"Maafkan Ibu, ya, Mas, jangan dimasukkan ke hati."Mas Haris yang sedari tadi fokus pada ponselnya kini menatapku. Setelah memberikan bungkusan nasi tadi Mas Haris langsung pergi begitu saja, membuatku kelabakan untuk menyusulnya.Aku menemukannya di taman rumah sakit, sedang duduk sembari berdiam diri. Kutinggalkan Ghea beserta dua keponakanku bersama Ibu, ah lagi-lagi aku merepotkan gadis itu."Memangnya Mas pernah masukkan perkataan Ibu ke hati? Mas gak marah, cuma sedikit berpikir saja.""Tentang apa?""Selama kita menikah, apa kamu bahagia hidup bersama dengan Mas?"Aku terdiam sejenak, menatap manik matanya yang seserius itu mengucapkan pertanyaannya."Mas kepikiran perkataan Ibu, ya?""Enggak, Mas cuma ingin bertanya saja, dik. Karena Mas pikir, Mas cuma tukang tahu, berani memperistri wanita cantik dan dari keluarga kaya tanpa menyadari kemampuan Mas sendiri. Selama ini mungkin kamu merasa apa yang Mas berikan padamu kurang ....""Mas!" Aku memotong ucapan Mas Haris. "Selama k
Pagi ini aku memutuskan pulang ke rumah terlebih dahulu setelah sama-sama dengan Mas Haris sahur di rumah sakit. Suamiku memutuskan untuk tidak berjualan hari ini walau aku melarangnya. Dia kasihan padaku karena tidak ada teman menjaga Ibu. Padahal tak perlu begitu, soalnya Bapak dan Ibu sudah diizinkan pulang oleh dokter hari ini.Aku tiba di rumah pukul tujuh pagi. Sebenarnya tidak ingin pulang namun aku khawatir dengan Bagus dan Caca. Takut mereka belum makan seperti kemarin mengingat kemarin Kak Ita tidur satu harian di rumah.Begitu turun dari angkot aku bergegas jalan dari gang menuju rumah, namun agak terkejut saat dari ujung jalan kulihat Ghea berjalan sembari menggandeng dua anak kecil yang kukenali dengan jelas, Bagus dan Caca."Ghea!" panggilku padanya membuat ia menoleh kaget. Bagus dan Caca masing-masing memegang roti di tangan. "Loh, Mbak, baru pulang dari rumah sakit?""Iya, mau ke rumah lihat Bagus sama Caca. Ini mereka berdua kok ada sama kamu? Kak Ita kemana?""Ma
Aku masih kesal dengan tingkah laku Kak Ita tadi. Namun mencoba bersabar dengan mengucapkan istighfar dalam hati. Pada akhirnya kekacauan yang ia buat kubereskan juga. Bahkan sempat memasakkan makan siang alakadarnya untuk Caca dan Bagus. Aku tidak peduli dengan keadaan Kak Ita, tak kusisakan makanan apapun untuk dia.Sementara masalah di rumah bisa kuselesaikan, di rumah sakit aku kembali menghadapi masalah yang juga rumit. Kutatap Ibu yang kini menatapku tajam."Aku gak mau bareng kamu dan suamimu yang kere itu, aku mau naik taksi sendiri!" ucap Ibu bersikeras saat aku hendak menuntunnya keluar dari kamar. Hari ini Ibu sudah boleh pulang ke rumah."Tapi ibu baru sembuh, biar sama Mira aja Bu.""Aku gak mau! Aku mau pulang ke rumahku!" Aku menghela nafas, berkacak pinggang sembari melihat Ibu yang bersikeras menolak, ia melangkah pergi sementara aku terus mengikutinya dari belakang.Meski Ibu sering mengucapkan kata-kata menyakitkan padaku, namun aku tetap khawatir tentang apa yang
