"Nyonya, minum dulu."Aku menoleh, Mbak Wati meletakkan segelas teh di depan meja. Kini aku duduk di ruang tamu, dengan tubuh lemas usai kedatangan Kanya tadi.Pikiranku terusik, aku mendadak gelisah. Tanpa sadar terus mengelus-elus perutku. Cemas? Sudah pasti. Apalagi saat seorang wanita asing yang dirinya tak pernah kukenal tiba-tiba datang dan mengatakan sesuatu yang mengejutkan.Apa benar, Mas Haris dan Kanya punya seorang anak? Seperti yang dikatakan Kanya tadi. Dia ingin putranya mewarisi Adiwangsa?Bertanya lebih lanjut pada Ghea, rasanya tak akan ada gunanya. Dia telah menceritakan padaku soal Kanya dan mungkin juga tak tahu soal masalah ini. Lagipula, dia sudah cukup sibuk untuk mengurusi masalah pernikahannya. Amu tak bisa terus melibatkannya dengan masalah yang kualami."Nyonya ...," panggil Mbak Wati kembali. Kali ini aku menoleh, melihatnya menatapku dengan wajah khawatir. Mabka Wati perlahan mendekat, menggenggam tanganku dengan erat."Nyonya jangan terlalu banyak pikira
"Tuan Haris dijebak.""Maksud Mbak Wati?"Kutatap Mbak Wati lekat, dia menghela nafas setelahnya. Wajahnya tampak ragu untuk berbicara lebih lanjut."Mbak ....""Nyonya, Mbak akan cerita semuanya tapi tolong jangan sampaikan hal ini pada Tuan. Jangan menanyainya soal wanita itu, karena Tuan pasti akan marah sama Mbak."Mbak Wati memotong ucapanku, ada nada resah dalam perkataannya. "Mbak Wati gak perlu takut, aku akan merahasiakannya dari Mas Haris. Ini akan menjadi rahasia antara aku dan Mbak saja.""Nyonya janji?""Pasti!""Baiklah Nyonya, sekarang akan saya ceritakan. Wanita bernama Kanya itu memang dijodohkan oleh Mama Tuan Haris dan temannya selaku orang tua Mbak Kanya. Tapi karena Tuan tahu watak dan maksud sebenarnya sebelum pelaksanaan tunangan, kebetulan curi dengar saat Mbak Kanya berbicara dengan mamanya.""Mbak Wati ada disitu juga saat itu terjadi?""Tak disengaja Mbak, waktu itu Mbak Wati mau ke belakang ambil makanan dan minuman buat para tamu yang datang. Gak sengaja
"Baik, terima kasih suster, saya akan datang ke sana segera begitu mendatangi kedua orang tua Dewi."Aku menutup panggilan. Dari suster yang bekerja di rumah sakit jiwa di mana Dewi berada. Banyaknya masalah yang cukup mengusik di kepala membuatku lupa akan hal penting yang satu ini.Padahal, kemarin aku sudah meniatkan diri untuk datang ke rumah Paman dan Bibi guna meminta persetujuan mereka, merawat Dewi di rumah sakit jiwa. Entah apa tanggapan mereka nanti, aku tak peduli. Yang penting aku hanya harus mengusahakan perawatan jiwa Dewi hingga bisa norman seperti sebelumnya."Nyonya ingin pergi?" Aku menoleh, tampak Mita menghampiriku dengan kemoceng di tangannya. Kulirik arloji di tangan kiri, waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Kupikir, sekarang waktu yang bagus karena di jam-jam seperti ini paman dan Bibi ada di rumah."Iya, Mit, nanti kalau ada yang cari bilang saja sedang keluar sebentar, ada urusan.""Baik Nyonya, apa Nyonya pergi sendiri?"Aku tersenyum. "Saya pergi bers
