Aku melongo, tak percaya. Pernyataan Ghea seketika membuatku seketika kehilangan kata-kata. Mas Haris seorang konglomerat? Itu seperti lelucon, aku tak bisa mempercayainya.Beberapa saat kemudian aku tertawa keras sekali sembari memukul pundaknya pelan. Membuat sudut mataku berair dan dengan cepat mengusapnya dengan ujung hijab."Kamu bercanda Ghea? Jangan sampaikan lelucon seperti itu. Aku memang yakin Mas Haris tidak berjualan tahu tapi suamiku tidak mungkin seorang .... "Sejenak aku terdiam. Tunggu! Merasa ada yang aneh. Potongan kejadian dalam kepalaku yang selama ini selalu mengganjal pikiran sejenak mulai tersusun satu demi satu.Tentang pernyataan tukang tahu di pasar yang sama sekali tak mengenali Mas Haris. Tentang foto-foto David dan berkas bertuliskan Adiwangsa yang kutemukan dalam koper pagi tadi. Tentang cincin yang dikatakan Viola harganya mencapai lima ratus juta dan aku tak mempercayainya. Tentang mobil mewah yang dikendarai Mas Haris dengan Jalu.Kini fakta-fakta itu
"Ayo Mbak!" ajak Ghea tiba-tiba bangkit dari duduknya membuat aku mendongak, menatapnya bingung."Mau ke mana?""Ck .... " Ghea memutar matanya, menyilangkan tangan di depan dada. "Kan, tadi Ghea bilang mau ngantar Mbak ke tempat Pak Haris, masa Mbak lupa?""Sekarang?"Ghea mengangguk, tersenyum lebar. "Ayo! Ghea baru saja dapat informasi kalau rapat Pak Haris telah selesai.""Informasi? Tapu Mbak gak lihat kamu ditelpon atau menelpon seseorang.""Gak perlu pakai telpon Mbak, Ghea udah pasang earphone yang terhubung dengan Jalu sedari tadi sebenarnya." Ghea menunjuk kedua telinganya. Jadi, ayo, sekarang kita pergi!""Tapi Ghea, aku ....""Ah, gak pakai tapi-tapi. Udah ayo, Mbak!" Ghea menarik tanganku cepat, membuatku duduk di boncengan dan kami melesat pergi begitu saja dengan motor besarnya.Motor Ghea membawa kami pergi menuju gedung tinggi yang tadi ditunjuknya. Adiwangsa Grup.Seumur hidup aku tak pernah masuk ke dalam gedung-gedung besar berisi karyawan yang bekerja seperti ini
Aku dan Mas Haris berjalan keluar dari ruangannya beriringan. Ada Ghea dan beberapa karyawan yang membungkukkan badan dengan hormat saat kami keluar."Saya akan pergi keluar sebentar Ghea, kalau ada apa-apa tolong hubungi Jalu, ya! Tadi dia keluar sebentar.""Siap Pak." Ghea tersenyum lebar, menatapku sekilas. "Siap Bu Mira." Menggodaku kemudian.Aku mengibaskan tangan di depan wajah. "Tidak perlu panggil Ibu, Ghea, panggil saja Mbak seperti biasa," ucapku sembari terkekeh."Tidak bisa begitu, kalau sedang bersama Pak Haris saya gak mungkin panggil Ibu dengan sebutan Mbak, bisa dipecat saya. Iya, kan, Pak Haris.""Terserah kamu Ghea, sesukamu saja mau panggil bagaimana," ucap Mas Haris ramah padanya. Aku menatap kedua orang itu yang saling melempar candaan dengan akrab, selayaknya dua saudara kandung. Setidaknya itu hubungan yang kulihat antara Ghea dan Mas Haris.Ah, aku jadi merasa malu karena sempat memikirkan hubungan yang tidak-tidak antara keduanya. Apalagi sempat berpikiran ka
