“Yang mana?“
“Yang baru pindah.“
“Loh, Mas mana tahu, kan baru pindah. Lihat orangnya juga belum.“
“Terus kenapa tadi dia tahu kalau aku istri Mas ya?“
“Asal tebak mungkin.“
“Gak mungkin.“
“Tahu dari tetangga yang lain.“
Ah benar saja, tak terpikir olehku. Mungkin saja gadis itu tahu dari Bu Gia. Tapi, kenapa saat kutanya kembali gadis itu terlihat takut? Dan lagi, sekarang Mas Haris tak berani menatap ke arahku saat berbicara. Hal yang ia lakukan setiap kali ia berbohong.
Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku. Tentang hal jelek Mas Haris dan gadis yang tinggal di sebelah. Jangan-jangan ….
“Dik!“
Aku tersentak, menoleh ke arah Mas Haris yang tengah melambaikan tangan di depan wajahku.
“Kenapa, Mas?“
“Dari tadi dipanggilin gak nyahut, mikirin apa?“
“Bukan apa-apa, Mas bilang apa tadi?“
“Besok, gimana kalau kita buka di luar?“
“Besok? Bol— eh tapi temanku ngajak buka bersama alumni sekolah, Mas, bagaimana?“
“Alumni? SMA?“
“Iya.“
“Berarti ada Dewi juga?“
Aku mengangguk, tahu isi hatinya.
“Kalau Mas gak izinin aku gak bakalan pergi kok.“
“Oh gak apa-apa, pergi saja. Besok kita baru buka puasa di luar.“
“Beneran gak apa-apa?“
“Iya, yang penting kamu hati-hati saja. Mau Mas antar besok? Buka bersamanya di mana?“
“Hotel Melati, temanku jemput ke sini, kok.“
“Ya sudah kalau begitu.“
***
Fitri datang tepat waktu dengan mobilnya. Tepat setelah aku memakai sepatu dia sudah ada di depan rumah.
“Udah lama gak ketemu Mir, kalau gak ada acara gini gak ada alasanku buat ke rumahmu. Maklumlah aku kerja dan sibuk urus anak,” ucapnya sembari memelukku.
“Aku tahu, Fit, seharusnya malah aku yang sesekali berkunjung ke rumahmu. Tapi kamu tahu sendiri keadaanku.“
“Ya, kita sama-sama maklum. Oh iya suamimu mana?“
“Sore begini masih belum pulang jualan.“
“Jualan tahu, kan?“
“Iya.“
“Yaudah ayo, nanti telat.“
Aku bergegas masuk ke dalam mobil Fitri, sementara ia duduk di balik kemudi. Baru beberapa meter berjalan, Fitri berhenti sembari membuka jendela mobilnya.
“Kenapa Fit?“
“Ada yang manggil-manggil dari tadi di belakang.“
Aku sontak menoleh, lalu terkejut saat melihat si gadis yang tinggal di sebelah rumah berlari menghampiri Fitri.
“Mbak boleh numpang gak?“
“Eh?“ Aku kaget mendengar penuturannya. Seenak jidatnya numpang di mobil orang.
“Kamu siapa? Kita gak kenal loh. Mau ke mana emangnya?“ tanya Fitri.
“Aku Ghea Mbak, mau numpang ke hotel Melati, aku gak punya kendaraan. Aku kenal sama Mbak Amira kok, kami tetangga dekat.“
“Benar Mir?“
Seperti ditodong pisau, aku menatap Fitri dan gadis yang mengaku bernama Ghea itu dengan bingung. Kami baru bertemu sekali dari mana dianggap dekat.
“Iya, dia tetanggaku kok Fit.“ Mau tidak mau aku mengatakannya. Kasihan juga dia kalau dipikir-pikir.
“Ya sudah naik, untung sama tujuannya.“
Gadis itu naik ke mobil Fitri. Aku melihatnya dari balik spion. Tak seberantakan saat aku bertemu dengannya kemarin sore. Gadis bernama Ghea itu tampak rapi dengan setelan rok, kemeja dan hijab segi empatnya.
“Mbak Amira jumput-jumput yang kemarin enak sekali.“
“Terima kasih.“
“Besok-besok kalau masak menu berbuka kasih saya lagi ya Mbak, lumayan hemat saya gak perlu beli.“
Aku tertegun, kulirik Fitri yang juga tengah melirik ke arahku.
Lah ngelunjak dia.
***
Kami sampai di hotel Melati. Ghea sudah turun dan pergi entah ke mana. Banyak basa-basi yang tidak perlu dia lakukan padaku tadi sampai Fitri saja keheranan dengan tingkahnya.
