"Nyonya!""Nyonya!"Aku menoleh ke arah pintu kamar yang diketuk secara paksa pagi ini. Aneh sekali, tak biasanya Mbak Wati membuat keributan sedemikian rupa. Baru dua jam berlalu sejak kepergian Mas Haris ke kantor. Tapi rumah ini seolah sedang dalam masalah besar. Kuputuskan untuk bangkit dan membuka pintu. Kutemukan Mbak Wati berdiri dengan wajah risau sembari menatapku lekat. "Kenapa Mbak? Pagi-pagi sudah membuat keributan. Ada masalah?""Ada wanita yang datang Nyonya, Pak Cipto sudah melarangnya masuk tapi dia tetap memaksa. Sekarang dia ada di ruang tamu.""Siapa?""Dia ...." Mbak Wati tampak ragu berucap, dia menghindari tatapanku seolah dia mengenali tamu yang datang namun tak menghendaki kehadirannya.Aku menautkan kedua alis bingung. Kuputuskan untuk melangkah turun dari lantai atas. Mbak Wati mengikutiku dari belakang. Perlahan demi perlahan kakiku melangkah satu demi satu anak tangga. Usia kandungan yang mendekati lima bulan membuatku harus sedikit berhati-hati.Sampai
"Nyonya, minum dulu."Aku menoleh, Mbak Wati meletakkan segelas teh di depan meja. Kini aku duduk di ruang tamu, dengan tubuh lemas usai kedatangan Kanya tadi.Pikiranku terusik, aku mendadak gelisah. Tanpa sadar terus mengelus-elus perutku. Cemas? Sudah pasti. Apalagi saat seorang wanita asing yang dirinya tak pernah kukenal tiba-tiba datang dan mengatakan sesuatu yang mengejutkan.Apa benar, Mas Haris dan Kanya punya seorang anak? Seperti yang dikatakan Kanya tadi. Dia ingin putranya mewarisi Adiwangsa?Bertanya lebih lanjut pada Ghea, rasanya tak akan ada gunanya. Dia telah menceritakan padaku soal Kanya dan mungkin juga tak tahu soal masalah ini. Lagipula, dia sudah cukup sibuk untuk mengurusi masalah pernikahannya. Amu tak bisa terus melibatkannya dengan masalah yang kualami."Nyonya ...," panggil Mbak Wati kembali. Kali ini aku menoleh, melihatnya menatapku dengan wajah khawatir. Mabka Wati perlahan mendekat, menggenggam tanganku dengan erat."Nyonya jangan terlalu banyak pikira
"Tuan Haris dijebak.""Maksud Mbak Wati?"Kutatap Mbak Wati lekat, dia menghela nafas setelahnya. Wajahnya tampak ragu untuk berbicara lebih lanjut."Mbak ....""Nyonya, Mbak akan cerita semuanya tapi tolong jangan sampaikan hal ini pada Tuan. Jangan menanyainya soal wanita itu, karena Tuan pasti akan marah sama Mbak."Mbak Wati memotong ucapanku, ada nada resah dalam perkataannya. "Mbak Wati gak perlu takut, aku akan merahasiakannya dari Mas Haris. Ini akan menjadi rahasia antara aku dan Mbak saja.""Nyonya janji?""Pasti!""Baiklah Nyonya, sekarang akan saya ceritakan. Wanita bernama Kanya itu memang dijodohkan oleh Mama Tuan Haris dan temannya selaku orang tua Mbak Kanya. Tapi karena Tuan tahu watak dan maksud sebenarnya sebelum pelaksanaan tunangan, kebetulan curi dengar saat Mbak Kanya berbicara dengan mamanya.""Mbak Wati ada disitu juga saat itu terjadi?""Tak disengaja Mbak, waktu itu Mbak Wati mau ke belakang ambil makanan dan minuman buat para tamu yang datang. Gak sengaja
"Baik, terima kasih suster, saya akan datang ke sana segera begitu mendatangi kedua orang tua Dewi."Aku menutup panggilan. Dari suster yang bekerja di rumah sakit jiwa di mana Dewi berada. Banyaknya masalah yang cukup mengusik di kepala membuatku lupa akan hal penting yang satu ini.Padahal, kemarin aku sudah meniatkan diri untuk datang ke rumah Paman dan Bibi guna meminta persetujuan mereka, merawat Dewi di rumah sakit jiwa. Entah apa tanggapan mereka nanti, aku tak peduli. Yang penting aku hanya harus mengusahakan perawatan jiwa Dewi hingga bisa norman seperti sebelumnya."Nyonya ingin pergi?" Aku menoleh, tampak Mita menghampiriku dengan kemoceng di tangannya. Kulirik arloji di tangan kiri, waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Kupikir, sekarang waktu yang bagus karena di jam-jam seperti ini paman dan Bibi ada di rumah."Iya, Mit, nanti kalau ada yang cari bilang saja sedang keluar sebentar, ada urusan.""Baik Nyonya, apa Nyonya pergi sendiri?"Aku tersenyum. "Saya pergi bers