"Kenapa Mas?" tanyaku setelah Mas Haris masuk ke dalam mobil."Bukan apa-apa, tadi ditelpon Koh Andri, nanyain tahu. Dikira Koh Andri Mas jualan hari ini."Aku mengangguk, mengerti, namun terus menatap Mas Haris yang duduk di kursi depan. Mas Haris lagi-lagi bohong dan aku tahu itu. Dia tidak bisa berakting dengan baik. Tapi entah apa yang ia sembunyikan aku sama sekali tidak tahu. Dan kenapa ia menyembunyikannya dariku."Hhhmmirrr...aaa." Bapak bersuara, membuatku menoleh, tangannya gemetaran mendekat kearahku."Bapak." Kugenggam tangannya yang dingin, Bapak terlihat berkaca-kaca dan hendak mengungkapkan sesuatu, namun stroke membuatnya tak bisa bicara kecuali gumaman-gumaman yang tidak kumengerti."Dari tadi Bapak seperti itu, dik. Mau bicara sama Mas, tapi Mas gak ngerti apa yang dimaksud Bapak.""Kenapa? Bapak lapar?"Bapak menggeleng lemah. Ia sepertinya kesal karena kami tak mampu menangkap apa yang ia sampaikan hingga tubuh Bapak yang gemetar hebat membuatku ketakutan."Bapak,
Ibu pingsan lagi.Aku menghela nafas sembari mengoleskan minyak kayu putih pada hidung dan leher ibu. Keributan yang terjadi sudah berakhir dengan tumbangnya Ibu, meninggalkan kekacauan yang mereka tinggalkan berupa pecahan kaca dan beberapa barang yang berserakan di ruang tamu.Mas Haris tengah membersihkannya setelah mengantar Bapak untuk beristirahat di kamar kami, sementara aku bersama Ibu dan Kak Ita berada di dalam kamar tamu. Beberapa menit berlalu dalam keheningan, ibu juga belum sadar."Kak!" kupanggil Kak Ita yang termenung menatap dinding kosong di sebelahnya. Ia melirikku sekilas, lalu mengalihkan pandangannya kembali."Apa?"Aku berdehem, bingung harus mulai dari mana. Apkah kukatakan saja kalau aku mendengar semua pembicaraannya dengan Ibu tadi yang memicu pertengkaran, hal yang juga membuat Ibu pingsan.Namun, Kak Ita pastinya akan tersulut emosi setelah itu. Tadi saja tingkahnya saat berbicara dengan Ibu ia tampak marah, apalagi jika kutanyai sekarang.Ah, tidak-tidak!
"Kalau gak bisa kasih dua juta, siniin cincinmu biar aku jual!" Kak Ita mengulurkan tangan membuatku terhenyak. Ini cincin pernikahanku dengan Mas Haris. Seenaknya saja meminta begitu."Gak bisa, kak, ini cincin pernikahanku. Lagipula kakak mau untuk apa uang segitu." ucapku sembari menyembunyikan lengan kiri di belakang tubuh. Aku menatap awas pada Kak Ita yang kini menatapku dengan tajam."Ya ampun, nanti kakak balikin, pelit banget. Kakak gak bisa tinggal di sini. Sempit, kumuh, dan lihat kamar kamu cuma dua, kecil banget lagi. Kakak harus sewa rumah yang lebih besar." Kak Ita berkacak pinggang mendekat ke arahku."Lagipula cincin kamu ini berapa sih lakunya? Lima ratus ribu juga gak sampe. Udahlah sini aku pinjam dulu!" Kak Ita menarik tanganku dengan paksa, aku menghindar berusaha melepaskan diri, namun dengan cepat Mas Haris melepaskan tangan Kak Ita dari tanganku."Maaf Kak, jangan paksa Mira kalau dia memang gak mau. Lagipula cincin yang kakak pinjam adalah cincin pernikahan
"Kamu kenal dengan Jalu, Ghe?"Ghea tersentak saat bahunya kusentuh, ia menoleh."Huwaaa Mbak Mira!" teriaknya kaget sembari mundur dua langkah hingga membuatku kebingungan. Memangnya kehadiranku serupa hantu, hingga dia berlebihan seperti itu?"Maaf Mbak, Ghea cuma kaget," ucapnya setelah menguasai diri. Ia terkekeh pelan sembari membenarkan letak hijabnya."Kamu belum jawab pertanyaan Mbak tadi loh, Ghe.""Oh, tentang Jalu Mbak? Ghea kenal waktu di pasar. Anaknya ramah, rajin dan ganteng juga, jadi ....""Pasar?" tanyaku memotong perkataannya. Ghea mengangguk membenarkan.Kalau pasar yang dimaksud Ghea adalah pasar yang sama dengan pasar tempat Mas Haris biasanya berjualan tahu. Itu berarti keduanya sudah saling mengenal melihat bagaimana Ghea mengenal Jalu dan Mas Haris juga mengenal Jalu.Tak aneh melihat interaksi keduanya yang kupikir seperti dua orang yang sudah mengenal cukup lama. Hanya saja ada beberapa momen dimana Mas Haris dan Ghea malah seperti sedang pura-pura tidak