Kami masuk ke dalam aula yang digunakan sebagai tempat reuni. Ada banyak teman-teman alumni di sana. Satu dua orang menyapaku dengan ramah.
“Eh eh, calon pelakor datang juga ke sini. Pantesan kok bau tahu dari tadi, ternyata di sini biangnya.“
Aku menatap ke asal suara, tahu siapa pelakunya. Sudah pasti Dewi. Semua orang kini memperhatikan kami karena suara Dewi yang cukup nyaring.
“Wi udah, kita di sini mau silaturahmi, jangan cari ribut dong.“
“Fit, aku gak bicara sama kamu. Tapi sama teman kamu ini yang suaminya cuma jualan tahu dan dengan gak tahu dirinya mau rebut suami orang.“
Bisik-bisik mulai terdengar. Aku memejam berusaha menaham amarah yang timbul. Fitri di sebelahku mencoba maju namun aku menahan tangannya.
“Ya iyalah jadi pelakor. Uang bulanannya dari suami tukang tahu gak cukup. Nyesel kamu, kan, Mir. Makanya nyari suami itu kayak aku yang memang kaya raya, punya duit banyak, punya usaha di mana-mana. Sekarang malah mau kerjasama, sama salah satu perusahaan besar. Lihat diri kamu, aku jadi kasihan. Datang ke sini gak pakai perhiasan apa-apa. Paling cuma … cincin pernikahan yang gak seberapa itu.“
“Wi, cukup ya! Kamu—“
Bruk.
“Arrghh….“ Dewi menjerit nyaring saat seorang waiters menabraknya dan menumpahkan minuman di bajunya.
“Maaf, Bu, maaf saya gak sengaja.“Alisku bertaut, aku seperti mengenali suara ini. Beranjak maju dua langkah, kulihat Ghea yang berdiri dengan pakaian hitam putih itu. Gadis itu bekerja di sini?
“Kamu gimana sih? Jalan yang bener dong, lihat baju saya jadi basah. Ini itu harganya mahal tahu, gaji kamu juga gak bakalan bisa beli baju ini.“
“Iya Bu, maaf saya cuma orang kecil gak bakalan mampu beli ginian. Beli baju cukup bahan aja saya gak sanggup Bu. Apalagi baju yang kelebihan bahan sampai menjuntai ke bawah gini hingga buat saya kesandung, Bu.“
“Kamu ngatain saya?“
“Lah enggak Bu, saya lagi muji. Ibu orang kaya-kaya banget karena bisa beli baju ini.“
“Hhh …. pokoknya saya gak mau tahu, kamu harus ganti rugi, satu juta rupiah!“
“Apa?“ Ghea tiba-tiba pingsan tepat di depan Dewi. Membuat wanita itu kesal luar biasa. Aku hanya bisa terpaku melihat kejadian yang begitu cepat itu.
“Apa-apaan sih kamu, bangun gak? Bangun!“ Dewi menyentuh tubuh Ghea dengan kakinya. Aku melihat hal yang salah, cepat kudorong pelan tubuhnya agar ia mundur dari tubuh gadis itu.
“Apa kamu? Jangan ikut campur.“
“Meski dia salah, kamu gak layak memperlakukan dia kayak binatang, Wi, dia manusia.“
“Aah! Gak usah ceramah. Ini anak mesti tanggung jawab.“
“Dalam keadaan pingsan kayak gini?“
Dewi terlihat sangat marah. Aku memperhatikan wajahnya yang merah padam. Tanpa kata ia meninggalkan ruangan dengan langkah menghentak.
Aku segera menghampiri Ghea. Membantu mengangkatnya bersama rekan-rekannya yang lain.
Lalu, sekilas saat kulihat samar-samar ia tersenyum. Matanya mengintip sembari mengacungkan jempol ke arahku.
Loh pura-pura?