"Bagus, Caca!" panggilku membuat perseteruan itu seketika terhenti. Orang-orang yang ada di sana seketika terperangah saat aku dan Mas Haris keluar dari dalam mobil termasuk Bapak.Pandangan mereka terarah pada mobil yang baru kami naiki dan setelan jas yang Mas Haris pakai. Mungkin membuat banyak tanda tanya di kepala beberapa tetanggaku saat ini. Hal sama yang kurasakan saat pertama kali tahu rahasia besar yang Mas Haris sembunyikanAku menghampiri bocah lelaki yang sedang memeluk adiknya itu. Matanya memerah seperti hampir menangis, di sampingnya Bapak duduk di kursi roda dengan tubuh gemetaran."Ada apa ini, Pak," tanyaku dengan raut kesal pada lelaki asing yang tadi pagi datang. Wajahnya tadi mengeluarkan raut permusuhan, namun saat melihat Mas Haris wajahnya marahnya berubah melunak."Wah Pak Haris, apa yang anda lakukan di sini?"Alisku bertaut, menyadari perubahan wajahnya yang tadi tampak marah kini berubah ramah secara tiba-tiba. Kutatap Mas Haris yang tampak bingung, seper
"Mas serius dengan perkataan Mas tadi?" tanyaku sesaat setelah kami semua masuk ke dalam mobil dan melaju pergi meninggalkan rumah.Mas Haris menoleh sekilas dan menatapku, setelahnya ia mengalihkan pandangan ke depan."Tentu saja tidak, Dik, Mas masih punya hati. Yang Mas lakukan hanyalah mencoba untuk menggertaknya tadi."Aku bernafas lega, setelahnya mengurut dada. Kupikir setelah rahasia Mas Haris terbongkar kepribadiannya pun juga turut berubah. Tenyata aku salah, Mas Haris tetap sama seperti dulu. Lelaki baik hati yang memenangkan hatiku"Kita sudah sampai." Perkatan Mas Haris sontak membuatku menatap tempat di mana kami berada saat ini. Larut dalam pikiran membuatku tak sadar kalau kami sudah mengemudi cukup lama.Aku terperangah saat melihat rumah tiga tingkat di hadapanku dengan mata terbelelak. Rumah berwarna merah dengan ukiran berwarna emas itu begitu besar, berpuluh kali lebih besar dari rumahku yang dulu. Tinggi ke atas, memanjang ke samping, membuatku tak bisa berkata a
Beberapa hari kulewatkan dengan tinggal di rumah bak istana ini. Hidupku berubah, gaya hidupku juga berubah keseluruhan. Aku sudah seperti ratu yang semua kebutuhan harus dilayani.Aku sudah tak pernah memasak, apalagi masuk ke dalam dapur, bahkanmenyapu rumah dan halaman. Semua sudah ada yang mengatur dan setiap pekerjaan dilakukan oleh pelayan yang berbeda. Terkadang malah membuatku tak nyaman karena aku tidak melakukan apa-apa di rumahku sendiri.Yang paling berbeda adalah penampilanku dan seluruh barang-barangku telah berubah menjadi ber-merk brand-brand ternama kalangan atas. Menurutku ini terlalu berlebihan, namun Mas Haris menganggap itu hal yang lumrah. Aku bisa apa selain menerimanya.Namun, diantara semua perubahan ini. Yang paling mencolok saat aku melihat tingkah laku Bagus dan Caca yang banyak berubah. Awalnya mereka memang senang karena Mas Haris terus membelikan mereka mainan dan pakaian bagus. Tapi dua hari terakhir, kulihat diam-diam Bagus menangis.Adiknya Caca, juga
"I--ini Kak Ita ...," ucapku lirih.Aku memutar ulang video yang sudah ditonton oleh ribuan orang itu. Tampak beberapa wanita sedang menarik rambut dan memukuli wanita yang berada di tengah-tengah mereka. Hal itu dipertontonkan di depan umum. Semua orang menyoraki dan menyumpahi wanita tersebut.Parahnya, yang membuatku hampir menangis adalah aku mengenal dekat wanita yang disebut sebagai pelakor itu. Kak Ita, aku mengenali dari perawakannya. Wanita itu benar-benar kakakku.'Lucuti saja pakaiannya biar tahu malu dia!''Ndak pantas kamu hidup! Lebih baik kamu mati aja!'Aku terkesiap, cepat kotolehkan kepala menatap Ghea."Di mana video ini diambil Ghe?" tanyaku panik apalagi saat mendengar jeritan tak berdaya Kak Ita yang menyayat hati.Ah, aku tak bisa membiarkan hal ini. Meski Kak Ita sudah berbuat salah, ia tak pantas mendapatkan hal hina semacam ini. Lagipula media sosial itu kejam. Bagaimana jika video Kak Ita dilihat oleh Bagus dan Caca?Tidak! Sebagai tantenyaa aku tak bisa me