"Sudah kami katakan Mira, Dewi bukan anak kami lagi. Jadi apa yang mau kamu lakukan padanya ya terserah. Kami tak akan ikut campur!"Aku tergagap, terdiam di tempat setelah Bibi mengatakan hal tersebut. Bahkan, belum lagi aku berucap, keduanya berbalik pergi meninggalkanku begitu saja di halaman.Brakk!"Astaghfirullah," ucapku sembari mengelus dada. Kulirik Pak Cipto yang kini geleng-geleng melihat kelakuan dua orang tua itu."Bagaimana Nyonya?" tanyanya padaku.Aku hanya bisa menghela nafas pasrah, yang kumau juga hanya tanda tangan mereka, itupun sangat sulit untuk kudapati. Mereka bertingkah seperti tak pernah punya anak bernama Dewi. "Kita ke rumah sakit saja sekarang Pak," tukasku pada Pak Cipto. Lelaki paruh baya yang menjabat sebagai supir itu dengan cekatan membuka pintu mobil.Sebenarnya, aku bingung harus melakukan apa di situasi seperti ini. Namun, jika aku bisa membicarakannya pada suster yang merawat Dewi, mungkin akan ada solusi, mengingat kedua orang tuanya begitu acu
"Kamu ... baik-baik aja, kan, sayang?" Aku menoleh, menghentikan kegiatan mengelap keringat di dahi. Mas Haris menatapku curiga dari balik kemudi. Aku tersenyum, menghembuskan nafas sejenak sembari mengangguk. Tadi, hampir saja, kalau aku terlambat beberapa menit, Mas Haris akan tiba lebih dahulu di rumah sebelum aku. Bisa gawat kalau dia menanyai kedatanganku tadi. Meski sedikit lelah karena berlari dan Pak Cipto yang terus berteriak seanjang aku berlari karena takut terjatuh. "Kita akan ke mana, Mas?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Setidaknya untuk sekarang jangan sampai Mas Haris menanyaiku hingga membuatku keceplosan menjawab. "Mas belum makan kamu juga belum, kan?" Aku menggeleng. "Kalau begitu kita pergi makan dulu. Setelahnya terserah kamu mau pergi ke mana." "Mas tumben, biasanya sibuk di kantor kenapa tiba-tiba ngajakin makan?" "Karena biasanya Mas sibuklah sekarang Mas ingin ajak kamu jalan-jalan berdua. Setidaknya mengurangi rasa bersalah Mas karena membiarkan k
Aku memejam, meringis menahan sakit. Dewi benar-benar sakit jiwa. Sepanjang malam dia terus berada di sampingku sembari tersenyum. Bahkan saat aku meringis kesakitan dia malah tertawa-tawa.Aku merasa tak kuat lagi. Tubuhku yang terpasung membuatku tak bisa berbaring dengan leluasa. Gamis yang berlumuran darah dan bau anyir yang menyeruak hidung juga membuatku sangat tidak nyaman. Aku kesakitan, sementara di tempat asing ini tak ada siapapun yang bisa kumintai pertolongan. Bahkan aku tak tahu di mana keberadaan Mas Haris. Bagaimana keadaannya sekarang. Terakhir kali kulihat, keadaannya jauh lebih parah dari keadaanku sekarang."Ya Allah," ringisku menahan nyeri pada kaki yang terluka. Darah yang menetes di dahiku bahkan sudah mengering separuhnya. Mengakibatkan efek sakit yang luar biasa.Kepalaku terasa pusing, aku juga sudah mulai berhalusinasi. Aku bahkan tak tahu ini siang, pagi atau malam. Kewarasanku sepertinya sudah terganggu. Padahal aku tengah hamil lima bulan. Keadaan jani
"Dan lusa ...." Ghea menyambung perkataannya. "Adalah hari pernikahan Pak Haris dengan Kanya."Tubuhku mendadak kaku, lidah terasa kelu tak mampu berucap sepatah kata pun. Aku menatap Ghea lekat, biar di mataku mulai menyamarkan pandangan. Air mata mulai mengalir di pipi. Hanya dengan satu kalimat, aku merasa duniaku telah hancur."Mbak ....""A--apa yang kau katakan tadi?""Mbak maaf, ini salah kami," ucap Jalu membuatku mengalihkan pandangan sekilas padanya. Namun tatapanku beralih ke arah Ghea kembali. Aku berusaha untuk bangkit dan meraih tangannya."Mbak Mira jangan terlalu banyak gerak dulu, tubuh Mbak masih belum pulih sepenuhnya."Aku menggeleng, memaksa tubuh untuk bangkit. Meski Ghea dan Jalu tampak panik dengan tingkahku."K--katakan, katakan apa yang ucapkan tadi Ghea! Mas Haris, suamiku akan menikah dengan Kanya?"Aku mengguncang tubuh Ghea. Gadis itu menatapku dengan wajah sendu. Dia tak mampu menjawabku, entah karena tak ingin melihatku terluka. Tapi aku tidak suka mel
