"Mama!"Aku dan Kak Ita sontak menoleh mendengar suara itu. Bagus dan Caca berlari menuruni tangga dengan langkah tergesa. Masing-masing dari mereka menitikkan air mata. Memeluk Kak Ita dengan penuh haru. Rindu sekali tampaknya hingga membuatku juga hampir menangis. "Mama, kenapa lama sekali baru pulang?" ucap Bagus sembari menyeka air matanya yang mengalir. Kak Ita menghapus air mata bocah itu dengan Ibu jari. Bibirnya rapat tak mampu berkata. Aku tahu itu sangat berat."Maafkan Mama Bagus.""Caca rindu Mama." Bocah perempuan berusia tiga tahun itu memeluk Kak Ita erat seolah tak ingin melepaskan lagi.Kak Ita memeluk keduanya dengan sayang masih dengan tangisan. Tatapannya kini bertemu denganku. Aku tersenyum simpul, menyadarkannya.Kalau ia tak mau ikut denganku tadi entah berapa lama Bagus dan Caca akan menahan kerinduan mereka kembali. Karena belum tentu aku akan menemukan Kak Ita lagi.***"Kak Ita sudah ketemu?" tanya Mas Haris dengan mata membulat tak percaya. Aku mengangguk
"Ibu," ucapku, membuat wanita itu menoleh.Kami bertatapan sejenak. Meski wajah itu terlihat berbeda namun guratan-guratan wajah yang sangat kukenali itu tak membuatku salah mengira.Itu Ibu, benar-benar Ibu.Ibu tampaknya terkejut akan kehadiranku yang tiba-tiba. Wajahnya pias dan pucat pasi. Lantas, tanpa mengatakan apapun dia pergi begitu saja. Meninggalkanku, meninggalkan kepala kostum badutnya yang tertinggal begitu saja di bawah tiang."Ibu!" panggilku kuat, berusaha mengejarnya sedapat mungkin. Lalu lalang orang yang cukup ramai di trotoar jalanan ini membuatku kesulitan menggapai Ibu. Susah payah aku meminta orang untuk menyingkir. Beberapa menggerutu, yang lainnya penasaran melihatku berlari di tengah panas terik seperti ini."Ibu!" panggilku sekali lagi. Namun Ibu tak kunjung berhenti. Larinya semakin cepat membuat aku kewalahan. Hingga lalu lalang orang semakin ramai. Jam-jam makan siang dan istirahat kerja di area perkantoran membuat ramai jalanan.Aku kehilangan jejak Ibu
"Lalu, Kakak selama ini diam saja?""Kakak bingung harus melakukan apa, Mira. Kakak kalut saat itu karena Kakak juga dirundung masalah. Tentang Dirga yang tak bisa Kakak hubungi selama berhari-hari. Kakak juga punya masalah dan ... mengabaikan hal itu," jelas Kak Ita sembari menunduk. Wajahnya menyiratkan penyesalan yang berarti.Aku berdecak, lantas menggeleng. Memengangi kepala yang berdenyut. Tiba-tiba pusing melanda tubuhku. Pandanganku tampak berkunang-kunang sekarang.Entah karena mendengar berita barusan atau karena kondisi tubuhku yang sedang tidak vit sekarang. Entahlah, aku benar-benar tak punya tenaga."Lelaki yang pergi bersama Ibu, kakak tahu dia adalah seorang tukang sewa kostum badut. Entah kenapa Ibu bisa kepincut dirinya. Laki-laki itu masih muda dan ... Mira, kamu baik-baik saja?"Kak Ita menatapku lekat, berusaha melihat wajahku yang tertutup dengan tangan karena rasa pusing yang mendera. Aku memejam sejenak, terasa berdiriku sedikit limbung."Mira kau sakit? Ayo k