"Ibu," panggilku setelah sampai di halaman depan. "Ghea Mira yang undang untuk berbuka bersama di sini, jadi biarkan Ghea masuk bersama Bagus dan Caca." Ibu menatapku sinis, ia beralih menatap Ghea."Kamu kalau miskin jangan sok, cuman masak makanan begitu aja pakai undang orang lain segala, gak malu?"Aku terkesiap mendengar penuturan Ibu, kulihat Ghea yang sepertinya juga terkejut. Mungkin ini kali pertamanya mendengar ucapan kasar seroang Ibu kepada anaknya."Saya suka masakan Mbak Mira, Wak. Saya juga sering makan di sini. Masakan Mbak Mira itu enak-enak, gak yang gitu-gitu aja. Memangnya Uwak belum pernah nyoba makanan anak Uwak sendiri?"Ghea tiba-tiba membalas perkataan Ibu, ia sepertinya tidak sungkan. Hal ini jadi mengingatkanku saat aku dan Dewi berseteru dan dia datang menolongku."Uwak? Seenaknya saja kamu manggil saya begitu. Lagian kamu cuma tetangga, tahu apa sih?""Lah, saya manggil Mbak Mira dengan sebutan Mbak, kalo ke Uwak dengan sebutan Tante gak cocok dong.""Kam
POV Haris"Mas," panggil Kanya membuatku menoleh. Tanpa sadar sedari tadi selama duduk di kursi, aku hanya melamun tanpa terganggu dengan lalu lalang orang yang lewat dan pesta dengan banyak orang ramai ini.Lagipula, tak ada satupun yang aku kenal di pesta ini. Semua yang menyalamiku hanya memberikan ucapan selamat sebagai basa-basi. Tak ada yang dikenal dekat kecuali satu orang yang sedari tadi membuatku kepikiran. Seseorang itulah yang membuat pikiranku sedikit kacau dan banyak melamun sejak tadi.Pak Fadlan, lelaki paruh baya dan kata-katanya sangat membuatku kepikiran. Rasanya tak mungkin orang biasa bisa seberani itu mengutarakan hal yang menurutku sedikit tidak sopan."Semuanya hanyalah tipu muslihat, Haris. Saya tak bisa berbuat banyak. Wanita itu telah melakukan banyak hal untuk merenggut hampir seluruh hidupmu. Yang bisa kulakukan hanya berdoa semoga ingatanmu cepat pulih karena yang kau lakukan saat ini adalah sebuah kesalahan besar."Wanita mana yang Pak Fadlan maksud? Seme
POV HarisAwalnya kupikir memang ada yang disembunyikan oleh Kanya. Namun, saat melihat isi dalam gudang di halaman belakang pagi ini dengan rasa penasaran yang begitu menggebu, akhirnya aku tahu kalau Kanya memang tak menyembunyikan apapun.Tak ada apa-apa di sana. Hanya barang rongsokan berdebu yang disusun acak. Kecurigaanku sama sekali tak terbukti. Mungkin Kanya dan Mbak Wati hanya sedang berbicara serius tentang suatu hal hingga harus pergi ke halaman belakang, di mana tak ada orang.Aku menghela nafas, perasaan bersalah itu kembali menyelimuti. Entah benarkah ini, aku selalu berprasangka buruk pada Kanya."Tak ada jejak apapun yang membuktikan prasangkaku," ucapku menelisik sekali lagi isi ruangan yang berdebu tersebut. Lantas berbalik dan pergi keluar dari gudang belakang.Sesampainya di kamar, aku menemukan beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Kanya. Tanpa pikir panjang aku segera menelponnya kembali."Ada apa?""Kamu gak lupa hari ini acara kita, kan, Mas?" tanya Ka