Acara reuni tetap berlanjut dan aku tak melihat Dewi di manapun. Entah mungkin ia sedang berganti baju atau bagaimana aku tak terlalu memperdulikannya. “Lama lagi ya waktu berbuka?“ Pertanyaan Fitri membuatku menoleh dari layar ponsel. Mas Haris mengirim pesan dan menanyakan keberadaanku. Kasihan juga dia pasti sedang berbuka sendirian di rumah. Aku jadi menyesal ikut bukber di sini. “Lima belas menit lagi, Fit, sabar ya!“ ucapku menepuk bahunya. Ia hanya menghela nafas sembari mematikan ponsel. “Hai Mira, Fitri, apa kabar?“ Seorang wanita cantik menghampiri meja kami. Viola, salah satu teman yang merupakan istri dari pengusaha berlian. Dulu, dia begitu akrab dengan kami. Berbeda dengan Dewi, Viola yang lebih kaya saja gayanya tidak sesombong wanita itu. “Baik Viola, kamu bagaimana?“ jawabku dengan senyuman. Ia menyibakkan gamisnya dan menampilkan perutnya yang buncit. “Alhamdulillah lagi hamil anak kembar.“ “Wah selamat, Vi,” ucap Fitri sembari memeluk Viola, aku mengikuti
“Kalau begitu, Mas akan mengatakan, sebenarnya ….“ Aku menunggu dengan tidak sabar dan jantung berdebar. Setiap perkataan yang ke luar dari mulut Mas Haris entah kenapa malah terasa lambat. “Sebenarnya ….“ “Ya.“ “Mas ….“ “Hm?“ “Tadi minum kopi tiga gelas di warkop Mbah Ruslam saat buka puasa karena kamu gak ada di rumah, Dik.“ Aku terpaku dengan mulut terbuka, walau perkataan Mas Haris sedikit membuatku kaget karena dia memang kularang minum kopi banyak dikarenakan asam lambungnya, namun bukan hal ini yang ingin kudengar. “Mas?“ ucapku tak mampu lagi mengatakan apa pun. Aku hanya bangkit dari tempat duduk sembari memegangi cincin yang tertaut di jemari. “Dik kamu gak marah, kan?“ tanya Mas Haris menahan tanganku hingga membuatku berbalik. Aku menjawab pertanyaannya dengan gelengan. “Enggak Mas, aku cuma capek saja.“ Mungkin … apa yang dikatakan Viola tak benar adanya. Mas Haris cuma tukang tahu, laki-laki yang menjadi suamiku itu tak mungkin punya uang sebanyak lima ratus
Mataku mengerjap kala mendengar suara seseorang sedang berbicara. Pusing yang melanda kepala membuat sedikit sulit untuk membuka mata sementara bias cahaya di atas sana sedikit membuat silau mata. Samar-samar saat aku menoleh ke samping, kulihat Ghea sedang berdiri tak jauh dariku dengan posisi membelakangi. Ia sedang melakukan panggilan dengan seseorang. “Baik Pak, saya memastikan Bu Mira aman bersama saya.“ Sayup-sayup kudengar suaranya terlintas dalam benak. Pak? Siapa yang tengah gadis itu telpon bahkan dengan membawa-bawa namaku. “Ghea, itu kamu?“ tanyaku memastikan dengan suara lirih. Perlahan Ghea berbalik, dapat kulihat wajahnya tampak panik saat menoleh ke arahku. Dengan cepat ia menutup panggilan dan berjalan cepat menghampiriku. “Bu Mir— maksud saya Mbak Mira sudah sadar?“ tanyanya sembari memperhatikanku dengan lekat, lalu tampak bernafas lega setelahnya. “Saya di mana?“ tanyaku sembari memegangi belakang kepala yang sedikit nyeri, rasa pusing masih samar-samar kurasa
Aku terpaku setelah ke luar dari taksi. Pintu rumahku tengah diperbaiki oleh seseorang dan ada Bu Gia di sebelahnya. Kualihkan pandangan pada Ghea yang juga baru keluar dari taksi. Dia hanya tersenyum saat tahu arti dari tatapanku“Kamu bayar orang buat perbaikin pintu rumah Mbak, Ghe?“ tanyaku lagi-lagi terkejut atas tindakannya. “Iya, gak apa-apa, kan, Mbak? Aku juga yang minta Bu Gia buat nengokin rumah Mbak sekalian mengokin yang kerja perbaikin pintu. Soalnya pintunya rusak dan gak bisa dikunci.““Ya, gak apa-apa, sih, tapi kamu harusnya bilang Mbak dulu kalau mau ngelakuin apa-apa. Persis yang kayak kamu lakuin tadi di rumah sakit. Bukannya Mbak gak menghargai niat baikmu tapi kalau kamu membantu sampai segininya Mbak jadi ngerasa gak enak dan bingung gimana mau gantinya.““Kan, aku udah bilang Mbak gak perlu ganti uang aku.““Tetap gak bisa gitu dong!“ Aku menatapnya sembari menghela nafas. Merinci setiap pengeluaran pada hari ini tiba-tiba saja membuat pikiranku sedikit kacau