Ibu sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, tapi masih belum sadar. Aku dengan setia duduk sembari menunggunya. Mengingatkanku pada kejadian yang telah lalu saat aku juga berada di rumah sakit dan menunggui Ibu.Namun, kali ini berbeda.Jika saat itu Ibu terus saja mengomeliku di ruangan. Kini suasana sangat sepi. Tak ada ocehan kasar dari Ibu. Tak ada Ibu yang lagi marah-marah padaku. "Mbak."Aku menoleh, menatap Ghea dengan pandangan sayu. Ia duduk menunggu bersamaku. Sementara Kak Ita pulang sebentar ke rumah untuk mengurus Bagus serta Caca. Mas Haris pergi untuk melihat si lelaki yang sudah memukuli Ibu. Hanya Ghea yang menemaniku saat ini. Ah, waktu itu juga begitu."Kenapa Ghe? Kau lelah? Pulanglah dahulu, biar Mbak saja yang ada di sini."Gadis itu menggeleng, wajahnya tampak khawatir menatapku. "Bukan Ghea yang lelah, sepertinya Mbak yang begitu. Wajahnya Mbak pucat sekali. Apa gak sebaiknya Mbak pulang dan beristirahat? Mbak sepertinya sakit." Ghea mengulurkan tangannya meny
Aku pulang ke rumah, sementara Ghea menyanggupi untuk berjaga di rumah sakit. Setelah sahur tadi, tubuhku terasa lelah dan pusing berkepanjangan. Sementara Mas Haris pergi ke kantor karena ada meeting dengan klien penting siang ini.Sekilas, sebelum aku masuk ke dalam kamar kuhampiri kamar Bapak yang berada di lantai satu. Begitu aku membuka pintu kulihat Bapak tengah duduk di atas kursi rodanya sembari menatap taman di samping rumah dari jendela.Pengobatan yang dilakukan oleh dokter pribadi Mas Haris telah membuahkan hasil cukup banyak. Setidaknya Bapak sudah bisa bicara dengan jelas walaupun masih terbata-bata."Bapak," panggilku pelan membuat Bapak menoleh. Ia tersenyum menatapku. Aku duduk tepat di sampingnya."Sedang apa?""Lihat-lihat," ucap Bapak terbata. Aku menggenggam tangannya erat. Sejenak terdiam untuk beberapa saat. Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepalaku. Apalagi saat terbayang wajah Ibu yang sedang berada di rumah sakit.Bapak, selama ini tak pernah menunjukkan pe
Begitu sampai di rumah sakit aku menemukan Jalu dan Ghea sedang duduk bersama. Begitu kami tiba di hadapan kedua orang itu, keduanya langsung berdiri."Maaf Pak Haris tadi saya minta bantuan Jalu untuk ganti berjaga karena harus pulang sebentar.""Tidak apa-apa.""Seharusnya kamu bilang Mbak, Ghe. Mbak jadi tidak enak.""Gak apa-apa Mbak, sudah tugas kami," ucap Jalu pelan sembari tersenyum. Aku balas tersenyum menatapnya. Pertemuan kami yang hanya sebentar membuatku tak terlalu mengenal Jalu walau ia adalah tangan kanan Mas Haris.Aku kini mengalihkan pandangan pada Ghea. Menurutku ini juga karena gender kami. Aku lebih dekat dengan Ghea yang notabenenya sama-sama perempuan."Di mana Ibu Mbak, Ghe? Kenapa tidak menjaganya di ruangan?""Ah, tadi setelah Ibu Mbak sadar. Saya dan Jalu segera memanggil dokter untuk melihat perkembangan kesehatan Ibu, Mbak. Sekarang sedang diperiksa. Oh, sudah selesai sepertinya."Ucapan Ghea beriringan dengan pintu ruangan kamar rawat inap Ibu terbuka. S
Aku senyum-senyum sendiri saat tahu pemikiranku ternyata benar. Ghea salah tingkah, begitu Mas Haris dan Jalu datang setelah pulang dari kantor ia sama sekali tak mau melihatku bahkan Jalu sekalipun. Cenderung cuek tapi aku tahu dia benar-benar suka."Kenapa?"Aku menoleh, masih tersenyum, kini aku bersama Mas Haris berada dalam mobil hendak pulang ke rumah. Ibu tertidur cukup lama dan aku meminta Jalu serta Ghea untuk pulang dan beristitahat. Meminta salah satu perawat untuk sesekali melihat kondisi ibu.Kasihan juga dengan keduanya yang terus-terusan menunggu Ibu padahal aku tahu keduanya cukup sibuk dengan kerjaan masing-masing."Apanya yang kenapa, Mas?" Balik kutanya, tidak jelas apa yang Mas Haris tanyakan padaku."Senyum-senyum sendiri?" tanya Mas Haris lagi sembari menoleh sekilas, setelahnya ia fokus pada jalanan di depan sana."Oh, teringat Ghea, lucu dia.""Lucu kenapa?"Aku terdiam sesaat, setelahnya merubah posisi sedikit miring menghadap Mas Haris. "Mas selama ini kerja
