini yang ingin kudengar. “Mas?“ ucapku tak mampu lagi mengatakan apa pun. Aku hanya bangkit dari tempat duduk sembari memegangi cincin yang tertaut di jemari. “Dik kamu gak marah, kan?“ tanya Mas Haris menahan tanganku hingga membuatku berbalik. Aku menjawab pertanyaannya dengan gelengan. “Enggak Mas, aku cuma capek saja.“ Mungkin … apa yang dikatakan Viola tak benar adanya. Mas Haris cuma tukang tahu, laki-laki yang menjadi suamiku itu tak mungkin punya uang sebanyak lima ratus
Mataku mengerjap kala mendengar suara seseorang sedang berbicara. Pusing yang melanda kepala membuat sedikit sulit untuk membuka mata sementara bias cahaya di atas sana sedikit membuat silau mata. Samar-samar saat aku menoleh ke samping, kulihat Ghea sedang berdiri tak jauh dariku dengan posisi membelakangi. Ia sedang melakukan panggilan dengan seseorang. “Baik Pak, saya memastikan Bu Mira aman bersama saya.“ Sayup-sayup kudengar suaranya terlintas dalam benak. Pak? Siapa yang tengah gadis itu telpon bahkan dengan membawa-bawa namaku. “Ghea, itu kamu?“ tanyaku memastikan dengan suara lirih. Perlahan Ghea berbalik, dapat kulihat wajahnya tampak panik saat menoleh ke arahku. Dengan cepat ia menutup panggilan dan berjalan cepat menghampiriku. “Bu Mir— maksud saya Mbak Mira sudah sadar?“ tanyanya sembari memperhatikanku dengan lekat, lalu tampak bernafas lega setelahnya. “Saya di mana?“ tanyaku sembari memegangi belakang kepala yang sedikit nyeri, rasa pusing masih samar-samar kurasa
Aku terpaku setelah ke luar dari taksi. Pintu rumahku tengah diperbaiki oleh seseorang dan ada Bu Gia di sebelahnya. Kualihkan pandangan pada Ghea yang juga baru keluar dari taksi. Dia hanya tersenyum saat tahu arti dari tatapanku“Kamu bayar orang buat perbaikin pintu rumah Mbak, Ghe?“ tanyaku lagi-lagi terkejut atas tindakannya. “Iya, gak apa-apa, kan, Mbak? Aku juga yang minta Bu Gia buat nengokin rumah Mbak sekalian mengokin yang kerja perbaikin pintu. Soalnya pintunya rusak dan gak bisa dikunci.““Ya, gak apa-apa, sih, tapi kamu harusnya bilang Mbak dulu kalau mau ngelakuin apa-apa. Persis yang kayak kamu lakuin tadi di rumah sakit. Bukannya Mbak gak menghargai niat baikmu tapi kalau kamu membantu sampai segininya Mbak jadi ngerasa gak enak dan bingung gimana mau gantinya.““Kan, aku udah bilang Mbak gak perlu ganti uang aku.““Tetap gak bisa gitu dong!“ Aku menatapnya sembari menghela nafas. Merinci setiap pengeluaran pada hari ini tiba-tiba saja membuat pikiranku sedikit kacau
Aku masih terpaku menatap layar ponsel Ghea yang terus berdering. Berbagai pikiran mulai berkecamuk dalam kepala.Haris? Nama yang sama dengan suamiku, tapi ... mungkinkah?"Eh, Mbak, ponsel Ghea bunyi, ya?"Ghea datang tiba-tiba, menyambar ponselnya secepat kilat tanpa kuketahui kapan dia mulai masuk ke dalam rumah."Sebentar, ya, Mbak, aku angkat telpon dulu!"Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Entahlah, aku merespon cepat tindakannya yang aneh. Mulai dari nama di ponselnya yang sama dengan Mas Haris, suamiku dan juga Ghea yang mengangkat telpon sampai ke luar dari ruang dapur, menjauh dariku.Bukankah, ini sedikit ... mencurigakan.Aku jadi penasaran dengan orang yang menelpon Ghea sekarang. Perlukah aku mengikutinya dan mendengarkan pembicaraan mereka? Tapi itu sungguh tidak sopan. Menguping pembicaraan orang lain bukanlah tindakan yang benar.Lalu, haruskah aku bertanya?"Maaf ya, Mbak, itu tadi bos Ghea nelpon mendadak nanyain urusan kerjaan." Ghea muncul kembali ke dapur d
"Kamu gak boleh gitu Ghe!" ucapku setelah kami masuk ke dalam rumah dan kini telah duduk di meja makan sembari menunggu adzan maghrib."Lah, dianya kurang ajar Mbak, orang kayak gitu gak bisa dilembekin. Mbak harus ngelawan kalo gak bakalan ngelunjak. Masa gitu bejat kelakuan suaminya dia gak sadar-sadar juga, masih mau nyalahin orang lain lagi."Aku menghela nafas. "Tapi kamu bisa ajak Dewi buat ngomong baik-baik, soalnya dia lebih tua dari kamu.""Baik-baik?" Ghea melotot ke arahku, nada suaranya naik satu oktaf. Entahlah, bukankah seharusnya aku yang lebih emosi."Coba aja tadi aku lakuin kayak tadi, ngomong baik-baik, bisa-bisa Mbak bakalan digampar sama itu tante-tante rempong. Benar, kan? Jangan menyangkal Mbak, bahkan aku yang nahan tangannya tadi.""Ya ...." Aku memutar mata, mengalihkan pandangan ke arah lain karena Ghea terus menatapku. "Iya-iya, Mbak tahu kamu lakuin hal itu supaya Mbak gak kenapa-kenapa. Makasih kalau gitu.""Nah gitu dong!" ucap Ghea dengan sumringah. "Po