"Kak Ita," panggilku lirih membuatnya membeku sejenak. Ia tampak menggeleng, melepaskan tanganku dari tangannya membuatku terpaku sejenak. Setelahnya Kak Ita mundur dua langkah, menjauh dariku."K--kamu salah orang," ucapnya terbata, perlahan berbalik dan berjalan pergi. Aku terkesiap, tak mengerti, jelas-jelas aku mengenalinya. Dia benar-benar Kak Ita yang kukenal.Aku beranjak mengejar, menarik tangan Kak Ita hingga ia berbalik menatapku."Kak, ini aku Mira!" seruku membuatnya mengalihkan pandangan dengan tatapan suram."Aku bukan Ita!""Kakak sebenarnya kenapa? Ini aku Mira, kak, adik kakak.""Aku tidak ingat," ucap Kak Ita dengan suara pedih. Meski ia bersikeras aku tahu ia tengah berbohong. Suaranya tampak terisak di tengah suara air hujan yang turun semakin deras."Kak, ada apa denganmu? Jangan pura-pura lupa! Sejak kakak pergi, kakak gak pernah kembali lagi. Mas Haris sudah melupakan kejadian motor itu, pulanglah kak bersama kami.""Wanita baik-baik tidak akan punya kakak seor
POV Haris"Mas," panggil Kanya membuatku menoleh. Tanpa sadar sedari tadi selama duduk di kursi, aku hanya melamun tanpa terganggu dengan lalu lalang orang yang lewat dan pesta dengan banyak orang ramai ini.Lagipula, tak ada satupun yang aku kenal di pesta ini. Semua yang menyalamiku hanya memberikan ucapan selamat sebagai basa-basi. Tak ada yang dikenal dekat kecuali satu orang yang sedari tadi membuatku kepikiran. Seseorang itulah yang membuat pikiranku sedikit kacau dan banyak melamun sejak tadi.Pak Fadlan, lelaki paruh baya dan kata-katanya sangat membuatku kepikiran. Rasanya tak mungkin orang biasa bisa seberani itu mengutarakan hal yang menurutku sedikit tidak sopan."Semuanya hanyalah tipu muslihat, Haris. Saya tak bisa berbuat banyak. Wanita itu telah melakukan banyak hal untuk merenggut hampir seluruh hidupmu. Yang bisa kulakukan hanya berdoa semoga ingatanmu cepat pulih karena yang kau lakukan saat ini adalah sebuah kesalahan besar."Wanita mana yang Pak Fadlan maksud? Seme
POV HarisAwalnya kupikir memang ada yang disembunyikan oleh Kanya. Namun, saat melihat isi dalam gudang di halaman belakang pagi ini dengan rasa penasaran yang begitu menggebu, akhirnya aku tahu kalau Kanya memang tak menyembunyikan apapun.Tak ada apa-apa di sana. Hanya barang rongsokan berdebu yang disusun acak. Kecurigaanku sama sekali tak terbukti. Mungkin Kanya dan Mbak Wati hanya sedang berbicara serius tentang suatu hal hingga harus pergi ke halaman belakang, di mana tak ada orang.Aku menghela nafas, perasaan bersalah itu kembali menyelimuti. Entah benarkah ini, aku selalu berprasangka buruk pada Kanya."Tak ada jejak apapun yang membuktikan prasangkaku," ucapku menelisik sekali lagi isi ruangan yang berdebu tersebut. Lantas berbalik dan pergi keluar dari gudang belakang.Sesampainya di kamar, aku menemukan beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Kanya. Tanpa pikir panjang aku segera menelponnya kembali."Ada apa?""Kamu gak lupa hari ini acara kita, kan, Mas?" tanya Ka
