Ibu sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, tapi masih belum sadar. Aku dengan setia duduk sembari menunggunya. Mengingatkanku pada kejadian yang telah lalu saat aku juga berada di rumah sakit dan menunggui Ibu.Namun, kali ini berbeda.Jika saat itu Ibu terus saja mengomeliku di ruangan. Kini suasana sangat sepi. Tak ada ocehan kasar dari Ibu. Tak ada Ibu yang lagi marah-marah padaku. "Mbak."Aku menoleh, menatap Ghea dengan pandangan sayu. Ia duduk menunggu bersamaku. Sementara Kak Ita pulang sebentar ke rumah untuk mengurus Bagus serta Caca. Mas Haris pergi untuk melihat si lelaki yang sudah memukuli Ibu. Hanya Ghea yang menemaniku saat ini. Ah, waktu itu juga begitu."Kenapa Ghe? Kau lelah? Pulanglah dahulu, biar Mbak saja yang ada di sini."Gadis itu menggeleng, wajahnya tampak khawatir menatapku. "Bukan Ghea yang lelah, sepertinya Mbak yang begitu. Wajahnya Mbak pucat sekali. Apa gak sebaiknya Mbak pulang dan beristirahat? Mbak sepertinya sakit." Ghea mengulurkan tangannya meny
Aku pulang ke rumah, sementara Ghea menyanggupi untuk berjaga di rumah sakit. Setelah sahur tadi, tubuhku terasa lelah dan pusing berkepanjangan. Sementara Mas Haris pergi ke kantor karena ada meeting dengan klien penting siang ini.Sekilas, sebelum aku masuk ke dalam kamar kuhampiri kamar Bapak yang berada di lantai satu. Begitu aku membuka pintu kulihat Bapak tengah duduk di atas kursi rodanya sembari menatap taman di samping rumah dari jendela.Pengobatan yang dilakukan oleh dokter pribadi Mas Haris telah membuahkan hasil cukup banyak. Setidaknya Bapak sudah bisa bicara dengan jelas walaupun masih terbata-bata."Bapak," panggilku pelan membuat Bapak menoleh. Ia tersenyum menatapku. Aku duduk tepat di sampingnya."Sedang apa?""Lihat-lihat," ucap Bapak terbata. Aku menggenggam tangannya erat. Sejenak terdiam untuk beberapa saat. Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepalaku. Apalagi saat terbayang wajah Ibu yang sedang berada di rumah sakit.Bapak, selama ini tak pernah menunjukkan pe
Begitu sampai di rumah sakit aku menemukan Jalu dan Ghea sedang duduk bersama. Begitu kami tiba di hadapan kedua orang itu, keduanya langsung berdiri."Maaf Pak Haris tadi saya minta bantuan Jalu untuk ganti berjaga karena harus pulang sebentar.""Tidak apa-apa.""Seharusnya kamu bilang Mbak, Ghe. Mbak jadi tidak enak.""Gak apa-apa Mbak, sudah tugas kami," ucap Jalu pelan sembari tersenyum. Aku balas tersenyum menatapnya. Pertemuan kami yang hanya sebentar membuatku tak terlalu mengenal Jalu walau ia adalah tangan kanan Mas Haris.Aku kini mengalihkan pandangan pada Ghea. Menurutku ini juga karena gender kami. Aku lebih dekat dengan Ghea yang notabenenya sama-sama perempuan."Di mana Ibu Mbak, Ghe? Kenapa tidak menjaganya di ruangan?""Ah, tadi setelah Ibu Mbak sadar. Saya dan Jalu segera memanggil dokter untuk melihat perkembangan kesehatan Ibu, Mbak. Sekarang sedang diperiksa. Oh, sudah selesai sepertinya."Ucapan Ghea beriringan dengan pintu ruangan kamar rawat inap Ibu terbuka. S
Aku senyum-senyum sendiri saat tahu pemikiranku ternyata benar. Ghea salah tingkah, begitu Mas Haris dan Jalu datang setelah pulang dari kantor ia sama sekali tak mau melihatku bahkan Jalu sekalipun. Cenderung cuek tapi aku tahu dia benar-benar suka."Kenapa?"Aku menoleh, masih tersenyum, kini aku bersama Mas Haris berada dalam mobil hendak pulang ke rumah. Ibu tertidur cukup lama dan aku meminta Jalu serta Ghea untuk pulang dan beristitahat. Meminta salah satu perawat untuk sesekali melihat kondisi ibu.Kasihan juga dengan keduanya yang terus-terusan menunggu Ibu padahal aku tahu keduanya cukup sibuk dengan kerjaan masing-masing."Apanya yang kenapa, Mas?" Balik kutanya, tidak jelas apa yang Mas Haris tanyakan padaku."Senyum-senyum sendiri?" tanya Mas Haris lagi sembari menoleh sekilas, setelahnya ia fokus pada jalanan di depan sana."Oh, teringat Ghea, lucu dia.""Lucu kenapa?"Aku terdiam sesaat, setelahnya merubah posisi sedikit miring menghadap Mas Haris. "Mas selama ini kerja
