Aku terpaku setelah ke luar dari taksi. Pintu rumahku tengah diperbaiki oleh seseorang dan ada Bu Gia di sebelahnya. Kualihkan pandangan pada Ghea yang juga baru keluar dari taksi. Dia hanya tersenyum saat tahu arti dari tatapanku“Kamu bayar orang buat perbaikin pintu rumah Mbak, Ghe?“ tanyaku lagi-lagi terkejut atas tindakannya. “Iya, gak apa-apa, kan, Mbak? Aku juga yang minta Bu Gia buat nengokin rumah Mbak sekalian mengokin yang kerja perbaikin pintu. Soalnya pintunya rusak dan gak bisa dikunci.““Ya, gak apa-apa, sih, tapi kamu harusnya bilang Mbak dulu kalau mau ngelakuin apa-apa. Persis yang kayak kamu lakuin tadi di rumah sakit. Bukannya Mbak gak menghargai niat baikmu tapi kalau kamu membantu sampai segininya Mbak jadi ngerasa gak enak dan bingung gimana mau gantinya.““Kan, aku udah bilang Mbak gak perlu ganti uang aku.““Tetap gak bisa gitu dong!“ Aku menatapnya sembari menghela nafas. Merinci setiap pengeluaran pada hari ini tiba-tiba saja membuat pikiranku sedikit kacau
Aku masih terpaku menatap layar ponsel Ghea yang terus berdering. Berbagai pikiran mulai berkecamuk dalam kepala.Haris? Nama yang sama dengan suamiku, tapi ... mungkinkah?"Eh, Mbak, ponsel Ghea bunyi, ya?"Ghea datang tiba-tiba, menyambar ponselnya secepat kilat tanpa kuketahui kapan dia mulai masuk ke dalam rumah."Sebentar, ya, Mbak, aku angkat telpon dulu!"Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Entahlah, aku merespon cepat tindakannya yang aneh. Mulai dari nama di ponselnya yang sama dengan Mas Haris, suamiku dan juga Ghea yang mengangkat telpon sampai ke luar dari ruang dapur, menjauh dariku.Bukankah, ini sedikit ... mencurigakan.Aku jadi penasaran dengan orang yang menelpon Ghea sekarang. Perlukah aku mengikutinya dan mendengarkan pembicaraan mereka? Tapi itu sungguh tidak sopan. Menguping pembicaraan orang lain bukanlah tindakan yang benar.Lalu, haruskah aku bertanya?"Maaf ya, Mbak, itu tadi bos Ghea nelpon mendadak nanyain urusan kerjaan." Ghea muncul kembali ke dapur d
"Kamu gak boleh gitu Ghe!" ucapku setelah kami masuk ke dalam rumah dan kini telah duduk di meja makan sembari menunggu adzan maghrib."Lah, dianya kurang ajar Mbak, orang kayak gitu gak bisa dilembekin. Mbak harus ngelawan kalo gak bakalan ngelunjak. Masa gitu bejat kelakuan suaminya dia gak sadar-sadar juga, masih mau nyalahin orang lain lagi."Aku menghela nafas. "Tapi kamu bisa ajak Dewi buat ngomong baik-baik, soalnya dia lebih tua dari kamu.""Baik-baik?" Ghea melotot ke arahku, nada suaranya naik satu oktaf. Entahlah, bukankah seharusnya aku yang lebih emosi."Coba aja tadi aku lakuin kayak tadi, ngomong baik-baik, bisa-bisa Mbak bakalan digampar sama itu tante-tante rempong. Benar, kan? Jangan menyangkal Mbak, bahkan aku yang nahan tangannya tadi.""Ya ...." Aku memutar mata, mengalihkan pandangan ke arah lain karena Ghea terus menatapku. "Iya-iya, Mbak tahu kamu lakuin hal itu supaya Mbak gak kenapa-kenapa. Makasih kalau gitu.""Nah gitu dong!" ucap Ghea dengan sumringah. "Po
"Loh, Mbak, itu bukannya laki-laki bejat yang datang ke rumah Mbak ya? Suaminya di tante rempong?"Aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. Keningku berkerut sembari berpikir keras. Seolah ...."Gila! Karma cepat sekali bekerja. Aku jadi ingin lihat si tante rempong nangis-nangis gara-gara suaminya di tangkap. Mbak lihat, kan? Yang dzalim selalu dapat adzab."Nah!Adzab? Itu kata yang sedari tadi kupikirkan namun tak kunjung menemukannya sampai Ghea mengatakannya. Entah kenapa, menurutku ini sangat kebetulan sekali. "Padahal baru kemarin dia mau jahatin, Mbak. Lihat kan! Orang jahat itu memang bakalan dipersulit hidupnya," ujar Ghea dengan wajah menahan geram. Aku yang berada di sebelahnya hanya memperhatikan.Aku lega sebenarnya mendengar berita ini melihat sikap Dewi dan David tak begitu baik padaku dan Mas Haris. Walaupun itu agak terasa janggal. Senang di atas penderitaan orang lain membuatku tampak seperti orang yang sangat jahat mengabaikan perilaku David dan Dewi selama ini.