POV Mira"Dia mengubah gedung yang ia sewa untuk pernikahan demi mengecoh kita."Aku bergeming. "Kalau begitu pernikahannya ...?"Aku menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran buruk dari kepala. Aku tak ingin memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan terjadi. Tidak sebelum aku membuktikannya."Jalu, apa Kanya tahu kalau kau berusaha merusak acaranya? Apa dia sempat melihatmu? Atau bahkan mata-matanya pernah memergokimu?""Saya pikir itu tidak mungkin, Bu Mira. Karena saya sudah sangat berhati-hati melakukannya. Termasuk membayar orang-orang yang saya percayai."Aku mengusap wajah dengan kasar, membenarkan letak hijab yang sudah tak karuan bentuknya."Jadi, kau melakukannya dengan bantuan orang lain juga?""Kita tak bisa melakukannya sendiri, Mbak. Untuk masuk ke dalam gedung, kami harus punya akses yang dipegang oleh orang-orang Kanya," ujar Ghea mewakili Jalu berbicara."Kalau begitu, secara tidak langsung kalian telah melakukan persekongkolan dengan orang-orang Kanya?""Y
POV MiraAku menggeleng tak habis pikir, namun juga tak menyalahkan. Mbak Wati berhasil menukar foto dalam gudang itu dengan foto Kanya bersama Mas Haris.Aku tahu, Mbak Wati melakukan hal itu karena terpaksa, dia juga menuruti Kanya karena takut dengan ancaman wanita itu.Untung saja aku sempat memeriksanya. Meski itu harus membuatku tidur hanya beberapa jam saja dan berusaha bangun sepagi ini. Saat langin masih gelap dan adzan subuh belum berkumandang.Aku tahu Kanya pasti merencanakan sesuatu dengan foto ini. Salah satu kemungkinan yang ada dalam pikiranku. Dia tak ingin Mas Haris secara tak sengaja menemukan foto ini dan ingatannya kembali."Wanita itu sangat licik," gumamku dengan tangan terkepal. Meski berusaha keras untuk tak memasukkan hal-hal negatif yang bisa memengaruhi pikiran dan nantinya akan berpengaruh ke janinku. Aku tetap tak bisa mencegahnya.Tingkah Kanya benar-benar sudah di luar batas. Dia dengan keegoisannya berusaha untuk meraih apa yang dia inginkan walau deng
POV Haris"Tuan ... sedang apa?" Aku terpekik kaget, saat melihat Ira tiba-tiba muncul di hadapanku. Segera aku menariknya untuk ikut bersembunyi di balik meja karena pekikanku tadi, mungkin sedikit terdengar oleh Kanya dan Mbak Wati."Kenapa kita bersembunyi, Tuan?" tanya Ira sesaat setelah kami terdiam cukup lama dalam keadaan saling bertatapan. Aku bergeming, tidak mungkin kujelaskan aku sedang menguntit Kanya. Bisa-bisa Ira menaruh curiga padaku. "B--bukan apa-apa sebenarnya. Tadi ada tikus, jadi saya sedikit terkejut.""Benarkah? Di mana? Baru kali ini saya mendengar ada tikus di rumah ini," ucap Ira sembari celingukan."Kamu, kan, baru kerja dua hari. Tidak tahu kalau di rumah ini sering banyak tikusnya."Ira menatapku dengan dua alis saling bertaut. Sepertinya masih cukup bingung. Entahlah, aku tak mengerti apa yang ada di pikirannya saat ini."Sebaiknya kamu kembali ke kamar untuk beristirahat. Kasihan bayi yang ada dalam kandunganmu kalau kau terlalu banyak bergerak ke san
POV Haris"Ira pulanglah, aku yang akan menemani Mas Haris di rumah sakit," ujar Kanya usai beberapa dokter dan perawat yang tadi datang memeriksa keluar dari ruangan."Aku akan pulang," ujarku cepat. "Lagipula kondisiku tak terlalu parah sampai harus dirawat di rumah sakit.""T--tapi Mas, ini juga untuk memastikan kalau kondisi kamu dalam keadaan baik-baik saja. Besok juga sudah hari pernikahan kita, kamu harus dalam keadaan sehat.""Kanya, apa kau lihat kondisiku memburuk?" ucapku penuh penekanan. Wanita berambut lurus itu menggeleng."Kalau begitu aku tetap pulang. Berada di rumah sakit ini juga tak memastikan kalau aku bisa beristirahat dengan baik.""Baiklah kalau begitu aku antar, ya," pinta Kanya sembari hendak memeluk lenganku.Aku menepisnya, tak kupedulikan gerutuan Kanya yang mengganggu telinga. Kulirik Ira yang sedikit terkejut."Ayo Ira, kau juga harus pulang bersama kami."****"Mas berubah!" Aku menoleh, menghela nafas saat menatap Kanya dengan bibir mencebik tengah me