POV Mira"Dia mengubah gedung yang ia sewa untuk pernikahan demi mengecoh kita."Aku bergeming. "Kalau begitu pernikahannya ...?"Aku menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran buruk dari kepala. Aku tak ingin memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan terjadi. Tidak sebelum aku membuktikannya."Jalu, apa Kanya tahu kalau kau berusaha merusak acaranya? Apa dia sempat melihatmu? Atau bahkan mata-matanya pernah memergokimu?""Saya pikir itu tidak mungkin, Bu Mira. Karena saya sudah sangat berhati-hati melakukannya. Termasuk membayar orang-orang yang saya percayai."Aku mengusap wajah dengan kasar, membenarkan letak hijab yang sudah tak karuan bentuknya."Jadi, kau melakukannya dengan bantuan orang lain juga?""Kita tak bisa melakukannya sendiri, Mbak. Untuk masuk ke dalam gedung, kami harus punya akses yang dipegang oleh orang-orang Kanya," ujar Ghea mewakili Jalu berbicara."Kalau begitu, secara tidak langsung kalian telah melakukan persekongkolan dengan orang-orang Kanya?""Y
POV MiraAku menggeleng tak habis pikir, namun juga tak menyalahkan. Mbak Wati berhasil menukar foto dalam gudang itu dengan foto Kanya bersama Mas Haris.Aku tahu, Mbak Wati melakukan hal itu karena terpaksa, dia juga menuruti Kanya karena takut dengan ancaman wanita itu.Untung saja aku sempat memeriksanya. Meski itu harus membuatku tidur hanya beberapa jam saja dan berusaha bangun sepagi ini. Saat langin masih gelap dan adzan subuh belum berkumandang.Aku tahu Kanya pasti merencanakan sesuatu dengan foto ini. Salah satu kemungkinan yang ada dalam pikiranku. Dia tak ingin Mas Haris secara tak sengaja menemukan foto ini dan ingatannya kembali."Wanita itu sangat licik," gumamku dengan tangan terkepal. Meski berusaha keras untuk tak memasukkan hal-hal negatif yang bisa memengaruhi pikiran dan nantinya akan berpengaruh ke janinku. Aku tetap tak bisa mencegahnya.Tingkah Kanya benar-benar sudah di luar batas. Dia dengan keegoisannya berusaha untuk meraih apa yang dia inginkan walau deng
POV Haris"Tuan ... sedang apa?" Aku terpekik kaget, saat melihat Ira tiba-tiba muncul di hadapanku. Segera aku menariknya untuk ikut bersembunyi di balik meja karena pekikanku tadi, mungkin sedikit terdengar oleh Kanya dan Mbak Wati."Kenapa kita bersembunyi, Tuan?" tanya Ira sesaat setelah kami terdiam cukup lama dalam keadaan saling bertatapan. Aku bergeming, tidak mungkin kujelaskan aku sedang menguntit Kanya. Bisa-bisa Ira menaruh curiga padaku. "B--bukan apa-apa sebenarnya. Tadi ada tikus, jadi saya sedikit terkejut.""Benarkah? Di mana? Baru kali ini saya mendengar ada tikus di rumah ini," ucap Ira sembari celingukan."Kamu, kan, baru kerja dua hari. Tidak tahu kalau di rumah ini sering banyak tikusnya."Ira menatapku dengan dua alis saling bertaut. Sepertinya masih cukup bingung. Entahlah, aku tak mengerti apa yang ada di pikirannya saat ini."Sebaiknya kamu kembali ke kamar untuk beristirahat. Kasihan bayi yang ada dalam kandunganmu kalau kau terlalu banyak bergerak ke san
POV Haris"Ira pulanglah, aku yang akan menemani Mas Haris di rumah sakit," ujar Kanya usai beberapa dokter dan perawat yang tadi datang memeriksa keluar dari ruangan."Aku akan pulang," ujarku cepat. "Lagipula kondisiku tak terlalu parah sampai harus dirawat di rumah sakit.""T--tapi Mas, ini juga untuk memastikan kalau kondisi kamu dalam keadaan baik-baik saja. Besok juga sudah hari pernikahan kita, kamu harus dalam keadaan sehat.""Kanya, apa kau lihat kondisiku memburuk?" ucapku penuh penekanan. Wanita berambut lurus itu menggeleng."Kalau begitu aku tetap pulang. Berada di rumah sakit ini juga tak memastikan kalau aku bisa beristirahat dengan baik.""Baiklah kalau begitu aku antar, ya," pinta Kanya sembari hendak memeluk lenganku.Aku menepisnya, tak kupedulikan gerutuan Kanya yang mengganggu telinga. Kulirik Ira yang sedikit terkejut."Ayo Ira, kau juga harus pulang bersama kami."****"Mas berubah!" Aku menoleh, menghela nafas saat menatap Kanya dengan bibir mencebik tengah me