"Kanya?" ucap Jalu dan Ghea berbarengan.Aku mengangguk, meski tak yakin tapi terlalu kebetulan dia ada di tempat kejadian saat itu. Dan rentetan kejadian setelahnya seperti menunjukkan bukti kalau dia adalah salah satu pelakunya.Dimulai dari Dewi yang tiba-tiba dijemput Kanya saat aku hendak merawatnya di rumah sakit jiwa. Kanya yang muncul setelah aku dan Mas Haris mengalami kecelakaan. Dewi yang bertingkah selayaknya orang normal dan memasungku. Lalu, Kanya yang memanfaatkan amnesia Mas Haris. Ini pasti sebuah kesengajaan, bagian dari rencana wanita itu untuk menyingkirkanku dari kehidupan Mas Haris. Teringat saat dia datang ke rumahku di pagi hari beberapa waktu lalu. Ucapan Kanya masih teringat dengan jelas di kepalaku.Aku tak mungkin melupakannya. Apalagi saat Kanya mengatakan kalau suatu hari nanti dia akan menempati rumahku. Dan putranya yang dia ceritakan padaku walau aku belum pernah melihat sosoknya telah dia kecamkan sebagai pewaris Adiwangsa Grup."Mbak yakin soal itu?
POV Haris"Mas," panggil Kanya membuatku menoleh. Tanpa sadar sedari tadi selama duduk di kursi, aku hanya melamun tanpa terganggu dengan lalu lalang orang yang lewat dan pesta dengan banyak orang ramai ini.Lagipula, tak ada satupun yang aku kenal di pesta ini. Semua yang menyalamiku hanya memberikan ucapan selamat sebagai basa-basi. Tak ada yang dikenal dekat kecuali satu orang yang sedari tadi membuatku kepikiran. Seseorang itulah yang membuat pikiranku sedikit kacau dan banyak melamun sejak tadi.Pak Fadlan, lelaki paruh baya dan kata-katanya sangat membuatku kepikiran. Rasanya tak mungkin orang biasa bisa seberani itu mengutarakan hal yang menurutku sedikit tidak sopan."Semuanya hanyalah tipu muslihat, Haris. Saya tak bisa berbuat banyak. Wanita itu telah melakukan banyak hal untuk merenggut hampir seluruh hidupmu. Yang bisa kulakukan hanya berdoa semoga ingatanmu cepat pulih karena yang kau lakukan saat ini adalah sebuah kesalahan besar."Wanita mana yang Pak Fadlan maksud? Seme
POV HarisAwalnya kupikir memang ada yang disembunyikan oleh Kanya. Namun, saat melihat isi dalam gudang di halaman belakang pagi ini dengan rasa penasaran yang begitu menggebu, akhirnya aku tahu kalau Kanya memang tak menyembunyikan apapun.Tak ada apa-apa di sana. Hanya barang rongsokan berdebu yang disusun acak. Kecurigaanku sama sekali tak terbukti. Mungkin Kanya dan Mbak Wati hanya sedang berbicara serius tentang suatu hal hingga harus pergi ke halaman belakang, di mana tak ada orang.Aku menghela nafas, perasaan bersalah itu kembali menyelimuti. Entah benarkah ini, aku selalu berprasangka buruk pada Kanya."Tak ada jejak apapun yang membuktikan prasangkaku," ucapku menelisik sekali lagi isi ruangan yang berdebu tersebut. Lantas berbalik dan pergi keluar dari gudang belakang.Sesampainya di kamar, aku menemukan beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Kanya. Tanpa pikir panjang aku segera menelponnya kembali."Ada apa?""Kamu gak lupa hari ini acara kita, kan, Mas?" tanya Ka