Kami kalut luar biasa, bahkan sstelah mendengar suara dari telepon itu kami semua sama sekali tak bergerak dari tempat. Aku melirik Mas Haris yang tampak gelisah sembari mengotak-atik ponselnya.Pandanganku beralih pada Kak Ita yang sepertinya shock. Juga wajah kebingungan Jalu dan Ghea. Sementara seorang perawat yang tadinya berada di dekat kami sudah pergi, entah kemana. Mungkin tak ingin ikut campur dengan masalah yang sedang kami hadapi.Sepuluh milyar? Membayangkannya saya sudah tak mampu aku. Menghitung berapa lembar uang seratusan itu jika di sebar di satu ruangan, sudah pasti akan banyak sekali.Namun, dalam waktu sesingkat ini bagaimana kami akan mendapatkan uang sebanyak itu. Pinjam di bank? Tentu saja memakan waktu yang cukup lama apalagi keselamatan Ibu dipertaruhkan di sini."Mas Haris ....""Ayo kita pergi ke sana!" tukas Mas Haris tiba-tiba membuatku terperanjat."Ke mana Mas?" "Ke tempat di mana Ibu berada.""Mas tahu tempatnya?""Lelaki itu mengirim lokasinya pada, M
POV Haris"Mas," panggil Kanya membuatku menoleh. Tanpa sadar sedari tadi selama duduk di kursi, aku hanya melamun tanpa terganggu dengan lalu lalang orang yang lewat dan pesta dengan banyak orang ramai ini.Lagipula, tak ada satupun yang aku kenal di pesta ini. Semua yang menyalamiku hanya memberikan ucapan selamat sebagai basa-basi. Tak ada yang dikenal dekat kecuali satu orang yang sedari tadi membuatku kepikiran. Seseorang itulah yang membuat pikiranku sedikit kacau dan banyak melamun sejak tadi.Pak Fadlan, lelaki paruh baya dan kata-katanya sangat membuatku kepikiran. Rasanya tak mungkin orang biasa bisa seberani itu mengutarakan hal yang menurutku sedikit tidak sopan."Semuanya hanyalah tipu muslihat, Haris. Saya tak bisa berbuat banyak. Wanita itu telah melakukan banyak hal untuk merenggut hampir seluruh hidupmu. Yang bisa kulakukan hanya berdoa semoga ingatanmu cepat pulih karena yang kau lakukan saat ini adalah sebuah kesalahan besar."Wanita mana yang Pak Fadlan maksud? Seme
POV HarisAwalnya kupikir memang ada yang disembunyikan oleh Kanya. Namun, saat melihat isi dalam gudang di halaman belakang pagi ini dengan rasa penasaran yang begitu menggebu, akhirnya aku tahu kalau Kanya memang tak menyembunyikan apapun.Tak ada apa-apa di sana. Hanya barang rongsokan berdebu yang disusun acak. Kecurigaanku sama sekali tak terbukti. Mungkin Kanya dan Mbak Wati hanya sedang berbicara serius tentang suatu hal hingga harus pergi ke halaman belakang, di mana tak ada orang.Aku menghela nafas, perasaan bersalah itu kembali menyelimuti. Entah benarkah ini, aku selalu berprasangka buruk pada Kanya."Tak ada jejak apapun yang membuktikan prasangkaku," ucapku menelisik sekali lagi isi ruangan yang berdebu tersebut. Lantas berbalik dan pergi keluar dari gudang belakang.Sesampainya di kamar, aku menemukan beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Kanya. Tanpa pikir panjang aku segera menelponnya kembali."Ada apa?""Kamu gak lupa hari ini acara kita, kan, Mas?" tanya Ka