Aku masih terpaku menatap layar ponsel Ghea yang terus berdering. Berbagai pikiran mulai berkecamuk dalam kepala.Haris? Nama yang sama dengan suamiku, tapi ... mungkinkah?"Eh, Mbak, ponsel Ghea bunyi, ya?"Ghea datang tiba-tiba, menyambar ponselnya secepat kilat tanpa kuketahui kapan dia mulai masuk ke dalam rumah."Sebentar, ya, Mbak, aku angkat telpon dulu!"Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Entahlah, aku merespon cepat tindakannya yang aneh. Mulai dari nama di ponselnya yang sama dengan Mas Haris, suamiku dan juga Ghea yang mengangkat telpon sampai ke luar dari ruang dapur, menjauh dariku.Bukankah, ini sedikit ... mencurigakan.Aku jadi penasaran dengan orang yang menelpon Ghea sekarang. Perlukah aku mengikutinya dan mendengarkan pembicaraan mereka? Tapi itu sungguh tidak sopan. Menguping pembicaraan orang lain bukanlah tindakan yang benar.Lalu, haruskah aku bertanya?"Maaf ya, Mbak, itu tadi bos Ghea nelpon mendadak nanyain urusan kerjaan." Ghea muncul kembali ke dapur d
"Kamu gak boleh gitu Ghe!" ucapku setelah kami masuk ke dalam rumah dan kini telah duduk di meja makan sembari menunggu adzan maghrib."Lah, dianya kurang ajar Mbak, orang kayak gitu gak bisa dilembekin. Mbak harus ngelawan kalo gak bakalan ngelunjak. Masa gitu bejat kelakuan suaminya dia gak sadar-sadar juga, masih mau nyalahin orang lain lagi."Aku menghela nafas. "Tapi kamu bisa ajak Dewi buat ngomong baik-baik, soalnya dia lebih tua dari kamu.""Baik-baik?" Ghea melotot ke arahku, nada suaranya naik satu oktaf. Entahlah, bukankah seharusnya aku yang lebih emosi."Coba aja tadi aku lakuin kayak tadi, ngomong baik-baik, bisa-bisa Mbak bakalan digampar sama itu tante-tante rempong. Benar, kan? Jangan menyangkal Mbak, bahkan aku yang nahan tangannya tadi.""Ya ...." Aku memutar mata, mengalihkan pandangan ke arah lain karena Ghea terus menatapku. "Iya-iya, Mbak tahu kamu lakuin hal itu supaya Mbak gak kenapa-kenapa. Makasih kalau gitu.""Nah gitu dong!" ucap Ghea dengan sumringah. "Po
"Loh, Mbak, itu bukannya laki-laki bejat yang datang ke rumah Mbak ya? Suaminya di tante rempong?"Aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. Keningku berkerut sembari berpikir keras. Seolah ...."Gila! Karma cepat sekali bekerja. Aku jadi ingin lihat si tante rempong nangis-nangis gara-gara suaminya di tangkap. Mbak lihat, kan? Yang dzalim selalu dapat adzab."Nah!Adzab? Itu kata yang sedari tadi kupikirkan namun tak kunjung menemukannya sampai Ghea mengatakannya. Entah kenapa, menurutku ini sangat kebetulan sekali. "Padahal baru kemarin dia mau jahatin, Mbak. Lihat kan! Orang jahat itu memang bakalan dipersulit hidupnya," ujar Ghea dengan wajah menahan geram. Aku yang berada di sebelahnya hanya memperhatikan.Aku lega sebenarnya mendengar berita ini melihat sikap Dewi dan David tak begitu baik padaku dan Mas Haris. Walaupun itu agak terasa janggal. Senang di atas penderitaan orang lain membuatku tampak seperti orang yang sangat jahat mengabaikan perilaku David dan Dewi selama ini.
"Mas!" panggilku saat Mas Haris tak kunjung merespon penjelasanku. Bukankah seharusnya ia terkejut mendengar berita ini, sesuatu yang belum pernah ia dengar."Kenapa?" tanya Mas Haris dengan datar. Aku menatapnya tak mengerti."Mas tidak merespon apapun seolah ini hal yang biasa. Aku ... jadi heran saja.""Ah, Mas hanya merasa ini sepadan. Bukankah ini hukuman karena David mengganggumu bahkan juga hampir melecehkanmu. Mas rasa tidak ada yang salah dia pantas mendapatkannya walau Mas gak menduga Bapak akan terkena imbasnya."Dahiku berkerut, ada yang terasa janggal di sini."Mas tahu, kalau aku diganggu oleh David? Bukankah aku belum cerita sama Mas soal kejadian itu?" tanyaku cepat. Masalah kemarin, saat David datang ke rumah aku belum menceritakannya pada Mas Haris. Tapi bagaimana suamiku bisa tahu?" Kutatap Mas Haris lekat, matanya yang beberapa saat lalu menatap tepat ke manik mataku kini mulai tak fokus. Hampir tiga tahun kami menjalani pernikahan. Dalam tiga tahun itu juga aku t