"Mas!" panggilku saat Mas Haris tak kunjung merespon penjelasanku. Bukankah seharusnya ia terkejut mendengar berita ini, sesuatu yang belum pernah ia dengar."Kenapa?" tanya Mas Haris dengan datar. Aku menatapnya tak mengerti."Mas tidak merespon apapun seolah ini hal yang biasa. Aku ... jadi heran saja.""Ah, Mas hanya merasa ini sepadan. Bukankah ini hukuman karena David mengganggumu bahkan juga hampir melecehkanmu. Mas rasa tidak ada yang salah dia pantas mendapatkannya walau Mas gak menduga Bapak akan terkena imbasnya."Dahiku berkerut, ada yang terasa janggal di sini."Mas tahu, kalau aku diganggu oleh David? Bukankah aku belum cerita sama Mas soal kejadian itu?" tanyaku cepat. Masalah kemarin, saat David datang ke rumah aku belum menceritakannya pada Mas Haris. Tapi bagaimana suamiku bisa tahu?" Kutatap Mas Haris lekat, matanya yang beberapa saat lalu menatap tepat ke manik mataku kini mulai tak fokus. Hampir tiga tahun kami menjalani pernikahan. Dalam tiga tahun itu juga aku t
"Kak Ita, ada apa?" tanyaku sembari berjalan mendekat. Dua keponakan yang sedang menangis di tanah seketika terdiam saat menoleh ke arahku."Akhirnya kamu pulang juga, lama sekali, sih. Cepetan bukain pintu rumah ini! Dah tahu panas, ditelpon juga gak diangkat-angkat."Dahiku berkerut, kutatap Mas Haris yang berada di sampingku. Laki-laki itu mengangkat bahu tak mengerti.Rasa penasaran memuncak membuatku ingin bertanya, namun aku tahu Kak Ita akan meradang jika aku membuka pertanyaanku sekarang, ditambah dua keponakan yang tangisannya semakin kencang seiring berjalannya waktu, aku memutuskan untuk membuka kunci rumah lebih dulu."Nah, gitu dong!" Kak Ita nyelonong masuk tepat setelah pintu terbuka, membiarkan dua anaknya di halaman. Tak menghiraukan tangisan kedua anaknya yang semakin keras."Kak--""Mir, anakku bawa masuk ke dalam! Si Caca pup di celana itu tolong sekalian bersihkan, ya! Bagus juga belum makan, nanti suapin dia makan!"Perkataanku bahkan belum selesai sudah dipoto
"Ghea!" panggilku lirih pada gadis dua puluh tahunan yang tengah tertidur di kursi ruang tunggu, sebagian hijabnya ia gunakan untuk menutupi wajah. Membuatku merasa tidak enak karena terlalu lama berada di rumah.Jam empat sore Caca dan Bagus baru bangun dari tidur. Sementara Kak Ita kucoba memanggilnya kembali namun tak kunjung ada sahutan. Akhirnya aku dan Mas Haris pergi begitu saja dan meninggalkan Kak Ita di rumah. Sedikit kutinggalkan lauk untuknya buat berbuka nanti, tak lupa dengan pesan yang kukirimkan padanya yang entah sudah dibacanya entah belum."Ghe!" panggilku kembali, gadis itu tersentak, bangun dari tidurnya."Eh, Mbak, maaf Ghea ketiduran.""Iya gak apa-apa, Mbak seharusnya yang minta maaf karena membuatmu menunggu terlalu lama. Kenapa gak tidur di dalam ruangan Ibu Mbak saja, bukannya lebih leluasa.""Tadi sih sudah masuk ke sana, tapi ...."Prang!"Bodoh! Aku gak mau diurusin sama kamu, mana anakkku? Panggil dia kemari!"Aku tersentak kaget mendengar teriakan nyar
"Maafkan Ibu, ya, Mas, jangan dimasukkan ke hati."Mas Haris yang sedari tadi fokus pada ponselnya kini menatapku. Setelah memberikan bungkusan nasi tadi Mas Haris langsung pergi begitu saja, membuatku kelabakan untuk menyusulnya.Aku menemukannya di taman rumah sakit, sedang duduk sembari berdiam diri. Kutinggalkan Ghea beserta dua keponakanku bersama Ibu, ah lagi-lagi aku merepotkan gadis itu."Memangnya Mas pernah masukkan perkataan Ibu ke hati? Mas gak marah, cuma sedikit berpikir saja.""Tentang apa?""Selama kita menikah, apa kamu bahagia hidup bersama dengan Mas?"Aku terdiam sejenak, menatap manik matanya yang seserius itu mengucapkan pertanyaannya."Mas kepikiran perkataan Ibu, ya?""Enggak, Mas cuma ingin bertanya saja, dik. Karena Mas pikir, Mas cuma tukang tahu, berani memperistri wanita cantik dan dari keluarga kaya tanpa menyadari kemampuan Mas sendiri. Selama ini mungkin kamu merasa apa yang Mas berikan padamu kurang ....""Mas!" Aku memotong ucapan Mas Haris. "Selama k