POV Mira"Dia mengubah gedung yang ia sewa untuk pernikahan demi mengecoh kita."Aku bergeming. "Kalau begitu pernikahannya ...?"Aku menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran buruk dari kepala. Aku tak ingin memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan terjadi. Tidak sebelum aku membuktikannya."Jalu, apa Kanya tahu kalau kau berusaha merusak acaranya? Apa dia sempat melihatmu? Atau bahkan mata-matanya pernah memergokimu?""Saya pikir itu tidak mungkin, Bu Mira. Karena saya sudah sangat berhati-hati melakukannya. Termasuk membayar orang-orang yang saya percayai."Aku mengusap wajah dengan kasar, membenarkan letak hijab yang sudah tak karuan bentuknya."Jadi, kau melakukannya dengan bantuan orang lain juga?""Kita tak bisa melakukannya sendiri, Mbak. Untuk masuk ke dalam gedung, kami harus punya akses yang dipegang oleh orang-orang Kanya," ujar Ghea mewakili Jalu berbicara."Kalau begitu, secara tidak langsung kalian telah melakukan persekongkolan dengan orang-orang Kanya?""Y
POV MiraAku menggeleng tak habis pikir, namun juga tak menyalahkan. Mbak Wati berhasil menukar foto dalam gudang itu dengan foto Kanya bersama Mas Haris.Aku tahu, Mbak Wati melakukan hal itu karena terpaksa, dia juga menuruti Kanya karena takut dengan ancaman wanita itu.Untung saja aku sempat memeriksanya. Meski itu harus membuatku tidur hanya beberapa jam saja dan berusaha bangun sepagi ini. Saat langin masih gelap dan adzan subuh belum berkumandang.Aku tahu Kanya pasti merencanakan sesuatu dengan foto ini. Salah satu kemungkinan yang ada dalam pikiranku. Dia tak ingin Mas Haris secara tak sengaja menemukan foto ini dan ingatannya kembali."Wanita itu sangat licik," gumamku dengan tangan terkepal. Meski berusaha keras untuk tak memasukkan hal-hal negatif yang bisa memengaruhi pikiran dan nantinya akan berpengaruh ke janinku. Aku tetap tak bisa mencegahnya.Tingkah Kanya benar-benar sudah di luar batas. Dia dengan keegoisannya berusaha untuk meraih apa yang dia inginkan walau deng
POV Haris"Tuan ... sedang apa?" Aku terpekik kaget, saat melihat Ira tiba-tiba muncul di hadapanku. Segera aku menariknya untuk ikut bersembunyi di balik meja karena pekikanku tadi, mungkin sedikit terdengar oleh Kanya dan Mbak Wati."Kenapa kita bersembunyi, Tuan?" tanya Ira sesaat setelah kami terdiam cukup lama dalam keadaan saling bertatapan. Aku bergeming, tidak mungkin kujelaskan aku sedang menguntit Kanya. Bisa-bisa Ira menaruh curiga padaku. "B--bukan apa-apa sebenarnya. Tadi ada tikus, jadi saya sedikit terkejut.""Benarkah? Di mana? Baru kali ini saya mendengar ada tikus di rumah ini," ucap Ira sembari celingukan."Kamu, kan, baru kerja dua hari. Tidak tahu kalau di rumah ini sering banyak tikusnya."Ira menatapku dengan dua alis saling bertaut. Sepertinya masih cukup bingung. Entahlah, aku tak mengerti apa yang ada di pikirannya saat ini."Sebaiknya kamu kembali ke kamar untuk beristirahat. Kasihan bayi yang ada dalam kandunganmu kalau kau terlalu banyak bergerak ke san
POV Haris"Ira pulanglah, aku yang akan menemani Mas Haris di rumah sakit," ujar Kanya usai beberapa dokter dan perawat yang tadi datang memeriksa keluar dari ruangan."Aku akan pulang," ujarku cepat. "Lagipula kondisiku tak terlalu parah sampai harus dirawat di rumah sakit.""T--tapi Mas, ini juga untuk memastikan kalau kondisi kamu dalam keadaan baik-baik saja. Besok juga sudah hari pernikahan kita, kamu harus dalam keadaan sehat.""Kanya, apa kau lihat kondisiku memburuk?" ucapku penuh penekanan. Wanita berambut lurus itu menggeleng."Kalau begitu aku tetap pulang. Berada di rumah sakit ini juga tak memastikan kalau aku bisa beristirahat dengan baik.""Baiklah kalau begitu aku antar, ya," pinta Kanya sembari hendak memeluk lenganku.Aku menepisnya, tak kupedulikan gerutuan Kanya yang mengganggu telinga. Kulirik Ira yang sedikit terkejut."Ayo Ira, kau juga harus pulang bersama kami."****"Mas berubah!" Aku menoleh, menghela nafas saat menatap Kanya dengan bibir mencebik tengah me
