"Dan besok kamu harus ikut dengan Mas ke perayaan itu. Mas harus nunjukkan kamu sebagai istri Mas agar mereka tidak salah paham seperti waktu itu.""Wajah Mira akan diliput juga?" tanyaku tak percaya karena setelahnya Mas Haris mengangguk."Serius?""Dua rius.""Mas ....""Mas gak lagi bercanda, loh.""Tapi Mira malu.""Malu kenapa? Kamu istri pemimpin perusahaan ternama kenapa mesti malu.""Ah, gak pernah terbayangkan dalam pikiran Mira, Mas, kalau profesi Mas ternyata bukan tukang tahu melainkan seorang pemimpin perusahaan yang cukup besar. Mira gak mengerti kebaikan apa yang Mira lakukan hingga mendapat rezeki seperti ini.""Mungkin karena kamu cantik dan juga baik."Aku terkekeh. "Apa hubungannya?""Ada, karena itu Mas tertarik.""Tetap gak nyambung, Mas.""Terserah, Dik, yang penting besok kamu harus pergi bersama, Mas.""Mira ajak Kak Ita, Bapak, Bagus dan Caca, ya!""Semuanya juga boleh, Mbak Wati, Mbak Mita, Pak Sapto kalau Mira mau ajak, ajak juga."Aku tertawa, mencubit pela
Hidupku setelah mengetahui kebenaran pekerjaan Mas Haris telah berubah seratus delapan puluh derajat. Meski dulu juga aku tak terlalu kesulitan, namun kali ini sangat terasa bedanya.Bangun pagi, aku sudah seperti seorang putri. Mas Haris sama sekali tak membolehkanku pergi ke dapur, apalagi dia tahu aku tengah hamil muda saat ini.Aku juga tak diperbolehkan memegang pekerjaan rumah. Meski aku tahu setiap sudut ruangan di rumah besar ini sudah ada yang mengurusi, tetap saja rasanya tidak enak.Aku menjalani hidup tanpa perlu khawatir dan kesulitan sama sekali. Pagi hari bangun sudah ada yang memasak, siang hari tak perlu beberes rumah karena sudah ada yang melakukannya. Aku hanya perlu duduk, makan, tidur, jalan-jalan dan hal lainnya yang lain selain pekerjaan rumah walau kadang jujur itu membosankan.Hanya sekali saat lebaran tiba aku diperbolehkan Mas Haris untuk masuk ke dapur. Itupun karena asisten rumah tangga di rumah ini cuti lebaran. Walau setelahnya Mas Haris memilih untuk m
Aku langsung mematikan sambungan telepon itu. Mengerjap sebentar sembari menelisik apa yang baru saja terjadi.Sayang? Seseorang bernama Kanya itu memanggil Haris dengan nama sayang? Hal ini baru pertama kali terjadi dalam biduk rumah tangga kami. Di tengah semua permasalahan yang kami hadapi, hadirnya orang ketiga adalah hal yang gak pernah kubayangkan sebelumnya.Jujur, aku tidak tahu harus merespon apa. Shock? Sudah pasti. Tapi melihat bagaimana sosok bernama Kanya yang tertera di layar ponsel Mas Haris, entah kenapa aku bisa memastikan itu bukanlah salah sambung belaka.Lalu siapa sosok bernama Kanya itu sebenarnya? "Dik!"Aku tersentak kaget, pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan lebar. Mas Haris muncul di sana dengan wajah paniknya. Dia berjalan cepat menghampiriku, mengambil ponselnya yang masih tergenggam di tanganku."Ponsel Mas ketinggalan," tukas Mas Haris cepat, ia buru-buru mengantungi benda itu di sakunya. Lalu mencium keningku sekilas. "Mas pergi lagi ya."Aku hanya me
"Lalu, bagaimana pertunangan keduanya berakhir?""Soal itu ...."Ghea menjeda ucapannya, membuat rasa penasaranku semakin meningkat."Ghe?"Ghea menghela nafas, mengusap wajahnya dengan kasar. Seperti bimbang akan mengatakan sesuatu. Sebenarnya ada apa? Pertanyaanku seperti telah membuka luka lama yang menoreh hatinya."Mbak tahu kalau aku dan Jalu dirawat oleh orang tua Pak Haris?"Aku mengangguk, dia pernah cerita sebelumnya."Kami hidup sebatang kara, hidup di panti asuhan tak layak huni sebelum orang tua Pak Haris datang untuk memberikan kami kehidupan yang layak."Alisku bertaut, tak mengerti arah dan tujuan pembicaraan Ghea. Bukankah aku menanyakan soal tunangan Mas Haris? "Mereka sangat berjasa dalam kehidupan kami. Begitu juga Pak Haris yang menerima kami dengan tangan terbuka. Awalnya Ghea pikir, kehidupan Pak Haris begitu sempurna. Lahir sebagai anak tunggal pewaris kaya raya adiwangsa, seperti impian semua orang, Mbak Mira.""Tapi setelah menyelam lebih ke dalam, semua hal
