"Kamu kenal dengan Jalu, Ghe?"Ghea tersentak saat bahunya kusentuh, ia menoleh."Huwaaa Mbak Mira!" teriaknya kaget sembari mundur dua langkah hingga membuatku kebingungan. Memangnya kehadiranku serupa hantu, hingga dia berlebihan seperti itu?"Maaf Mbak, Ghea cuma kaget," ucapnya setelah menguasai diri. Ia terkekeh pelan sembari membenarkan letak hijabnya."Kamu belum jawab pertanyaan Mbak tadi loh, Ghe.""Oh, tentang Jalu Mbak? Ghea kenal waktu di pasar. Anaknya ramah, rajin dan ganteng juga, jadi ....""Pasar?" tanyaku memotong perkataannya. Ghea mengangguk membenarkan.Kalau pasar yang dimaksud Ghea adalah pasar yang sama dengan pasar tempat Mas Haris biasanya berjualan tahu. Itu berarti keduanya sudah saling mengenal melihat bagaimana Ghea mengenal Jalu dan Mas Haris juga mengenal Jalu.Tak aneh melihat interaksi keduanya yang kupikir seperti dua orang yang sudah mengenal cukup lama. Hanya saja ada beberapa momen dimana Mas Haris dan Ghea malah seperti sedang pura-pura tidak
"Ibu," panggilku setelah sampai di halaman depan. "Ghea Mira yang undang untuk berbuka bersama di sini, jadi biarkan Ghea masuk bersama Bagus dan Caca." Ibu menatapku sinis, ia beralih menatap Ghea."Kamu kalau miskin jangan sok, cuman masak makanan begitu aja pakai undang orang lain segala, gak malu?"Aku terkesiap mendengar penuturan Ibu, kulihat Ghea yang sepertinya juga terkejut. Mungkin ini kali pertamanya mendengar ucapan kasar seroang Ibu kepada anaknya."Saya suka masakan Mbak Mira, Wak. Saya juga sering makan di sini. Masakan Mbak Mira itu enak-enak, gak yang gitu-gitu aja. Memangnya Uwak belum pernah nyoba makanan anak Uwak sendiri?"Ghea tiba-tiba membalas perkataan Ibu, ia sepertinya tidak sungkan. Hal ini jadi mengingatkanku saat aku dan Dewi berseteru dan dia datang menolongku."Uwak? Seenaknya saja kamu manggil saya begitu. Lagian kamu cuma tetangga, tahu apa sih?""Lah, saya manggil Mbak Mira dengan sebutan Mbak, kalo ke Uwak dengan sebutan Tante gak cocok dong.""Kam
Aku menggeleng, mendekat ke arah Bapak sembari mengusap bulir demi bulir air mata yang jatuh di pipinya."Bapak ini bicara apa? Kenapa malah minta maaf?" ucapku dengan suara bergetar. "Bapak di sini saja, ya, tunggu Mira pulang!"Bapak mengangguk, air matanya masih mengalir. Aku keluar dari kamar, sekilas menatap Ibu yang sedang asik menggonta-ganti saluran televisi dengan kaki naik ke atas.Helaan nafas berat keluar dari mulutku. Melihat reaksi Bapak yang meminta maaf penuh penyesalan tadi kupikir Bapak mungkin menyesal atas tindakannya dahulu padaku dan Mas Haris.Harta yang ia agung-agungkan dan anak serta menantu yang dahulu ia bangga-banggakan kini habis tak bersisa hilang entah ke mana. Yang ada hanyalah penyesalan.Aku memang pernah tak suka dengan perlakuan Bapak kepada Mas Haris. Terlalu membeda-bedakan memang. Suamiku hanyalah tukang tahu, aku tahu itu. Namun, saat keadaan terpuruk begini bukankah Mas Haris yang selalu ada di samping Bapak? Kupikir itu penyesalannya hingga
Aku sampai di depan rumah dan pintu dalam keadaan terbuka lebar. Tak ada suara televisi yang terdengar, membuatku mempercepat langkah masuk ke dalam rumah.Tak ada Ibu di ruang tamu, aku beranjak mencarinya di dapur dan kamar tamu tapi Ibu tak ada di manapun. Bahkan di kamar mandi juga tidak ada. Hanya satu ruangan yang belum kucari, kamarku sendiri.Aku membuka pintu, dengan mata terbelalak, terkejut saat melihat Bapak tergeletak di lantai dan suasana kamar yang sangat berantakan. Pakaianku dan Mas Haris habis berserakan berikut dengan laci-laci nakas dan lemari yang terbuka lebar."Astagfirullah Bapak, apa yang terjadi?" ujarku kalang kabut, kucampakkan nasi yang baru saja kubeli di atas lantai. Aku buru-buru mengangkat tubuh Bapak naik ke atas kasur dengan susah payah.Bapak terlihat gemetaran, mulutnya yang miring dengan tangan tertekuk bergerak-gerak ingin mengatakan sesuatu. "Pelan-pelan, Bapak! Tarik nafas dulu!" Aku menahan keinginan menggebunya yang berusaha menjelaskan situ