POV HarisRasanya lega, kelegaan yang datang dari hati tanpa terpaksa. Usai kutunaikan kewajibanku sebagai umat muslim, seolah angin sejuk itu datang. Mengguyur dan menyiram rohani hingga ke kalbu."Tak pernah sedamai ini sejak aku bangun usai kecelakaan itu," ucapku sembari menatap sajadah yang masih terbentang. "Aku seolah kehilangan diriku sendiri di tengah hiruk pikuknya masalah."Aku bangkit, merapikan sajadah dan kopiah yang tersimpan di sudut lemari. Tertumpuk oleh banyaknya pakaian dan barang-barangku yang tak terpakai, seperti sudah sangat lama aku meninggalkannya.Aku menatap nanar pada cermin di hadapan. Pada diriku yang tampak tak kukenali. Pandanganku beralih pada dinding di samping.Bekas pigura yang hendak kucari tahu, namun terhenti karena Mbak Wati seperti mencegahku melakukannya. Jujur aku begitu penasaran.Mbak Wati, orang yang kupercaya itu sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Bekas pigura yang kutanyakan padanya itu pasti adalah sesuatu yang ia rahasiakan. Ka
POV HarisAku tak tahu entah apa yang terjadi dengan diriku saat ini. Pertama kali wanita ini datang ke rumah setelah Mbak Wati meminta untuk menambah asisten rumah tangga baru, aku seperti merasakan sesuatu hal yang aneh padanya.Tatapannya, mata itu, meski aku tak mengingatnya sama sekali tapi aku sangat yakin. Ira, adalah sesorang yang kukenal atau dia yang mengenaliku. Karena tatapan itu ... penuh dengan kerinduan.Dan seharusnya, tatapan itu tidak ditujukan padaku orang yang baru dia kenali. Aku yakin ada sesuatu tentang Ira. Awalnya begitu, sampai dia mengatakan hal yang membantahkan pikiranku. Apalagi perkataan Kanya yang membuat perasaanku semakin bimbang.Aku membuka lengan yang menutup mata. Menatap langit-langit kamar. Perasaan asing itu mulai kembali lagi. Ingatan yang bahkan tak kuketahui sekalipun. "Rasanya hampa, seperti ada yang hilang dariku," bisikku sembari menghembuskan nafas perlahan. Pikiranku kacau, tapi aku sama sekali tak bisa tidur. Aku bangkit dari atas r
"Gimana Mbak? Kalau Mbak setuju dengan rencana kami, Jalu akan segera melakukannya. Dia ada di gedung tepat di mana pesta pernikahan Pak Haris dan Kanya akan dilangsungkan."Aku tersenyum, bahkan tanpa lama berpikir atau mempertimbangkan perkataan Ghea, aku segera mengangguk untuk menyetujui perkataannya.Sedikit ekstrim, tapi rasanya hal itu pantas dilakukan karena memang pernikahan Mas Haris dan Kanya tak boleh dilaksanakan. Pernikahan mereka atas dasar kebohongan. Dan aku sebagai istri sahnya tak akan pernah menyetujui hal tersebut, sampai kapanpun!"Lakukan Ghea, katakan pada Jalu untuk melakukan apapun. Semua hal yang bisa membatalkan pernikahan suamiku dengan wanita tak waras itu. Aku mengizinkannya," tukasku seraya menggebu-gebu.Ada emosi yang terasa dalam setiap ucapanku. Yah, tak dipungkiri aku masih merasa marah atas semua hal yang terjadi saat ini. Dan ini semua terjadi setelah Kanya masuk dalam hidup kami."Mbak tenang saja, Jalu berada di pihak Mbak. Dia juga sangat seti