POV HarisRasanya lega, kelegaan yang datang dari hati tanpa terpaksa. Usai kutunaikan kewajibanku sebagai umat muslim, seolah angin sejuk itu datang. Mengguyur dan menyiram rohani hingga ke kalbu."Tak pernah sedamai ini sejak aku bangun usai kecelakaan itu," ucapku sembari menatap sajadah yang masih terbentang. "Aku seolah kehilangan diriku sendiri di tengah hiruk pikuknya masalah."Aku bangkit, merapikan sajadah dan kopiah yang tersimpan di sudut lemari. Tertumpuk oleh banyaknya pakaian dan barang-barangku yang tak terpakai, seperti sudah sangat lama aku meninggalkannya.Aku menatap nanar pada cermin di hadapan. Pada diriku yang tampak tak kukenali. Pandanganku beralih pada dinding di samping.Bekas pigura yang hendak kucari tahu, namun terhenti karena Mbak Wati seperti mencegahku melakukannya. Jujur aku begitu penasaran.Mbak Wati, orang yang kupercaya itu sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Bekas pigura yang kutanyakan padanya itu pasti adalah sesuatu yang ia rahasiakan. Ka
POV HarisAku tak tahu entah apa yang terjadi dengan diriku saat ini. Pertama kali wanita ini datang ke rumah setelah Mbak Wati meminta untuk menambah asisten rumah tangga baru, aku seperti merasakan sesuatu hal yang aneh padanya.Tatapannya, mata itu, meski aku tak mengingatnya sama sekali tapi aku sangat yakin. Ira, adalah sesorang yang kukenal atau dia yang mengenaliku. Karena tatapan itu ... penuh dengan kerinduan.Dan seharusnya, tatapan itu tidak ditujukan padaku orang yang baru dia kenali. Aku yakin ada sesuatu tentang Ira. Awalnya begitu, sampai dia mengatakan hal yang membantahkan pikiranku. Apalagi perkataan Kanya yang membuat perasaanku semakin bimbang.Aku membuka lengan yang menutup mata. Menatap langit-langit kamar. Perasaan asing itu mulai kembali lagi. Ingatan yang bahkan tak kuketahui sekalipun. "Rasanya hampa, seperti ada yang hilang dariku," bisikku sembari menghembuskan nafas perlahan. Pikiranku kacau, tapi aku sama sekali tak bisa tidur. Aku bangkit dari atas r
"Gimana Mbak? Kalau Mbak setuju dengan rencana kami, Jalu akan segera melakukannya. Dia ada di gedung tepat di mana pesta pernikahan Pak Haris dan Kanya akan dilangsungkan."Aku tersenyum, bahkan tanpa lama berpikir atau mempertimbangkan perkataan Ghea, aku segera mengangguk untuk menyetujui perkataannya.Sedikit ekstrim, tapi rasanya hal itu pantas dilakukan karena memang pernikahan Mas Haris dan Kanya tak boleh dilaksanakan. Pernikahan mereka atas dasar kebohongan. Dan aku sebagai istri sahnya tak akan pernah menyetujui hal tersebut, sampai kapanpun!"Lakukan Ghea, katakan pada Jalu untuk melakukan apapun. Semua hal yang bisa membatalkan pernikahan suamiku dengan wanita tak waras itu. Aku mengizinkannya," tukasku seraya menggebu-gebu.Ada emosi yang terasa dalam setiap ucapanku. Yah, tak dipungkiri aku masih merasa marah atas semua hal yang terjadi saat ini. Dan ini semua terjadi setelah Kanya masuk dalam hidup kami."Mbak tenang saja, Jalu berada di pihak Mbak. Dia juga sangat seti