Nyatanya, walau berusaha menenangkan Ghea, aku juga tetap kepikiran. Wanita bernama Kanya itu telah mengusik pikiranku. Aku melirik bangku belakang, Bagus dan Chaca tampak kelelahan dan sekarang tertidur usai bermain tadi. Sementara Ghea pergi kembali ke butik untuk menyelesaikan urusannya setelah bertemu denganku.Lampu merah di depan sana mau tak mau membuat laju mobilku berhenti. Sore telah menjelang, tak sangka cukup lama juga aku berbincang dengan Ghea.Pandanganku kini beralih pada jalanan di samping, beberapa menit sebelum perjalanan pulang tadi Mas Haris mengabarkan kalau dia akan lembur hari ini. Aku menghela nafas, melajukan mobil kembali setelah lampu berubah hijau. Sejak pindah ke rumah baru, aku memaksa Mas Haris untuk mengajari cara mengendarai mobil. Meski Mas Haris khawatir dengan keselamatanku kalau mengendarai mobil sendirian, namun aku tetap bersikeras. Salah satu alasannya, adalah karena aku ingin tak ingin kerepotan jika harus membawa sopir jika ingin pergi ke
" ... ada apa ini ...?"" ... apa yang terjadi ...?"" ... bukankah itu wanita gila yang sering berkeliaran di sekitar sini ....?"" ... siapa wanita di depannya ...."Aku berdecak bingung, kerumunan orang-orang mulai berucap tak tentu. Menyudutkanku tanpa mengetahui kisah sebenarnya."T--tunggu, bukan begitu. Saya cuma ....""ORANG JAHAT!"Aku tersentak kaget, teriakan Dewi memotong ucapanku secara tiba-tiba. Dia menudingku dengan telunjuknya. Wajah Dewi kini tampak memerah karena emosi yang tampak menggebu."ORANG JAHAT! ORANG JAHAT!""Arrgh!" teriakanku tercekat, tubuhku terjengkang ke belakang. Dewi tiba-tiba berlari menyerang dan mencekik leherku dengan kuat. Matanya berkilat penuh amarah. Sementara aku tak bisa bernafas dibuatnya."D--dewi hentikan!" ucapku dengan suara tercekat. Orang-orang sekitar malah hanya melihat kami dengan pandangan bingung. Tak ada satupun dari mereka yang berniat mendekat untuk menolong.Dewi tak menggubris ucapanku. Sepertinya kewarasan telah mengambi
"Mbak akan langsung menemui mereka? Orang tua si Tante rempong?" tanya Ghra sembari mengikuti langkahku menuju mobil yang berada di parkiran. Aku mengangguk, setelahnya masuk ke dalam kendaraan roda empat itu."Lebih cepat lebih baik Ghe."Sejenak menoleh, Ghea ternyata ikut masuk dan duduk di samping kemudi. Aku menatapnya lekat dengan tatapan bingung."Kau ikut dengan Mbak? Urusanmu sudah selesai?""Belum, tapi demi keselamatan Mbak, Ghea harus ikut pulang ke rumah.""Gak apa-apa Ghe, Mbak bisa sendiri. Nanti urusanmu gak selesai-selesai kalau kamu kebanyakan ngurusin Mbak. Lagipula kamu sedang dalam jadwal cuti.""Lebih resah lagi kalau Ghea biarin Mbak pulang sendirian. Kalau kejadian seperti tadi terjadi lagi bagaimana? Untung saja Mbak gak kenapa-kenapa. Kalau sampai terjadi sesuatu sama Mbak Ghea akan merasa bersalah sama Pak Haris.""Kamu ini loh, melindungi orang sampai mengabaikan urusanmu sendiri. Begitu Jalu tidak marah?""Jalu itu orangnya santai Mbak, kami juga gak mema
"Haris ...." Kanya melangkah mendekati Mas Haris, berusaha menyentuh bahu suamiku. Aku mendelik, tak habis pikir dengan tingkahnya.Baru saja ingin kusingkirkan tangan lancangnya itu, Mas Haris sudah menghindar. Membuatku sesaat memikirkan tingkahnya yang tadi kulihat berpelukan dengan Kanya.Mengingat Mas Haris masih berusaha menghindariku dan menghargai keberadaanku sebagai istrinya. Sekarang aku tahu, bahwa pelukan tadi bukan atas keinginannya. Melainkan karena wanita tak tahu malu ini. Dia pasti yang memaksa Mas Haris memeluknya."Jangan berbuat lancang Kanya, aku memperingatimu!""Jujur aku sedikit sakit hati. Kau banyak berubah ya, Haris sayang. Dulu bahkan kita sangat lengket dan kau tak melihatku dengan tatapan menjijikan seperti ini. Kita pernah berpegangan tangan, berpelukan dan bahkan bercium--""Cukup Kanya! Hentikan omong kosongmu yang tidak berdasar itu!" Mas Haris berteriak dengan suara keras, namun tak dipungkiri sangat mengusik pikiran dan hati."Kenapa? Apa karena ka