POV Mira"Dia mengubah gedung yang ia sewa untuk pernikahan demi mengecoh kita."Aku bergeming. "Kalau begitu pernikahannya ...?"Aku menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran buruk dari kepala. Aku tak ingin memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan terjadi. Tidak sebelum aku membuktikannya."Jalu, apa Kanya tahu kalau kau berusaha merusak acaranya? Apa dia sempat melihatmu? Atau bahkan mata-matanya pernah memergokimu?""Saya pikir itu tidak mungkin, Bu Mira. Karena saya sudah sangat berhati-hati melakukannya. Termasuk membayar orang-orang yang saya percayai."Aku mengusap wajah dengan kasar, membenarkan letak hijab yang sudah tak karuan bentuknya."Jadi, kau melakukannya dengan bantuan orang lain juga?""Kita tak bisa melakukannya sendiri, Mbak. Untuk masuk ke dalam gedung, kami harus punya akses yang dipegang oleh orang-orang Kanya," ujar Ghea mewakili Jalu berbicara."Kalau begitu, secara tidak langsung kalian telah melakukan persekongkolan dengan orang-orang Kanya?""Y
POV MiraAku menggeleng tak habis pikir, namun juga tak menyalahkan. Mbak Wati berhasil menukar foto dalam gudang itu dengan foto Kanya bersama Mas Haris.Aku tahu, Mbak Wati melakukan hal itu karena terpaksa, dia juga menuruti Kanya karena takut dengan ancaman wanita itu.Untung saja aku sempat memeriksanya. Meski itu harus membuatku tidur hanya beberapa jam saja dan berusaha bangun sepagi ini. Saat langin masih gelap dan adzan subuh belum berkumandang.Aku tahu Kanya pasti merencanakan sesuatu dengan foto ini. Salah satu kemungkinan yang ada dalam pikiranku. Dia tak ingin Mas Haris secara tak sengaja menemukan foto ini dan ingatannya kembali."Wanita itu sangat licik," gumamku dengan tangan terkepal. Meski berusaha keras untuk tak memasukkan hal-hal negatif yang bisa memengaruhi pikiran dan nantinya akan berpengaruh ke janinku. Aku tetap tak bisa mencegahnya.Tingkah Kanya benar-benar sudah di luar batas. Dia dengan keegoisannya berusaha untuk meraih apa yang dia inginkan walau deng
POV Haris"Tuan ... sedang apa?" Aku terpekik kaget, saat melihat Ira tiba-tiba muncul di hadapanku. Segera aku menariknya untuk ikut bersembunyi di balik meja karena pekikanku tadi, mungkin sedikit terdengar oleh Kanya dan Mbak Wati."Kenapa kita bersembunyi, Tuan?" tanya Ira sesaat setelah kami terdiam cukup lama dalam keadaan saling bertatapan. Aku bergeming, tidak mungkin kujelaskan aku sedang menguntit Kanya. Bisa-bisa Ira menaruh curiga padaku. "B--bukan apa-apa sebenarnya. Tadi ada tikus, jadi saya sedikit terkejut.""Benarkah? Di mana? Baru kali ini saya mendengar ada tikus di rumah ini," ucap Ira sembari celingukan."Kamu, kan, baru kerja dua hari. Tidak tahu kalau di rumah ini sering banyak tikusnya."Ira menatapku dengan dua alis saling bertaut. Sepertinya masih cukup bingung. Entahlah, aku tak mengerti apa yang ada di pikirannya saat ini."Sebaiknya kamu kembali ke kamar untuk beristirahat. Kasihan bayi yang ada dalam kandunganmu kalau kau terlalu banyak bergerak ke san
POV Haris"Ira pulanglah, aku yang akan menemani Mas Haris di rumah sakit," ujar Kanya usai beberapa dokter dan perawat yang tadi datang memeriksa keluar dari ruangan."Aku akan pulang," ujarku cepat. "Lagipula kondisiku tak terlalu parah sampai harus dirawat di rumah sakit.""T--tapi Mas, ini juga untuk memastikan kalau kondisi kamu dalam keadaan baik-baik saja. Besok juga sudah hari pernikahan kita, kamu harus dalam keadaan sehat.""Kanya, apa kau lihat kondisiku memburuk?" ucapku penuh penekanan. Wanita berambut lurus itu menggeleng."Kalau begitu aku tetap pulang. Berada di rumah sakit ini juga tak memastikan kalau aku bisa beristirahat dengan baik.""Baiklah kalau begitu aku antar, ya," pinta Kanya sembari hendak memeluk lenganku.Aku menepisnya, tak kupedulikan gerutuan Kanya yang mengganggu telinga. Kulirik Ira yang sedikit terkejut."Ayo Ira, kau juga harus pulang bersama kami."****"Mas berubah!" Aku menoleh, menghela nafas saat menatap Kanya dengan bibir mencebik tengah me