"Sudah kami katakan Mira, Dewi bukan anak kami lagi. Jadi apa yang mau kamu lakukan padanya ya terserah. Kami tak akan ikut campur!"Aku tergagap, terdiam di tempat setelah Bibi mengatakan hal tersebut. Bahkan, belum lagi aku berucap, keduanya berbalik pergi meninggalkanku begitu saja di halaman.Brakk!"Astaghfirullah," ucapku sembari mengelus dada. Kulirik Pak Cipto yang kini geleng-geleng melihat kelakuan dua orang tua itu."Bagaimana Nyonya?" tanyanya padaku.Aku hanya bisa menghela nafas pasrah, yang kumau juga hanya tanda tangan mereka, itupun sangat sulit untuk kudapati. Mereka bertingkah seperti tak pernah punya anak bernama Dewi. "Kita ke rumah sakit saja sekarang Pak," tukasku pada Pak Cipto. Lelaki paruh baya yang menjabat sebagai supir itu dengan cekatan membuka pintu mobil.Sebenarnya, aku bingung harus melakukan apa di situasi seperti ini. Namun, jika aku bisa membicarakannya pada suster yang merawat Dewi, mungkin akan ada solusi, mengingat kedua orang tuanya begitu acu
"Kamu ... baik-baik aja, kan, sayang?" Aku menoleh, menghentikan kegiatan mengelap keringat di dahi. Mas Haris menatapku curiga dari balik kemudi. Aku tersenyum, menghembuskan nafas sejenak sembari mengangguk. Tadi, hampir saja, kalau aku terlambat beberapa menit, Mas Haris akan tiba lebih dahulu di rumah sebelum aku. Bisa gawat kalau dia menanyai kedatanganku tadi. Meski sedikit lelah karena berlari dan Pak Cipto yang terus berteriak seanjang aku berlari karena takut terjatuh. "Kita akan ke mana, Mas?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Setidaknya untuk sekarang jangan sampai Mas Haris menanyaiku hingga membuatku keceplosan menjawab. "Mas belum makan kamu juga belum, kan?" Aku menggeleng. "Kalau begitu kita pergi makan dulu. Setelahnya terserah kamu mau pergi ke mana." "Mas tumben, biasanya sibuk di kantor kenapa tiba-tiba ngajakin makan?" "Karena biasanya Mas sibuklah sekarang Mas ingin ajak kamu jalan-jalan berdua. Setidaknya mengurangi rasa bersalah Mas karena membiarkan k
Aku memejam, meringis menahan sakit. Dewi benar-benar sakit jiwa. Sepanjang malam dia terus berada di sampingku sembari tersenyum. Bahkan saat aku meringis kesakitan dia malah tertawa-tawa.Aku merasa tak kuat lagi. Tubuhku yang terpasung membuatku tak bisa berbaring dengan leluasa. Gamis yang berlumuran darah dan bau anyir yang menyeruak hidung juga membuatku sangat tidak nyaman. Aku kesakitan, sementara di tempat asing ini tak ada siapapun yang bisa kumintai pertolongan. Bahkan aku tak tahu di mana keberadaan Mas Haris. Bagaimana keadaannya sekarang. Terakhir kali kulihat, keadaannya jauh lebih parah dari keadaanku sekarang."Ya Allah," ringisku menahan nyeri pada kaki yang terluka. Darah yang menetes di dahiku bahkan sudah mengering separuhnya. Mengakibatkan efek sakit yang luar biasa.Kepalaku terasa pusing, aku juga sudah mulai berhalusinasi. Aku bahkan tak tahu ini siang, pagi atau malam. Kewarasanku sepertinya sudah terganggu. Padahal aku tengah hamil lima bulan. Keadaan jani
"Dan lusa ...." Ghea menyambung perkataannya. "Adalah hari pernikahan Pak Haris dengan Kanya."Tubuhku mendadak kaku, lidah terasa kelu tak mampu berucap sepatah kata pun. Aku menatap Ghea lekat, biar di mataku mulai menyamarkan pandangan. Air mata mulai mengalir di pipi. Hanya dengan satu kalimat, aku merasa duniaku telah hancur."Mbak ....""A--apa yang kau katakan tadi?""Mbak maaf, ini salah kami," ucap Jalu membuatku mengalihkan pandangan sekilas padanya. Namun tatapanku beralih ke arah Ghea kembali. Aku berusaha untuk bangkit dan meraih tangannya."Mbak Mira jangan terlalu banyak gerak dulu, tubuh Mbak masih belum pulih sepenuhnya."Aku menggeleng, memaksa tubuh untuk bangkit. Meski Ghea dan Jalu tampak panik dengan tingkahku."K--katakan, katakan apa yang ucapkan tadi Ghea! Mas Haris, suamiku akan menikah dengan Kanya?"Aku mengguncang tubuh Ghea. Gadis itu menatapku dengan wajah sendu. Dia tak mampu menjawabku, entah karena tak ingin melihatku terluka. Tapi aku tidak suka mel