"Mas, dapat uang sebanyak itu dari mana? Kenapa bisa mengambil rumah ibu kembali?"Mas Haris tampak terkejut dengan pertanyaanku, namun ia tersenyum setelahnya."Tabungan Mas, Mas menggunakannya untuk itu, jadi ....""Mas jangan berbohong!" ucapku keras sembari menatap ke manik matanya. Mas Haris cukup terkejut dengan respon yang kuberikan barusan. "Bohong bagaimana? Mas memang menggunakan uang tabungan Mas, sengaja agar Ibu dan Bapak punya tempat tinggal lagi. Mas tahu kamu cukup kerepotan dengan kehadiran Ibu, jadi Mas ingin meringankan beban kamu, sayang."Aku menggeleng. "Mira tidak ingin mengatakan hal ini, tapi Mas cuma tukang tahu, dapat uang dari mana sebanyak itu untuk menebus rumah Ibu? Mira yakin kalau rumah Ibu harganya tidak murah. Mira curiga, sebenarnya ada yang Mas sembunyikan dari Mira, kan?""Sembunyikan apa, dik?" Mas Haris menatap sekeliling. Ia kini menarikku masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. "Sebaiknya kita bicara di dalam, tidak enak didengar tetangga ka
Aku mondar mandir di halaman rumah. Bingung harus berbuat apa, karena sampai jam menunjukkan pukul delapan pagi Mas Haris belum juga pulang ke rumah.Sementara Bagus dan Caca tengah bersama Bapak di kamar. Aku menatap khawatir untuk kesekian kalinya pada ponsel di tangan yang belum juga menunjukkan tanda-tanda Mas Haris menelpon atau bahkan mengirim pesan."Ya Allah, sebenarnya kamu mencari Ibu sampai ke mana, Mas?" ucapku sembari memegangi kepala. Hijabku bahkan sudah miring-miring namun tak lagi kupedulikan."Assalammu'alaikum!"Aku tersentak kaget, mengira itu Mas Haris kucampakkan saja ponsel di tangan ke atas meja. Berlari menuju pintu depan dan bingung saat melihat seorang lelaki asing berpakaian rapi yang datang."Wa'alaikumussalam, cari siapa ya?"Laki-laki tampak bingung saat melihatku. Tangannya menggenggam sebuah map yang sangat kukenali."Maaf, apakah ini rumah Ibu Sri Suriyani?" tanyanya mengucapkan nama ibu. "Itu Ibu saya, sebenarnya ada perlu apa, ya?""Saya kemarin me
Aku menggeleng, tak bisa lagi mengabaikan hal ini. Foto sekaligus berkas itu kusimpan kembali dalam koper. Aku beranjak dari dalam kamarku menuju kamar tamu tempat Bapak, Caca dan Bagus berada. Semua yang ada dalam diri Mas Haris terlalu janggal untuk dibiarkan begitu saja.Dia tahu aku telah dilecehkan oleh David namun tetap diam saja. Dan Mas Haris menghilang satu hari setelah memberitahukanku kalau ia mengambil tahu di tempat Koh Andri kala itu. Lalu tiba-tiba saja saat Mas Haris pulang, David sudah dalam penahanan karena kasus pabriknya.Tentu ini bukan kebetulan belaka, terlalu aneh untuk disebut demikian. Lalu tentang beberapa kamera yang Mas Haris pasang di rumah, sungguh membuatku penasaran setengah mati. Melihat kebohongannya aku jadi meragukan profesi Mas Haris sekarang.Benarkah Mas Haris cuma penjual tahu? Mengingat selama ini aku selalu dilarang untuk mendatangi tempat kerjanya dengan alasan jauh dari rumah. Lalu kurva saham? PT. Adiwangsa yang kulihat dalam berkas itu t
Rasa pusing menjalar kepala. Alisku bertaut sembari mengerjapkan mata, begitu melihat sekeliling baru kusadari aku tengah berada di sebuah mobil dengan dua orang lelaki di kiri kananku.Apa-apaan ini?Aku berusaha bergerak, namun tanganku tenyata terikat, mulutku juga tersumpal dengan kain hingga membuat suaraku tertahan. Kuperhatikan dua orang yang tak menyadari kalau aku sudah sadar.Ada tiga orang di mobil ini, satu orang supir, dan dua orang berada di kanan dan kiriku. Dan ketiganya asing, tidak kuketahui siapa. Aku hanya ingat terakhir kali sebelum aku berakhir di sini aku dipanggil sesorang yang tak kukenali.Dia hanya berlari kearahku dengan sebuah sapu tangan dan aku tak sadarkan diri setelahnya. Sepertinya orang itu adalah salah satu, dari dua orang yang ada di mobil ini.Namun, yang tidak kumengerti adalah, apa maksud orang-orang ini tiba-tiba membawaku pergi. Memangnya apa salahku hingga mereka membawaku? Aku berusaha melepaskan ikatan yang terjalin di belakang tangan. Sem