POV HarisRasanya lega, kelegaan yang datang dari hati tanpa terpaksa. Usai kutunaikan kewajibanku sebagai umat muslim, seolah angin sejuk itu datang. Mengguyur dan menyiram rohani hingga ke kalbu."Tak pernah sedamai ini sejak aku bangun usai kecelakaan itu," ucapku sembari menatap sajadah yang masih terbentang. "Aku seolah kehilangan diriku sendiri di tengah hiruk pikuknya masalah."Aku bangkit, merapikan sajadah dan kopiah yang tersimpan di sudut lemari. Tertumpuk oleh banyaknya pakaian dan barang-barangku yang tak terpakai, seperti sudah sangat lama aku meninggalkannya.Aku menatap nanar pada cermin di hadapan. Pada diriku yang tampak tak kukenali. Pandanganku beralih pada dinding di samping.Bekas pigura yang hendak kucari tahu, namun terhenti karena Mbak Wati seperti mencegahku melakukannya. Jujur aku begitu penasaran.Mbak Wati, orang yang kupercaya itu sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Bekas pigura yang kutanyakan padanya itu pasti adalah sesuatu yang ia rahasiakan. Ka
POV HarisAku tak tahu entah apa yang terjadi dengan diriku saat ini. Pertama kali wanita ini datang ke rumah setelah Mbak Wati meminta untuk menambah asisten rumah tangga baru, aku seperti merasakan sesuatu hal yang aneh padanya.Tatapannya, mata itu, meski aku tak mengingatnya sama sekali tapi aku sangat yakin. Ira, adalah sesorang yang kukenal atau dia yang mengenaliku. Karena tatapan itu ... penuh dengan kerinduan.Dan seharusnya, tatapan itu tidak ditujukan padaku orang yang baru dia kenali. Aku yakin ada sesuatu tentang Ira. Awalnya begitu, sampai dia mengatakan hal yang membantahkan pikiranku. Apalagi perkataan Kanya yang membuat perasaanku semakin bimbang.Aku membuka lengan yang menutup mata. Menatap langit-langit kamar. Perasaan asing itu mulai kembali lagi. Ingatan yang bahkan tak kuketahui sekalipun. "Rasanya hampa, seperti ada yang hilang dariku," bisikku sembari menghembuskan nafas perlahan. Pikiranku kacau, tapi aku sama sekali tak bisa tidur. Aku bangkit dari atas r
"Gimana Mbak? Kalau Mbak setuju dengan rencana kami, Jalu akan segera melakukannya. Dia ada di gedung tepat di mana pesta pernikahan Pak Haris dan Kanya akan dilangsungkan."Aku tersenyum, bahkan tanpa lama berpikir atau mempertimbangkan perkataan Ghea, aku segera mengangguk untuk menyetujui perkataannya.Sedikit ekstrim, tapi rasanya hal itu pantas dilakukan karena memang pernikahan Mas Haris dan Kanya tak boleh dilaksanakan. Pernikahan mereka atas dasar kebohongan. Dan aku sebagai istri sahnya tak akan pernah menyetujui hal tersebut, sampai kapanpun!"Lakukan Ghea, katakan pada Jalu untuk melakukan apapun. Semua hal yang bisa membatalkan pernikahan suamiku dengan wanita tak waras itu. Aku mengizinkannya," tukasku seraya menggebu-gebu.Ada emosi yang terasa dalam setiap ucapanku. Yah, tak dipungkiri aku masih merasa marah atas semua hal yang terjadi saat ini. Dan ini semua terjadi setelah Kanya masuk dalam hidup kami."Mbak tenang saja, Jalu berada di pihak Mbak. Dia juga sangat seti