POV HarisRasanya lega, kelegaan yang datang dari hati tanpa terpaksa. Usai kutunaikan kewajibanku sebagai umat muslim, seolah angin sejuk itu datang. Mengguyur dan menyiram rohani hingga ke kalbu."Tak pernah sedamai ini sejak aku bangun usai kecelakaan itu," ucapku sembari menatap sajadah yang masih terbentang. "Aku seolah kehilangan diriku sendiri di tengah hiruk pikuknya masalah."Aku bangkit, merapikan sajadah dan kopiah yang tersimpan di sudut lemari. Tertumpuk oleh banyaknya pakaian dan barang-barangku yang tak terpakai, seperti sudah sangat lama aku meninggalkannya.Aku menatap nanar pada cermin di hadapan. Pada diriku yang tampak tak kukenali. Pandanganku beralih pada dinding di samping.Bekas pigura yang hendak kucari tahu, namun terhenti karena Mbak Wati seperti mencegahku melakukannya. Jujur aku begitu penasaran.Mbak Wati, orang yang kupercaya itu sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Bekas pigura yang kutanyakan padanya itu pasti adalah sesuatu yang ia rahasiakan. Ka
POV HarisAku tak tahu entah apa yang terjadi dengan diriku saat ini. Pertama kali wanita ini datang ke rumah setelah Mbak Wati meminta untuk menambah asisten rumah tangga baru, aku seperti merasakan sesuatu hal yang aneh padanya.Tatapannya, mata itu, meski aku tak mengingatnya sama sekali tapi aku sangat yakin. Ira, adalah sesorang yang kukenal atau dia yang mengenaliku. Karena tatapan itu ... penuh dengan kerinduan.Dan seharusnya, tatapan itu tidak ditujukan padaku orang yang baru dia kenali. Aku yakin ada sesuatu tentang Ira. Awalnya begitu, sampai dia mengatakan hal yang membantahkan pikiranku. Apalagi perkataan Kanya yang membuat perasaanku semakin bimbang.Aku membuka lengan yang menutup mata. Menatap langit-langit kamar. Perasaan asing itu mulai kembali lagi. Ingatan yang bahkan tak kuketahui sekalipun. "Rasanya hampa, seperti ada yang hilang dariku," bisikku sembari menghembuskan nafas perlahan. Pikiranku kacau, tapi aku sama sekali tak bisa tidur. Aku bangkit dari atas r
"Gimana Mbak? Kalau Mbak setuju dengan rencana kami, Jalu akan segera melakukannya. Dia ada di gedung tepat di mana pesta pernikahan Pak Haris dan Kanya akan dilangsungkan."Aku tersenyum, bahkan tanpa lama berpikir atau mempertimbangkan perkataan Ghea, aku segera mengangguk untuk menyetujui perkataannya.Sedikit ekstrim, tapi rasanya hal itu pantas dilakukan karena memang pernikahan Mas Haris dan Kanya tak boleh dilaksanakan. Pernikahan mereka atas dasar kebohongan. Dan aku sebagai istri sahnya tak akan pernah menyetujui hal tersebut, sampai kapanpun!"Lakukan Ghea, katakan pada Jalu untuk melakukan apapun. Semua hal yang bisa membatalkan pernikahan suamiku dengan wanita tak waras itu. Aku mengizinkannya," tukasku seraya menggebu-gebu.Ada emosi yang terasa dalam setiap ucapanku. Yah, tak dipungkiri aku masih merasa marah atas semua hal yang terjadi saat ini. Dan ini semua terjadi setelah Kanya masuk dalam hidup kami."Mbak tenang saja, Jalu berada di pihak Mbak. Dia juga sangat seti