Kami kalut luar biasa, bahkan sstelah mendengar suara dari telepon itu kami semua sama sekali tak bergerak dari tempat. Aku melirik Mas Haris yang tampak gelisah sembari mengotak-atik ponselnya.Pandanganku beralih pada Kak Ita yang sepertinya shock. Juga wajah kebingungan Jalu dan Ghea. Sementara seorang perawat yang tadinya berada di dekat kami sudah pergi, entah kemana. Mungkin tak ingin ikut campur dengan masalah yang sedang kami hadapi.Sepuluh milyar? Membayangkannya saya sudah tak mampu aku. Menghitung berapa lembar uang seratusan itu jika di sebar di satu ruangan, sudah pasti akan banyak sekali.Namun, dalam waktu sesingkat ini bagaimana kami akan mendapatkan uang sebanyak itu. Pinjam di bank? Tentu saja memakan waktu yang cukup lama apalagi keselamatan Ibu dipertaruhkan di sini."Mas Haris ....""Ayo kita pergi ke sana!" tukas Mas Haris tiba-tiba membuatku terperanjat."Ke mana Mas?" "Ke tempat di mana Ibu berada.""Mas tahu tempatnya?""Lelaki itu mengirim lokasinya pada, M
"Kami membawanya, jadi sekarang lepaskan Ibu," ucapku cepat. Menoleh ke arah Jalu, mengisyaratkannya untuk menyerahkan uang kepada lelaki itu.Namun, baru satu langkah Jalu maju, tangannya ditahan oleh Mas Haris. Membuatku sedikit bingung."Serahkan Ibu dulu, lalu kami akan memberikan uangnya!" ucap Mas Haris kemudian."Hahaha ...." Lelaki itu tertawa mengejek. Ia mengacungkan pisaunya dengan asal membuatku meringis kalau saja pisau tajam itu jatuh. Bisa saja langsung mengenai Ibu yang terbaring di bawah."Kau pikir aku bodoh? Aku tahu muslihatmu, kalau aku menyerahkan wanita bodoh ini duluan, kau tak akan menyerahkan uangnya padaku. Benar, kan?""Aku akan menepati janji, tapi aku perlu melindungi Ibuku lebih dahulu. Jadi serahkan!""Kau mau aku membunuhnya, hah? Di sini tidak ada negosiasi, kalau kau mau Ibumu selamat, kau harus menyerahkan uang itu di depanku.""Bagaimana kalau kita sama-sama memberikan di tengah?""Keparat licik! Kau pikir aku mau. Serahkan uangnya atau ibumu akan
Hari itu menjadi hari paling menyedihkan dalam sejarah hidupku. Wajah Ibu dan suaranya masih terbayang dalam ingatan. Juga saat terakhirnya sebelum Ibu masuk ke dalang liang lahat. Sejak hari itu juga, Bapak tak menampakkan wajah bahagia meski ia sudah bisa berjalan dengan normal. Meski aku berulangkali bertanya apakah dia baik-baik saja, Bapak selalu menganggukkan kepalanya. Walau aku tahu, di balik wajahnya datarnya ia memiliki kesedihan karena Ibu telah meninggalkannya walau belum bertemu sejak Ibu terakhir kali pergi."Dik!" Aku menoleh, panggilan dari Mas Haris. Dia datang menghampiriku yang tengah termenung menatap kolam ikan di hadapan. Sedari sore aku di sini, bahkan sampai menjelang maghrib aku juga tak kunjung bangkit.Sudah tiga hari Mas Haris cuti dari pekerjaannya untuk menemaniku. Walau aku katakan aku baik-baik saja ia tetap keukeuh untuk libur. Meski aku tahu libur atau tidaknya Mas Haris, akan ada Jalu dan Ghea yang mengatasi pekerjaannya."Kamu pucat sekali, gak ke
"Dan besok kamu harus ikut dengan Mas ke perayaan itu. Mas harus nunjukkan kamu sebagai istri Mas agar mereka tidak salah paham seperti waktu itu.""Wajah Mira akan diliput juga?" tanyaku tak percaya karena setelahnya Mas Haris mengangguk."Serius?""Dua rius.""Mas ....""Mas gak lagi bercanda, loh.""Tapi Mira malu.""Malu kenapa? Kamu istri pemimpin perusahaan ternama kenapa mesti malu.""Ah, gak pernah terbayangkan dalam pikiran Mira, Mas, kalau profesi Mas ternyata bukan tukang tahu melainkan seorang pemimpin perusahaan yang cukup besar. Mira gak mengerti kebaikan apa yang Mira lakukan hingga mendapat rezeki seperti ini.""Mungkin karena kamu cantik dan juga baik."Aku terkekeh. "Apa hubungannya?""Ada, karena itu Mas tertarik.""Tetap gak nyambung, Mas.""Terserah, Dik, yang penting besok kamu harus pergi bersama, Mas.""Mira ajak Kak Ita, Bapak, Bagus dan Caca, ya!""Semuanya juga boleh, Mbak Wati, Mbak Mita, Pak Sapto kalau Mira mau ajak, ajak juga."Aku tertawa, mencubit pela